Mendedah Ambiguitas Aborsi
Tinta Media - Tulisan ini dibuat untuk menanggapi tulisan opini dengan tajuk Dialektika Aborsi di Indonesia pada Koran Sriwijaya Post Hari Rabu tanggal 23 Agustus 2023 lalu, izinkan saya beragumentasi terkait poin-poin yang saya rasa keliru dalam
menempatkan sudut pandang aborsi. Semua sepakat bahwa aborsi adalah proses
menggugurkan janin dengan sengaja akibat kehamilan yang tidak diinginkan.
Penelitian
yang pernah dilakukan oleh Guttmatcher Institute pada tahun 2000 menerangkan
bahwa ada dua juta kasus aborsi di Indonesia, 46% diantaranya oleh perempuan
berusia 20-29 tahun. Hanya saja memang, penelitian tersebut berfokus pada
penggunaan kontrasepsi dan aborsi yang aman. Terkesan menawarkan sebuah solusi
pragmatis yang tidak menyentuh akar masalah.
Pada
tahun 2007, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah merilis perilaku
seks bebas remaja, dari 4.500 responden remaja yang di survei di Kota Jakarta
Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya ditemukan 97% remaja SMP dan SMA pernah
berhubungan seks, dan 21,2 % remaja SMA pernah melakukan aborsi. Temuan
informasi 16 tahun silam saja sudah mengkhawatirkan, bagaimana dengan tahun
ini? Mungkin akan lebih mengkhawatirkan lagi.
Upaya
Preventif, Revolusioner, dan Haq
Dalam
sudut pandang Islam, tidak pernah dikenal istilah aborsi. Karena dalam ajaran
Islam, haram hukumnya melakukan kemaksiatan perzinahan, kehamilan di luar
pernikahan, ataupun kejahatan seksual. Untuk mencegah hal itu terjadi, Islam
memiliki pandangan yang khas untuk mengatur sistem pergaulan di tengah
masyarakat. Pertama, melahirkan individu yang bertakwa adalah
visi sebuah keluarga yang didukung oleh negara. Artinya, keluarga adalah
lingkungan pertama tempat anak mengenal dunia, sehingga peran strategis orang
tua dibutuhkan untuk mewariskan karakter-karakter terbaik.
Selain
itu, negara mempunyai tanggung jawab untuk melarang segala tindak pornografi,
normalisasi pacaran, dan sejenisnya yang bisa membangkitkan syahwat individu. Sehingga,
pergaulan bebas yang berujung kepada perzinahan, kehamilan yang tidak
diinginkan, kejahatan seksual, dan aborsi bisa dicegah dari pendidikan dalam
keluarga yang didukung dengan kebijakan-kebijakan preventif negara.
Kedua, masyarakat
yang peduli dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri khas masyarakat
perkotaan adalah individualis, dan egosentris. Sehingga, kebanyakan kita abai,
cuek, bahkan menormalisasi pergaulan muda mudi di sekitar dengan alasan dosa
ditanggung sendiri-sendiri. Padahal, bukan hanya perkara dosanya. Namun, dalam
teori komunikasi, kejahatan atau penyimpangan yang dilakukan berulang kali,
akan membentuk suatu kebiasaan yang lama kelamaan akan dianggap normal dan
menjadi kebudayaan. Lalu, apakah kita hanya akan berdiam diri melihat
perzinahan dan aborsi yang dinormalisasi atau bahkan seiring waktu menjadi
budaya bangsa?
Ketiga,
hukuman
atau sanksi bagi pelaku kemaksiatan harus tegas. Dalam Islam, hukuman bagi
pezina (suka sama suka) dan pelaku kejahatan seksual bersifat qath’i (pasti).
“Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang
lain kepada mereka[2], yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang
yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun
orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya)
dera 100 kali dan rajam” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari
‘Ubadah bin Ash Shamit).
Fungsi
hukum/sanksi dalam Islam salah satunya adalah zawajir, yakni sebagai
pencegah terjadinya tindak kriminal terulang kembali. Dengan sanksi yang tegas
dan keras, kira-kira apakah orang mau dihukumi dengan hukum yang sama? Saya
rasa tidak. Maka, menjadikan aborsi sebagai solusi tunggal pencegahan kehamilan
yang tidak diinginkan (bukan dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa ibu)
malah akan melahirkan ambiguitas, kebingungan, dan berujung pada normalisasi
kemaksiatan lainnya.
Wallahu’alam
bishawab.
Oleh: Putri Halimah, M.Si.
(Siswa @feministclass, Alumni Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia)