Tinta Media: Al-Baqarah
Tampilkan postingan dengan label Al-Baqarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al-Baqarah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Februari 2023

Guru Luthfi Jelaskan Makna Kalimat Istirja’

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H Luthfi Hidayat menjelaskan makna kalimat istirja’ dalam  Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 156.

“Dengan kalimat istirja’ ini, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, kita diajarkan dan dituntut, sekecil apa pun yang menimpa kita, wajib meyakininya bahwa semua itu dari Allah dan terus mengingatkan kita, suatu saat akan kembali kepada Allah,” katanya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Hakikat Makna Kalimat Istirja’, Jumat (27/1/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.
 
Dalam pandangan Islam, menurutnya bukan persoalan upaya manusia untuk menghindari musibah, namun at Islam dituntun Allah bahwa segala yang menimpa manusia hakikatnya dari Allah SWT.

“Karena musibah ini sesuatu yang memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut Allah bahwa segala yang telah menimpa kita, hakikatnya dari Allah SWT,” tuturnya.

Dan musibah terbesar adalah musibah dalam agama. Ia menjelaskan bahwa Abu Umar menyebutkan sebuah riwayat dari Al Firyabi, ia mengatakan: Fithr bin Khalifah memberitahukan dari Atha’ bin Abi Rabah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian mengalami suatu musibah maka bandingkanlag musibahnya dengan musibahku. Karena musibah yang aku alami adalah musibah yang terberat”.

Firman Allah SWT:

الَّذِين إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَا لُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّا إليهِ رَاجِعُونَ (١٥٢)

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (TQS. Al-Baqarah [2]: 156).

Imam Ali Ash Shabuni menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan pengertian orang-orang yang bersabar. Hal ini menurut Guru Luthfi senada dengan yang telah dikemukakan oleh Imam Ibnu Katsir. Firman Allah SWT:

 الَّذِين إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah”. Artinya apabila ditimpakan kepada mereka cobaan, musibah, atau sesuatu yang dibenci. 

 لُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّا إليهِ رَاجِعُونَ

“Mereka mengucapkan: ”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.

Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa Allah SWT telah menjadikan kalimat ini (innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun), sebagai tempat bernaung bagi orang mukmin yang tengah mengalami musibah dan juga penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji.

“Karena kalimat ini terdapat sekumpulan makna yang diperhatikan,” tuturnya.

Ia menerangkan sebab firman Allah “Innaa lillahi”, (sesungguhnya kami milik Allah) adalah sebuah ucapan tauhid (pengesahan Tuhan) dan kesaksian atas kepemilikan dan penyembuhan kepada-Nya.

“Sedangkan firman-Nya “wa inna lillahi raaji’uun” (dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami juga akan kembali) adalah kesaksian kita atas kepastian binasanya setiap manusia, pembangkitan dari kubur mereka, dan keyakinan bahwa setiap perkara pasti akan dikembalikan hanya kepada-Nya,” terangnya.

Imam Ibnu Katsir menerangkan kalimat istirja’ ini, yakni innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. 
“Artinya mereka menghibur diri dengan ucapan ini atas apa yang menimpa mereka dan mereka mengetahui bahwa diri mereka adalah milik Allah Ta’ala, Ia memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya,” urainya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa manusia juga mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan mereka meski hanya sebesar biji sawi pada hari kiamat kelak. 
“Dan hal itu menjadikan mereka mengakui dirinya seorang hamba di hadapan-Nya, dan akan kembali kepada-Nya kelak di akhirat,” katanya.

Ia menerangkan penjelasan musibah dari Tafsir Imam Al Qurthubi, yakni Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an. Musibah itu adalah segala yang diderita dan dirasakan oleh seorang mukmin. Dikatakan dalam lisan Arab: ashaaba-ishaabatan, mushibatan, mushaaban.

“Musibah yang kita mengatakan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun adalah perkara yang kecil hingga perkara yang besar,” ujarnya.

Sebuah riwayat dari Akramah menyebutkan bahwa pada suatu malam lentera Rasulullah SAW mendadak padam, lalu Rasulullah SAW menyebut: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kemudian Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat: “Apakah itu termasuk salah satu musibah, wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: ”Benar, setiap penderitaan yang dirasakan oleh seorang mukmin adalah sebuah musibah”.

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan kalimat istirja’ ini, umat Islam diajarkan dan dituntun, sekecil apa pun musibah yang menimpa, maka wajib meyakini bahwa itu semua dari Allah.

“Dan terus mengingatkan kita pada suatu saat akan kembali kepada Allah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Guru Luthfi Jelaskan Makna Kalimat Istirja’

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H Luthfi Hidayat menjelaskan makna kalimat istirja’ dalam  Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 156.

“Dengan kalimat istirja’ ini, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, kita diajarkan dan dituntut, sekecil apa pun yang menimpa kita, wajib meyakininya bahwa semua itu dari Allah dan terus mengingatkan kita, suatu saat akan kembali kepada Allah,” katanya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Hakikat Makna Kalimat Istirja’, Jumat (27/1/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.
 
Dalam pandangan Islam, menurutnya bukan persoalan upaya manusia untuk menghindari musibah, namun at Islam dituntun Allah bahwa segala yang menimpa manusia hakikatnya dari Allah SWT.

“Karena musibah ini sesuatu yang memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut Allah bahwa segala yang telah menimpa kita, hakikatnya dari Allah SWT,” tuturnya.

Dan musibah terbesar adalah musibah dalam agama. Ia menjelaskan bahwa Abu Umar menyebutkan sebuah riwayat dari Al Firyabi, ia mengatakan: Fithr bin Khalifah memberitahukan dari Atha’ bin Abi Rabah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian mengalami suatu musibah maka bandingkanlag musibahnya dengan musibahku. Karena musibah yang aku alami adalah musibah yang terberat”.

Firman Allah SWT:

الَّذِين إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَا لُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّا إليهِ رَاجِعُونَ (١٥٢)

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (TQS. Al-Baqarah [2]: 156).

Imam Ali Ash Shabuni menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan pengertian orang-orang yang bersabar. Hal ini menurut Guru Luthfi senada dengan yang telah dikemukakan oleh Imam Ibnu Katsir. Firman Allah SWT:

 الَّذِين إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah”. Artinya apabila ditimpakan kepada mereka cobaan, musibah, atau sesuatu yang dibenci. 

 لُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّا إليهِ رَاجِعُونَ

“Mereka mengucapkan: ”Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.

Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa Allah SWT telah menjadikan kalimat ini (innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun), sebagai tempat bernaung bagi orang mukmin yang tengah mengalami musibah dan juga penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji.

“Karena kalimat ini terdapat sekumpulan makna yang diperhatikan,” tuturnya.

Ia menerangkan sebab firman Allah “Innaa lillahi”, (sesungguhnya kami milik Allah) adalah sebuah ucapan tauhid (pengesahan Tuhan) dan kesaksian atas kepemilikan dan penyembuhan kepada-Nya.

“Sedangkan firman-Nya “wa inna lillahi raaji’uun” (dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami juga akan kembali) adalah kesaksian kita atas kepastian binasanya setiap manusia, pembangkitan dari kubur mereka, dan keyakinan bahwa setiap perkara pasti akan dikembalikan hanya kepada-Nya,” terangnya.

Imam Ibnu Katsir menerangkan kalimat istirja’ ini, yakni innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. 
“Artinya mereka menghibur diri dengan ucapan ini atas apa yang menimpa mereka dan mereka mengetahui bahwa diri mereka adalah milik Allah Ta’ala, Ia memperlakukan hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya,” urainya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa manusia juga mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amalan mereka meski hanya sebesar biji sawi pada hari kiamat kelak. 
“Dan hal itu menjadikan mereka mengakui dirinya seorang hamba di hadapan-Nya, dan akan kembali kepada-Nya kelak di akhirat,” katanya.

Ia menerangkan penjelasan musibah dari Tafsir Imam Al Qurthubi, yakni Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an. Musibah itu adalah segala yang diderita dan dirasakan oleh seorang mukmin. Dikatakan dalam lisan Arab: ashaaba-ishaabatan, mushibatan, mushaaban.

“Musibah yang kita mengatakan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun adalah perkara yang kecil hingga perkara yang besar,” ujarnya.

Sebuah riwayat dari Akramah menyebutkan bahwa pada suatu malam lentera Rasulullah SAW mendadak padam, lalu Rasulullah SAW menyebut: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kemudian Rasulullah SAW ditanya oleh seorang sahabat: “Apakah itu termasuk salah satu musibah, wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: ”Benar, setiap penderitaan yang dirasakan oleh seorang mukmin adalah sebuah musibah”.

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan kalimat istirja’ ini, umat Islam diajarkan dan dituntun, sekecil apa pun musibah yang menimpa, maka wajib meyakini bahwa itu semua dari Allah.

“Dan terus mengingatkan kita pada suatu saat akan kembali kepada Allah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Jumat, 27 Januari 2023

Al-Baqarah 155, Guru Luthfi: Keniscayaan Ujian dalam Hidup

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H Luthfi Hidayat menyatakan makna Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 155 adalah keniscayaan kehidupan yang pasti akan menghadapi ujian, dan menyikapinya dengan sabar.

“Keniscayaan adanya ujian dari Allah SWT yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tidak ada manusia yang hidup tanpa melalui ujian dan cobaan. Semua kondisi ujian ini harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Inilah makna Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 155,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Keniscayaan Ujian Dalam Hidup, Jumat (20/1/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Menurutnya, ujian yang dihadapi itu tidak mesti disukai oleh manusia, hal yang serba menyenangkan juga merupakan ujian dari Allah SWT. Untuk menghadapinya harus dengan kesabaran.
“Sabar untuk senantiasa berbuat taat dan sabar untuk selalu menghindarkan kemaksiatan kepada Allah SWT,” ujarnya.

Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوفِ وَالْجُعِ وَنَقْصٍ مِنَالْأَمْوالِ وِالْأَنْفُسِ وَالْثَّمَراتِ وَبَشِّرِ الْصَّابِرٍينَ (١٥٥)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. 

Ia mengungkapkan penjelasan secara umum maksud ayat ini dari Imam Ibnu Katsir, yakni Allah SWT memberitahukan bahwa Dia akan menguji hamba-hamba-Nya yang beriman. 
“Sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam Qur’an Surat Muhammad ayat 31 bahwa Allah SWT akan memberikan cobaan berupa sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan,” ungkapnya.

Sementara Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan maknanya bahwa sungguh Allah SWT akan memberikan cobaan dengan sesuatu yang remeh dari berbagai macam cobaan, seperti rasa takut dan kelaparan, kehilangan sebagian harta, kematian beberapa orang tercinta, dan musnahnya sebagian lahan perkebunan, dan buah-buahan.

Sedangkan Imam Al Qurthubi di dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa bala atau cobaan tersebut maksudnya ujiannya bisa saja terkadang baik atau bisa jadi juga buruk. Makna aslinya adalah ujian.
“Artinya, Allah akan menguji kamu agar terlihat siapa yang akan bersabar dan siapa yang akan menyimpang. Setelah itu barulah akan diberikan ganjaran untuk masing-masing reaksi,” jelasnya.

Ia pun menegaskan ada pendapat tentang hal ini, di mana manusia diuji dengan ujian tersebut agar dapat dijadikan pelajaran oleh orang-orang yang datang setelahnya.
“Agar mereka (manusia setelahnya) dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertindak,” tegasnya.

Ia melanjutkan pendapat lainnya bahwa manusia diberitahukan seperti ini agar menjadi yakin terhadap apa yang menimpanya. Setelah itu hati mereka pun menjadi tenang dan tidak panik dengan apa yang apa terjadi.

“Oleh karena itu di dalam ayat ini juga terdapat sebuah dalil  pemberian pahala dari Allah SWT ketika mereka di dunia dengan menetapkan kepercayaan diri dan ketenangan hati,” lanjutnya.

Ia menerangkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir yang mengemukakan bahwa ayat mulia tersebut adalah bahwa semua hal di atas dan yang semisalnya merupakan bagian dari ujian Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. “Barang siapa bersabar, maka Dia akan memberikan pahala baginya, dan barang siapa yang berputus asa karenanya, maka Dia akan menempatkan siksaan terhadapnya,” terangnya.

Oleh karena itu, Guru Luthfi menambahkan penegasan dari Firman Allah Ta’ala: وَبَشِّرِ الْصَّابِرٍينَ
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
“Bahwa Imam Al Qurthubi menjelaskan tentang pahala kesabarannya, dan pahala ini tidak terbatas dan tidak terkira,” tegasnya.

Selanjutnya Imam Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni  menjelaskan makna dari penegasan Firman Allah Ta’ala  tersebut, yakni berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar atas musibah dan cobaan, dengan balasan surga. 

Ia mengakhirinya dengan memohon kepada Allah SWT agar menolong umat untuk bersikap sabar. [] Ageng Kartika

Jumat, 09 Desember 2022

Guru Luthfi Jelaskan Keingkaran dan Penentangan Yahudi terhadap Rasulullah

Tinta Media - Memaknai Tafsir Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 145 menurut Guru Luthfi Hidayat, Pengurus Majelis Baitul Qur'an, Tapin,  yakni penjelasan Allah tentang keingkaran dan penentangan Yahudi terhadap Rasulullah Saw., kasus khusus pada ayat ini adalah arah kiblat.
 
"Makna tafsir Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 145, yakni Allah telah menjelaskan bagaimana keingkaran dan penentangan Yahudi terhadap Rasulullah Saw., di mana kasus khusus pada ayat ini adalah tentang arah kiblat," tuturnya dalam Kajian Jum'at Bersama Qur'an: Keingkaran dan Penentangan Yahudi, Jumat (2/12/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur'an.
 
Ia mengingatkan agar umat Rasulullah tidak mengikuti hawa nafsu seperti orang-orang Yahudi. "Kita harus benar-benar berpegang teguh dan bersungguh-sungguh kepada perintah Allah Swt., jika tidak maka kita termasuk orang-orang yang sangat zalim," ujarnya.

 
Firman Allah Swt.: 
 
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَما أَنْتَ بِتابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَما بَعْضُهُمْ بِتابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْواءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذاً لَمِنَ الظَّالِمِينَ (١٤٥)

Artinya:
Dan sesungguhnya jika engkau mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al-kitab semua ayat, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya engkau kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim (TQS. Al-Baqarah [2]: 145)

Di dalam tafsir Imam Ibnu Katsir telah dijelaskan maksud daripada ayat ini, bahwa Allah Swt. memberitahukan mengenai kekufuran, keingkaran, dan penentangan orang-orang Yahudi terhadap keadaan Rasulullah Saw. yang mereka ketahui.
“Dan seandainya beliau (Rasulullah Saw.) mengemukakan semua dalil yang menunjukkan kebenaran apa yang dibawa oleh beliau, niscaya mereka tidak akan mengikutinya dan tidak akan meninggalkan keinginan hawa nafsu mereka,” urainya.


Ia mengungkapkan makna kalimat dari firman Allah Swt.:
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ                                          
Dan sesungguhnya jika engkau mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu.

“Menurut Imam Muhammad Ali Ash Shabuni diterangkan maknanya, yakni demi Allah, jika engkau mendatangkan semua mukjizat atas kebenaranmu mengenai perubahan arah kiblat kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka sekali-kali mereka tidak akan mengikutimu wahai Muhammad. Mereka juga tidak akan mau beribadah mengarah kepada kiblatmu,” ungkapnya.


Sementara menurut Imam Al Qurthubi di dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa alasan mereka tidak akan mengikuti kiblat kaum muslim adalah karena mereka kafir.
“Padahal sebenarnya mereka telah ditunjukkan jalan kebenaran. Mereka seakan tidak terpengaruh dengan ayat-ayat atau tanda-tanda yang diturunkan,” ujarnya menjelaskan pendapat Imam Al Qurthubi.

Pada ayat selanjutnya, وَما أَنْتَ بِتابِعٍ قِبْلَتَهُمْ , dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Menurutnya ayat ini sebagai pemberitahuan mengenai kesungguhan dan keteguhan Rasulullah Saw. mengikuti apa yang diperintahkan Allah Swt..
“Sebagaimana mereka telah berpegang teguh pada pendapat dan hawa nafsu mereka, maka beliau pun sangat teguh berpegang pada perintah Allah Ta’ala, menaati perintah-Nya, mengikuti keredaan-Nya, serta beliau tidak akan mengikuti hawa nafsu mereka dalam segala hal,” tuturnya.

Ia menjelaskan ayat selanjutnya, ,بَعْضُهُمْ بِتابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ dan sebagian dari mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain.
“Artinya, sesungguhnya orang-orang Nasrani tidak akan mengikuti kiblat orang Yahudi, demikian pula orang Yahudi tidak akan mengikuti kiblat orang Nasrani,” jelasnya.
“Sebab di antara keduanya terjadi permusuhan dan perbedaan yang mencolok, walaupun keduanya adalah keturunan Bani Israil,” lanjutnya.

Guru Luthfi meneruskan akhir dari ayat ini di mana Allah kembali mengingatkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka (Yahudi dan Nasrani).
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْواءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ                                              
Dan sesungguhnya jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu.
“Artinya, dan sungguh jika engkau diperkirakan mengikuti hawa nafsu dan  keinginan mereka, setelah tampak jelas bukti-bukti yang datang kepadamu melalui wahyu,” ucapnya. 
إِنَّكَ إِذاً لَمِنَ الظَّالِمِينَ                                                                            
Sesungguhnya engkau kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.
“Artinya, kamu termasuk orang yang melakukan kezaliman yang paling keji,” ujarnya.

Kalimat ini merupakan merupakan kategori agitasi untuk menetapkan perkara yang benar.
“Kalimat ini muncul secara spekulatif, jika tidak, dan Allah menghindarkan Muhammad Saw. dari mengikuti keinginan orang kafir yang durhaka,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Sabtu, 29 Oktober 2022

Guru Luthfi: Shibghah atau Celupan Islam Kini Diwarnai Shibghah Sekularisme


Tinta Media - Pengasuh  Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat mengkritik sikap muslim kini yang shibghah atau celupan Islamnya telah diwarnai shibghah sekularisme. 

“Saat ini kaum muslimin menghadapi tantangan shibghah atau celupan lain, yang tidak jarang celupan lain itu justru yang berbekas dalam kehidupan keseharian mereka, yakni shibghah sekularisme,” kritiknya dalam Kajian Jumat Bersama Al Qur’an: Shibghatallah/Celupan Allah, Jumat (21/10/2022) dikanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Dalam ayat 138 dari Qur’an Surat Al Baqarah ini memggunakan metode isti'arah (peminjaman makna) dalam pengungkapannya. Balaghah yang sangat pas dan luar biasa untuk menggambarkan bagaimana sejatinya atsar (bekas/pengaruh) keimanan seorang muslim. 

Menurutnya, makna tentang shibghatallah atau celupan Allah teramat penting jika dikaitkan dengan kondisi seorang muslim saat ini. Ia mempertanyakan sikap seorang muslim dalam kesehariannya apakah sudah sesuai dengan Islam atau tidak. 
“Apakah shibghah atau celupan Islam itu sudah benar-benar membekas pada seorang muslim? Bekas celupan itu apakah terlihat pada sikap hidup dia dalam berbagai kehidupan?” tanyanya. 

Ia mengungkapkan bahwa shibghah sekularisme merupakan sebuah celupan yang menjadikan seorang muslim memiliki warna yang tidak sesuai dengan keimanannya.

“Warna keimanan mereka hanya terlihat di ibadah mahdah semata, di masjid dan mushala. Namun dalam berekonomi, dalam bersosial ke masyarakat, dalam berpolitik, dan lain sebagainya, nyaris pengaruh dari celupan Islam kian memudar,” ungkapnya. 

Ia mengingatkan bahwa paham sekuler harus dijauhkan dari keimanan dan keseharian hidup kaum muslim. “Karena paham sekuler bukan shibghah atau celupan Allah. Dan ia bukan celupan yang baik,” ucapnya. 

Firman Allah Swt.:
 صَنْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صَبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَا بِدُونَ                        
Artinya:
“Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada shibghah Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah.” (TQS. Ak Baqarah [2]: 138) 

Guru Luthfi menjelaskan  makna bahasa dari kalimat Shibghah Allah, صَنْغَةَ اللَّهِ  , dalam tafsir Imam Muhammad Ali Ash Shabuni yaitu Shafwatu Tafasir.  “Shibghah diambil dari kata 'As Shabghi', yakni perubahan sesuatu dengan warna, maksudnya di sini adalah ad diin (agama),” jelasnya. 

Ia pun mengatakan penjelasan dalam tafsir Imam Ibnu katsir tentang shibghah Allah. Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yaitu agama Allah. Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abu Al-Aliyah, Ikrimah, Ibrahim, Hasan Al-Bashri, Qatadah, Abdullah bin Katsir, Athitah Al-Aufi, Rabi' bin Anas, as-Suddi, dan lain-lainnya. 

“Penggunaan Shibghatullah ini dimaksudkan sebagai dorongan (semangat) seperti yang terdapat dalam firman-Nya, Fitratallah, maksudnya hendaklah kalian berpegang teguh kepadanya,” katanya. 

Imam Muhammad Ali Ash Shabuni memberikan keterangan yang sangat memesona dari sisi balaghah kalimat Shibghah Allah. 

“Agama disebut sebagai “shibghah” atau celupan, (disebut Al Qur’an dengan metode) isti'arah (peminjaman kata) karena orang yang beriman akan tampak keistimewaannya sebagaimana bekas celupan yang tampak pada pakaian,” bebernya. 

Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan makna kalimat ini
صَنْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صَبْغَةً                           
Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada shibghah Allah?
“Artinya sesuatu yang menjadi keimanan (sesuatu yang menjadi keyakinan), yakni agama Islam. Shibghah Allah yakni celupan Allah, artinya 'warna' keimanan kepada Allah,” ujarnya. 

Guru Luthfi melanjutkan penjelasan makna tersebut bahwa Allah telah mencelupkan kepada agama-Nya maka ia (celupannya) akan tampak bekasnya pada kami, sesuatu yang dicelupkan tampak pada pakaian. 
“Dan tidak seorang pun yang lebih baik agamanya daripada agama Allah,” lanjutnya. 

Ia mengatakan Kalimat terakhir dari ayat yang mulia ini, وَنَحْنُ لَهُ عع بِدُونَ
Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah. 
“Artinya kami hanya menyembah Allah Swt., dan kami tidak menyembah sesuatu pun selain Dia,” katanya. 

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan kepada kaum muslim, sejatinya keimanan itu harus tercermin dan berbekas dalam kehidupan keseharian.

“Sebagai konsekuensi yang telah diikrarkan oleh kaum muslim dalam salat, bahwa salat, ibadah, hidup, dan mati hanya untuk Allah semata,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 04 Oktober 2022

Tafsir Al-Baqarah ayat 135, Guru Luthfi: Bantahan Allah atas Klaim Kebenaran Ahlul Kitab yang Tanpa Dalil

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menegaskan Allah  menentang klaim kebenaran Ahlul Kitab yang tanpa dalil dalam Al-Baqarah ayat 135.

“Ayat yang mulia ini (Al-Baqarah: 135) merenungkan tentang bantahan Allah atas klaim kebenaran Ahlul Kitab yang tanpa dalil bahwa seolah petunjuk kebenaran itu ada pada mereka,” tegasnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Bantahan Allah atas Klaim Kebenaran Ahli Kitab, Jum’at (30/9/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt. dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 135:

وَقَالُواكُونُواهُوداً أَوْنَصَارىتَهْتَدُواقُلْ بَلْ مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ حَنِفاًوَمَاكِان مِنَ الْمُشْرِكِين

Artinya:
Dan mereka berkata: “Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik. 

Allah menerangkan tentang klaim-klaim Ahlul Kitab yang batil, di antaranya tentang klaim petunjuk yang hanya didapatkan para penganut agama Yahudi dan Nasrani. Ia mengungkapkan bahwa Allah menjelaskan klaim-klaim itu tidak berdasarkan dalil. 
“Bahkan semua itu hanyalah pengingkaran dan pembangkangan. Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa agama yang benar adalah agama Islam semata, agama para Nabi dan Rasul,” ungkapnya. 

Ia memaparkan munasabah (kesesuaian ayat) ini dengan ayat sebelumnya yang dijelaskan oleh Imam Muhammad Ali Ash Shabuni.

“Ketika Allah menjelaskan bahwa agama Ibrahim adalah agama hanif, dan barang siapa yang tidak beriman dan benci kepadanya maka dia sampai pada puncak tertinggi kebodohan dan kerendahan diri,” paparnya. 

Guru Luthfi mengemukakan penjelasan latar belakang ayat ini dalam tafsir Imam Ibnu Katsir.

“Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mengatakan seorang tokoh Yahudi, Abdullah bin Shuriya al-'A'war pernah berkata kepada Rasulullah Saw., “petunjuk itu tidak lain adalah apa yang menjadi pegangan kami, karena itu, hai Muhammad, ikutilah kami, niscaya engkau mendapat petunjuk,” ujarnya. 

Demikian dengan orang-orang Nasrani juga mengatakan hal yang sama kepada Rasulullah Saw., maka Allah Swt. menurunkan firmannya:

وَقَالُواكُونُواهُوداً أَوْنَصَارىتَهْتَدُو

Dan mereka berkata: “Hendaklah kalian menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk”.
Makna dari firman tersebut menurut Imam Ali Ash Shabuni adalah orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa dengan menganut agama mereka (Yahudi dan Nasrani) maka akan mendapat petunjuk. 

“Kedua kelompok agama ini sejatinya mengajak ke agamanya yang menyimpang,” bebernya. 

Ia pun menegaskan bahwa Allah membantah klaim Yahudi dan Nasrani dengan kalimat berikutnya:

قُلْ بَلْ مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ حَنِفاً

Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. 
“Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna kalimat ini, artinya kami tidak mau mengikuti apa yang kalian serukan, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, tetapi sebaliknya kami mengikuti Milah Ibrahim yang lurus,” tegasnya. 

Lalu ia melanjutkan tentang makna dari kalimat: مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ ححَنِفا
Secara bahasa makna hanif dijelaskan oleh Imam Ali Ash Shabuni. 
“Al hanif artinya beralih dari agama batil ke agama benar (al haq),” ucapnya. 

Sedangkan makna senada dikemukakan oleh Imam Al Qurthubi dalam tafsir beliau Al Jami' li Ahkamil Qur’an.
“Arti hanif, yakni yang berpaling dari agama yang tidak disukai kepada kebenaran (agama Ibrahim),” ujarnya. 
Menurut Imam Al Qurthubi bahwa Ibrahim dinamakan hanif karena ia condong kepada agama Allah, yaitu Islam. 

Ia mengungkapkan makna hanif dalam tafsir Ibnu Katsir yang artinya lurus. 
“Demikian dikatakan Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi dan Isa bin Jariyah bahwa diriwayatkan oleh Khushaif dari Mujahid yang mengatakan hanif berarti ikhlas,” ungkapnya. 

Ia melanjutkan arti hanif menurut riwayat dari Ibu Abbas adalah mengerjakan ibadah haji. Demikian juga yang diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, adh-Dhahhak, Athiyyah, dan as-Suddi. 
“Pendapat dari Mujahid dan Rabi' bin Anas arti hanif ialah mengikuti, sedangkan Abu Qilabah mengatakan artinya orang yang beriman kepada para rasul secara keseluruhan, dari pertama hingga yang terakhir,” lanjutnya. 

Guru Luthfi menguraikan kesimpulan yang sangat tegas dikemukakan oleh Imam Ali Ash Shabuni dari kalimat: 

قُلْ بَلْ مِلَّةَإِبْرَاهِيمَ حَنِفاًوَمَاكِان مِنَ الْمُشْرِكِين

Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang yang musyrik. 

“Tapi katakanlah wahai Muhammad: “Kami hanya mengikuti agama hanif, yaitu agama Ibrahim. Agama-agama lain adalah menyimpang, dan Ibrahim tidaklah termasuk orang musyrik bahkan dia adalah orang beriman yang mengesakan Allah,” urainya. 
Kalimat di atas adalah kalimat penentang terhadap Ahli Kitab dan memberitakan bahwa mereka adalah orang-orang musyrik yang sesat. 

Demikianlah ayat mulia ini, ia mengakhirinya dengan penjelasan Allah bahwa Nabi Ibrahim sungguh berada pada millah yang lurus, mengesakan Allah, dan condong pada Islam. 
“Merekalah hakikatnya yang musyrik dan dhalal. Semoga kita dan keluarga kira dijauhkan dari kemusyrikan dan jalan kesesatan. Aamiin Yaa Robbalamiin,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Jumat, 26 Agustus 2022

Tafsir Al-Baqarah 128, Guru Luthfi: Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail Ajarkan Doa untuk Umat dan Keturunannya

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menyatakan renungan Tafsir Surat Al-Baqarah ayat ke 128 menjelaskan Nabi Ibrahim alaihi salam (as) bersama Nabi Ismail alaihi salam (as) yang mengajarkan doa untuk umat dan keturunannya.

“Dalam ayat mulia ini, Khalilullah Ibrahim As bersama Nabi Ismail As mengajarkan doa untuk umat dan keturunannya,” tuturnya dalam Kajian Jum'at Bersama Al Qur’an: Doa Nabi Ibrahim Untuk Umat dan Keturunannya, Jum’at (19/8/2022) di kanal YouTube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat ke 128, yakni:

بسم الله الرحمن الرحيم: رَبَّنا وَاجْعَلْنا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنا مَناسِكَنا وَتُبْ عَلَيْنا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, serta terimalah taubat kami. Engkaulah Yang Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Baqarah, [2]: 128)
Ia menguraikan penjelasan Imam Al Qurthubi dalam Tafsir beliau al Jaami' li Ahkamil Qur’an dari kalimat:
                                       رَبَّنا وَاجْعَلْنا مُسْلِمَيْنِ لَكَ

Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu. 

“Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim (dan Nabi Ismail memohon ketetapan dan konsisten (kepada Allah),” ucapnya.
Selanjutnya dijelaskan tentang maksud Islam (مسلماين). “Dalam ayat ini maksudnya adalah keimanan dan amal shalih. Contohnya dalam Firman Allah Swt. dalam Surat Ali Imran ayat 19, bahwa sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam. Maka dalam ayat ini terkandung dalil bagi orang-orang yang mengatakan iman dan Islam adalah perkara yang sama,” rincinya. 

Sementara menurut pendapat Ibnu Abi Hatim, meriwayatkan dari Abdul Karim, makna muslimaini, artinya tulus ikhlas karena-Mu.
Ia mengungkapkan pendapat Ibnu Katsir, mengutip pendapat dari Ibnu Jarir maksud dari Nabi Ibrahim As. dan Nabi Ismail As. atas doanya. 

“Maksud mereka berdua adalah, 'Ya Allah, jadikanlah kami orang yang patuh kepada perintah-Mu, tunduk menaati-Mu, serta tidak menyekutukan-Mu dengan seorang pun di dalam ketaatan dan ibadah kami',” ungkapnya.
Firman Allah Swt. berikutnya:

                                 وَمِنْ ذُرِّيَّتِنا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ

Dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu.

Imam Al Qurthubi menjelaskan, yakni sebagian dari anak cucu kami, jadikanlah oleh Engkau. 

Ia menuturkan penjelasan dari Imam Al Qurthubi tersebut.  “Menurut satu pendapat, semua nabi hanya mendoakan dirinya dan umatnya kecuali Ibrahim, sebab dia mendoakan dirinya dan umatnya, dia pun mendoakan umat Islam (yang merupakan anak-cucunya),” tuturnya.  
Ia pun menegaskan lafaz min dalam وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا di antara anak cucu kami, adalah min yang mengandung makna sebagian/di antara (min lit tabiidh). “Sebab Allah telah memberitahukan bahwa di antara anak cucu Ibrahim akan ada orang-orang yang zalim,” tegasnya.  
Terkait dengan doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini, ia mengutarakan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir.
 
“Dan inilah doa yang dipanjatkan oleh Ibrahim As. dan Ismail As., sebagaimana yang diberitahukan Allah Swt. mengenai hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan beriman dalam Firman-Nya di Surat Al-Furqan ayat ke 74,” ucapnya. 

Dalam penjelasan tersebut, hal ini sangat dianjurkan secara syariat. Betapa pentingnya mendoakan keturunan.

“Karena di antara kesempurnaan cinta pada ibadah kepada Allah Ta'ala adalah keinginan agar keturunannya juga beribadah kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun,” jelasnya.
Ia melanjutkan penafsiran dari Imam Ibnu Katsir terkait ayat tersebut yang dijelaskan dengan Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. 

“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalnya keculai tiga hal, yaitu: sedekah yang mengalir terus pahalanya, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya,” lanjutnya.
Firman Allah selanjutnya:
                                     وَأَرِنا مَناسِكَنا

Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami.
Menurutnya, para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dari ayat manaasik dalam ayat ini. 

“Menurut satu pendapat dari Qatadah dan As-Suddi yang dimaksud adalah tempat-tempat dan tanda-tanda dalam pelaksanaan ibadah haji,” tuturnya.
Sedangkan pendapat Mujahid, Atha', dan Ibnu Juraij mengatakan maksud dari manaasik adalah tempat-tempat penyembelihan, yakni lokasi penyembelihan. Sementara menurut pendapat lain maksudnya semua tempat ibadah dan semua cara yang digunakan untuk beribadah kepada Allah.

“Isim makan dan isim alat untuk kata an-nusuk adalah mansak dan mansik, jamaknya manasik,” bebernya.
Ia memaparkan penjelasan Abu Daud ath-Thayalisi yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
“Ia mengatakan bahwa sesungguhnya ketika diperlihatkan kepada Nabi Ibrahim beberapa perintah dalam ibadah haji lalu ia dihalangi oleh syaitan pada saat berada di tempat Sa'i, lalu syaitan itu dikalahkan oleh Nabi Ibrahim,” paparnya.
Kemudian Jibril berangkat bersamanya dan sampai di Mina, dan Jibril mengatakan kepada Ibrahim As. bahwa tempat Sa'i adalah tempat berkumpulnya manusia. 

“Dan ketika tiba di Jumratul Aqabah, Nabi Ibrahim kembali dihalang-halangi oleh syaitan, lalu Nabi Ibrahim melemparnya dengan tujuh batu kecil hingga akhirnya syaitan pergi,” lanjutnya. 

Lalu Jibril membawa Ibrahim mendatangi tempat berkumpul (Mudzalifah). Jibril mengatakan, tempat tersebut Masy'arul Haram. 

“Setelah itu, Jibril membawa Nabi Ibrahim ke Arafah. Dan mengatakan inilah Arafah, lalu Jibril menanyakan apakah Nabi Ibrahim sudah mengetahui semua itu,” bebernya.
Kalimat terakhir pada ayat Al-Baqarah ayat 128, yakni:
                             وَتُبْ عَلَيْنا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Serta terimalah taubat kami. Engkaulah Yang Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang. 

Ia mengungkapkan terjadi silang pendapat tentang pengertian dari ucapan Ibrahim As., yaitu Tubalaina disebabkan para nabi terpelihara dari dosa. 

“Sekelompok ulama mengatakan bahwa Ibrahim dan Ismail memohon ketetapan dan konsistensi bukan karena mereka berdua mempunyai dosa,” ungkapnya.
Ia menguraikan pendapat Imam Al Qurthubi yang menyatakan Nabi Ibrahim As. dan Nabi Ismail As. telah mengetahui tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji dan keduanya pun telah membangun Ka'bah. 

“Maka keduanya ingin menjelaskan dan memberitahukan kepada manusia bahwa tempat tersebut merupakan tempat untuk melepaskan diri dari dosa-dosa dan bertaubat,” urainya.
Menurutnya, makna Surat Al-Baqarah ayat 128 itu adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail berdoa tidak hanya untuk diri mereka sendiri. Tapi untuk keturunannya juga. 

“Keduanya berdoa juga untuk keturunannya. Dan Allah mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa dan mendoakan pasangan dan anak keturunan kita, karena mereka adalah permata berharga sekaligus ujian yang diminta akuntabilitas atasnya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 10 Juli 2022

Tafsir Al Baqarah ayat 120, Yahudi dan Nasrani Tidak Pernah Ridha Hingga Umat Islam Mengikuti Millah Mereka

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menyatakan firman Allah Surat al-Baqarah ayat ke 120 bahwa Yahudi dan Nasrani tidak pernah ridha hingga engkau mengikuti millah mereka.

“Hari ini kita akan sama-sama merenungkan Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat ke 120 bahwa Yahudi dan Nasrani tidak pernah ridha hingga engkau mengikuti millah mereka,” tuturnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al Qur'an: Yahudi dan Nasrani Tidak Pernah Rida hingga Engkau (Mengikuti) Millah Mereka, Jumat (8/7/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur'an.

Firman Allah SWT:

وَلَنْ تَرْضى عَنْكَ اْليَهُودِ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُم قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُواْلهُدى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْواءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ اْلعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (١٢٠)

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”, (TQS. Al-Baqarah [2]: 120).

Ia memaparkan penjelasan dari Imam Al-Qurthubi dalam tafsir beliau Al-Jami’ li Ahkamil Qur'an tentang ayat pertama dari Surat Al-Baqarah ayat ke 120:

وَلَنْ تَرْضى عَنْكَ اْليَهُودِ وَلا النَّصارى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُم.                          
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. Makna dari Firman Allah ini adalah: “Wahai Muhammad (tanda-tanda kebesaran Allah) yang mereka minta itu tidak akan membuat mereka beriman”.

“Bahkan jika engkau memberikan kepada mereka semua yang mereka minta, niscaya mereka tidak akan memberikan keridhaannya kepadamu. Sebab yang membuat mereka rida hanya lah engkau meninggalkan agama Islam yang engkau anut dan mengikuti mereka,” paparnya.

Sementara menurut Imam Ibnu Katsir, ia menjelaskan ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu selamanya.

“Karena itu tidak usah lagi kau cari hal yang dapat menjadikan mereka rela dan sejalan dengan mereka. Akan tetapi arahkan perhatianku untuk mencapai ridha Allah dengan mengajak mereka kepada kebenaran yang kamu diutus dengan-Nya,” tuturnya.

Imam Asy-Sya'rawiy lebih menekankan rincian dari makna Firman Allah ini. “Jadi tidak benar jika dikatakan dengan kalimat, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rida dengan Anda.”

Selanjutnya ia mengungkapkan penjelasan Imam Asy Sya'rawiy. “Dan Allah Yang Maha Kuasa ingin mengatakan bahwa orang-orang Yahudi tidak rida dengan Anda, dan orang-orang Nasrani tidak akan ridha dengan Anda. Dan jika engkau menemukan persetujuan orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani tidak akan rida dengan Anda.  Dan jika engkau memenuhi persetujuan orang-orang Nasrani, orang-orang Yahudi tidak akan rida dengan Anda,” ungkapnya.

Kemudian ia menuturkan penjelasan dari Imam Al-Qurthubi makna millah.
“Al-Millah adalah nama bagi sesuatu yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik itu yang terdapat di dalam kitab-Nya maupun melalui lisan rasul-nya. Dengan demikian Al Millah dan Asy-Syari'ah adalah sama,” tuturnya.

Adapun Ad-Diin, ia berbeda dari Al-Millah dan Asy-Syari'ah. “Sebab Al-Millah dan Asy-Syari'ah adalah ajaran yang Allah serukan agar dilaksanakan oleh hamba-hamba-nya. Sedangkan Ad-Diin adalah akidah yang mereka laksanakan berdasarkan kepada perintah-Nya,” ucapnya.

Imam Al-Qurthubi melanjutkan penjelasannya bahwa ayat ini dijadikan pegangan oleh sekelompok ulama, antara lain Abu Hanifah, Asy-Syaf'i, Daud, dan Ahmad bin Hanbal.
“Bahwa semua kekafiran itu adalah millah yang satu. Ini berdasarkan Firman Allah: “Hatta tatabi'a millatahum",” ujarnya.

Kalimat berikutnya: 

قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُواْلهُدى

Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan Allah berfirman kepada Muhammad saw., sesungguhnya petunjuk Allah yang sebenarnya yaitu agama yang lurus, benar, sempurna, dan menyeluruh.

“Katakanlah wahai Muhammad, sesungguhnya petunjuk Allah yang Dia telah mengutus dengan-Nya adalah petunjuk yang sebenarnya, yaitu agama lurus, benar, sempurna, dan menyeluruh,” ucapnya.

Imam Muhammad Ali Ash Shabuni menjelaskan aspek Balagah dari kalimat “Huwa al Huda” (هُواْلهُدى )
“Disebutkannya “Al Huda" dalam bentuk ma'rifat menggunakan menggunakan alif dan lam, dan disertai dengan dhamir munfashil (kata ganti terpisah, yakni huwa/dia), hal ini bertujuan untuk membatasi bahwa petunjuk hanya ada pada agama Allah,” jelasnya.
Pembatasan seperti ini masuk dalam kategori pembatasan sifat dengan yang disifati.
“Islam adalah petunjuk, selainnya merupakan hawa nafsu dan kegelapan,” tegasnya.

Kalimat berikutnya:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْواءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ اْلعِلْمِ
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu".

Ia memaparkan penjelasan makna kalimat tersebut oleh Imam Muhammad Ali Ash Shabuni.
“Jika kamu mengikuti pendapat-pendapat mereka yang palsu dan keinginan-keinginan mereka yang sesat setelah nampak padamu kebenaran dengan bukti-bukti yang kuat dan dalil-dalil yang kuat. Maka tidak ada yang menjalani atau menjalankan untukmu dari siksa yang pedih,” paparnya.

Sementara Imam Al Qurthubi memberikan catatan pada kalimat, “Ahwaa ahum”. Bahwa lafaz Al Ahwaa adalah bentuk jamak dari kata Ahwaa seperti Ajmal dari kata “jamal".
“Namun karena keinginan mereka itu berbeda-beda, maka digunakanlah bentuk jamak,” katanya.

Kemudian Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat ancaman keras bagi umat yang mengikuti cara-cara orang-orang Yahudi dan Nasrani setelah umat ini mengetahui isi Al-Qur’an dan as-Sunah.
“Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu. Khithab (sasaran pembicaraan) dalam ayat ini ditunjukkan kepada Rasulullah saw. Tetapi perintahnya ditujukan kepada umatnya,” bebernya.

Demikian dalam ayat ini, Allah mengungkapkan hakikat yang ada pada orang-orang kafir. Jangan pernah berharap keridaan atas mereka.  “Fokuslah pada menjelaskan bukti-bukti yang haq dari Din Islam. Semoga kita selalu dalam petunjuk dan rida Allah SWT,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab