Tinta Media - Swedia memang dikenal sebagai negara yang menganut kebebasan berbicara secara luas, memberikan ruang bagi individu atau kelompok untuk menyampaikan pendapat, bahkan yang kontroversial.
Banyak kelompok ekstremis memanfaatkan kebebasan itu untuk menyebarkan kebencian atau penistaan terhadap agama tertentu.
Berulangnya kasus penistaan hingga pembakaran Al-Qur'an di Swedia baru-baru ini, seolah menjadi pukulan keras yang ke sekian kalinya bagi kita, sebagai umat Islam.
Bagaimana tidak, tepat di saat perayaan Hari Raya Idul Adha, salah satu hari suci bagi umat Islam, dengan sikap arogannya seorang warga Irak bernama Salwan Momika begitu santainya menginjak dan membakar kitab suci Al-Quran.
Masih teringat jelas peristiwa di awal tahun 2023, hal yang sama dilakukan oleh politikus sayap kanan Erasmus Paludan.
Meskipun berbagai kecaman dan kutukan dilemparkan oleh umat Islam dari seluruh dunia, bahkan para pemimpin dari berbagai negara turut mengecam tindakan biadabnya, namun tanpa ada tindakan nyata.
Tidak sampai satu tahun, peristiwa yang sama terulang kembali.
Pada dasarnya, menguatnya Islamofobia di berbagai negara di dunia, termasuk Swedia, adalah proyek buatan Barat dalam menghadapi kebangkitan Islam dan terulangnya kejayaan Islam seperti pada masa keemasannya dahulu.
Upaya ini telah dibangun semenjak abad pertengahan di periode Perang Salib (abad ke-11 hingga ke-13), hingga era kolonialisme, dilengkapi dengan drama 9/11 serta dibumbui peran media dan retorika politik.
Ini kian memicu gelombang Islamofobia yang signifikan di seluruh dunia bersamaan dengan meningkatnya persepsi negatif terhadap Islam, serta diskriminasi dan kebencian terhadap muslim di banyak negara.
Umat Islam tidak boleh lupa bahwa dulu pernah memiliki seorang Khalifah Al-Mu'tasimbillah yang siap menerjunkan beribu-ribu pasukan, yang panjangnya tidak putus dari gerbang Baghdad hingga Ammuriah.
Semua itu hanya untuk membela seorang budak wanita muslimah yang saat itu berteriak memanggil namanya ketika tentara Romawi melecehkan kehormatannya.
Atau Sultan Abdul Hamid yang mengancam Perancis dengan jihad fi Sabilillah ketika Perancis hendak memainkan drama yang melecehkan Rasulullah saw.
Sikap tegas dan keras para khalifah dalam menghadapi para penghina Islam seperti ini juga pernah dilakukan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.
Sebab, dalam paradigma Islam, seorang imam itu laksana perisai. Sebagaimana perisai memiliki fungsi sebagai pelindung, begitu juga dengan khalifah yang menjaga Islam dari musuh-musuh yang menyerang kehormatan Islam ataupun menyakiti kaum muslimin.
Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam bukanlah orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan yang dimiliki bukan hanya ada pada pribadinya, tetapi hingga pada institusi negaranya. Sebab, pondasinya sama, yaitu akidah Islam.
Adanya negara Islam, serta kekuatan militernya menjadi momok yang sangat ditakuti oleh musuh-musuh, sebab memiliki semangat "jihad" yang terus digaungkan kepada para serdadu militer Islam.
Oleh karena itu, sepatutnya umat Islam berpikir, jika tidak memiliki sesuatu yang ditakuti oleh musuh, seperti kekuatan politik yang mampu menyatukan umat Islam sedunia, maka musuh-musuh Islam akan terus bersikap lancang terhadap Islam.
Sebab, mereka sadar, posisi kita saat ini lemah, tidak ada sosok Khalifah Al-Mu'tasimbillah atau Sultan Abdul Hamid di antara kita, yang akan membela kehormatan Islam dan umatnya.
Jika hanya berharap pada pemimpin-pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini, maka sia-sia saja, sebab mereka hanyalah boneka yang bertugas untuk melayani dan menjadi agen-agen penjajah.
Memang, jika mengingat kondisi saat ini, umat Islam lemah karena terpecah belah dalam batas teritorial yang dibangun oleh kolonial.
Virus sekulerisme yang sangat berbahaya semakin menyebar luas, bahkan kini mulai menimbulkan infeksi di kalbu umat Islam. Ini membuat umat Islam merasa ragu akan kembali tegaknya khilafah setelah keruntuhannya.
Padahal, sudah ada hadis "bisyarah nabawiyyah" (kabar gembira kenabian) tentang akan datangnya khilafah, sebagaimana tercantum pada hadis riwayat Imam Ahmad, hadis riwayat Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hibban, yang menjadi janji Allah sekaligus kabar gembira bagi umat Islam.
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang mukmin untuk meyakini sepenuhnya, akan kembalinya umat Islam memimpin dunia, karena Allah Swt pasti menunaikan janji-janji-Nya, dan hanya orang-orang yang memiliki iman yang kokoh yang tidak ragu terhadap janji Allah Swt.
Selain itu, wajib bagi kita untuk membenarkan adanya kabar gembira dari Rasulullah saw. dengan bersungguh-sungguh, serta mewujudkan kabar gembira tersebut dengan rasa optimis sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.
Ini adalah tanggung jawab bagi kita, umat muslim seluruhnya, untuk segera menghilangkan sekat-sekat perbedaan, meninggalkan perdebatan furuiyah dan segera menyatu dalam satu mabda Islam dalam naungan negara yang berlandaskan akidah Islam.
Ini seperti yang telah dijanjikan oleh Allah Swt, bukan hanya menunggu kemenangan dengan berpangku tangan, pesimis atau hanya menunggu datangnya al-Mahdi.
Ini demi mengembalikan Islam pada esensi sesungguhnya dan mengembalikan citra Islam dan muslim sebagaimana fitrahnya, sehingga kita sebagai umat pun dapat kembali berdiri tegak dan mampu membuat keputusan politik serta memiliki peran yang penting dalam kancah internasional.
Dengan demikian, Barat beserta para pecundang yang gemar menistakan Islam itu akan pernah berpikir ribuan kali untuk menghina kehormatan Islam, umatnya, maupun kitab sucinya.
Wallahu'alam bissawab.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang