Tinta Media: Ambiguitas
Tampilkan postingan dengan label Ambiguitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ambiguitas. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 September 2023

Mendedah Ambiguitas Aborsi


Tinta Media - Tulisan ini dibuat untuk menanggapi tulisan opini dengan tajuk Dialektika Aborsi di Indonesia pada Koran Sriwijaya Post Hari Rabu tanggal 23 Agustus 2023 lalu, izinkan saya beragumentasi terkait poin-poin yang saya rasa keliru dalam menempatkan sudut pandang aborsi. Semua sepakat bahwa aborsi adalah proses menggugurkan janin dengan sengaja akibat kehamilan yang tidak diinginkan.

 

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Guttmatcher Institute pada tahun 2000 menerangkan bahwa ada dua juta kasus aborsi di Indonesia, 46% diantaranya oleh perempuan berusia 20-29 tahun. Hanya saja memang, penelitian tersebut berfokus pada penggunaan kontrasepsi dan aborsi yang aman. Terkesan menawarkan sebuah solusi pragmatis yang tidak menyentuh akar masalah.

 

Pada tahun 2007, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah merilis perilaku seks bebas remaja, dari 4.500 responden remaja yang di survei di Kota Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya ditemukan 97% remaja SMP dan SMA pernah berhubungan seks, dan 21,2 % remaja SMA pernah melakukan aborsi. Temuan informasi 16 tahun silam saja sudah mengkhawatirkan, bagaimana dengan tahun ini? Mungkin akan lebih mengkhawatirkan lagi.

 

Upaya Preventif, Revolusioner, dan Haq

Dalam sudut pandang Islam, tidak pernah dikenal istilah aborsi. Karena dalam ajaran Islam, haram hukumnya melakukan kemaksiatan perzinahan, kehamilan di luar pernikahan, ataupun kejahatan seksual. Untuk mencegah hal itu terjadi, Islam memiliki pandangan yang khas untuk mengatur sistem pergaulan di tengah masyarakat. Pertama, melahirkan individu yang bertakwa adalah visi sebuah keluarga yang didukung oleh negara. Artinya, keluarga adalah lingkungan pertama tempat anak mengenal dunia, sehingga peran strategis orang tua dibutuhkan untuk mewariskan karakter-karakter terbaik.

 

Selain itu, negara mempunyai tanggung jawab untuk melarang segala tindak pornografi, normalisasi pacaran, dan sejenisnya yang bisa membangkitkan syahwat individu. Sehingga, pergaulan bebas yang berujung kepada perzinahan, kehamilan yang tidak diinginkan, kejahatan seksual, dan aborsi bisa dicegah dari pendidikan dalam keluarga yang didukung dengan kebijakan-kebijakan preventif negara.

 

Kedua, masyarakat yang peduli dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri khas masyarakat perkotaan adalah individualis, dan egosentris. Sehingga, kebanyakan kita abai, cuek, bahkan menormalisasi pergaulan muda mudi di sekitar dengan alasan dosa ditanggung sendiri-sendiri. Padahal, bukan hanya perkara dosanya. Namun, dalam teori komunikasi, kejahatan atau penyimpangan yang dilakukan berulang kali, akan membentuk suatu kebiasaan yang lama kelamaan akan dianggap normal dan menjadi kebudayaan. Lalu, apakah kita hanya akan berdiam diri melihat perzinahan dan aborsi yang dinormalisasi atau bahkan seiring waktu menjadi budaya bangsa?

 

Ketiga, hukuman atau sanksi bagi pelaku kemaksiatan harus tegas. Dalam Islam, hukuman bagi pezina (suka sama suka) dan pelaku kejahatan seksual bersifat qath’i (pasti). “Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka[2], yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit).

 

Fungsi hukum/sanksi dalam Islam salah satunya adalah zawajir, yakni sebagai pencegah terjadinya tindak kriminal terulang kembali. Dengan sanksi yang tegas dan keras, kira-kira apakah orang mau dihukumi dengan hukum yang sama? Saya rasa tidak. Maka, menjadikan aborsi sebagai solusi tunggal pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan (bukan dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa ibu) malah akan melahirkan ambiguitas, kebingungan, dan berujung pada normalisasi kemaksiatan lainnya.

 

Wallahu’alam bishawab.


Oleh: Putri Halimah, M.Si.

(Siswa @feministclass, Alumni Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia)

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab