Tinta Media: Alam
Tampilkan postingan dengan label Alam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Alam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Desember 2022

Ahmad Sastra: Inilah Manfaat Saintifik Pembacaan Bencana Alam Secara Geologis

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menyatakan bahwa beberapa manfaat saintifik dari pembacaan bencana alam secara geologis yang harus dilakukan oleh otoritas negeri ini.

“Inilah manfaat saintifik dari pembacaan bencana alam secara geologis yang harus dilakukan oleh otoritas negeri ini sebagai ikhtiar yang terukur,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (30/11/2022).

Pembacaan gempa bumi secara geologis dan geografis ini akan memberikan manfaat saintifik dan edukatif. Ia memaparkan manfaat saintifik sebagai berikut:

Pertama, pemerintah sebaiknya memberikan edukasi gempa kepada masyarakat sejak dini dan dilakukan oleh para ahli geologis.
“Usaha edukatif ini bisa melalui proses penyadaran kepada masyarakat pada umumnya, maupun melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah maupun  perguruan tinggi dengan menjadikan tema gempa sebagai salah satu mata pelajaran,” paparnya.

Menurutnya, hal tersebut bertujuan untuk melakukan edukasi berkelanjutan bagi masyarakat dan usia dini. “Literasi gempa ini sangat penting mengingat posisi geologis negara ini,” ujarnya.

Kedua, negeri ini harus belajar dari Jepang yang telah memiliki manajemen gempa yang sangat maju. Teknologi di Jepang menghasilkan pendataan yang baik dan negara hadir cepat di saat akan terjadi gempa. “Sistem peringatan dini gempa juga harus menjadi perhatian serius otoritas wilayah yang sering terjadi gempa. Ketika bencana gempa bumi melanda Jepang, tepatnya di kawasan Prefektur Fukushima, Rabu, 16 Maret 2022 pukul 23.36 waktu setempat, sistem peringatan dini bisa berjalan dengan baik dan merata,” ungkapnya.

Ia mengatakan dengan mengirimkan sebuah tangkapan layar sebelum terjadi gempa berkekuatan 7,3 Magnitudo tersebut, sudah ada pemberitahuan dari Badan Meteorologi setempat. 

“Pemberitahuan akan terjadinya gempa itu masuk ke handphone  tiap warga 10 menit atau 5 menit sebelum terjadinya gempa. Bunyi peringatan itu mirip suara alarm sehingga warga bisa berlindung dan mencari perlindungan sejak dini,” katanya.

Ketiga, otoritas wilayah atau pemerintah harus memiliki perencanaan bangunan rumah penduduk yang tahan gempa sebagaimana dilakukan oleh otoritas Jepang.
“Dalam konstruksi bangunan di Jepang, ada tiga prinsip konstruksi agar bangunan lebih tahan terhadap gempa, antara lain struktur dengan sistem anti seismik, redaman, dan struktur seismik terisolasi,” bebernya.

Menurutnya, rumah anti gempa tersebut dibuat dengan bahan kayu, bukan tembok. Kayu memiliki kelebihan untuk mereduksi gempa sehingga bangunan tidak mudah roboh. “Rumah yang terbentuk dari kayu terlihat banyak dibuat di Jepang yang terkenal dengan negara yang kerap ditimpa musibah gempa bumi,” tuturnya.

Secara geografis, Indonesia berada di wilayah lingkaran api Pasifik atau cincin api Pasifik (ring of fire), yakni daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapu yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik, di mana merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. 

“Posisi ini secara geologis akan sangat rawan gempa bumi. Posisi geologis ini secara logika akan terus menyebabkan gempa bumi, entah kapan dan di daerah mana,” ujarnya.

Aspek Teologis

Dr. Ahmad Sastra mengatakan secara teologis, bencana alam seperti gempa yang terjadi di Cianjur memiliki dua dimensi, yakni gempa sebagai ujian dan gempa sebagai bentuk peringatan Allah bagi manusia.

“Secara saintifik gempa disebabkan pergerakan lempeng bumi, dan yang menggerakkannya adalah Allah, bahkan yang meletuskan gunung juga Allah. Peristiwa ini telah tertulis dalam catatan Allah di Lauhul Mahfudz,” tuturnya.

Ia menyatakan Firman Allah Swt. dalam Qur’an Surat An-Naml ayat 75 yakni tiada sesuatu pun yang gaib di langit dan di bumi melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz).

“Maka gempa bumi yang terjadi adalah qodho atau takdir dari Allah semata sebagai bentuk ujian bagi orang-orang beriman,” ucapnya.

Selain sebagai ujian, ia mengatakan bahwa gempa bumi juga bentuk peringatan keras dari Allah atas pelanggaran manusia..
“Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya dalam rangka memberikan peringatan kepada manusia agar kembali kepada jalan Allah dan hanya menyandarkan harapan kepada Allah,” katanya.

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan manusia kepada ketaatan hukum syariat Allah serta tidak kufur nikmat. [] Ageng Kartika

Minggu, 23 Oktober 2022

Butuh Sistem Islam untuk Antisipasi Bencana Alam

Tinta Media - Hujan dan panasnya matahari adalah rezeki yang Allah pergilirkan musimnya. Hutan nan rimbun, kokoh terpancang pohon-pohon menghijau, itu pun rezeki dari Allah untuk seluruh manusia dan hewan. Namun, manusia menebangnya satu persatu karena nafsu. Lalu, apakah pantas menyalahkan Sang Pencipta hujan?

Dini hari, musibah banjir kembali terulang. Sebanyak 18.160 warga Aceh Utara mengungsi, sebanyak 6.775 rumah terdampak, 500 hektar sawah terendam, 4 kantor pemerintahan terendam, satu gedung fasilitas kesehatan dan satu gedung sekolah terendam. (Katadata.co.id, 6/10/2022)

Tidak hanya di Aceh, banjir juga kembali terulang di Jakarta yang menelan korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa MTsN 19, Jakarta Selatan meninggal usai tembok sekolah mereka rubuh diterjang banjir. Banjir terjadi karena luapan air saluran penghubung Pinang Kalijati yang berada di belakang sekolah. (Katadata.co.id, 7/10/2022)

Ketika alam bersorak sorai menyambut hujan sebagai rahmat dari Sang Kuasa. Sangat aneh, ada sekumpulan makhluk berakal menyalahkan hujan sebagai penyebab utama bencana alam. Padahal, hujan adalah ketetapan Allah, diluar kuasa manusia. Sedangkan mengantisipasi bencana alam ada di tangan manusia.

Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Dwikorita menegaskan, intensitas curah hujan sebagai faktor pemicu banjir, bukan faktor utamanya. Sedangkan kondisi kerusakan lahan dapat berpengaruh signifikan terhadap kejadian banjir. (Liputan6.com, 8/10/2022)

Senada dengan Pakar Geografi Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Syiah Kuala, Dr. Alamsyah Taher, M.Si mengatakan ada beberapa faktor utama yang menyebabkan banjir di Aceh. Diantaranya pengalihan lahan hijau menjadi lahan yang tandus. (AJNN.net 21/12/2015)

Berdasarkan Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan (HAKA) Aceh menunjukan, dari juni 2020 hingga juli 2021, provinsi Aceh kehilangan tutupan hutan sebesar 19.443 hektar atau dalam setiap 27 menit Aceh kehilangan 1 hektar tutupan hutan. (Mongabay.co.id)

Sudah menjadi rahasia umum, faktor utama penyebab banjir adalah karena adanya perambahan hutan dan pengalihan fungsi hutan. Hutan yang semestinya berfungsi menyerap air hujan, namun setelah dialihfungsikan dengan tanaman yang tidak mampu menyerap air, sehingga menyebabkan banjir.

Mengapa Bencana Terulang?

Allah SWT berfirman yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini mengingatkan kepada kita bahwa bencana berulang agar kita menyadari bahwa tangan-tangan manusia inilah yang merusaknya. Sehingga harus ada tindakan untuk memperbaiki dan kembali kepada ketentuan Allah dalam menjaga dan melindungi alam semesta.

Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab dalam melindungi alam semesta? Tanggung jawab ini dilimpahkan kepada seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini. Hanya saja perlu komando khusus dari penguasa. Sebab penguasalah yang berhak membuat regulasi untuk dipatuhi oleh masyarakat, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Menurut Kepala BNPB, Doni Monardo, salah satu upaya yang dilakukan BNPB adalah meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui program keluarga Tangguh Bencana (Katana) yang akan dikuatkan hinga ke desa-desa. Tentu program ini tidak akan berjalan seimbang jika sistem Kapitalisme demokrasi justru melegalkan liberalisasi lahan hutan. 

Namun tidak cukup menggalakkan upaya di tengah-tengah masyarakat seperti jangan membuang sampah sembarangan, melakukan reboisasi, mengurangi penggunaan plastik, tidak membuang bahan kimia atau limbah pabrik di sungai atau di laut dan sebagainya. Seruan ini akan menjadi "anjing menggonggong kafilah berlalu" jika lifestyle masyarakat konsumtif serta liberalisasi lahan terus terjadi.

Harus Ada Kesadaran Politik

Tidak cukup hanya membangun kesadaran individu. Namun juga harus disertai kesadaran politik dalam melakukan kontrol masyarakat dan muhasabah kepada penguasa. Sehingga seruan hidup ramah lingkungan, menjaga kelestarian alam, akan sejalan dengan penerapan aturan Islam yang wajib diterapkan. Maka sangat penting mengingatkan peran penguasa agar melindungi alam dari privatisasi dan liberalisasi yang akan mengeksploitasi alam kepada korporat baik swasta maupun asing.

Pun masyarakat juga harus memiliki kesadaran agar terus mengontrol penguasa untuk menjalankan amanahnya sesuai dengan institusi. Ketika penguasa terdapat menyalahi regulasi yang di buat di dalam negara, maka ada kesadaran politik masyarakat untuk meluruskannya. Karena negara bertanggung jawab mengurusi urusan masyarakat. Bukan hanya ketika telah terjadi korban, namun harus melakukan antisipasi untuk meminimalisir korban jika musim hujan tiba.

Untuk itu, umat Islam harus memiliki kelompok agar dapat menjalankan peran politik di tengah-tengah masyarakat. Yakni melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana yang telah di wajibkan oleh Allah dalam Al Qur'an surah Ali Imran ayat: 104. Terjun dalam aktivitas politik bukan semata-mata ingin menjadi penguasa. Namun berperan dalam mengontrol dan muhasabah penguasa dalam menjalankan amanah kekuasaannya.

Solusi Tuntas

Lagi-lagi tak ada tempat lain membicarakan solusi setiap problematika umat saat ini, kecuali Islam yang sudah terbukti mampu menyolusi. Maka persoalan bencana banjir yang berulang adalah persoalan yakinkah kita pada solusi Islam atau tidak?

Islam mengatasi persoalan bencana dengan serius. Dengan memberikan pembinaan pada masyarakat bagaimana menjaga alam dengan baik dan sesuai syariat. Islam juga memberdayakan para ilmuwan dalam mengantisipasi dan mitigasi bencana agar dapat meminimalisir korban. Islam menerapkan sanksi tegas terhadap pelaku perusak hutan. Islam melarang negara memprivatisasi dan meliberalisasi SDA. 

Islam melakukan dua hal untuk menanggulangi bencana alam, yakni prefentif dan kuratif. Upaya kebijakan preventif merupakan pencegahan terjadinya bencana. Dengan melakukan aktivitas pembangunan fisik. Seperti Pembangunan kanal, tanggul, mengatur aliran sungai dan menjaga kebersihan sungai dari sampah, serta reboisasi dan lain sebagainya. 

Adapun upaya kebijakan kuratif, yakni ketika telah terjadinya bencana. Upaya yang dilakukan ketika terjadinya bencana yakni meminimalisir korban dan kerugian lainnya yang diakibatkan bencana. Caranya, dengan melakukan cepat tanggap dalam mengevakuasi korban, membuka akses jalan, memblokade banjir dan membentuk pos-pos untuk melayani kebutuhan korban bencana.

Selain itu butuh penguasa yang amanah. Penguasa yang menjalankan seperangkat aturan negara semata-mata untuk kemaslahatan umat. Penguasa amanah tidak mungkin lahir dalam perut sistem kapitalisme sekuler yang bertentangan dengan Islam. Penguasa amanah hanya dilahirkan oleh sistem Islam.

Rasulullah Saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).

Untuk itu umat Islam harus kembali menegakkan sistem Islam dalam bernegara. Membangun paradigma sesuai dengan akidah Islam pemikiran Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Dengan begitu persoalan bencana alam akan dapat dituntaskan. Wallahu A'laam bi ash shawwab.[]

Oleh: Zinnirah Abdillah 
Aktivis Intelektual Muslimah Aceh

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab