Senin, 11 September 2023
Rabu, 05 Juli 2023
Keutamaan Ilmu dalam Perspektif Al-Qur’an
Minggu, 02 Juli 2023
Kegemilangan Peradaban Itu karena Al-Qur'an dan Islam
Kamis, 13 April 2023
Al-Qur'an Pembawa Perubahan
Tinta Media - Al-Qur'an adalah kalam Allah, kitab suci umat Islam yang diturunkan pada nabi Muhammad saw. Secara emosional, Al-Qur'an saat dibaca menjadi obat bagi hati dan penawar rindu. Secara intelektual, Al-Qur'an memberikan ilmu yang mencerahkan. Secara spiritual, dengan membaca Al-Qur'an, seakan-akan kita mendengar firman Allah disampaikan bagi yang membaca atau yang mendengar.
Al-Qur'an jika diimani dapat mengubah hidup manusia dari lemah menjadi kuat, dari berahlak buruk menjadi mulia, bahkan Al-Qur'an dapat mengubah peradaban dunia jika apa yang terkandung dalam Al-Qur'an dijalankan oleh manusia.
Bulan Ramadan adalah bulan di turunkannya Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia.
Firman Allah Swt. yang artinya,
"Bulan Ramadan adalah (bulan) di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yg benar dan yang bathil)." (Qs Al-baqarah:185)
Bahkan, Al-Qur'an turun pada malam yang istimewa, yaitu malam Lailatul Qadar, yaitu malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Bahkan, pada malam itu Zibril dan malaikat lainya turun untuk mengatur semua urusan (baca QS. Al-Qadar:1-5).
Allah Swt. berfirman yang artinya,
"Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. Al-Hasyr: 21)
Imam Al-Baidhawi menafsirkan ayat tersebut, dan menyatakan bahwa Ayat ini merupakan gambaran betapa besarnya kekuasaan, kehebatan, dan pengaruh Al-Qur'an.
Jika manusia berpikir, ia akan merasa malu jika mempunyai hati keras, tidak mempunyai perasaan ingin tunduk terhadap Allah, bahkan perasaannya tak terpengaruh sedikit pun oleh Al-Qur'an, sementara gunung yang tegak dan kokoh pasti tunduk dan patuh pada Al-Qur'an.
Akan tetapi, melihat kenyataan di zaman sekarang, begitu banyak manusia yang tidak tunduk dan patuh terhadap Al-Qur'an. Hatinya mengeras. Saat Al-Qur'an dibacakan, hatinya tak bergetar, tak sedikit pun terpengaruh oleh bacaan Al-Qur'an, apalagi tergerak untuk mengamalkan dan menerapkan hukum-hukum yang ada di dalamnya, yaitu syariah Islam.
Yang ada, justru berbagai penolakan yang muncul. Islam bahkan dikerdilkan, dituduh radikalisme. Islamophobia digencarkan. Mereka tidak tahu bahwa perbuatan tersebut adalah kejahatan terhadap Al-Qur'an sebagai sumber syariah Islam.
Al-Qur'an Kunci Perubahan.
Dulu, sebelum Al-Qur'an diturunkan, begitu banyak orang Arab yang bodoh dan zalim. Kemaksiatan dilakukan. Perzinaan, perjudian, mabu-mabukan, penipuan, dan riba merajalela. Bayi-bayi dibunuh saat lahir. Perang sering kali terjadi. Bahkan, banyak yang menyembah berhala.
Akan tetapi, setelah Nabi Muhammad saw. diutus Allah dengan membawa Al-Qur'an kepada mereka dalam waktu kisaran 23 tahun, Al-Qur'an membawa perubahan pada bangsa Arab, dari gelap menjadi terang, dari kezaliman menjadi kemuliaan, dari biadab menjadi beradab.
Selama kurun waktu kurang lebih 14 abad, kaum muslimin menguasai 2/3 dunia. Pada masa peradaban Islam, para cendikiawan Barat yang jujur mengakuinya, seperti Emanuel Deutsche, cendikiawan Jerman.
Montgomery Watt menyatakan, "Bahwa peradaban di Eropa tidak dibangun melalui proses regenerasi mereka sendiri, tetapi didukung oleh peradaban Islam. Tanpa Islam, Barat bukanlah apa-apa."
Bahkan, Barack Obama pun sebagai mantan Presiden Amerika Serikat saat berpidato tanggal 5 juli 2009, menyatakan "Peradaban dunia berutang besar pada Islam."
Akan tetapi, kaum Barat tidak sedikit pula yang mengaburkan, bahkan menutup-nutupi fakta bahwa kemajuan pencapaian peradaban Islam. Kaum muslimin selama berabad-abad sepanjang era kekhilafahan, mereka menjadiakn Al-Qur'an sebagai sumber hukum dan mengatur segala aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, semua kemajuan itu berkat Al-Qur'an yang diterapkan di dalam kehidupan.
Pentingnya Kembali pada Al-Qur'an
Sebagai seorang muslim, sebaiknya kita meyakini apa-apa yang divperintahkan dalam Al-Qur'an. Segala sesuatu harus merujuk pada Al-Qur'an, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, ataupun bernegara. Ini karena Al-Qur'an merupakan pedoman manusia, khususnya umat Islam.
Akan tetapi, faktanya di zaman sekarang Al-Qur'an diabaikan. Hukum-hukumnya tidak diterapkan, sehingga kehancuranlah yang terjadi. Kemaksiatan merajarela, kemiskinan dan kelaparan di mana-mana, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan bahkan semakin ramai sekarang. L6BT dibiarkan, maka rusaklah umat manusia.
Allah Swt. berfirman yang artinya,
"Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Qs Ta-Ha: 124).
Agar bangsa ini tidak terus-menerus dalam kesempitan dan keterpurukan, maka wajib kembali pada Al-Qur'an, mengamalkan dan menerapkan seluruh hukumnya. Ini semua kita jadikan sebagai hikmah yang harus diraih pada Ramadan kali ini, supaya ragam keberkahan Allah berikan pada bangsa ini. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya:
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan".(Qs Al - Araf:96).
WalLahu'alam bi ash-shawab.
Oleh: Risna SP.
Sahabat Tinta Media
Minggu, 05 Maret 2023
Guru Luthfi: Orang yang Tetap Kafir Dilaknat Allah, Malaikat, dan Manusia
Minggu, 12 Juni 2022
Guru Luthfi: Mencegah Kaum Muslim Masuk Masjid dan Merobohkan Rumah Allah Itu Zalim
“Renungan Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat ke 114 bahwa zalim mencegah kaum muslim masuk masjid dan berusaha merobohkan rumah Allah,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Zalim! Orang yang Menghalangi Muslim Masuk Masjid, Jumat (3/6/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat,” (TQS. Al-Baqarah [2]: 114).
Guru Luthfi mengungkapkan penjelasan Ibnu Katsir bahwa terdapat perbedaan pendapat dari para ahli tafsir mengenai siapakah yang dimaksud dengan orang yang menghalangi masuk masjid Allah dan berusaha merusaknya. Diriwayatkan oleh al-Aufi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas, mereka itu orang-orang Nasrani. Mujahid pun mengemukakan, mereka itu adalah orang-orang Nasrani. “Mereka membuang berbagai kotoran ke Baitul Maqdis dan menghalangi orang-orang agar tidak mengerjakan shalat di dalamnya,” ungkapnya.
Pendapat lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “Ibnu Zaid mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menghalangi Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya untuk masuk ke kota Makkah pada saat terjadinya peristiwa Hudaibiyah sehingga beliau menyembelih kurbannya di Dzi Thuwa dan mengajak mereka berdamai,” bebernya.
Kemudian ia memaparkan penjelasan Imam Al Qurthubi makna siapa saja secara umum yang berbuat zalim.
“Menurut suatu pendapat yang dimaksud (dalam ayat ini) adalah orang-orang yang menghalangi manusia masuk ke setiap masjid sampai hari kiamat,” tuturnya.
Menurutnya pendapat inilah yang paling sahih disebabkan lafaz (dalam ayat ini) adalah lafaz yang umum, ia muncul dalam bentuk jamak.
“Oleh karena itulah, mengkhususkan lafaz ini hanya untuk sebagian masjid dan sebagian orang merupakan pendapat yang lemah,” paparnya.
Penjelasan dari Muhammad Ali Ashabuni dalam tafsir beliau Shafwatu Tafasir maknanya adalah tidak ada yang lebih zalim kecuali orang yang melakukan hal itu (menghalang-halangi orang lain untuk menyembah Allah dan berupaya menghancurkan rumah Allah). “Sebagaimana yang dilakukan oleh orang Romawi menghancurkan Baitul Maqdis, atau menghalang-halangi ibadah sebagaimana yang dilakukan kafir Quraisy,” ungkapnya.
Kembali ia menjelaskan pernyataan dari Imam Al Qurthubi yang dimaksud Baitul Maqdis dan mihrab-mihrabnya. “Menurut satu pendapat, yang dimaksud dengan masjid di sini adalah Ka’bah. Dalam hal ini kata masjid menggunakan bentuk jamak karena Ka’bah merupakan kiblat bagi masjid-masjid. Atau karena bertujuan untuk mengagungkan Ka’bah. Pendapat yang lain adalah semua masjid,” jelasnya.
Makna kalimat selanjutnya dari ayat ini, “Mereka tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah) kecuali dengan rasa takut (kepada Allah).”
Guru Luthfi menyatakan penjelasan dari Imam Al Qurthubi, “Maksudnya jika masjid-masjid Allah itu telah dikuasai oleh kaum muslim dan berada di bawah kekuasaan mereka, sehingga orang-orang kafir tidak dapat memasukinya maka tentulah mereka akan merasa takut diusir oleh kaum muslimin dan diberikan pelajaran karena akan memasukinya,” paparnya.
Kemudian ia membeberkan akhir kalimat dari ayat yang mulia ini, “Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.”
Inilah penjelasan dari Imam Ali Ash Shabuni, “Artinya orang-orang yang disebutkan di atas (orang-orang yang menghalangi muslim menyembah Allah dan berusaha merobohkan rumah-rumah Allah), adalah orang yang hina dan rendah di dunia. Dan juga akan mendapatkan siksa di neraka,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Jumat, 27 Mei 2022
Guru Luthfi: Allah SWT Membantah Klaim Hanya Ahlul Kitab yang Masuk Surga
“Dalam tafsir al-Baqarah ayat ke 111 dan 112, Allah SWT membantah angan-angan Ahlul Kitab Yahudi dan Nasrani yang mengklaim bahwa hanya mereka saja yang masuk surga,” tuturnya dalam Jumat Bersama al-Quran: Angan-angan Ahlul Kitab Hanya Mereka Masuk Surga, Jumat (20/5/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Quran.
Firman Allah SWT:
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasrani.” Demikian itu hanya angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, “Tunjukkan kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar.”
Tidak demikian bahwa barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah sedang dia berbuat kebaikan maka baginya pahala pada sisi Rabb-Nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
(Q.S. al-Baqarah, [2]: 111-112)
Ia memaparkan komentar dari Imam Ibnu Katsir terhadap ayat yang mulia ini bahwa Allah SWT menjelaskan ketertipuan orang-orang Yahudi dan Nasrani oleh apa yang ada pada diri mereka di mana setiap kelompok dari keduanya, Yahudi dan Nasrani mengaku bahwasanya tidak akan ada yang masuk surga kecuali dari pemeluk agama mereka.
“Yahudi dan Nasrani mengaku bahwasannya tidak akan ada yang masuk surga kecuali dari pemeluk agama mereka, sebagaimana yang diberitakan Allah SWT melalui firman-Nya dalam surat al-Maidah ayat ke-18, artinya bahwa mereka mengatakan, 'Kami adalah anak-anak dan kekasih Allah',” paparnya.
Ia menuturkan bahwa Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan tentang ayat tersebut. “Bahwa orang-orang Yahudi mengatakan tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi. Sebagaimana orang-orang Nasrani juga mengklaim mengatakan tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Nasrani,” tuturnya.
Ia memaparkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir bahwa pengakuan mereka (Yahudi dan Nasrani) mendapat bantahan dari Allah SWT. “Berikut ini adalah bantahan Allah Ta’ala berkenaan dengan pengakuan mereka yang tidak berdasarkan dalil, hujah, dan keterangan yang jelas,” paparnya.
Ia pun menambahkan Firman Allah, Tilka amāniýuhum artinya “Yang demikian itu hanya angan-angan mereka.”
“Abu Aliyah mengatakan artinya angan-angan yang mereka dambakan dari Allah tanpa alasan yang benar,” ucapnya.
Hal senada dikemukakan olah Qatadah dan Ar Rabi bin Anas. Sementara menurutnya Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan kalimat tersebut bahwa itu adalah khayalan dan mimpi kosong mereka.
Ia menerangkan firman Allah selanjutnya yang artinya, “Katakanlah, Tunjukkan kebenaran kalian jika kalian orang-orang yang benar.” (Q.S al-Baqarah, [2]: 111).
Penjelasan dari Imam al-Ghazali, “Katakanlah kepada mereka, wahai Muhammad, datanglah kepada-Ku bukti nyata mengenai kalian jika kalian orang-orang yang benar terhadap anggapan kalian.”
Ia menegaskan bantahan dari Allah SWT atas angan-angan mereka dan memberikan penjelasan yang sebenarnya dengan Firman-Nya, “Orang-orang yang masuk surga justru adalah orang-orang yang menyerahkan diri dan patuh, dan mengikhlaskan dirinya hanya kepada Allah.” (Q.S. al-Baqarah, [2]: 112)
“Yaitu orang-orang yang beriman, yang membenarkan Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wasalam,” tegasnya.
Ia membeberkan perkataan Abu Sa’id bin Jubair bahwa amal perbuatan yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi dua syarat, yakni:
Pertama, harus didasarkan kepada ketulusan karena Allah Ta’ala semata.
“Kedua, harus benar dan sejalan sesuai dengan syariat Allah SWT,” bebernya.
Ia berpendapat jika suatu amalan sudah didasarkan kepada keikhlasan hanya karena Allah Ta’ala.
“Namun jika tidak sesuai dan tidak benar dengan syariat maka amal itu tidak akan diterima,” ucapnya.
Kemudian ia menerangkan dari Imam Ali Ash Sabuni maksudnya adalah bahwa baginya perbuatannya, tidak ada kekhawatiran bagi mereka di akhirat, dan tidak ditimpakan kesedihan atas mereka pula di akhirat. Mereka menerima kenikmatan dan tetap tinggal di dalamnya.
Demikianlah ia memaparkan surat al-Baqarah ayat 111-112 tentang bantahan Allah atas klaim pengakuan yang mengada-ada, angan-angan bahwa hanya orang-orang Yahudi dan Nasrani semata yang masuk surga.
“Mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak mampu memberikan bukti yang bisa menjadikan pijakan keyakinan atas apa yang mereka klaim. Kemudian Allah menjelaskan mereka yang layak masuk surga yakni mereka yang beramal ikhlas dan sesuai dengan tuntunan syariat Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Minggu, 15 Mei 2022
Kiai Labib Jelaskan Siapa Sesungguhnya yang Meninggalkan Al-Qur’an
“Dr. Muhammad Ali As Shabuni dalam kitabnya At Tibyan Fi Ulumil Qur’an, beliau mengatakan, barang siapa yang tidak membaca Al-Qur'an maka sungguh dia telah meninggalkan Al-Qur'an,” tuturnya dalam acara tausiyah : Al Qur’an Sebagai Minhaj Al Hayah, Rabu (11/5/2022) melalui kanal YouTube Aspirasi News.
Kiai Labib menjelaskan, Al-Qur’an adalah petunjuk dari Allah SWT. Dari Al-Qur’an, menurutnya, manusia bisa mengetahui tentang Allah, akidah, hukum tentang halal dan haram, tentang perbuatan yang diridhoi Allah dan yang dimurkai Allah serta tentang perbuatan yang bisa menghantarkan kepada surga dan neraka. “Bagaimana mungkin orang akan bisa menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk hidupnya kalau tidak membaca? Maka, membaca ini menjadi kunci,” tegasnya.
Namun, Kiai Labib mengatakan, membaca saja tidak cukup. “Beliau (Dr. Muhammad Ali As Shabuni) mengatakan, barang siapa yang membaca Al Quran tapi tidak mentadaburi apa maknanya, apa kandungannya, apa isinya maka sungguh ia telah meninggalkan al Quran,” tambahnya.
Dijelaskan lagi oleh Kiai Labib, membaca Al-Qur’an adalah ibadah. Membaca Al Qur’an berbeda dengan membaca buku-buku atau tulisan yang lain. Menurut Kiai Labib, membaca buku akan berpahala mana kala mengerti isinya karena merupakan bagian dari talabul ilmi.
“Berbeda dengan Al-Qur’an. Sekedar membaca, dia mengerti atau tidak (isi Al Qur’an), dia tetap berpahala. Namun, tidak cukup dengan membaca. Sebab, dengan membaca belum juga membuat pelakunya mengerjakan apa yang ada di dalamnya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurutnya, jika tidak ingin disebut sebagai orang yang meninggalkan Al-Qur’an, maka harus juga mentadaburi kandungan Al Qur’an. Pun demikian, Kiai Labib kembali menjelaskan, Dr. Muhammad Ali As Shabuni mengatakan, membaca dan mentadaburi Al-Qur’an saja belum cukup tetapi juga harus diamalkan.
“Beliau katakan, barang siapa yang membacanya dan merenungi, mentadaburi isinya namun dia tidak mengerjakan apa yang ada di dalamnya, maka sungguh ia telah meninggalkan Al Quran,” ungkapnya.
Ditambahkan lagi oleh Kiai Labib, membaca itu berpahala, melakukan tadabur terhadap isi Al Qur’an juga merupakan pahala. Akan tetapi, menurutnya, mentadaburi Al Qur’an, merenungkan, mengerti serta memikirkan apa yang ada dalam Al Qur’an tidak cukup jika pada akhirnya tidak dikerjakan.
“Ketika Allah perintahkan ‘wa aqimus salata’, orang yang membaca ‘wa aqimus salata’, maka dia berpahala. Dia mengerti isinya, apa makna dari ‘aqimus salata’, maka dia berpahala. Tetapi dia tetap akan berdosa ketika dia tidak mengerjakan sholat,” tambahnya.
Demikian juga perintah Allah yang lain. Kiai Labib menyebutkan, seseorang yang membaca ayat ‘kutiba ‘alaikumus siyam’, ‘kutiba ‘alaikumul qitaal’ dan ayat lainnya maka dia berpahala. Mentadaburinya juga berpahala tapi, menurutnya, ketika tidak mau mengerjakan perintah tersebut, maka dia berdosa.
“Karena Al Qur’an bukan hanya dibaca, bukan hanya ditadaburi, tapi justru yang lebih penting adalah mengamalkannya dalam kehidupan,” pungkasnya. [] Ikhty
Tafsir QS. Al Furqon Ayat 30, Kiai Labib: Rasulullah Adukan Kaumnya yang Abaikan Al-Qur’an
“Di dalam surat Al Furqon ayat 30 Allah SWT berfirman, Dan Rasul (Muhammad) berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang diabaikan’. Sebagian ulama mengatakan bahwa perkataan Rasulullah saw dalam ayat ini akan diucapkan nanti di akherat. Beliau mengadukan kepada Allah SWT atas apa yang terjadi pada kaumnya,” tuturnya dalam acara tausiyah: Al-Qur’an Sebagai Minhaj Al-Hayah, Rabu (11/5/2022) melalui kanal YouTube Aspirasi News.
Kiai Labib lanjut menjelaskan, sebagian besar mufasir mengatakan ayat tersebut disampaikan oleh Rasulullah saat masih hidup di dunia. “Ini merupakan pengaduan Rasulullah saw atas apa yang dilakukan oleh orang-orang musrik yang menjadi kaumnya. Beliau mengadukan mereka karena saat Al Qur’an disampaikan kepada mereka, mereka mengabaikan, tidak mau mendengarkan , tidak mau menerima dan tidak mau mengimani. Lalu beliau menyampaikan, beliau mengadukan hal itu kepada Allah AWT,” imbuhnya.
Adapun bukti bahwa ayat tersebut disampaikan saat Rasulullah saw masih hidup di dunia, menurut Kiai Labib diperkuat dalam ayat berikutnya. “Di dalam ayat berikutnya, Allah swt berfirman, ‘Telah kami jadikan masing-masing nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa’. Ayat ini sebagaimana dijelaskan para ulama adalah memberikan tasniah, memberikan hiburan terhadap apa yang dialami Rasulullah saw.,” jelasnya.
Kiai Labib mengatakan, setelah Rasulullah saw menyampaikan pengadukan, Allah memberikan jawaban kepada beliau bahwa sikap yang sama tidak hanya dialami oleh kaum beliau. Kemudian dijelaskan, kaum-kaum nabi sebelumnya juga ada yang menentang, mengingkari bahkan memusuhi dakwah para nabi sebelumnya.
“Mereka yang menentang, mereka yang mengingkari, itulah ‘minal mujrimin’, mereka adalah kalangan orang-orang yang berdosa,” tegasnya.
Dari ayat ini, Kiai Labib mengatakan, Rasulullah seolah diberitahu agar beliau tidak perlu kaget, tidak perlu bersedih hati karena seperti itulah memang yang dialami nabi-nabi utusan Allah SWT. “Bahkan kemudian Allah memberikan janji kepada beliau, ‘Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan menjadi penolong,“ pungkasnya. [] Ikhty
Selasa, 26 April 2022
KH Yasin Muthohar: Ramadhan Dikenal dengan Syahrul Qur'an
Tinta Media - Mudir Ma'had Al-Abqary Serang Banten KH. Yasin Muthohar mengatakan bahwa Ramadhan dikenal dengan syahrul Qur'an.
"Ramadhan dikenal dengan syahrul Qur'an," tuturnya dalam Tausiyah Sahur: Ramadhan bulan Al Qur'an di Kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Selasa (26/4/2022).
"Karena Allah SWT berfirman: Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan Al-Qur'an di dalamnya," tambahnya.
Menurutnya, karena Ramadhan adalah bulan Al Qur'an. Maka sudah sejatinya bulan Ramadhan dimanfaatkan oleh umat Islam untuk meningkatkan interaksi dengan Al Qur'an.
"Karena Qur'an akan menjadi kemuliaan, Qur'an akan menjadi pembela bagi orang-orang yang selalu bersama-sama dengan Qur'an atau Shohibul Qur'an, atau hamilul Qur'an, hamalatul Qur'an, para pembawa Al Qur'an, orang-orang yang selalu mengemban Al Qur'an," lanjutnya.
Ia menjelaskan bahwa Al Qur'an akan menjadi kemuliaan bagi yang membacanya. "Nabi Saw, beliau bersabda: Siapa yang membaca Al Qur'an, maka dia akan mendapatkan kebaikan dengan setiap huruf yang dia baca dan satu kebaikan itu akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipatnya," jelasnya.
"Rasul bersabda: Aku tidak mengatakan Alif Lam Min itu satu huruf tetapi beliau mengatakan Alif satu huruf, Lam satu huruf, Min satu huruf. Subhanallah," paparnya.
Membaca Alif Lam Min, lanjutnya, maka akan mendapatkan 30 kali kebaikan. Kemudian Qur'an juga akan menjadi kemuliaan dengan memahami, dengan mempelajari. "Sebaik-baiknya diantara kalian adalah orang yang mempelajari Qur'an dan mengajarkan Al Qur'an," bebernya.
"Al Qur'an akan menjadi kebaikan bagi kita, ketika kita mengamalkan Al Qur'an, mendakwahkan Al Qur'an," tukasnya.
KH. Yasin Muthohar melanjutkan bahwa perumpamaan orang yang membaca Al Qur'an, mempelajari Qur'an, mengajarkan Al Qur'an, mendakwahkan Al Qur'an. Kata Nabi Saw: seperti sebuah wadah, botol yang dipenuhi dengan minyak kasturi, dimana wanginya akan semerbak, menyebar kesetiap tempat. "Luar biasa," ucapnya.
Ia mengatakan bahwa sungguh hebat, kalau menjadi manusia yang selalu bersama-sama dengan Al Qur'an yang Allah SWT turunkan di bulan Ramadhan. "Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan Ramadhan dan sekaligus keberkahan Al Qur'an," pungkasnya.[] Ajirah
Senin, 25 April 2022
Guru Luthfi: Yahudi Memusuhi Malaikat Jibril Alaihi Salam
“Merenungkan Surat Al-Baqarah ayat 97 dan 98 bahwa orang-orang Yahudi sangat memusuhi malaikat Jibril alaihi salam,” tuturnya dalam Program Ramadhan Bersama Qur’an 1443 H-#17: Yahudi Memusuhi Malaikat Jibril, Selasa (19/4/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala:
Katakanlah barang siapa menjadi musuh Jibril maka Jibril itu menurunkan Al-Qur’an ke hatimu dengan izin Allah. Membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman, (QS. Al-Baqarah, [2]: 97). Barang siapa yang memusuhi Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya , Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang -orang yang kafir, (QS. Al-Baqarah, [2]: 98).
Ia menerangkan Surat Al-Baqarah ayat ke 97 dan 98 dari pernyataan Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari yang terkenal dengan Tafsir Ath-Thabari, bahwa para ulama tafsir telah sepakat, ayat ini turun sebagai jawaban terhadap kenyataan kalangan orang-orang Yahudi dari Bani Israil yang mengaku bahwa Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Mikail adalah penolong mereka.
“Ayat ini menurut Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari menyatakan bahwa para ulama tafsir telah sepakat, ayat ini turun sebagai jawaban terhadap kenyataan orang-orang Yahudi dari Bani Israil mengaku Jibril adalah musuh mereka, sedangkan Mikail adalah penolong mereka,” terangnya.
Ia mengutip penjelasan dari Imam Al-Qurthubi tentang sebab turunnya ayat ini.
“Orang-orang Yahudi berkata dan bertanya kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam, “Tidak ada seorang nabi pun kecuali ia didatangi oleh malaikat yang membawa risalah dan wahyu dari sisi Tuhannya”. “Siapakah temanmu hingga aku harus mengikutimu?”. Beliau menjawab, “Jibril”, maka mereka berkata, “ Malaikat yang membawa pertempuran dan peperangan itu, dia adalah musuh kami, seandainya engkau menyatakan Mikail yang menurunkan hujan dan kasih sayang, niscaya kami mengikutimu,”. Maka Allah pun menurunkan ayat ini,” Jelas Guru Luthfi.
Kalimat dari Firman Allah, Katakanlah barang siapa yang menjadi musuh Jibril.
Kemudian ia mengatakan penjelasan Imam Al-Bukhari yang meriwayatkan, berkata Ikrimah, kalimat Jibr, Mika, dan Ishraf adalah hamba. Dan kata Ill adalah maknanya Allah, ini merupakan bahasa Ibrani.
Firman Allah berikutnya: Maka Jibril itu telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hatimu dengan izin Allah.
Ia memaparkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shubuni dari kalimat ayat tersebut.
“Imam Muhammad Ali Ash Shubuni menjelaskan yakni sesungguhnya malaikat Jibril Al-Amiin menurunkan Al-Qur’an ini ke dalam hatimu Muhammad Shalallahu alaihi wasalam dengan perintah Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala,” paparnya.
Kemudian ia melanjutkan keterangan dari Imam Al-Qurthubi dari ayat tersebut.
“Ayat ini menunjukkan kemuliaan Jibril alaihi salam dan celaan siapa saja yang memusuhinya,” lanjutnya.
Sementara, menurutnya, penjelasan dari Imam Ibnu Katsir tentang ayat ini, “Menjelaskan barang siapa yang memusuhi Jibril maka hendaknya ia mengetahui bahwa Jibril adalah Ruhul amin yang turun dengan membawa Al-Qur’an dari Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala ke dalam hatimu Ya Muhammad dengan izin-Nya. Ia adalah salah satu Rasul Allah dari golongan para malaikat dan barang siapa yang memusuhi Rasul, berarti ia telah memusuhi seluruh Rasul,” tuturnya.
Ia pun menambahkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir bahwa bagaimana orang yang beriman kepada salah satu Rasul maka mengharuskan ia beriman kepada seluruh Rasul. Dan bagaimana halnya dengan orang yang kufur terhadap salah seorang Rasul, berarti ia telah kufur kepada seluruh Rasul.
Kalimat berikutnya, Membenarkan apa-apa yakni kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
Ia mengungkapkan dari kalimat ayat tersebut.
“ Membenarkan apa-apa yang terdapat dalam Kitab Samawi sebelumnya, di dalamnya terdapat petunjuk yang lengkap dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman untuk ditempatkan di dalam surga,” ungkapnya.
Pada ayat ke 98, ia menyatakan bahwa Allah kembali menegaskan dalam kalimat, “Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail”.
Lalu Imam Ibnu Katsir menjelaskan kalimat barang siapa yang memusuhi-Ku, para malaikat dan para rasul-Ku.
“Yang dimaksud rasul-rasul-Nya yaitu mencangkup rasul daripada para malaikat dan dari kalangan manusia,” jelasnya.
Ia pun melanjutkan sebagaimana Firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Hajj ayat 75. Bahwa Allah memilih para rasul-Nya dari kalangan para malaikat dan dari kalangan manusia, Jibril dan Mikail.
“Kalimat ini merupakan penyambung secara khusus dari makna khusus ke makna umum karena keduanya termasuk malaikat yang dikategorikan dalam cakupan para rasul secara umum. Kemudian keduanya disebut secara khusus karena redaksi berkenaan dengan pembelaan terhadap Jibril yang merupakan duta dari Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala dan para nabi-Nya,” lanjutnya.
“Lalu Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala menyertai penyebutan Mikail karena orang-orang Yahudi mengaku bahwa Jibril sebagai musuh mereka, sedangkan Mikail sebagai penolong mereka,” ungkapnya.
Ia pun meneruskan, maka Allah Ta ‘ala berfirman, “Barang siapa yang memusuhi salah satu di antara keduanya, Jibril dan Mikail, berarti ia memusuhi yang lain juga, memusuhi Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala.
Dan kalimat terakhir dari ayat ke 98, ia menuturkan Firman Allah, Maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir. Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala menampakkan nama-Nya dengan maksud untuk menegaskan makna di atas sekaligus menjelaskan dan memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi).
“Bahwa barang siapa saja yang memusuhi wali Allah maka sesungguhnya Allah adalag musuhnya. Dan barang siapa yang memusuhinya maka akan merugi di dunia dan akhirat, Naudzubillah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika