Tinta Media: Al-Qur’an Dibakar
Tampilkan postingan dengan label Al-Qur’an Dibakar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al-Qur’an Dibakar. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Juli 2023

Penistaan Kitab Suci Al-Qur'an Berulang; Mereka yang Lancang atau Kita yang Lemah?

Tinta Media - Swedia memang dikenal sebagai negara yang menganut kebebasan berbicara secara luas, memberikan ruang bagi individu atau kelompok untuk menyampaikan pendapat, bahkan yang kontroversial. 

Banyak kelompok ekstremis memanfaatkan kebebasan itu untuk menyebarkan kebencian atau penistaan terhadap agama tertentu.

Berulangnya kasus penistaan hingga pembakaran Al-Qur'an di Swedia baru-baru ini, seolah menjadi pukulan keras yang ke sekian kalinya bagi kita, sebagai umat Islam. 

Bagaimana tidak, tepat di saat perayaan Hari Raya Idul Adha, salah satu hari suci bagi umat Islam, dengan sikap arogannya seorang warga Irak bernama Salwan Momika begitu santainya menginjak dan membakar kitab suci Al-Quran.

Masih teringat jelas peristiwa di awal tahun 2023, hal yang sama dilakukan oleh politikus sayap kanan Erasmus Paludan. 

Meskipun berbagai kecaman dan kutukan dilemparkan oleh umat Islam dari seluruh dunia, bahkan para pemimpin dari berbagai negara turut mengecam tindakan biadabnya, namun tanpa ada tindakan nyata. 

Tidak sampai satu tahun, peristiwa yang sama terulang kembali.

Pada dasarnya, menguatnya Islamofobia di berbagai negara di dunia, termasuk Swedia, adalah proyek buatan Barat dalam menghadapi kebangkitan Islam dan terulangnya kejayaan Islam seperti pada masa keemasannya dahulu.

Upaya ini telah dibangun semenjak abad pertengahan di periode Perang Salib (abad ke-11 hingga ke-13), hingga era kolonialisme, dilengkapi dengan drama 9/11 serta dibumbui peran media dan retorika politik. 

Ini kian memicu gelombang Islamofobia yang signifikan di seluruh dunia bersamaan dengan meningkatnya persepsi negatif terhadap Islam, serta diskriminasi dan kebencian terhadap muslim di banyak negara.

Umat Islam tidak boleh lupa bahwa dulu pernah memiliki seorang Khalifah Al-Mu'tasimbillah yang siap menerjunkan beribu-ribu pasukan, yang panjangnya tidak putus dari gerbang Baghdad hingga Ammuriah. 

Semua itu hanya untuk membela seorang budak wanita muslimah yang saat itu berteriak memanggil namanya ketika tentara Romawi melecehkan kehormatannya.

Atau Sultan Abdul Hamid yang mengancam Perancis dengan jihad fi Sabilillah ketika Perancis hendak memainkan drama yang melecehkan Rasulullah saw. 

Sikap tegas dan keras para khalifah dalam menghadapi para penghina Islam seperti ini juga pernah dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.

Sebab, dalam paradigma Islam, seorang imam itu laksana perisai. Sebagaimana perisai memiliki fungsi sebagai pelindung, begitu juga dengan khalifah yang menjaga Islam dari musuh-musuh yang menyerang kehormatan Islam ataupun menyakiti kaum muslimin.

Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam bukanlah orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan yang dimiliki bukan hanya ada pada pribadinya, tetapi hingga pada institusi negaranya. Sebab, pondasinya sama, yaitu akidah Islam.

Adanya negara Islam, serta kekuatan militernya menjadi momok yang sangat ditakuti oleh musuh-musuh, sebab  memiliki semangat "jihad" yang terus digaungkan kepada para serdadu militer Islam.

Oleh karena itu, sepatutnya umat Islam berpikir, jika tidak memiliki sesuatu yang ditakuti oleh musuh, seperti kekuatan politik yang mampu menyatukan umat Islam sedunia, maka musuh-musuh Islam akan terus bersikap lancang terhadap Islam. 

Sebab, mereka sadar, posisi kita saat ini lemah, tidak ada sosok Khalifah Al-Mu'tasimbillah atau Sultan Abdul Hamid di antara kita, yang akan membela kehormatan Islam dan umatnya.

Jika hanya berharap pada pemimpin-pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini, maka sia-sia saja, sebab mereka hanyalah boneka yang  bertugas untuk melayani dan menjadi agen-agen penjajah. 

Memang, jika mengingat kondisi saat ini, umat Islam lemah karena terpecah belah dalam batas teritorial yang dibangun oleh kolonial. 

Virus sekulerisme yang sangat berbahaya semakin menyebar luas, bahkan kini mulai menimbulkan infeksi di kalbu umat Islam. Ini membuat umat Islam merasa ragu akan kembali tegaknya khilafah setelah keruntuhannya.

Padahal, sudah ada hadis "bisyarah nabawiyyah" (kabar gembira kenabian) tentang akan datangnya khilafah, sebagaimana tercantum pada hadis riwayat Imam Ahmad, hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban, yang menjadi janji Allah sekaligus kabar gembira bagi umat Islam.

Sudah menjadi kewajiban bagi seorang mukmin untuk meyakini sepenuhnya, akan kembalinya umat Islam memimpin dunia, karena Allah Swt pasti menunaikan janji-janji-Nya, dan hanya orang-orang yang memiliki iman yang kokoh yang tidak ragu terhadap janji Allah Swt. 

Selain itu, wajib bagi kita untuk membenarkan adanya kabar gembira dari Rasulullah saw. dengan bersungguh-sungguh, serta mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.

Ini adalah tanggung jawab bagi kita, umat muslim seluruhnya, untuk segera menghilangkan sekat-sekat perbedaan, meninggalkan perdebatan furuiyah dan segera menyatu dalam satu mabda Islam dalam naungan negara yang berlandaskan akidah Islam. 

Ini seperti yang telah dijanjikan oleh Allah Swt, bukan hanya menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis atau hanya menunggu datangnya al-Mahdi.

Ini demi mengembalikan Islam pada esensi sesungguhnya dan mengembalikan citra Islam dan muslim sebagaimana fitrahnya, sehingga kita sebagai umat pun dapat kembali berdiri tegak dan mampu membuat keputusan politik serta memiliki peran yang penting dalam kancah internasional.

Dengan demikian, Barat beserta para pecundang yang gemar menistakan Islam itu akan pernah berpikir ribuan kali untuk menghina kehormatan Islam, umatnya, maupun kitab sucinya.

Wallahu'alam bissawab.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Rabu, 12 Juli 2023

Bablas Berekspresi Berujung Menciderai Hati

Tinta Media - Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat merupakan aktivitas yang tidak dapat dihindari saat ini. Hal ini karena kebebasan tersebut dilindungi oleh undang-undang negara. Namun, siapa sangka kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat tersebut marak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertaggung jawab.

Seperti yang dilansir pada halaman web, bahwa telah terjadi aksi pembakaran Al-Quran di negara Swedia sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Aksi ini dilakukan tepat pada saat perayaan hari raya Idul Adha 1444 H lalu. Sebelumnya, aksi pembakaran Al-Quran juga pernah dilakukan oleh politikus sayap kanan Erasmus Paludan. Alhasil, tindakan yang dilakukan oleh oknum tersebut menuai kecaman dari kaum muslimin di berbagai dunia. (CBBN.com) 5/7/23.

Insiden pembakaran kitab suci kaum muslimin sudah tidak terhitung lagi, sebab kejadian ini terus berlangsung oleh oknum yang berbeda dengan kasus yang serupa. Nahasnya, pemimpin dari negeri-negeri muslim hanya melakukan aksi kecaman. Bisa kita lihat bahwa kecaman tersebut tidak memiliki pengaruh yang signfikan sehingga insiden semacam ini terus berulang.

Melakukan aksi pembakaran kitab suci umat beragama dengan dalih kebebasan berekspresi dan berpendapat sejatinya menciderai hati para penganutnya. Insiden semacam ini semestinya mendapatkan tindakan tegas, agar tidak terjadi kembali insiden serupa. 

Banyaknya populasi kaum muslimin di dunia seharusnya mampu menuntaskan insiden-insiden serupa yang selalu ditujukan kepada kaum muslimin. 

Kita kembali menelisik sejarah Islam pada masa Turki Utsmani. Saat itu terjadi insiden penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Para seniman Perancis membuat pertunjukan berupa teater atau drama. Di sana terselip penghinaan terhadap Rasulullah saw. Berita tersebut cepat terdengar oleh Sultan Abdul Hamid (Khalifah).

Dengan sigap dan tegas, khalifah memerintahkan utusannya untuk menyampaikan kepada pemimpin perancis dan pengusung teater tersebut untuk segera menghentikan pertunjukkan mereka.

Jika pertunjukkan masih dilaksanakan, khalifah beserta pasukannya tidak segan-segan memporak-porandakan Perancis. Karena kegemilangan peradaban Islam dan kekuatan militernya yang kuat, Perancis pun tidak berani dengan kaum muslimin dan membatalkan pertunjukkan seni tersebut. wilayah-wilayah lain di luar dari kekuasaan Islam juga turut takut dan segan kepada kedaulatan Islam di masa itu.

Dari penggalan sejarah di atas, kita dapat memaknai bahwa pemimpin kaum muslimin pada masa itu bersungguh-sungguh melakukan tindak tegas dan keras dalam menyikapi pelecehan terhadap Islam dan kaum muslimin. Nyawa kaum muslimin bahkan nyawa khalifah sendiri berani digadaikan demi membela Rasulullah saw., Al-Quran, Islam, serta kaum muslimin.

Imam atau khalifah tak lain laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai. Orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. (HR. Bukhari dan Muslim). 

Hadis tersebut dapat dimaknai bahwa seorang khalifah (pemimpin) ibarat tameng karena dia mencegah musuh menyerang (menyakiti) kaum muslimin, mencegah masyarakat satu dengan yang lain dari serangan dan melindungi keutuhan Islam. Dia disegani masyarakat dan mereka pun takut dengan kekuatannya.

Apabila kita memaknai pemimpin dengan kacamata Islam, tentu kita akan menjumpai pemimpin yang benar-benar hidupnya didedikasikan hanya untuk negara dan masyarakat. Kita bisa menengok dan membuka kembali lembaran sejarah peradaban Islam bahwa begitu pentingnya peran pemimpin yang sigap, tegas, cerdas, dalam menjalankan syariat Islam di segala lini kehidupan.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Oleh: Rika Yuliana, S.IP
Aktivis Muslimah

Senin, 10 Juli 2023

Pembakaran Al-Qur’an di Swedia, UIY: Umat Islam Wajib Mengutuk

Tinta Media - Menanggapi pembakaran Al-Qur’an yang terjadi di Swedia beberapa waktu lalu, Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa umat Islam wajib mengutuk.
 
“Al-Qur’an itu sebagaimana keberadaan Nabi Saw. berada di titik yang paling sensitif pada tubuh umat Islam. Karena itu kita wajib mengutuk dan mengecam. Kecaman serta kutukan itu wajib diekspresikan secara nyata, sebab jika tidak maka umat Islam dianggap tidak peduli,” ungkapnya di acara Focus: Pembakaran Al Qur’an, Bagaimana Menghukum Swedia, melalui kanal  Youtube UIY Official Senin (3/7/2023).
 
Dalam pandangan UIY,  tindakan membakar  Al-Qur’an ini aneh. Ia mempertanyakan apa yang salah dari Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an dianggap telah menginspirasi umat Islam untuk melakukan kejahatan, terorisme, yang menimbulkan kerusakan dan kematian demikian besar, pada faktanya kerusakan itu bukan dilakukan oleh umat Islam.
 
“Hak Asasi Manusia Internasional menyatakan bahwa pelanggar HAM terbesar di muka bumi itu tidak lain adalah Amerika Serikat. Kita bisa lihat pada invasi di Afganistan kemudian invasi di Irak yang telah menewaskan jutaan manusia. Artinya merekalah yang menimbulkan kerusakan. Dan mereka melakukan itu atas inspirasi apa? Atas inspirasi agama mereka, agama Kristen yang kitab sucinya Injil,” bebernya.
 
Oleh karena itu, sambungnya, mestinya yang dibakar itu bukan Al-Qur’an tapi Injil. Hal ini, ucapnya, menunjukkan hipokrisi negara-negara Barat khususnya Swedia. Di satu sisi Barat mengagung-agungkan kebebasan tapi di sisi lain kebebasan itu hanya boleh dilakukan untuk sesuatu yang sesuai dengan kepentingannya.
 
Tidak Berulang
 
Menurut UIY, solusi yang bisa dilakukan saat ini agar pembakaran Al-Qur’an tidak berulang maka harus ada tuntutan hukum bagi pelaku. “Tuntutan hukum ini bukan mengandalkan hukum Swedia tapi harus tuntutan internasional,” imbuhnya.
 
Tuntutan hukum internasional itu, ucapnya, kurang lebih seperti tuntutan kepada Salman Rusdhie dulu bahwa Salwan telah melakukan kejahatan melawan Islam, karena itu dunia Islam memutus dia bersalah dan dihukum, menjadi buronan internasional.
 
“Itu saja, saya kira sudah menggentarkan, apalagi kalau ada pernyataan bahwa siapa saja boleh mengeksekusi keputusan ini, akan lebih menggentarkan lagi,” tukasnya.
 
Kemudian, sambungnya, kepada negara yang melindungi atau menganggap bahwa pembakaran Al-Qur’an itu legal seperti di Swedia,  harus dihukum melalui tindakan ekonomi (embargo), pemutusan hubungan diplomatik. “Dunia Islam yang berjumlah 50 negara itu jika melakukan pemutusan hubungan ekonomi, misal ekspor impor dihentikan, saya kira itu akan sangat berdampak besar,” terangnya.
 
Efektif
 
Dalam penilaian UIY berulangnya pembakaran Al-Qur’an ini, cerminan kelemahan kekuatan politik global umat Islam yang amat sangat.  
 
“Bagaimana bisa umat Islam yang jumlahnya hampir dua miliar, ini hari tak berdaya menghadapi seorang Salwan, seorang Paludan atau kalau negara, menghadapi negara kecil seperti Swedia yang penduduknya tidak terlalu besar itu,” herannya.
 
Kalau khilafah sebagai kekuatan politik global umat Islam itu ada, lanjutnya, pembakaran Al-Qur’an seperti ini tidak akan terjadi, karena khilafah mempunyai kekuatan efektif. “Khilafah itu mempunyai kekuatan efektif. Kekuatan efektif itu artinya kekuatan yang dilihat oleh mereka secara nyata,” imbuhnya.
 
Ia mencontohkan, saat Inggris dan Prancis akan menampilkan pertunjukan teater yang menghina Nabi, Sultan Abdul Hamid (sebagai khalifah) mengancam akan melancarkan jihad kepada Inggris dan Prancis.
 
“Mereka tahu persis kekuatan Khilafah Utsmaniyah. Jihad itu dikenal oleh mereka, bukan sekedar retorika, sehingga mereka menghentikan rencana pertunjukan itu. Khilafah ini yang saat ini tidak ada,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
 

PKAD: Pembakaran al-Qur’an di Swedia Akibat Islamofobia Akut dan Kebebasan dalam Demokrasi

Tinta Media - Analis Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Hanif Kristianto menilai bahwa aksi pembakaran al-Qur’an di Swedia, akibat Islamofobia akut dan kebebasan dalam demokrasi.


“Aksi pembakaran al-Qur’an di Swedia dilandasi dengan dendam permusuhan kepada umat Islam yang terus dipelihara atau Islamofobia yang begitu akut di dunia barat serta konsekuensi sistem kehidupan dan politik demokrasi Swedia yang mengagungkan kebebasan,” tuturnya dalam Kabar Petang bertajuk Swedia Kurang Ajar! di kanal Youtube Khilafah News Channel, Senin (3/7/2023).

Menurutnya, aksi penistaan terhadap al-Qur’an, Rasulullah Saw dan simbol-simbol Islam senantiasa berulang karena tidak ada ketegasan hukum selain dari kecaman.

“Kalau sekedar kecaman tapi tidak ada tindakan yang berupa penghukuman terhadap pelaku pembakaran Al-Qur’an, maka itu akan terus berulang, lalu bagaimana cara menghukumnya? Kan tidak bisa, apakah dia akan diekstradisi atau diserahkan ke otoritas, kan tidak ya. Nah, ini yang menjadi hijab atau penghalang kita untuk bisa bertindak lebih,” ungkapnya.


Hanif menjelaskan pentingnya ada Khilafah untuk melindungi kesucian dan kesakralan al-Qur’an.


“Penting sekali adanya sebuah negara yang memiliki ideologi Islam (Khilafah) serta memiliki kekuatan untuk bisa menghentikan semua aktivitas pelecehan terhadap al-Qur’an dan ajaran Islam,” jelasnya.


Ia mencontohkan sikap khalifah yang tegas mengancam untuk membatalkan pementasan drama di Eropa yang menghina Nabi Muhammad Saw.


“Kalau dahulu misalnya, beberapa negara Eropa ketika ada kekhilafahan, mau mengadakan sebuah drama tentang penghinaan pada Nabi Muhammad Saw, sudah diancam untuk dibatalkan karena ini hukuman yang berat,” sebutnya.


Menurutnya, selama belum ada Khilafah, maka berbagai peristiwa penistaan agama akan terus berulang, sehingga umat Islam harus mewujudkan Islam secara kafah dalam sebuah institusi negara dan sebagai sebuah solusi fundamental atasnya.


“Selama belum ada sebuah kepemimpinan Islam secara global yakni institusi Khilafah, maka peristiwa bisa jadi terulang kembali, karenanya kita serukan untuk betul-betul mewujudkan Islam secara kafah dalam sebuah institusi negara dan sebagai sebuah solusi fundamental atas peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi yakni penistaan agama melalui pembakaran maupun yang akan direncanakan oleh mereka yang ingin menistakan Islam dan umatnya,” bebernya.


Menurutnya, seorang muslim harus menyikapi aksi penistaan al-Qur’an dengan benar, dalam posisi sebagai individu. Mengimani al-Qur’an sebagai bagian dari rukun iman, menjaga kesucian dan kesakralannya.

"Ketika kita berada dalam sebuah jamaah organisasi, memberikan suara, misalnya dalam aksi protes bersama, melalui penandatanganan petisi atau sebuah kampanye yang memunculkan opini publik bahwa umat Islam ini masih peduli terhadap al-Qur’an dan ajaran Islam, harus disampaikan kepada penguasa juga militer untuk memutus hubungan diplomatik dengan Swedia,” pungkasnya. [] Evi


Assalamualaikum ustadz @⁨Achmad Mu’it⁩, setor SN dari link https://youtu.be/y7aUslwru78

Minggu, 09 Juli 2023

UIY : Harus Ada Tuntutan Hukum Internasional bagi Pelaku Pembakaran Al-Qur’an


Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa diperlukan tuntutan hukum internasional untuk menghukum pelaku pembakaran Al-Qur’an agar tidak kembali berulang kejadian tersebut di masa mendatang.

 

“Kepada yang bersangkutan harus ada tuntutan hukum. Artinya tuntunan hukum bukan hanya mengandalkan hukum Swedia, tentu saja harus tuntutan internasional,” ujarnya di Fokus to The Point: Pembakaran Al-Qur’an, Bagaimana Menghukum Swedia?  melalui kanal You Tube UIY Official, Senin (3/7/2023).

 

Hal tersebut disampaikan karena menurutnya akan efektif dalam menghukum pelaku pembakaran. “Tindakan efektif itu apa ukurannya? Tindakan efektif itu adalah jika dengan tindakan itu tidak terulang kejadian serupa,” tegasnya.

 

UIY kemudian mencontohkan Salman Rusdi yang dulu telah melakukan kejahatan melawan IsIam dengan bukunya Satanic Verses. Karena itu dunia Islam memutus bahwa dia bersalah dan dihukum menjadi buronan internasional.

 

Meskipun beberapa negara di Arab dan juga Turki termasuk Indonesia memprotes keras aksi pembakaran ini, namun menurut UIY itu dirasa kurang efektif. 


“Protes itu bagus. Ketika kasus Paludan membakar Al-Qur’an, ada juga protes, tapi kemudian diulang oleh Salwan. Itu menunjukkan bahwa protes yang kemarin berkenaan dengan Paludan itu tidak cukup efektif,” singgungnya.

 

Ia mengatakan, selain sosok Salwan sebagai individu yang harus dihukum, Swedia sebagai sebuah negara yang melindungi dan menganggap bahan yang ilegal, juga harus dihukum. Baik secara politik, hukum maupun ekonomi.

 

"Tindakan politik pemutusan hubungan diplomatik seluruh dunia Islam yang berjumlah lebih dari 50 negara dengan Swedia. Kemudian pemutusan hubungan ekonomi, misalnya ekspor impor dihentikan, saya kira itu akan sangat berdampak besar," imbuhnya.

 

UIY juga menyayangkan kelemahan kekuatan politik umat Islam yang jumlahnya hampir dua miliar tak berdaya menghadapi seorang Salwan dan Paludan atau sebuah negara kecil Swedia.

 

Menurutnya, jika Khilafah Islam ada seperti di era Khilafah Ustmaniyah, aksi penghinaan itu sangat bisa dicegah.


"Sangat bisa. Mengapa? Karena Khilafah itu mempunyai kekuatan efektif. Kekuatan efektif itu artinya kekuatan yang dilihat oleh mereka secara nyata, yakni jihad yang dikenal oleh mereka bukan sekedar sebagai sebuah retorika. Dan itulah yang saat sekarang ini tidak ada," pungkasnya. [] Langgeng 

Selasa, 04 Juli 2023

IJM: Pembakaran Al-Qur’an adalah Penghinaan Luar Biasa terhadap Kitabullah

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan bahwa tindakan membakar Al-Qur’an sebagai bentuk protes adalah penghinaan luar biasa terhadap kitab dari Allah subhanahu wa ta'ala, Pencipta dan Pemilik Alam Raya.

"Tindakan membakar Al-Qur’an sebagai bentuk protes adalah penghinaan luar biasa terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab dari Allah Subhanahu wa Ta'ala Pencipta dan Pemilik Alam Raya," ujarnya dalam program Aspirasi: Al Qur'an dilecehkan berkali-kali! Jumat (30/6/2023 ) di kanal Youtube Justice Monitor.

Agung mengungkapkan Al-Qur’an diturunkan di dunia sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dibawa oleh malaikat paling mulia Jibril kemudian diturunkan kepada nabi paling mulia Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

"Membacanya sebagai ibadah jika diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan ini akan menjadi kemuliaan yang luar biasa," ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Agung, sikap pemerintah Swedia yang mengizinkan Salwan Momika membakar Alquran sama saja membiarkan tindakan biadab. "Artinya merupakan kebiadaban," tegasnya.

Agung menjelaskan sikap pemerintah Swedia adalah bentuk persetujuan Swedia terhadap tindak biadab tersebut. "Siapa yang setuju kebiadaban maka dia juga biadab!" tandasnya. 

Agung menilai, alasan kebebasan berekspresi semestinya tidak membiarkan kebebasan untuk menghina dan menista Islam. "Bagi umat Islam ini harus menjadi pelajaran serius. Barat selalu menerapkan standar ganda (hipokrit)," ujarnya.

Penguasa negeri Islam, kata Agung, seharusnya marah ketika kitab sucinya dihinakan. "Jika tidak marah maka dipertanyakan keimanan mereka. Sungguh aneh orang beriman diam saja ketika kitab sucinya dihina," ungkapnya. 

Menurutnya, penguasa negeri Islam seharusnya bisa mengancam Swedia. Dunia Islam punya tentara yang kuat yang seharusnya berani untuk melawan penghinaan.

Ia mempertanyakan, Apakah bisa para penguasa dunia islam  melakukan itu? Sebab Al-Qur’an yang wajib diterapkan secara keseluruhan juga mereka abaikan sama sekali. "Bahkan mereka lebih suka menerapkan sistem dan hukum sekuler daripada hukum Al-Qur’an. Sementara penerapan totalitas hukum Al-Qur’an dianggap sebagai radikal pemecah bangsa dan sebutan buruk lainnya. Itulah sikap dari banyak dari pemimpin-pemimpin negeri muslim hari ini," ungkapnya.

Allah berfirman  dalam Al-Qur’an surat al-Furqon ayat 30," Rasulullah ( Muhammad ) berkata Ya Tuhanku Sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini diabaikan".

"Apakah seperti ini yang diharapkan? Tentu tidak. Kita menginginkan agar pemimpin-pemimpin negeri Islam yang mempunyai tentara yang hebat berani untuk melawan penghinaan ini," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Selasa, 07 Februari 2023

Ajengan Yuana: Tindakan Membakar Al-Qur’an adalah Bentuk Intoleransi yang Sangat Memalukan

Tinta Media - Menyikapi kasus pembakaran Al-Qur'an yang dilakukan oleh Paludan, Mudir Ma'had Khodimus Sunnah, Ajengan Yuana Riyan Tresna menilai bahwa hal tersebut adalah bentuk intoleransi yang memalukan.

"Tindakan membakar Al-Qur’an  adalah tindakan yang sangat memalukan. Sebuah bentuk intoleransi yang sangat memalukan, dan ini merupakan penghinaan terhadap Marwah atau kehormatan Islam dan kaum muslimin," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (3/2/2023).

Seharusnya, kata Ajengan, umat Islam itu memberikan respon marah dan tidak ridho dengan apa yang dia lakukan. Minimal harus mengutuk terhadap apa yang dia lakukan dan menuntut untuk dihukum.

Ia juga menjelaskan kasus pembakaran Al-Qur'an ini sarat akan aroma politik. Terutama ketidakharmonisan hubungannya dengan Negara Turki. "Upayanya agar bisa masuk NATO dan ketidakharmonisan hubungannya dengan Turki, itu dilampiaskan atau diekspresikan dengan membakar Al-Qur’an. Ini yang keterlaluan," cecarnya.

Karena, imbuhnya, Al-Qur’an itu bukan kitab sucinya orang Turki, bukan kitabnya negara Turki.Tindakan itu tidak ada hubungan dengan sejarah dan masalah politik terkait dengan Swedia yang ingin masuk NATO. Itu adalah kitab sucinya umat Islam dan mukjizat Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.

Terakhir, Ajengan menegaskan bahwa fenomena pembakaran Al-Qur'an adalah menyangkut akidah kaum Muslimin. "Persoalan tersebut menyangkut akidah kaum muslimin yang berkaitan dengan bagaimana seorang muslim itu menunjukkan kecintaan kepada Islam dan Alquran sebagai kitab sucinya," pungkasnya. [] Nur Salamah

Minggu, 05 Februari 2023

Al-Qur’an Dibakar, Dr. Ahmad Sastra: Islamofobia Semakin Menggila

Tinta Media - Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh Poludan berikut pernyataannya akan melakukannya setiap Jumat sampai Swedia masuk NATO, menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra hal itu menunjukkan islamofobia semakin menggila.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islamofobia semakin menggila dan tentu saja tindakan rasis yang menyakiti umat Islam sedunia. Hanya orang gila dan rasis yang nekat membakar Al-Qur’an, kitab suci, dan disucikan oleh umat Islam seluruh dunia,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/1/2023).

Ia mengkritik tindakan Poludan tersebut yang didukung oleh peraturan negara atas nama kebebasan berekspresi. “Kegilaan atas nama kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi bukan sekedar tindakan individual, namun memang diakui oleh konstitusi,” kritiknya.

Poludan merupakan satu dari ribuan orang-orang abnormal pendengki Islam dengan tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan narasi toleransi yang selama ini didengung-dengungkan di dunia Barat. Seperti homoseksual yang diklaim Barat sebagai kebebasan dalam berekspresi justru didukung sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Inilah jahatnya Barat, termasuk Swedia yang tidak melarang Poludan, bahkan aksinya dijaga oleh sejumlah polisi.

“Barat itu standar ganda dalam kebijakan politiknya. Di satu sisi mengampanyekan kebebasan berekspresi, namun jika umat Islam mengekspresikan kebebasannya untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti memakai cadar, Barat justru menuduhnya sebagai kaum radikal dan ekstrimis,” ujarnya dengan tegas.

Dr. Ahmad mengungkapkan bahwa Islamphobia ini bukan hanya berupa pembakaran Al Qur’an, tetapi sering juga terjadi berupa kriminalisasi dan diskriminasi atas muslim, serangan kepada masjid, aksi kekerasan atas muslim, pelarangan jilbab dam burdah, dan lain sebagainya.
“Dan islamphobia di Barat itu didukung oleh konstitusi negara, bahkan media-media yang ada,” ungkapnya.

Tindakan-tindakan rasis terhadap umat Islam, menurut pandangan Dr. Ahmad, terjadi karena tidaknya institusi negara, umat Islam menjadi lemah dan dilema di saat dihina oleh kaum kafir, tidak dapat melakukan tindakan apa pun kecuali hanya sebatas kecaman.

“Tiadanya institusi negara mengakibatkan umat Islam hanya bisa marah dan mengecam, namun tidak bisa melakukan tindakan hukum tegas, sebab negeri-negeri muslim juga menerapkan ideologi demokrasi sekuler yang menyewakan kebebasan dan HAM,” tuturnya.

Dr. Ahmad Sastra menegaskan seharusnya para kepala negara muslim menyadari akan islamphobia ini sebagai proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Ia mengkritisi sikap para penguasa negeri muslim yang justru mendukung propaganda Barat dengan membenci Islam dan melakukan berbagai tuduhan keji kepada ajaran Islam.

“Kepala negara akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas sikapnya di saat agama Allah ini dihina. Idealnya ada negeri muslim yang melakukan tekanan dan tindakan nyata atas penghinaan Islam ini,” tegasnya.

Sayangnya, negeri-negeri muslim justru membeberkan Barat dan tidak membela Islam bahkan tidak menerapkan hukum-hukum Islam sebagai konstitusi negaranya. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim lemah, seperti buah di lautan, bahkan seperti makanan yang diperebutkan banyak orang.

Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, penghinaan Islam itu dihukum mati oleh negara. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan siapa saja yang menghina Islam secara umum dihukum mati oleh negara Islam, baik pelakunya muslim maupun kafir.

“Tidak adanya negara Islam, menjadikan hukuman mati tidak dapat dilakukan karena konstitusinya tidak mendukung. Idealnya negeri-negeri muslim melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang menghina Islam, Allah, Rasulullah, dan Al Qur’an. Mestinya Poludan Rasmus ini dihukum mati dengan digantung di depan umum,” pungkasnya. [] Ageng Kartika









Al-Qur’an Dibakar, Dr. Ahmad Sastra: Islamofobia Semakin Menggila

Tinta Media - Peristiwa pembakaran Al-Qur’an oleh Poludan berikut pernyataannya akan melakukannya setiap Jumat sampai Swedia masuk NATO, menurut Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra hal itu menunjukkan islamofobia semakin menggila.

“Peristiwa itu menunjukkan bahwa Islamofobia semakin menggila dan tentu saja tindakan rasis yang menyakiti umat Islam sedunia. Hanya orang gila dan rasis yang nekat membakar Al-Qur’an, kitab suci, dan disucikan oleh umat Islam seluruh dunia,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (24/1/2023).

Ia mengkritik tindakan Poludan tersebut yang didukung oleh peraturan negara atas nama kebebasan berekspresi. “Kegilaan atas nama kebebasan berekspresi di negara-negara demokrasi bukan sekedar tindakan individual, namun memang diakui oleh konstitusi,” kritiknya.

Poludan merupakan satu dari ribuan orang-orang abnormal pendengki Islam dengan tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan narasi toleransi yang selama ini didengung-dengungkan di dunia Barat. Seperti homoseksual yang diklaim Barat sebagai kebebasan dalam berekspresi justru didukung sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Inilah jahatnya Barat, termasuk Swedia yang tidak melarang Poludan, bahkan aksinya dijaga oleh sejumlah polisi.

“Barat itu standar ganda dalam kebijakan politiknya. Di satu sisi mengampanyekan kebebasan berekspresi, namun jika umat Islam mengekspresikan kebebasannya untuk menjalankan ajaran agamanya, seperti memakai cadar, Barat justru menuduhnya sebagai kaum radikal dan ekstrimis,” ujarnya dengan tegas.

Dr. Ahmad mengungkapkan bahwa Islamphobia ini bukan hanya berupa pembakaran Al Qur’an, tetapi sering juga terjadi berupa kriminalisasi dan diskriminasi atas muslim, serangan kepada masjid, aksi kekerasan atas muslim, pelarangan jilbab dam burdah, dan lain sebagainya.
“Dan islamphobia di Barat itu didukung oleh konstitusi negara, bahkan media-media yang ada,” ungkapnya.

Tindakan-tindakan rasis terhadap umat Islam, menurut pandangan Dr. Ahmad, terjadi karena tidaknya institusi negara, umat Islam menjadi lemah dan dilema di saat dihina oleh kaum kafir, tidak dapat melakukan tindakan apa pun kecuali hanya sebatas kecaman.

“Tiadanya institusi negara mengakibatkan umat Islam hanya bisa marah dan mengecam, namun tidak bisa melakukan tindakan hukum tegas, sebab negeri-negeri muslim juga menerapkan ideologi demokrasi sekuler yang menyewakan kebebasan dan HAM,” tuturnya.

Dr. Ahmad Sastra menegaskan seharusnya para kepala negara muslim menyadari akan islamphobia ini sebagai proyek Barat untuk menghancurkan Islam. Ia mengkritisi sikap para penguasa negeri muslim yang justru mendukung propaganda Barat dengan membenci Islam dan melakukan berbagai tuduhan keji kepada ajaran Islam.

“Kepala negara akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas sikapnya di saat agama Allah ini dihina. Idealnya ada negeri muslim yang melakukan tekanan dan tindakan nyata atas penghinaan Islam ini,” tegasnya.

Sayangnya, negeri-negeri muslim justru membeberkan Barat dan tidak membela Islam bahkan tidak menerapkan hukum-hukum Islam sebagai konstitusi negaranya. Nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim lemah, seperti buah di lautan, bahkan seperti makanan yang diperebutkan banyak orang.

Ia mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam, penghinaan Islam itu dihukum mati oleh negara. Sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan siapa saja yang menghina Islam secara umum dihukum mati oleh negara Islam, baik pelakunya muslim maupun kafir.

“Tidak adanya negara Islam, menjadikan hukuman mati tidak dapat dilakukan karena konstitusinya tidak mendukung. Idealnya negeri-negeri muslim melakukan tindakan tegas dengan memberlakukan hukuman mati bagi siapa pun yang menghina Islam, Allah, Rasulullah, dan Al Qur’an. Mestinya Poludan Rasmus ini dihukum mati dengan digantung di depan umum,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 30 Januari 2023

Siyasah Institute: Paludan Berani Ulang Aksi Bakar Al-Qur’an karena Dua Hal

Tinta Media - Menanggapi kelakuan Politikus rasialis Swedia-Denmark Rasmus Paludan yang  berani mengulang aksi terkutuk membakar Al-Qur’an, Direktur Siyasah Institute Iwan Yanuar mengatakan disebabkan dua hal.  
 
“Rasmus Paludan berani mengulang aksi terkutuk pembakaran al-Qur'an disebabkan dua hal,” tuturnya kepada Tinta Media Jumat (27/1/2023).
 
Pertama, restu sejumlah pemerintah Barat seperti Swedia dan Denmark. "Kita tahu sejumlah negara Barat beri perlindungan aksi Islamofobia dengan alasan demokrasi kebebasan berbicara, sehingga secara hukum aksi-aksi seperti ini legal. Ingat kasus Charlie Hebdo di Prancis yang direstui hampir semua pemimpin Barat," ungkapnya. 

Kedua, Paludan itu bagian dari  gelombang Islamofobia di Barat (Eropa dan Amerika Serikat) yang terus naik. Negara seperti Inggris dan Prancis menjadi tempat tertinggi kebencian terhadap Islam. “Ada 213 insiden anti-Muslim yang tercatat di Prancis pada tahun 2021, sedangkan di Jerman ada 732 kejahatan anti-Muslim yang terdaftar di seluruh Jerman,” tukasnya.
 
Iwan menilai arus Islamofobia di Asia juga terus naik. Negara seperti Cina, Myanmar dan India paling rasis dan paling keras terhadap kaum muslimin. Bahkan di Korea Selatan ketakutan dan kebencian pada Islam juga mulai naik.
 
“Naiknya Islamofobia semenjak kampanye war on terrorism yang berlanjut pada kebijakan deradikalisasi Islam dan moderasi beragama. Jadi, masyarakat dunia, secara umum termakan umpan AS dan sekutunya sehingga menaikkan tensi Islamofobia,” paparnya.
 
Iwan menyayangkan, para pemimpin dunia Islam hanya mainkan gimmick saja terhadap kasus-kasus penistaan agama macam Paludan ini. Mereka tidak pernah berani ambil langkah nyata yang mengancam kepentingan Barat untuk menunjukkan ghirah. “Lagi-lagi, karena para pemimpin dunia Islam hakikatnya boneka Barat. Bahkan di dalam negerinya, mereka juga ikut mengkampanyekan deradikalisasi terhadap Islam. Membubarkan ormas Islam dan mengkriminalisasi ajaran Islam,” sesalnya.
 
Oleh karena itu sambung Iwan, jangan harap para pemimpin dunia Islam berani mengancam Barat dan membela kepentingan Islam dan kaum muslimin. “Umat butuh kepemimpinan sejati,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
               

Siyasah Institute: Paludan Berani Ulang Aksi Bakar Al-Qur’an karena Dua Hal

Tinta Media - Menanggapi kelakuan Politikus rasialis Swedia-Denmark Rasmus Paludan yang  berani mengulang aksi terkutuk membakar Al-Qur’an, Direktur Siyasah Institute Iwan Yanuar mengatakan disebabkan dua hal.  
 
“Rasmus Paludan berani mengulang aksi terkutuk pembakaran al-Qur'an disebabkan dua hal,” tuturnya kepada Tinta Media Jumat (27/1/2023).
 
Pertama, restu sejumlah pemerintah Barat seperti Swedia dan Denmark. "Kita tahu sejumlah negara Barat beri perlindungan aksi Islamofobia dengan alasan demokrasi kebebasan berbicara, sehingga secara hukum aksi-aksi seperti ini legal. Ingat kasus Charlie Hebdo di Prancis yang direstui hampir semua pemimpin Barat," ungkapnya. 

Kedua, Paludan itu bagian dari  gelombang Islamofobia di Barat (Eropa dan Amerika Serikat) yang terus naik. Negara seperti Inggris dan Prancis menjadi tempat tertinggi kebencian terhadap Islam. “Ada 213 insiden anti-Muslim yang tercatat di Prancis pada tahun 2021, sedangkan di Jerman ada 732 kejahatan anti-Muslim yang terdaftar di seluruh Jerman,” tukasnya.
 
Iwan menilai arus Islamofobia di Asia juga terus naik. Negara seperti Cina, Myanmar dan India paling rasis dan paling keras terhadap kaum muslimin. Bahkan di Korea Selatan ketakutan dan kebencian pada Islam juga mulai naik.
 
“Naiknya Islamofobia semenjak kampanye war on terrorism yang berlanjut pada kebijakan deradikalisasi Islam dan moderasi beragama. Jadi, masyarakat dunia, secara umum termakan umpan AS dan sekutunya sehingga menaikkan tensi Islamofobia,” paparnya.
 
Iwan menyayangkan, para pemimpin dunia Islam hanya mainkan gimmick saja terhadap kasus-kasus penistaan agama macam Paludan ini. Mereka tidak pernah berani ambil langkah nyata yang mengancam kepentingan Barat untuk menunjukkan ghirah. “Lagi-lagi, karena para pemimpin dunia Islam hakikatnya boneka Barat. Bahkan di dalam negerinya, mereka juga ikut mengkampanyekan deradikalisasi terhadap Islam. Membubarkan ormas Islam dan mengkriminalisasi ajaran Islam,” sesalnya.
 
Oleh karena itu sambung Iwan, jangan harap para pemimpin dunia Islam berani mengancam Barat dan membela kepentingan Islam dan kaum muslimin. “Umat butuh kepemimpinan sejati,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
               
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab