Tinta Media: Alquran
Tampilkan postingan dengan label Alquran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alquran. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 April 2022

Guru Luthfi: Klaim Yahudi Beriman kepada Taurat dan Injil Hanya Kebohongan dan Dusta Belaka

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi menyatakan renungan dari Firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah ayat 91 bahwa klaim orang-orang Yahudi beriman kepada Taurat dan Injil saja adalah hanya kebohongan dan dusta belaka.

“ Ayat ini mengkritisi dan menghinakan orang-orang Yahudi yang mereka mengaku cukup beriman kepada Taurat dan Injil saja dan apa yang mereka klaim adalah hanya kebohongan dan dusta belaka,” tuturnya dalam Program Bulan Ramadhan Bersama al-Qur’an 1443 H-#12, Rabu (14/4/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Menurutnya, jika orang-orang Yahudi betul-betul beriman kepada Taurat dan Injil, maka mereka akan mengimani al-Qur’an dan Rasulullah SAW.
“Jika mereka (orang-orang Yahudi) betul-betul beriman kepada Taurat dan Injil pasti mereka akan mengimani al-Qur’an dan Rasulullah SAW,” ujarnya.

Firman Allah SWT:
Wa idzā qīla lahum āminuu bimā anzalallāhu qālu nu ‘minu bimā unzila `alainā wa yakfuruuna bimā warā `ahuu wa huwal-haqqu mussaddiqal limā ma’ahum, qul fa lima taqtuluuna ambiyā `allaihi ming qablu ing kuntum mu’minīn.
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada al-Qur’an yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang al-Qur’an itu adalah kitab yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang beriman?” (TQS al-Baqarah, 2: 91).

Ia memaparkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Firman Allah: Wa idzā qīla lahum.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka”. Artinya Allah menunjuk orang-orang Yahudi dan semisal mereka dari kalangan Ahlul Kitab untuk beriman kepada Muhammad SAW.

“Firman Allah yang menyatakan apabila dikatakan kepada mereka. Mereka di sini adalah orang-orang Yahudi dan semisal mereka dari kalangan Ahlul Kitab, yakni beriman kepada Muhammad SAW; Benarkanlah ia oleh kalian dan ikutilah Rasul tersebut,” paparnya.

Kemudian ia pun menerangkan penjelasan dari Imam Asy’ari.

Firman Allah: Wa idzā qīla lahum āminuu bimā anzalallāhu. “Artinya dari ayat di atas itu, apabila Rasulullah SAW menyuruh mereka untuk beriman kepada Islam, beriman kepada al-Qur’an”. Lantas mereka menolaknya,” ucapnya.

Lalu ia meneruskan Firman Allah Ta ’ala: “Mereka berkata, kami hanya beriman atas apa yang diturunkan kepada kami.”

“Artinya menurut Imam Asy’ari, cukup bagi orang-orang Yahudi mengimani kepada yang diturunkan kepada mereka berupa Taurat dan Injil. Mereka tidak mengakui kecuali kitab demikian,” terangnya.

Selanjutnya, ia pun menuturkan pendapat dari Imam al-Qurthubi sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-far’u. Kalimat: wa yakfuruuna bimā warā `ahuu. Dan mereka kafir kepada al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya. “Artinya mereka kafir kepada selainnya, selain Taurat dan Injil,” tuturnya.

Ia mengatakan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni menjelaskan Firman Allah Ta`ala: “Dan mereka kafir kepada al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang al-Qur’an itu adalah kitab yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka”.

“Artinya menurut Imam Muhammad Ali Ash Shabuni, mereka mengingkari al-Qur’an padahal Ia (al-Qur’an) adalah sesuatu yang hak, sama benarnya dengan Taurat yang sebelumnya diturunkan kepada nenek moyang mereka,” katanya.

Kemudian ia pun menambahkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa hujjah telah tegak atas orang-orang Yahudi.
“Maka hujjah telah tegak atas mereka, jelas Imam Ibnu Katsir,” ujarnya.

Sebagaimana dalam Tafsir Surat al-Baqarah ayat ke 146. “Artinya: Orang yang telah Kami turunkan kepada mereka Alkitab yakni Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Muhammad itu seperti mengenal anak mereka sendiri”.

Ia mengungkapkan komentar atas ayat ini dari Imam al-Qurthubi bahwa Allah SWT menurunkan ayat ini untuk mengecam orang-orang Yahudi.

“Komentar Imam al-Qurthubi, yakni Itu disebabkan tidak boleh dikatakan kepada mereka, berimanlah kalian kepada apa yang telah Allah turunkan. Sementara mereka tidak memiliki sesuatu yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka bahwa sesuatu itu diturunkan di sisi Allah SWT. Jika tidak maka itu merupakan taklif bagi mereka atas sesuatu yang tidak mampu mereka laksanakan. Tapi jika mereka mempunyai sesuatu yang dapat memberikan perunjuk kepada mereka bahwa sesuatu itu diturunkan dari sisi Allah SWT maka beriman kepada sesuatu itu merupakan hal yang wajib,” ungkapnya.

Dengan demikian, menurutnya, dapat ditetapkan bahwa iman kepada sebagian hal yang diturunkan Allah tapi tidak kepada sebagian yang lain merupakan sesuatu yang kontradiksi. “Maka dapat ditetapkan bahwa iman kepada sebagian hal yang diturunkan Allah tapi tidak kepada sebagian yang lain merupakan sesuatu yang kontradiksi,” ucapnya.

Ia pun menegaskan bahwa Allah kembali menguji keseriusan keimanan orang-orang Yahudi melalui ayat ini melalui penjelasan dari Imam Ibnu Katsir. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang beriman?”.

“Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa jika kalian mengaku benar-benar beriman kepada yang diturunkan kepada kalian. Mengapa kalian membunuh para nabi yang datang kepada kalian. Ia membenarkan Taurat yang ada pada kalian, berhukum dengannya dan tidak menghapusnya. Sedang kalian mengetahui akan kebenaran mereka,” jelasnya.

Ia pun mengakhirinya dengan meneruskan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir terkait ayat tersebut. “Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kalian membunuh mereka (para nabi) dikarenakan kalian melampaui batas, keras kepala, dan sombong kepada utusan-utusan Allah. Tidaklah yang kalian ikuti itu melainkan hawa nafsu pendapat dan keinginan-keinginan kalian sendiri,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 13 April 2022

Guru Luthfi: Kaum Muslim Jangan Terjerumus Akidah Sekularisme

https://drive.google.com/uc?export=view&id=18j9h3I4YFlezMWLXYGgVd4aNP-Xzy_PB

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi menegaskan ‘ibrah (pelajaran) dari Tafsir al Baqarah ayat ke 86, adalah kaum muslim jangan terjerumus kepada akidah sekularisme.

“Janganlah kaum Muslim memilih-milih ayat, mengambil sebagian ayat kemudian mencampakkan sebagian ayat-ayat yang lain. Jika demikian, kaum muslimin bisa terjerumus kepada paham akidah sekularisme,” tegasnya dalam Program Bulan Ramadhan Bersama al-Qur’an 1443H-#7: Orang Yang Membeli Kehidupan Dunia dengan Kehidupan Akhirat, Sabtu (9/4/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Quran.

Firman Allah SWT yang artinya: “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong,” (TQS al Baqarah [2]: 86). Latar belakang turunnya ayat ini menurut Guru Luthfi terkait dengan Yahudi, namun ayat al-Qur’an itu diambil secara umum ayat diturunkan bukan kekhususan sebab turunnya ayat. “Ayat al-Qur’an itu diambil dari keumuman ayat, bukan kekhususan sebab turunnya ayat,” tuturnya.

Ia pun menjelaskan kaidah dari ‘ibrah atau pengertian (dari ayat-ayat al-Qur’an) diambil dari keumuman lafaz, bukan dari khususnya sebab (ayat itu diturunkan).
“Termasuk kita, sebagai seorang muslim penting sekali untuk mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari ayat yang mulia ini. Jangan sampai memisahkan antara kehidupan keseharian dengan kehidupan ritual,” jelasnya.

Ia menerangkan tentang akidah sekularisme ini yang terdapat di dalam Kitab karangan Syekh Abdul Qadim Zallum -rahimullah- bahwa saat memisahkan antara kehidupan beragama dengan kehidupan keseharian, meniscayakan berbagai kebebasan dalam kehidupan.

“Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum -rahimullah-, keniscayaan sekularisme memunculkan 4 kebebasan, yakni kebebasan berkeyakinan (kebebasan memeluk agama), bahkan bebas mau beragama atau tidak; kebebasan dalam berpendapat; kebebasan dalam memiliki (melahirkan kebebasan berekonomi dikenal dengan istilah Ekonomi Liberal Kapitalisme, kemudian dari sini muncul oligarki dalam sistem pemerintahan); dan kebebasan dalam berperilaku,” terangnya.

Ia pun mengungkapkan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dalam Shafwatu Tafasir yang menjelaskan ayat 86 ini. Bahwa Allah SWT menjelaskan sebab kedurhakaan orang-orang Yahudi yang mengambil sebagian Alkitab dan membuang sebagian yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman: “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”.

“Artinya, orang-orang yang digambarkan dengan gambaran buruk tersebut di atas (pada ayat sebelumnya) adalah orang-orang yang menukar kehidupan dunia ini dengan akhirat, artinya mereka lebih memilih dan mengutamakan kehidupan dunia itu daripada kehidupan akhirat,” ungkapnya.

Lanjutan dari ayat ini, Firman Allah: “Maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”. Ia pun mengartikan kalimat dari ayat tersebut bahwa tidak akan diringankan siksaan bagi mereka dan tidak ada penolong serta pelindung yang menyelamatkan mereka dari siksa Allah yang pedih.
“Artinya, tidak diringankan siksa itu dari mereka sejam pun, mereka tidak memiliki penolong yang dapat menolong mereka, dan tidak ada pelindung yang bisa menyelamatkan mereka dari siksa Allah yang amat pedih,” ujarnya.

Menurutnya, ayat yang mulia ini mendorong seorang mukmin untuk mengambil Islam ini secara keseluruhan. Sebagaimana dalam Surat al-Baqarah ayat 208, artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.

“Tidak ada jalan kemuliaan bagi seorang muslim baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kecuali mengambil seluruh isi al-Qur’an, mengambil Islam secara kaffah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Guru Luthfi: Bani Israil Langgar Perjanjian Lagi

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1AVCO0L6W-XJBE6bbM1mEYXtfCBIrDeI4

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi memaparkan Tafsir al-Qur’an surah al-Baqarah ayat ke 85 bahwa Bani Israil kembali melanggar perjanjian dengan mengimani sebagian dari Taurat dan ingkar kepada sebagian yang lain.

“Bani Israil pada ayat ini kembali melanggar perjanjian dengan mengimani sebagian dari Taurat dan ingkar kepada sebagian yang lain, sungguh sikap seperti ini hanya akan berakibat pada kerugian di dunia dan berujung kepada penderitaan kekal di akhirat,” paparnya dalam Program Ramadhan Bersama al-Qur’an 1443 H-#6: Yahudi Iman Sebagian Taurat Namun Ingkar Sebagian yang Lain, Jumat (8/4/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Menurutnya, tafsir al-Baqarah ayat ke 85 ini juga berlaku kepada umat mana pun. Ibrah atau pelajaran yang bisa kita ambil dari al-Qur’an adalah umumnya ayat bukan pada sebab khususnya turun ayat.

“Bahwa bisa berlaku juga ayat ini kepada seorang muslim jika ia memilih-milih hukum Allah SWT, mengambil sebagian dari hukum Allah kemudian mencampakkan sebagian hukum yang lain maka balasan bagi orang yang demikian itu adalah kehinaan di dunia dan diakhirat nanti mendapat azab yang sangat pedih. Naudzubillah tsumma naudzubillah,” tuturnya.

Firman Allah SWT:

“Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri kalian (saudara kalian sebangsa), mengusir segolongan daripada kalian dari kampung halamannya, kalian bantu membantu terhadap mereka dengan berbuat dosa dan permusuhan. Tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian tebus mereka, padahal mengusir mereka itu juga merupakan terlarang bagi kalian. Apakah kalian beriman kepada sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian itu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksa yang amat berat dan Allah tidak pernah lengah dari apa yang kalian perbuat,” (TQS al-Baqarah [2]: 85).

Di dalam kalimat ayat 85, yang artinya, “Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri kalian (saudara kalian sebangsa), mengusir segolongan daripada kalian dari kampung halamannya, kalian bantu membantu terhadap mereka dengan berbuat dosa dan permusuhan.”

Ia menjelaskan pendapat Imam Al-Qurthubi tentang kalimat ayat ini bahwa Khitab (seruan) ini ditujukan kepada orang-orang yang hadir dan tidak mungkin ditujukan kepada orang lain yang terdahulu.

“Ayat ini diturunkan untuk Kabilah Bani Qainuqà dan Kabilah Khazraj yang merupakan Kabilah Bani Quraizhah. Kabilah Bani Nadhir, Kabilah Bani Aus dan Kabilah Bani Khazraj adalah bersaudara. Sedangkan Bani Quraizhah dan Bani Nadhir adalah juga bersaudara. Mereka kemudian terpecah sehingga mereka saling berperang,” jelasnya.

Ia pun melanjutkan, “Lalu setelah peperangan dihentikan mereka pun menebus tawanan mereka,” lanjutnya.

Kemudian Allah SWT mencemooh perbuatan mereka. “Dengan Firman Allah, ‘Tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian tebus mereka padahal mengusir mereka itu jauh lebih terlarang bagi kalian’,” ujarnya.

Ia menerangkan makna kalimat selanjutnya dari ayat 85 ini. “Allah berkata tadzaharūnā, maknanya adalah saling membantu. Kata ini diambil dari kata zahr yang artinya punggung. Sebab sebagian dari mereka memperkuat sebagian yang lainnya sehingga menjadi seperti punggung baginya,” terangnya.

Firman Allah SWT pada kalimat berikutnya: “Tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian tebus mereka”.

Ia mengatakan penjelasan dari Muhammad Ali Ash Shabuni. “Bahwa jika mereka jatuh menjadi tawanan maka kalian menebusnya, kalian membayar tebusan dengan uang untuk membebaskan sebagai tawanan. Padahal mengusir mereka itu juga terlarang bagi kalian,” katanya.

Lalu ia melanjutkan bahwa Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang kalimat tersebut. “Kemudian apabila perang telah usai, mereka segera melepaskan tawanan dari kelompok yang kalah sebagai bentuk daripada pengamalan Taurat,” lanjutnya.

Oleh karena itu menurutnya, kemudian Allah SWT berfirman atas mereka (Bani Israil): “Apakah kalian beriman kepada sebagian dari Alkitab yakni Taurat dan ingkar terhadap sebagian yang lain.”

Ia memaparkan bahwa Imam Al Quthubi menjelaskan perkataan para ulama Mazhab Maliki atas ayat tersebut.
“Imam Al Quthubi menjelaskan bahwa para ulama Mazhab Maliki berkata bahwasanya Allah mengambil empat perjanjian dari mereka (orang-orang Yahudi) ini;
Pertama, mereka tidak melakukan pembunuhan.
Kedua, mereka tidak melakukan pengusiran.
Ketiga, mereka tidak melakukan konspirasi untuk menentang Allah. Keempat, mereka akan menebus tawanan mereka. Namun mereka berpaling dari tiga hal yang diperintahkan kecuali hanya yang terakhir yakni menebus tawanan mereka,” paparnya.

Lalu ia menyatakan komentar dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni atas ayat ini. “Tujuan dari pernyataan ayat ini adalah untuk mengecam karena mereka (orang-orang Yahudi) itu mengumpulkan antara iman dan ingkar. Ingkar terhadap sebagian ayat-ayat Allah berarti ingkar kepada keseluruhannya,” tuturnya.

Ia menuturkan arti dari Firman Allah SWT yang mencela mereka  dengan celaan yang bisa dibaca dalam al Quran ayat yang berikutnya, “Tidaklah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian daripada kalian itu melainkan kenistaan dalam kehidupan di dunia.”
“Artinya, Apakah balasan yang layak bagi orang yang beriman kepada sebagian kitab dan kemudian mengingkari sebagian yang lain. Kecuali kehinaan dan kemurkaan kehidupan di dunia, dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksa yang berat”, tuturnya.

Ia pun mengatakan bahwa mereka apabila berpindah ke akhirat maka mereka akan mendapat siksa amat pedih di neraka sebab siksa di neraka adalah kekal dan  tidak ada hentinya.

Ia pun menegaskan kalimat terakhir dari ayat ini berisi tentang ancaman, “Dan Allah tidak pernah lengah dari apa yang kalian perbuat.”

“Di sini terdapat ancaman yang teramat sangat bagi orang-orang yang durhaka terhadap perintah-perintah Allah SWT,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 12 April 2022

Guru Luthfi: Tabiat Bani Israil Selalu Ingkar Janji

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1u48wFHkeO7eJrmv1Hok8xw2RVwEuVQQa

Tinta a media - Pengasuh Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi menunjukkan tabiat Bani Israil yang selalu berpaling dari janji mereka kepada Allah SWT untuk melakukan kewajiban.

“Allah menegaskan dalam Tafsir Surat al Baqarah ayat ke 83 bahwa tabiat Bani Israil yang selalu berpaling dari janji mereka kepada Allah SWT untuk melakukan kewajiban,” tuturnya dalam Acara Ramadhan Bersama Al Qur’an 1443H-#4: Tabiat Yahudi Melanggar Janji dan Berpaling dari Kewajiban, Rabu (6/4/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia menyatakan kembali Allah SWT mengungkapkan tabiat buruk Bani Israil yang selalu melanggar janji dan berpaling dari melaksanakan kewajiban.
Wa iż akhażna mītsāqa banī isrā’īla lā ta’buduna illallāha wa bil-wālidaini ihsānaw wa żil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wa qulu lin-nāsi husnaw wa aqīmuş-şalāta wa ātuz-zakāh tsumma tawwalaitum illā qalīlam mingkum wa antum mu’ridųn. Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): ‘Janganlah kalian menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ucapkanlah (oleh kalian) kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat’. Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kalian, dan kalian selalu berpaling,” (QS al Baqarah, 2: 83)

Ia mengatakan Imam Al Qurthubi menjelaskan dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an: Firman Allah:
Wa iż akhażna mītsāqa banī isrā’īla artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil.”

“Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya Al Jami’li Ahkamil Qur’an bahwa terdapat perbedaan pendapat dari para ulama tentang apa yang dimaksud dari al Mitsaq (janji) di sini,” katanya.

Ia mengungkapkan perbedaan pendapat dari para ulama tersebut tentang kata janji dalam Surat al Baqarah ayat ke 83. “Maki berkata: Janji tersebut adalah janji yang mereka ambil ketika mereka dikeluarkan dari tulang punggung adam sebagai keturunan. Dan dikatakan dari yang lain bahwa janji tersebut adalah janji yang Allah ambil dari dalam kehidupan mereka saat kondisi mereka menjadi orang-orang berakal melalui lisan nabi-nabi mereka,” ungkapnya.

Dan menurutnya, lanjutan pernyataan janji tersebut yakni sesuai dengan Firman Allah SWT: lā ta’buduna illallāha. Janganlah kalian menyembah selain Allah.
“Artinya beribadah kepada Allah adalah menetapkan keesaan-Nya, percaya kepada Rasul-Nya, dan melaksanakan apa yang diturunkan dalam kitab-Nya,” tuturnya.

Secara bahasa, ia menerangkan makna “Mitsaq” dijelaskan oleh Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dalam tafsir beliau sebagai janji yang dikuatkan dengan sumpah.

“Imam Muhammad Ali Ash Shabuni menjelaskan bahwa mitsaq adalah janji yang dikuatkan dengan sumpah. Jika tidak dikuatkan dengan sumpah maka disebut dengan al-ahd,” ucapnya.

Firman Allah SWT,  p artinya Janganlah kalian menyembah, dimaknai oleh Imam Sibawaih berhubungan sumpah.

“Imam Sibawaih berkata, lafaz lā ta’buduna berhubungan dengan sumpah. Maknanya adalah dan ketika Kami mengangkat mereka menjadi khalifah, demi Allah, janganlah kalian menyembah (kepada selain Allah),” katanya.

Kemudian lanjutan dari Firman Allah Ta’ala: wa bil-wālidaini yang artxx“Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak.”

Ia mengatakan bahwa dalam hal ini, Allah menyandingkan hak orang tua terhadap mengesakan Allah SWT.
“Karena apa? Sebab kebangkitan yang pertama itu adalah datangnya dari Allah SWT, kemudian kebangkitan yang kedua adalah tarbiyah atau pendidikan itu datangnya dari kedua orang tua,” katanya.

Ia menuturkan Firman Allah selanjutnya:
“Bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kemudian kepada kedua orang tuamu, ibu bapakmu,” (QS Luqman [31]: 14).
Kemudian ia menjelaskan walihsānu ilāl wālidaini, berbuat baik kepada kedua orang tua.
“ Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah bergaul dengan mereka dengan baik, tawadhu dengan mereka, melaksanakan segala apa yang diperintahkan keduanya, kemudian senantiasa mendoakan keduanya saat mereka sudah tidak ada, dan meneruskan hubungan silaturahim dengan teman-teman mereka,” jelasnya.

Ia mengartikan kalimat berikutnya dalam Surat al Baqarah ayat ke 83: wa żil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni, dan kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang miskin.

“Yakni anjuran berbuat baik kepada kerabat, anak-anak yatim yang bapak-bapak mereka meninggal sewaktu mereka masih kecil, dan orang-orang miskin yang tidak mampu untuk bekerja,” katanya.

Selanjutnya dikatakan olehnya tentang keutamaan berbuat baik kepada anak yatim ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw., yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
“Rasulullah Saw. Bersabda: ‘Orang yang menjamin anak yatim, baik yang menjadi tanggungannya atau pun (tanggungan) yang lainnya. Aku dan dia adalah seperti ini di dalam syurga, Imam Malik memberi isyarat dengan telunjuk dan jari tengah,” katanya.

Ia menegaskan kalimat selanjutnya dari ayat ini, wa qulu lin-nāsi husna, dan ucapkanlah (oleh kalian) kata-kata yang baik kepada manusia.
“Dengan perkataan baik, rendah hati, sopan santun disertai percakapan yang baik,” tegasnya.

Kemudian menurutnya kalimat, wa aqīmuş-şalāta wa ātuz-zakāh, dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat merupakan kewajiban dari Allah SWT.
“Salatlah dan zakatlah sebagaimana Allah mewajibkan atas kalian kewajiban-kewajiban rukun-rukun lainnya,” tuturnya.

Kewajiban-kewajiban ini berdasarkan penjelasan dari Imam Al Qurthubi berupa khithab (seruan) di sini yang ditujukan untuk kaum Bani Israil.
Ia pun menjelaskan perkataan Ibnu Athiyah tentang zakat yang dimaksud dalam Surat al Baqarah ayat ke 83.
“Ibnu Athiyah berkata: (Yang dimaksud dengan) zakat mereka (di sini) adalah zakat yang mereka letakkan kemudian api menyambar zakat tersebut, pertanda zakat itu telah diterima (oleh Allah SWT), sedangkan zakat yang tidak disambar oleh api maka zakat itu tidak diterima. Zakat mereka itu tidaklah seperti zakat umat Nabi Muhammad Saw,” jelasnya.

Dari ayat terakhir ini Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan kaum Bani Israil menolak keras janji tersebut dan berpaling dari mengamalkan kewajibannya kecuali sedikit dari kaum Bani Israil yang melakukannya.
“Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan, “Artinya, kemudian kalian dan pendahulu-pendahulu kalian itu menolak keras janji tersebut dan kalian berpaling dari mengamalkan kewajibannya kecuali sedikit dari kalian yang melakukannya. Kalimat illa qalīla, seperti Abdullah bin salam dan para sahabatnya,” tuturnya.
“Demikianlah tabiat Bani Israil. Semoga kita dijauhkan dari sifat demikian,” pungkasnya. [] Ageng Kartika 

Senin, 11 April 2022

Guru Luthfi: Balasan Serupa Kebaikan Ataupun Keburukan Akan Diterima Oleh Pelakunya Selama-lamanya

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1nUhBoC5JyjaclJoeEKZev-0SJlo74Fip

Tinta Media - Guru H. Luthfi Hidayat, Pengasuh Majelis Baitul Qur'an Tapin menyampaikan bahwa balasan serupa kebaikan ataupun keburukan akan diterima oleh pelakunya selama-lamanya.

"Bahwa Allah SWT menjelaskan balasan serupa kebaikan ataupun keburukan akan diterima oleh pelakunya selama-lamanya dan tidak akan putus-putus," tuturnya dalam Balasan Allah Sesuai Amal Buruk Atau Baik - Ramadhan Bersama Al Qur'an 1443 #3 di Majelis Baitul Qur'an, Selasa (5/4/2022).

Ia mengutip terjemahan surah Al Baqarah ayat 81 - 82 yang artinya "Tidak demikian, yang benar ialah bahwa siapa yang berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh kesalahannya, maka mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan orang-orang beriman serta beramal saleh, mereka itu adalah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya," ujarnya.

“Imam Muhammad Ali As Shobuni menjelaskan dalam Shofwatu Tafasir bahwa dalam ayat ini kemudian Allah SWT menerangkan pendustaan mereka orang-orang Yahudi dan Allah SWT membatalkan anggapan mereka bahwa mereka tidak akan menyentuh neraka dan apa yang mereka katakan bahwa mereka tidak akan abadi di neraka. Tidak demikian, barangsiapa yang berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh kesalahannya," jelasnya.

Kemudian, lanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan, persoalannya bukan seperti yang kalian angankan dan kalian harapkan. Akan tetapi barangsiapa yang melakukan kejahatan dan dosanya itu telah meliputi dirinya hingga hari kiamat sedangkan ia tidak memiliki kebaikan sedikitpun dan semua amalnya itu berupa kejahatan, "Maka ia termasuk penghuni neraka," terangnya.

Ia melanjutkan bahwa Abu Hurairah, Abu Wa'il Alfa dan Al Hasan mengatakan di dalam tafsir Ar Razi karya Abi Hatim bahwa ia telah diliputi oleh kesalahan, maksudnya adalah telah diliputi oleh kesyirikannya. Sementara Al Masih meriwayatkan bahwa maknanya adalah yaitu orang yang telah mati sedangkan dirinya masih diliputi dosa yang telah ia perbuat dan ia belum sempat bertaubat.

“Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam firman Allah SWT ini menunjukkan bahwa itu yang digantungkan kepada dua syarat. Maka sesuatu tidak akan sempurna dengan salah satu saja dari kedua syarat tersebut. "Contohnya firman Allah ta'ala: sesungguhnya orang-orang yang mengatakan tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka atau istiqamah. (QS. Fussilat: 30)," bebernya.

"Juga sabda Rasulullah Saw kepada Sufyan bin Abdullah Assaqofi. Sementara Sufyan sebelumnya berkata kepada Rasulullah Saw, 'Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku sebuah perkataan di dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun tentangnya selainmu'. Kemudian Rasulullah Saw bersabda, 'Katakanlah aku beriman kepada Allah SWT kemudian aku istiqamah (HR. Muslim)," paparnya.

Kalimat berikut dalam ayat ini, lanjutnya, adalah maka mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Imam Ali As Shobuni menjelaskan artinya neraka diperuntukkan kepada mereka, mereka tidak akan keluar darinya selama-lamanya. Allah SWT menjelaskan kondisi sebaliknya. Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh yakni orang-orang yang beriman yang mengumpulkan, yang menggabungkan antara keimanan dan amal saleh, "maka mereka tidak akan tersentuh api neraka," tukasnya.

"Bahkan tempat mereka adalah surga dan didalamnya mereka bergembira," lanjutnya.

Akhir daripada ayat ini adalah Allah menjelaskan mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. Artinya mereka kekal di surga dan tidak akan dikelola darinya untuk selama-lamanya.

"Ya Allah, jadikanlah kami dan zuriat-zuriat kami termasuk orang-orang yang engkau beri kasi sayang. Wahai yang maha pengasih dan maha penyayang," tuturnya.

"Semoga kita termasuk orang-orang yang beriman dengan menggabungkan antara keimanan dengan amal saleh, sehingga dengannya kita akan mendapatkan balasan surga dan kekal di dalamnya," tandasnya.[] Ajirah

Minggu, 10 April 2022

Pernyataan ‘Haram Bentuk Negara Seperti yang Dibentuk Nabi’, Bertentangan dengan Al-Qur’an, As Sunnah dan Ulama Aswaja

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1Ef7LsTJwIB59n4WQ6pbqgFmf7CBKQ0Un

Tinta Media - Pernyataan Prof. Mahfud MDyang menyebut “haram membentuk negara seperti yang dibentuk oleh Nabi”, dinilai Pengamat Politik Luar Negeri Umar Syarifudin bertentangan dengan Al Qur'an, As Sunnah dan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).

"Pernyataan Prof. Mahfud MD Bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah serta Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja)," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (8/4/2022).

Menurutnya, mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka.

Ia mengutip pendapat Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii yang mengatakan

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ

"Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal," kutipnya.

Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).

Terbalik

Umar memandang, pernyataan haramnya membentuk negara seperti yang dibentuk oleh Nabi, justru terbalik.

"Justru terbalik, mendirikan khilafah termasuk mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang sangat penting," tandasnya.

Ia mengutip pendapat Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii. "Di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ

“Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25)," kutipnya.

Fardhu Kifayah

Umar mengatakan, menegakkan Khilafah itu fardhu kifayah, artinya orang yang memiliki kemampuan maupun yang tidak memiliki kemampuan wajib melibatkan diri hingga perkara yang termasuk fardhu kifayah ini terselenggara secara sempurna.

"Hanya saja, orang yang memiliki kemampuan dituntut lebih dibandingkan yang tidak memiliki kemampuan. Bahkan jika diduga kuat kewajiban itu tidak bisa ditunaikan secara sempurna kecuali dengan keterlibatan orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan, maka kewajiban kifayah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain atas orang-orang itu," tegasnya.

Begitu pula menegakkan Khilafah Islam. Kewajiban ini diduga kuat tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan keterlibatan para ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan. “Atas dasar itu, wajib ‘ain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islami dalam sebuah partai politik islami yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mewujudkan kewajiban tersebut,” ujarnya.

Bentuk Baku Khilafah

Lebih lanjut, Umar menjabarkan tentang bentuk negara atau sistem pemerintahan yang disyariatkan di dalam Islam. "Negara Islam atau Negara Khilafah mempunyai bentuk baku, termasuk dalam masalah suksesi kepemimpinan," tandasnya.

"Dari aspek bentuk negara, sistem pemerintahan dan struktur, negara yang dibangun oleh Nabi saw. dan diwariskan kepada para sahabat juga jelas," lanjutnya.

Menurutnya, negara Khilafah adalah negara kesatuan, bukan federasi atau commenwealth. Ketika wilayah Negara Islam yang dipimpin Nabi saw. telah mencapai seluruh Jazirah Arab, hukum yang diterapkan hanya satu untuk seluruh wilayah. Hal yang sama ketika negara ini dipimpin oleh para sahabat dan para khalifah setelah mereka. Ini berbeda dengan sistem federasi, yang masing-masing wilayah mempunyai hukum yang berbeda. “Khilafah juga bukan commenwealth karena berbagai wilayah yang dibebaskan oleh Khilafah bukan berstatus sebagai koloni, atau bekas koloni,” ungkapnya.

"Sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Khilafah juga bukan republik, monarki, parlementer, demokrasi, teokrasi maupun autokrasi," terangnya.

Menurut Umar, sistem Khilafah dipimpin oleh Khalifah, bukan oleh presiden, sebagaimana sistem republik; tidak dipimpin oleh raja, sebagaimana dalam sistem monarki; juga bukan oleh perdana menteri, sebagaimana dalam sistem parlementer. Kedaulatannya pun di tangan syariah, bukan di tangan manusia, sebagaimana dalam sistem demokrasi.

“Khalifah juga bukan titisan atau wakil Tuhan, maksum, sebagaimana dalam sistem teokrasi. Kekuasaan Khalifah juga terbatas, dibatasi oleh syariah, tidak bersifat mutlak sebagaimana dalam sistem autokrasi dan diktator.,” tandasnya.

Warisan Nabi

Khilafah adalah penerus Negara Islam yang didirikan oleh Nabi SAW. Ini dijelaskan oleh Rasulullah:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ…

Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).

"Hadis Nabi SAW ini menjelaskan bahwa Negara Islam yang didirikan Nabi adalah negara nubuwwah, yang eranya berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Setelah Nabi wafat, Negara Islam dilanjutkan oleh Khilafah yang mengikuti manhâj nubuwwah. Nabi SAW sendiri menggunakan istilah Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah untuk menjelaskan bahwa Khilafah ini adalah negara yang melanjutkan apa yang telah dibangun dan diwariskan oleh Nabi SAW, bukan membuat baru sama sekali. Apalagi dituduh bahwa ini adalah negara hasil rekaaan para sahabat," terangnya.

"Penggunaan istilah Khilâfah adalah untuk menjelaskan bahwa negara ini mengganti atau melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi SAW. Istilah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah juga digunakan untuk menjelaskan bahwa negara ini benar-benar hanya melanjutkan apa yang diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat yang baru," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Jumat, 08 April 2022

Guru Luthfi: Allah Bantah Angan-Angan Yahudi Mengaku di Neraka Sebentar Saja

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1pvAgpNJVWUKxfnBB2BnEeHRBRcdX9BPa

Tinta Media - Pengasuh Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi menunjukkan bantahan Allah terhadap angan-angan orang Yahudi yang mengatakan mereka hanya beberapa hari saja di siksa di neraka.

“Merenungkan Tafsir Surat al Baqarah ayat ke 80, bahwa orang-orang Yahudi mengaku mereka akan disiksa di neraka hanya beberapa hari saja. Dan ini hanyalah angan-angan mereka, dan itu semua dibantah oleh Allah SWT,” tuturnya dalam Acara Ramadhan Bersama al Qur’an #2-1443H: Orang Yahudi Mengaku Disiksa di Neraka Beberapa Hari Saja, Senin (4/4/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Menurutnya, penjelasan dalam surat al Baqarah ayat ke 80, yakni firman Allah SWT: Wa qooluu lan tamassanan naaru illaaa ayyaamam ma’duu dah; qul attakhaztum ‘indal laahi ‘ahdan falai yukhlifal laahu ahdahuu am taquuluuna ‘alal laahi maa laa ta’lamuun yang artinya, “Dan mereka (orang-orang Yahudi) berkata; Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja, Katakanlah; ‘Sudahkah kalian menerima janji dari Allah, sehingga Allah tidak akan memungkiri janjinya ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa-apa yang kalian tidak ketahui,” mengungkapkan penjelasan atas sikap orang-orang Yahudi yang meyakini mereka tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja.

“Firman Allah ta’ala: Mereka berkata, Yakni orang-orang Yahudi, lan tamassanan naaru illaaa ayyaamam ma’duu dah, sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali selama beberapa hari saja,” ungkapnya.

Ia mengambil dari pendapat Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dalam Shafwatu Tafasir yang artinya: “Kami tidak akan masuk neraka kecuali beberapa hari saja yaitu jangka waktu penyembelihan kami terhadap anak sapi atau tujuh hari saja”.

Hal senada menurutnya, dijelaskan juga oleh Imam Al Qurthubi di dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an,  bahwa saat itu orang Yahudi mengatakan dunia hanya berumur tujuh ribu tahun dan manusia akan disiksa di neraka untuk setiap seribu tahun di dunia hanya satu hari di dalam neraka.  Maka Allah kemudian menurunkan ayat ke 80 dari Surat al Baqarah.

“Imam Al Qurthubi di dalam Tafsir Al Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan, Ikrimah mengutip dari pendapat Ibnu Abbas, Rasulullah datang ke Madinah dan saat itu orang-orang Yahudi berkata, Sesungguhnya dunia ini hanya (berumur) tujuh ribu (tahun), dan sesungguhnya manusia itu akan disiksa di neraka setiap seribu tahun di dunia hanya satu hari di dalam neraka di akhirat (kelak). Sesungguhnya siksaan itu hanya berlangsung tujuh hari. Allah kemudian menurunkan ayat ini,” tuturnya.

Demikian, ia pun menambahkan pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menuturkan pengakuan Yahudi bahwa di dalam Taurat jarak di antara kedua tepi neraka jahanam seperti perjalanan empat puluh hari.

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: "Sesungguhnya orang-orang Yahudi mengaku bahwa mereka menemukan di dalam Taurat tertulis: 'Sesungguhnya (jarak di antara) kedua  tepi neraka jahanam itu seperti perjalanan empat puluh tahun, sampai mereka tiba di pohon Zaqqum. Mereka kemudian berkata 'Sesungguhnya kami akan disiksa sampai kami tiba di pohon Zaqqum itu.' Setelah itu neraka jahanam akan musnah dan hancur',” ujarnya.

Ia mengatakan perbedaan penjelasan tentang makna “beberapa hari saja”, ayyaman ma’dudah: datang dari penjelasan Imam Ibnu Katsir yang mengutip pendapat dari Imam Ath Thabari.

“Sementara Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat dari Imam Ath Thabari bahwa orang-orang Yahudi berkata tidak pernah disentuh api neraka melainkan hanya 40 malam saja yaitu masa mereka menyembah anak sapi,” katanya.

Kedustaan dan Kebohongan Yahudi

Guru Luthfi menuturkan, kalimat berikutnya dari ayat ini, artinya: Katakanlah. Sudahkah kalian menerima dari Allah sebuah janji. Ia pun mengutip penjelasan arti kalimat ini dari Imam Ali Ash Shabuni. “Artinya, Katakan Wahai Muhammad, dengan ingkar dan kecaman: Sudahkah Allah memberikan janji kepada kalian, jika kalian diberi oleh Allah. Ini penjelasan dari Imam Ali Ash Shabuni,” ucapnya.

Ia memaparkan penjelasan lain dari Imam Al Qurthubi terkait apakah Yahudi telah menerima janji dari Allah.
“Maksudnya (apakah kalian wahai Yahudi), telah lebih dulu melakukan amal saleh dengan beriman dan melakukan ketaatan sehingga dengan itu kalian pasti akan keluar dari dalam neraka, atau sudahkah kalian mengetahui hal itu (disiksa dalam neraka selama beberapa hari saja) melalui wahyu yang Allah janjikan kepada kalian,” tuturnya.

Diterangkan dalam lanjutan kalimat ayat tersebut, falai yukhlifal laahu ahdahuu, sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. “Sebab Allah tidak akan pernah mengingkari janji. Demikian penjelasan dari Imam Al Qurthubi,” terangnya.

Kemudian di kalimat terakhir ayat ini, am taquuluuna ‘alal laahi maa laa ta’lamuun, ataukah kalian hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui, maka penjelasan Imam Al Qurthubi bahwa Yahudi mendustakan Allah dengan mengucapkan atas nama Allah, padahal Allah belum mengatakannya.
“Atau kalian mendustakan Allah, kemudian kalian mengucapkan atas nama-Nya padahal Allah belum mengatakannya, lalu kalian menggabungkan antara kejahatan mengubah kalam Allah dan mendustakannya,” jelasnya.

Ia mengungkapkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir tentang ayat ini, Bahwa Allah SWT tidak pernah memberikan janji kepada Bani Israil bahwa mereka akan disentuh api neraka hanya beberapa hari saja. Dan itu hanya berupa kebohongan dan kedustaan atas nama Allah. “Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, ‘Akan tetapi hal ini tidak pernah terjadi (yakni janji Allah terhadap orang-orang Yahudi). Oleh karena itu dalam Firman-Nya ini Allah menggunakan kata “am” yang berarti bahkan.’ Yaitu, bahwa kalian hanya mengatakan kepada Allah apa yang kalian tidak ketahui, berupa kebohongan dan kedustaan atas nama-Nya,” inilah penjelasannya,” ungkapnya.

Guru Luthfi juga menerangkan penjelasan dari Imam Muhammad Mutawaliy Asy’ Sya’rawi terkait ayat ke 80 surat al Baqarah bahwa Allah membantah semua angan-angan Yahudi yang mempercayai tidak akan disiksa di akhirat melainkan siksaan yang ringan  dan singkat.

“Di sini, Allah Maha Kuasa mengungkapkan pemikiran manusia-manusia ini (yakni Yahudi). Iblis yang batil telah mempercantik dunia untuk mereka, membuat mereka percaya bahwa mereka telah benar-benar mendapatkan secara nyata, dan bahwa mereka telah mengambil harta dab prestise duniawi dan memenangkannya. Dan karenanya mereka tidak akan disiksa di akhirat melainkan siksaan yang ringan dan singkat,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Kamis, 07 April 2022

Kafir Istilah Syariah, KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Tak Boleh Diubah dan Dihapus

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1P4-yAc_GiF1UQ-Puy-qtzV0n1cuLpMBy

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjelaskan tidak boleh mengubah substansi makna kafir apalagi menghapusnya.

“Ghoiru Muslimin itu bisa saja digunakan untuk mengganti istilah kafir, tapi tidak mengubah apalagi menghapus istilah kafir karena itu istilah Syariah,” jelasnya pada fokus: Sebutan Kafir, Haruskah Diubah? Ahad (3/4/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Ia menjelaskan bahwa istilah syariah itu istilah-istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an atau hadis. “Istilah-istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an atau hadis itu nggak boleh diubah istilahnya. Tidak boleh diganti yang namanya Al-Qur’an atau hadis itu tetap,” jelasnya.

Menurutnya, boleh menyebut kafir dengan istilah lain misalnya ghoiru muslimin, ahlu dzimmah atau yang istilah-istilah semisalnya tapi tidak mengubah makna. Tidak disimpangkan dari maknanya. “Kalau mau dipakai istilah lain boleh, tapi tidak boleh mengubah substansi makna,” tuturnya.

Ustaz Shiddiq menjelaskan istilah kafir dalam pandangan Islam. “Sesungguhnya istilah kafir artinya sangat jelas, yaitu orang yang tak beragama Islam, atau dengan kata lain orang yang tidak beriman dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, baik dia kafir asli, seperti orang Yahudi atau Nashrani, maupun kafir murtad, yaitu asalnya muslim tapi mengingkari salah satu ajaran pokok yang dipastikan sebagai ajaran Islam, seperti wajibnya shalat, haramnya zina, haramnya khamr, haramnya riba. Orang Islam yang ingkar disebut juga kafir,” jelasnya.

Ia mengungkap banyak para ulama yang mendefinisikan kafir dengan makna yang tegas. Sebagai contoh, Syeikh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughah Al-Fuqaha bahwa “Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad SAW, atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam (seperti wajibnya sholat, haramnya zina, dll), atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.” (man laa yu`minu billahi wa laa bi muhammadin rasulillah aw man yunkira aa huma ma’lumun minal islam aw yantaqishu min maqaamillah ta’ala aw ar risalah).

Ustaz juga mengambil arti kafir dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith, yang menyebutkan, “Kafir adalah siapa saja orang yang tidak beriman kepada keesaan Allah, atau tidak beriman kepada kenabian Muhammad SAW, atau tidak beriman kepada Syariah Islam, atau tidak beriman kepada ketiga-tiganya.”

Ia membantah pendapat bahwa kafir itu adalah lawan dari iman (mukmin) dan bukan lawan dari Islam (muslim), sungguh tidak benar. Karena meski terdapat nash Al-Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kafir kebalikan dari iman, tapi ada juga nash-nash syariah yang menunjukkan kafir adalah kebalikan dari Islam (muslim).

Ia menegaskan bahwa istilah kafir itu artinya adalah non-muslim sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi muslim.”

Ia menilai persoalan yang sebenarnya sudah jelas, sekarang ini kadang-kadang menjadi kabur karena berbagai macam diskursus Barat dan orang-orang liberal yang pro Barat. Sehingga akhirnya orang-orang Yahudi dan Nasrani seakan-akan tidak kafir dengan wacana pluralisme, dialog antar agama yang merusak pemikiran umat.

Menurutnya, sekarang sebaiknya bukan melakukan pengkafiran walaupun itu sudah memenuhi syarat, tetapi lebih baik melakukan edukasi, perdebatan intelektual yang sehat. Melakukan istilahnya "mujadalah", berdiskusi secara baik. “Debatlah mereka dengan cara yang baik,” pungkasnya.[]Raras

Rabu, 06 April 2022

Ajengan YRT: Istilah Kafir dari Al-Quran, Selalu Relevan Hingga Hari Kiamat

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1hWldehhZrNT4FhGDXtKs-j1scEiwK5G3

Tinta Media - Menanggapi pernyataan yang menganggap kategori kafir tidak relevan di negara bangsa modern, Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) mengatakan bahwa istilah kafir itu adalah istilah dalam Al Qur'anul Karim, selalu relevan hingga hari kiamat.

"Apakah benar istilah kafir tidak relevan? Tidak benar. Istilah kafir adalah istilah dalam Al Qur'anul Karim dan itu akan selalu relevan sampai dengan hari kiamat nanti," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (5/4/2022).

Ia menjelaskan bahwa istilah kafir itu adalah istilah yang merupakan istilah yang digunakan oleh Allah SWT langsung dalam Al-Qur'an untuk mensifati mereka yang tidak beriman. "Siapapun yang tidak beriman maka dia adalah kafir," ujarnya.

"Dan orang-orang kafir tersebut nanti akan didakwahi, diseru untuk masuk kepada Islam, atau paling tidak, mereka diminta untuk tunduk pada kekuasaan Islam. Dan kalau mereka melakukan perlawanan secara fisik maka kekuatan fisik tersebut juga akan dilawan juga kembali dengan jihad fisabilillah," terangnya.

Ia melanjutkan bahwa istilah kafir juga mengandung hukum turunan. Ada banyak puluhan hadist yang berkaitan dengan hukum-hukum orang kafir ini. "Jadi seandainya istilah kafir dihilangkan maka sama saja dengan menanggalkan hukum-hukum yang lainnya, yang merupakan turunannya. Menanggalkan hadist-hadist lainnya yang merupakan turunannya," bebernya.

"Contoh misalnya, hukum berkaitan dengan jihad fisabilillah, hukum berkaitan dengan futuhat atau hukum berkaitan dengan Ahlu zhimmah, hukum berkaitan dengan jizyah, hukum berkaitan juga dengan status tanah. Ada usyuriyah, kharijiyah dan lain sebagainya," paparnya.

Ajengan YRT menilai bahwa pernyataan istilah kafir tidak relevan, ini merupakan satu bentuk sikap kalah kaum muslimin pada hari ini. Jadi kaum muslimin diposisikan sebagai korban. Yang selalu diposisikan pada posisi yang salah dan bersalah. "Sehingga kita harus terus berupaya mengubah untuk menyesuaikan dengan kehendak siapapun yang tidak menyukai Islam," tukasnya.

Menurutnya, awal atau alasan istilah kafir dianggap tidak relevan, itu dikarenakan istilah kafir ini bisa merusak kerukunan antar umat beragama. "Dianggap sebagai sebutan yang itu diskriminatif," jelasnya.

Kemudian, ia pun mempertanyakan anggapan bahwa sebutan kafir itu akan merusak kerukunan antar umat beragama. "Apakah benar sebutan kafir itu akan merusak kerukunan umat beragama?" tanyanya.

"Sebab tercorengnya kerukunan itu bukanlah dari pelabelan istilah kafir, justru karena sikap intoleransi," simpulnya.

Ia melihat, hanya umat Islam yang selalu dipersalahkan dan dianggap bersalah dalam hal ini. Harus meminta maaf, bahkan lebih daripada itu, "Harus mengubah istilah yang ada, yang sudah pakem, sudah paten dalam Islam," tuturnya.

Dan Islam sejak awal justru sudah menunjukkan sikap toleran yang sangat luar biasa, ketika misalnya Islam memberikan kebebasan kepada agama lain untuk beribadah, untuk memeluk akidahnya, untuk beribadah sesuai keyakinan. Ini dipersilahkan, tidak dipaksa mereka. Mereka dibiarkan dengan cara ibadahnya. "Itukan wujud toleransi yang sangat nyata dalam Islam," tegasnya.

Justru sikap-sikap intoleran yang biasa dilakukan oleh mereka yang menista agama, menista Islam, menista Nabi, itulah yang menjadi sebab dari rusaknya kerukunan antar umat beragama. "Jadi sama sekali tidak benar kalau itu diakibatkan satu sebutan dalam Al Qur'an yang bernama atau beristilah kan kafir itu," pungkasnya.[]Ajirah

Selasa, 05 April 2022

Guru Luthfi: Pendeta Yahudi Ubah Ayat demi Kepentingan Dunia

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1DHgyr_P5VEAZAHTAsYoFKwJpZp6MxNw6

Tinta Media - Pengasuh Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi, saat menjelaskan tafsir  Qur’an Surat  Al Baqarah ayat 79 mengatakan bahwa  pendeta Yahudi mengubah ayat demi kepentingan dunia.

“Kita akan merenungkan surat al-Baqarah ayat ke 79, bahwa pendeta pendeta Yahudi, mereka mengubah mengganti dan menambahi  ayat-ayat Allah demi kepentingan materi yang sedikit dan fana. Dan bagi mereka adalah siksa yang pedih,” tuturnya dalam acara Ramadhan Bersama al-Qur’an: Yahudi Mengubah ayat Demi Kepentingan Dunia, Sabtu {2/4/2022} melalui kanal Youtube Majlis Baitul Qur’an.

Guru Luthfi lalu membacakan Qur’an Surat al-Baqarah ayat 79 : Fa wailul lillażīna yaktubụnal-kitāba bi`aidīhim ṡumma yaqụlụna hāżā min 'indillāhi liyasytarụ bihī ṡamanang qalīlā, fa wailul lahum mimmā katabat aidīhim wa wailul lahum mimmā yaksibụn yang artinya maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri. Lalu mereka mengatakan ini dari Allah dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan.

“Imam Al Qurthubi dalam tafsir  Al jami' li ahkam al- Qur’an menyebutkan bahwa kata fa wailul terjadi silang pendapat diantara para ulama.  Utsman bin Affan meriwayatkan dari Nabi SAW  bahwa yang disebut dengan al-wail  adalah nama sebuah gunung yang ada di neraka,” jelasnya.  

Abu Sa'id Al Khudri, lanjutnya, meriwayatkan bahwa al-wail adalah nama sebuah lembah yang ada di neraka jahanam. Tepatnya diantara dua gunung di mana lembah itu dapat dituruni oleh seseorang dalam waktu 40 musim gugur atau 40 tahun.

“Sofyan  dan Atho bin Yasar meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan al-wail dalam konteks ini adalah sebuah lembah yang mengalirkan nanah penduduk neraka di hadapan neraka jahanam,” paparnya.

 Ia melanjutkan, az-Zahrawi meriwayatkan dari yang lain bahwa al-wail  adalah salah satu pintu neraka jahanam.  Diriwayatkan  pula dari Ibnu Abbas bahwa  alwail  adalah kesengsaraan karena siksaan. Dan menurut Sibawaih al -wail  itu digunakan bagi orang yang terjerumus dalam kecelakaan.

 “Intinya perkataan  al-wail adalah kata yang hanya diucapkan ketika berada dalam kesedihan dan hal-hal yang tidak kita sukai, sebagaimana firman Allah dalam ayat diatas,” imbuhnya.  

Guru Luthfi menjelaskan makna : Fa wailul lillażīna yaktubụnal-kitāba bi`aidīhim (Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri)  dengan mengutip  pendapat Imam Ali as -Shobuni di dalam  Shafwatut  Tafasir yang menyatakan bahwa kalimat ini maknanya adalah kehancuran dan siksaan bagi orang-orang yang mengubah Taurat. Mereka menulis ayat-ayat yang diubah tersebut dengan tangan mereka sendiri .Lalu mereka mengatakan ini dari Allah. Mereka mengatakan kepada pengikut mereka yang buta huruf yang umi bahwa yang kalian temukan ini adalah nas nas Taurat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam.  Padahal nas-nas  itu ditulis oleh Pendeta pendeta mereka dengan tangan mereka sendiri kemudian disandarkan kepada Allah SWT dengan kebohongan dan kepalsuan.

“Kalimat bi`aidīhim (dengan tangan mereka)  ini adalah merupakan penguat atau ta'kid sebab telah diketahui bahwa menulis itu hanya dengan tangan. Faedahnya  untuk menjelaskan pelanggaran mereka dan menetapkan keterangan mereka. Sebab orang yang melakukan suatu perbuatan itu lebih jelas daripada orang yang tidak melakukannya. Meskipun orang yang tidak melakukan ini mempunyai pendapat untuk melakukan perbuatan tersebut sebagaimana firman Allah SWT di dalam surat Ali Imron ayat 167, mereka mengatakan dengan mulut mulut mereka,” tandasnya.

 Imam  Al Qurthubi menjelaskan dalam ayat ini dan juga ayat sebelumnya  terdapat peringatan agar tidak melakukan pergantian, perubahan, dan penambahan terhadap syariat ini. Maka setiap orang yang melakukan penggantian, perubahan, dan penciptaan sesuatu yang baru di dalam agama Allah ini, padahal sesuatu itu bukan merupakan bagian darinya dan tidak boleh dimasukkan ke dalamnya maka ia termasuk ke dalam ancaman yang keras dan siksa yang pedih ini.

“Kalimat berikutnya adalah liyasytarụ bihī ṡamanang qalīlā (untuk memperoleh keuntungan yang sedikit)  dengan perbuatan ini. Allah mensifati perbuatan yang mereka ambil itu dengan kalimat sedikit. Hal ini  karena keuntungan itu bersifat fana dan tidak kekal.  Atau karena keuntungan itu bersifat haram.  Sebab sesuatu yang haram tidak akan mengandung keberkahan dan tidak akan berkembang di sisi Allah SWT,” jelasnya.

 Imam Al Qurthubi, lanjutnya, menjelaskan perlu diketahui bahwa para pendeta dan ulama Yahudi itu mereka mempunyai kepemimpinan dan penghasilan.  Kemudian mereka merasa khawatir jika mereka menerangkan sifat Rasulullah SAW maka mereka akan kehilangan penghasilan dan kepemimpinan mereka.

“Kemudian Allah menegaskan pada penutup ayat  fa wailul lahum mimmā katabat aidīhim wa wailul lahum mimmā yaksibụn (maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan). Menurut  satu pendapat kecelakaan itu disebabkan oleh apa yang mereka makan.  Namun menurut pendapat yang lain disebabkan oleh kemaksiatan mereka dalam hal ini Allah mengulang kata kecelakaan (fa wailul)  digunakan untuk  mengecam perbuatan mereka ,” terangnya.  

Dalam menutup tafsirnya, Guru Luthfi berharap semoga kita dijauhkan Allah dari perbuatan  seperti pendeta-pendeta Yahudi ini. Mengubah, mengganti dan menambahi ayat-ayat Allah  demi kepentingan materi yang sedikit dan  fana.  

“Karena dengannya akan mendapat kecelakaan yang besar seperti yang dialami oleh tokoh-tokoh Yahudi di atas,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Minggu, 03 April 2022

Guru Luthfi: Diantara Orang Yahudi Ada Yang Ummi, Mengada-ada tentang Taurat

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1GBhGWzUQRY4i7WWKtiRR7Ea_2A-2-ck9


Tinta Media - Pengasuh Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi menyatakan, diantara orang Yahudi ada yang ummi (buta huruf) mengada-ada tentang Taurat.

“Tafsir Al Baqarah ayat 78 membahas tentang di antara orang Yahudi ada yang ummi (buta huruf) mengada-ada tentang Taurat,” tuturnya dalam Kajian Jum’at Bersama Al-Qur’an: Tafsir Al Baqarah ayat 78: Di antara Orang Yahudi Ada Yang Ummi Mengada-ada Tentang Taurat, Jum’at (1/4/2022)di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Allah Subhanahu Wa Ta’alla berfirman: “Wa min-hum ummiyyuna lā ya’lamunal-kitāba illā amāniyya wa in hum illā yazunnun, artinya dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Alkitab yakni Taurat kecuali dongeng bohong belaka dan mereka hanya mengada-ada,” (QS Al Baqarah: 78).

Ia menerangkan bahwa Imam al-Qurthubi menjelaskan Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla. “Wa min-hum ummiyyuna, artinya dan di antara mereka ada yang buta huruf. Mereka di sini artinya dari kalangan Yahudi,”  terangnya.

Sementara ia mengungkapkan ada pendapat lain yang mengatakan, di antara orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik itu ada orang-orang yang buta huruf, maksudnya orang yang tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca.

Ia menjelaskan maksud dari ummiyyun dalam surat Al Baqarah ayat 78 adalah ummi itu yang dinisbatkan kepada umat yang ummi yakni umat yang berada pada kondisi pertama saat dilahirkan oleh umminya, oleh ibunya, umat yang tidak belajar menulis dan membaca. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam: “Sesungguhnya kami ini (kata Rasulullah) adalah umat yang buta huruf, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa berhitung,” (HR  Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasài).

Firman Allah selanjutnya, ia memaparkan, Lā ya’lamunal-kitāba illā amāniyya, artinya tidak mengetahui Alkitab yakni Taurat kecuali dongeng bohong belaka. “Lafaz illā mengandung makna lakin (لكن) artinya akan tetapi. Dengan demikian artinya adalah istisna’atau pengecualian dan pengecualian tersebut adalah istisnà munqoti’ yakni pengecualian yang pasti tanpa ada keraguan sedikit pun,” paparnya.

“Di sini artinya istisna’ yang pasti karena al-amaani’, dongeng-dongeng yang bohong. Bukanlah jenis dari Alkitab dan bukan pula termasuk dalam pengertiannya.

Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla dalam surat An Nisa ayat 157. Allah Ta’alla berfirman, artinya, mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu kecuali mengikuti persangkaan belaka. Dan dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla surat Al Hajj ayat 52, artinya, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginannya. “Artinya jika mereka membacakan suatu bacaan maka setan pun melemparkan kebohongan ke dalam bacaan-bacaan tersebut,” ujarnya.

Dalam kalimat surat Al Baqarah ayat 78, Allah berfirman, in hum illā yazunnun, artinya dan mereka hanya menduga-duga. “Artinya tidaklah apa yang mereka sangkakan kecuali hanya menduga-duga, sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’alla dalam surat Al Mulk ayat ke 20 yaitu orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam keadaan al-ghurūr atau tertipu,” lanjutnya.

Ia mengatakan, kalimat yazunnun adalah mendustakan dan menceritakan. “Yazunnun adalah mendustakan dan menceritakan, sebab mereka tidak mengetahui keautentikan apa yang mereka baca. Mereka orang-orang yang ummi dari kalangan Yahudi tersebut hanya mengikuti para pendeta mereka, apa-apa yang dibaca oleh pendeta mereka,” katanya.

Ia memaparkan penjelasan dari Imam al-Qurthubi yang mengatakan bahwa Allah menyifati para pendeta mereka (Yahudi) dengan sifat melakukan penggantian dan perubahan sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 79, artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang memilih Alkitab dengan tangan mereka sendiri.”

“Berkata para ulama kita, semoga Allah merahmati mereka, Allah menyifati para pendeta mereka, orang-orang Yahudi itu dengan sifat melakukan penggantian dan perubahan sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 79. Ketika kepemimpinan para ulama mereka buruk dan ketika mereka menghadap kepada dunia dengan keserakahan dan ketamakan. Maka mereka pun mencari-cari hal yang dapat memalingkan wajah manusia ke arah mereka,” ujarnya.

Ia kembali memaparkan bahwa para pendeta Yahudi menciptakan hal-hal baru dalam syariat mereka dan mengganti syariat mereka yang sebelumnya.

“Lalu mereka memasukkan hal-hal yang baru ke dalam Taurat, lalu mereka berkata kepada orang-orang yang bodoh yang ummi tadi dari kalangan mereka, ini adalah dari Allah, supaya orang-orang yang bodoh itu menerima hal-hal yang baru dari mereka sehingga kepemimpinan mereka pun menjadi semakin kuat dan mereka bisa mendapatkan puing-puing dan sampah dunia,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab