Tinta Media: Al Baqarah
Tampilkan postingan dengan label Al Baqarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al Baqarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Agustus 2023

Guru Luthfi Menjelaskan Kebolehan Berdagang Saat Ibadah Haji



 
Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Yayasan Tapin Mandiri Amanah Kalimantan Selatan, Guru H. Luthfi Hidayat menjelaskan  makna tafsir Surat Al -Baqarah ayat 198, tentang  kebolehan berdagang saat seorang muslim melakukan ibadah haji.
 
“Makna tafsir Surat Al- Baqarah ayat 198 ini adalah Allah memberikan kebolehan berdagang saat seorang muslim melakukan ibadah haji. Sungguh ini sebuah karunia yang sangat besar,” tuturnya dalam Program Jumat Bersama Al Quran: Tidak Ada Dosa Berniaga Saat Berhaji, di kanal Youtube Majelis Baitul Quran, Jumat (21/7/2023).
 
Ia lalu mengutip firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 198.
فَضۡلًا مِّنۡ رَّبِّکُمۡؕ فَاِذَآ اَفَضۡتُمۡ مِّنۡ عَرَفٰتٍ فَاذۡکُرُوا اللّٰهَ عِنۡدَ الۡمَشۡعَرِ الۡحَـرَامِ ۖ وَاذۡکُرُوۡهُ کَمَا هَدٰٮکُمۡ‌ۚ وَاِنۡ کُنۡتُمۡ مِّنۡ قَبۡلِهٖ لَمِنَ الضَّآ لِّيۡنَ
“Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia rezeki, hasil perniagaan  dari Rabb kalian, maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam, dan berzikirlah dengan menyebut nama Allah sebagaimana ditunjukkannya kepada kalian. Dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”
 
“Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al Jaami’ li Ahkam Al-Qur’an menyebutkan, ketika Allah Swt. memerintahkan untuk menyucikan ibadah haji dari rafats, kefasikan, dan bantah-bantahan, maka Allah pun memberikan keringanan  kebolehan melakukan perniagaan ketika melakukan ibadah haji,” ungkapnya.
 
Ia kemudian menjelaskan makna, tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia, rezeki, hasil perniagaan dari Rabb kalian dari ayat tersebut,  yang berarti tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia Allah.  “Mencari karunia Allah muncul di dalam Al-Qur’an dengan pengertian attijaaroh, yaitu perdagangan atau perniagaan,” terangnya.
 
Guru Luthfi pun memperkuat pendapatnya  dengan menyebutkan firman Allah Swt. dalam Surat Al- Jumu’ah ayat 10 yang artinya,  “Maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah, yakni berdagang.”
 
Imam Muhammad Ali Ash Shabuni menerangkan maknanya.  “Tidak ada bagi kalian kesukaran dan dosa berniaga yang bersifat duniawi itu tidak menafikkan ibadah untuk agama. Dahulu mereka dilarang berniaga ditengah-tengah menjalankan ibadah haji, kemudian turunlah ayat yang mulia ini, memperbolehkan mereka berniaga pada bulan-bulan haji,” ucapnya  mengutip pendapat  Imam Ash-Shabuni.
 
Guru Luthfi juga mengutip  dalil kebolehan berniaga di musim haji ini dari hadis riwayat Imam Bukhari, juga hadis riwayat Imam Abu Dawud.
 
Ayat yang mulia ini, lanjutnya,  diakhiri dengan kalimat, “Berzikirlah dengan menyebut nama Allah sebagaimana ditunjukkannya kepada kalian. Dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”
 
 Ia pun menambahkan penuturan dari Imam Ibnu Katsir. “Ini merupakan peringatan bagi mereka atas nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka berupa hidayah, penjelasan, dan bimbingan kepada syiar-syiar haji menurut tuntunan Nabi Ibrahim, As,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 24 April 2023

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 282

Tinta Media - Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 282:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS. Al-Baqarah (2) : 282 )

Sobat. Dengan adanya perintah membelanjakan harta di jalan Allah, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka manusia harus berusaha memelihara dan mengembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta itu bukan sesuatu yang dibenci Allah dan dicela agama Islam. Bahkan Allah di samping memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur cara-cara mencari, memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah. Harta yang diperoleh sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah adalah harta yang paling baik, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Harta yang paling baik ialah harta kepunyaan orang saleh." (Riwayat Ahmad dan ath-thabrani dari 'Amr bin 'Ash).

Sobat. Yang dibenci Allah dan yang dicela oleh Islam ialah harta yang diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah swt dan harta orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai budak harta. Seluruh kehidupan, usaha, dan pikirannya dicurahkan untuk menumpuk harta dan memperkaya diri sendiri. Karena itu timbullah sifat-sifat tamak, serakah, bakhil dan kikir pada dirinya, sehingga dia tidak mengindahkan orang yang miskin dan terlantar. Rasulullah saw bersabda:
"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham." (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Sobat. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan transaksi utang piutang, melengkapinya dengan alat-alat bukti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari.

Pembuktian itu bisa berupa bukti tertulis atau adanya saksi.

1. Bukti tertulis
"Bukti tertulis" hendaklah ditulis oleh seorang "juru tulis", yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah:
a. Orang yang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga tidak menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain.
b. Mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian dan transaksi, sehingga dia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji. Karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi saksi antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. Juru tulis dalam era modern sekarang ini diwujudkan dalam bentuk notaris/pencatat akte jual beli dan utang piutang.

Sobat. Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil" daripada sifat "berilmu", adalah karena sifat adil lebih utama bagi seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang, dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak.

Sobat. Tugas juru tulis ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya, cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji, ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan sebagai pengakuan.
Allah memperingatkan orang yang berjanji agar dia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah dia takut kepada Allah, dan komitmen terhadap janji yang telah diucapkan. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila dia bersyukur, Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan.

Jika orang yang berjanji itu, orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak sanggup untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu.
Yang dimaksud dengan "orang yang lemah akalnya" ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mendiktekan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya.

2. Saksi

"Saksi" ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya suatu peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau perkara.
Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki, atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

Mengenai syarat-syarat "laki-laki" bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut:

a. Saksi itu hendaklah seorang Muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan min rijalikum (dari orang laki-laki di antara kamu) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan itu dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang Muslim. Menurut sebagian ulama: beragama Islam itu bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah. Karena tujuan persaksian di dalam muamalah ialah agar ada alat bukti, seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang terlibat di kemudian hari. Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai.

b. Saksi itu hendaklah orang yang adil, tidak memihak sehingga tercapai tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah:
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu ... (ath-thalaq/65: 2)

Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. Para ulama berbeda pendapat tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan. Alasan yang sesuai dengan akal pikiran ialah bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu perkara lebih besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang muamalah, laki-laki lebih banyak mempunyai kemampuan dibandingkan dengan perempuan. Pada umumnya muamalah itu lebih banyak laki-laki yang mengerjakannya. Karena perhatian perempuan agak kurang dibandingkan dengan perhatian laki-laki dalam bidang muamalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang ini pun agak kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang perempuan, kemungkinan dia lupa, karena itu hendaklah ada perempuan yang lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya.

Sobat.Menurut Syekh Ali Ahmad al-Jurjani: laki-laki lebih banyak mengguna-kan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu perempuan lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila dia dalam keadaan benci dan marah, dia akan gembira atau sedih karena suatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, dia sanggup tabah dan sabar menanggung kesukaran, dia tidak menetapkan suatu urusan, kecuali setelah memikirkannya dengan matang. )

Sobat.Bidang muamalah adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran daripada perasaan. Seorang saksi dalam muamalah juga berfungsi sebagai juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Berdasarkan keterangan Syekh Ali Ahmad al-Jurjani dan keterangan-keterangan lainnya diduga itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan.

Sobat.Menurut Imam asy-Syafi'i: Penerimaan kesaksian seorang saksi hendaklah dengan bersumpah. Beliau beralasan dengan sunah Rasulullah saw yang menyuruh saksi mengucapkan sumpah sebelum mengucapkan kesaksiannya. Sedang menurut Abu Hanifah: penerimaan kesaksian seseorang tidak perlu disertai dengan sumpah.

Dalam ayat ini disebutkan "janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil." Maksudnya ialah:
1. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksian itu diperlukan.
2. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang dia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu.
3. Hendaklah seorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang akan menjadi saksi.

Diriwayatkan oleh ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi di kalangan orang banyak untuk meminta persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yang bersedia.

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan "janganlah mereka enggan" ialah: jangan mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah.

Kemudian Allah menjelaskan perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya, baik kecil maupun besar, dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya. Dalam ayat ini Allah mendahulukan menyebut "yang kecil" daripada "yang besar", karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng dan mudah perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil). Orang yang meremehkan perjanjian yang terkait dengan hal-hal yang remeh (kecil) tentu dia akan menganggap enteng perjanjian yang terkait dengan hal-hal primer (besar). Dari ayat ini juga dapat dipahami bahwa Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu terkait dengan hal-hal yang sekunder/remeh.

Allah menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini, ialah untuk menegakkan keadilan, menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakinan dan menghilangkan keragu-raguan. Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidak berdosa bila tidak ditulis. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak menuliskan perdagangan secara tunai, namun yang paling baik ialah agar selalu dituliskan.

Sekalipun tidak diwajibkan menuliskan perdagangan tunai, namun Allah memerintahkan untuk mendatangkan saksi-saksi. Perintah di sini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunat. Tujuannya ialah agar manusia selalu berhati hati di dalam muamalah.

Selanjutnya Allah memperingatkan agar juru tulis, saksi dan orang-orang yang melakukan perjanjian memudahkan pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak yang lain.

Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu¦ (al-Baqarah/2: 237)

Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan orang fasik, dan tidak menaati ketentuan dari Allah.

Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar manusia bertakwa kepada-Nya dengan memelihara diri agar selalu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dia mengajarkan kepada manusia segala yang berguna baginya, yaitu cara memelihara harta dan cara menggunakannya, sehingga menimbulkan ketenangan bagi dirinya dan orang-orang yang membantunya dalam usaha mencari dan menggunakan harta itu. Allah mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia, dan Dia akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan itu.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku The Power of Spirituality- Meraih Sukses Tanpa Batas

Sabtu, 18 Maret 2023

Inilah Fenomena Tanda Kebesaran Allah

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur'an Tapin Guru H. Lutfhi Hidayat menjelaskan fenomena-fenomena yang merupakan tanda kebesaran Allah.

"Fenomena bahtera yang berlayar di laut, yang dengan air Allah memberikan kehidupan, semuanya merupakan tanda kebesaran Allah bagi mereka yang mau berfikir," tuturnya dalam Jumat Bersama Al-Qur'an: Fenomena Bahtera, Air yang Menghidupkan Tanaman, Tanda Kebesaran Allah di kanal YouTube Majelis Baitul Qur'an, Jumat (17/3/2023).

Ia menyampaikan Firman Allah SWT:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. " (TQS. Al Baqarah [2]: 164)  

Ia menjelaskan bahwa Imam Ali Ash Shabuni menerangkan dalam Tafsir Shafwatu Tafasir bahwa maksud dari kalimat dan bahtera yang berlayar di laut yakni kapal besar yang berjalan di laut di atas permukaan air yang penuh dengan muatan. 

Kemudian, lanjutnya, Imam Al Qurthubi menjelaskan lebih rinci dalam Tafsir Al Jami’ li Ahkamil Qur’an bahwa makna dari kata “al Fulk” sendiri adalah perahu besar. Kata ini dipakai dalam bentuk tunggal dan bentuk jamak, dan dipakai juga dalam bentuk mudzakar (laki-laki/male) dan bentuk mu'anatas (perempuan/female).

Adapun, lanjutnya, Imam Ibnu Katsir menegaskan makna penghamparan laut oleh Allah Ta'ala, agar bahtera atau perahu besar itu dapat berlayar dari satu sisi ke sisi yang lain untuk kepentingan kehidupan manusia, dan agar mereka dapat mengambil manfaat dari penduduk suatu daerah dan membawanya ke daerah lain silih berganti. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan
"Hal ini senada dengan Firman Allah SWT dalam Surat Yasin ayat 33-36," tukasnya.

"Allah menyebarkan dan menceraiberaikan di bumi itu berbagai macam jenis hewan, yang berbeda dalam ukurannya, bentuknya, warnanya, dan suaranya," bebernya.
 
Ia melanjutkan bahwa kata “daaabbah” secara bahasa adalah segala sesuatu yang merayap atau melata di muka bumi, baik manusia maupun hewan. Diambil dari kata ad-dabib yang artinya berjalan pelan-pelan. "Kemudian secara kebiasaan digunakan untuk menyebut nama hewan," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa tashriifir riyaah maknanya adalah kisaran angin yang berhembus ke arah Selatan dan Utara, panas dan dinginnya, lembut dan kencangnya.

"Kekuasaan Allah, berjalan sesuai dengan kehendak Allah, awan itu membawa air yang berlimpah, lalu ditumpahkan ke bumi, tetasan demi tetesannya," paparnya.

“Sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan”, ucapnya.

"Sungguh tanda-tanda dan bukti-bukti yang agung ini menunjukkan kekuasaan Allah yang Maha Perkasa, kebijaksanaannya yang luhur, dan rahmat-Nya yang luas, bagi kaum yang akalnya sadar, mengetahui dan merenungi bahwa perkara-perkara itu adalah cintaan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana," tandasnya.[] Ajira

Minggu, 05 Maret 2023

Guru Luthfi: Orang yang Tetap Kafir Dilaknat Allah, Malaikat, dan Manusia

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin,  Guru H. Luthfi Hidayat menjelaskan tentang kondisi orang-orang yang mengingkari Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 161-162.

“Kondisi orang-orang yang mengingkari Allah Swt. hingga saat ajal menjemputnya adalah mereka tetap dalam keadaan kafir, yaitu orang-orang kafir, menutupi kebenaran, dan terus menerus bersikeras menutupi kebenaran itu dalam hidupnya. Keadaan demikian itu akan menjadikan orang-orang yang mengingkari Allah Swt. itu mendapat laknat Allah, malaikat, dan manusia secara keseluruhan,” ungkapnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Orang yang Tetap dalam Kekafiran Dilaknat Allah, Malaikat, dan Manusia Secara Keseluruhan, Jumat (24/2/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Bahkan, menurutnya, Al-Qur’an menggambarkan kondisi itu terus berlangsung hingga hari kiamat kelak. "Dan laknat itu terjadi di antara mereka. Orang-orang kafir itu sebagian mereka dengan sebagian yang lain saling melaknat,” tuturnya.

Firman Allah Swt.:

 إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَماتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (١٦١) خالِدِينَ فِيها لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (١٦٢)

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapati laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya (QS. 2: 161). Mereka kekal di dalam laknat itu, tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh (QS. 2: 162).

Guru Luthfi menyebutkan penjelasan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dari kalimat   إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَماتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ.
“Artinya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan terus menerus dalam kekafiran hingga mereka menemui ajalnya, mereka akan senantiasa dalam kekafiran,” ujarnya.

Imam Al Qurthubi menjelaskan kalimat وَهُمْ كُفَّارٌ . Yakni mereka mati dalam keadaan kafir bahwa dalam perkataan Ibnu Arabi tidak diperbolehkan melaknat orang kafir tertentu karena tidak tahu bagaimana keadaannya nanti  ketika ia wafat, namun untuk melaknat seseorang pada ayat ini, Allah Swt. telah memberikan syarat, yaitu yang wafatnya dalam keadaan kafir. 

“Imam Al Qurthubi menambahkan maksud ayat dengan makna tadi adalah pada hari kiamat nanti semua orang akan melaknat orang kafir agar mereka merasakan sakit dan pedih dalam hati mereka. Mudah-mudahan laknat itu dapat menjadi hukuman bagi mereka pada saat itu sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al Ankabut ayat 25,” ungkapnya.

Ia menerangkan adanya perbedaan pendapat dalam melaknat orang tertentu yang melakukan kemaksiatan. Pendapat yang tidak membolehkan berdasarkan dalil hadis sahih. Dalam sebuah riwayat dari Nabi saw. Bahwasanya beliau sering mendatangi seorang peminum minuman keras, lalu suatu hari seorang sahabat yang ikut dengan beliau mengatakan semoga Allah melaknat perbuatan yang tidak terpuji. 
“Lalu Rasulullah saw. bersabda: Janganlah jadi penolong setan (untuk memusuhi saudaramu). Di sini Rasulullah saw. tetap menyebut orang tersebut sebagai saudara walaupun ia seorang peminum khamr,” katanya.

Pendapat yang membolehkan adalah menurut Ibnu Arabi. “Ini merupakan ijma’ para ulama sebagaimana sabda Rasulullah yang lain, diriwayatkan oleh Bukhari bahwa sesungguhnya Allah melaknat pencari sebutir telur (dari emas) lalu dipotong tangannya,” ucapnya.

Ia melanjutkan bahwa makna asal kata “laknat” sendiri adalah mengusir atau menjauhkan. “Oleh karena itu, laknat yang berasal dari hamba adalah pengusiran, sementara laknat dari Allah Swt. adalah hukuman atau dijauhkan dari rahmat Allah,” terangnya

Makna dari kalimat: أُولئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Mereka mendapat laknat Allah, para malaikat, dan penduduk bumi seluruhnya, sekalipun orang kafir. Sesungguhnya mereka itu pun pada hari kiamat satu sama lain akan saling melaknati,” ungkapnya.

Ia kembali menjelaskan makna dari ayat 162: 
خالِدِينَ فِيها لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ
Dalam ayat ini Allah menambahkan penekanan tauhid atas laknat tersebut.
“Artinya mereka akan kekal di dalam neraka. Sesungguhnya siksa mereka di neraka jahanam akan kekal dan tidak akan terputus. Sekali-kali siksa mereka todak akan diringankan sekejap mata pun. Naudzubillah tsumma naudzubillah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 26 Februari 2023

Guru Luthfi: Menyembunyikan Kebenaran dari Allah akan Mendapatkan Laknat

Tinta Media - Makna Surat Al-Baqarah ayat 159-160 dinyatakan oleh Pengasuh Baitul Quran, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat, bahwa orang yang menyembunyikan kebenaran yang diturunkan Allah Swt., akan mendapat laknat dari Allah dan seluruh makhluk-Nya.

“Artinya mereka dijauhkan dari rahmat dan kasih sayang Allah Swt.,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Menyembunyikan Kebenaran dari Allah akan Mendapatkan Laknat, Jumat (17/2/2023), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt.:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنا مِنَ الْبَيِّناتِ وَالْهُدى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتابِ أُولئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ (١٥٩) إِلاَّ الَّذِينَ تابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (١٦٠)

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kamu turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat “melaknati”. Kecuali mereka yang bertaubat mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Allah menerima taubatnya dan Aku lah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 159-160)

Ia menerangkan pernyataan dari Imam Ibnu Katsir yang menyebutkan dalam tafsirnya bahwa dalam ayat yang mulia tersebut merupakan ancaman keras bagi orang yang menyembunyikan keterangan yang menjelaskan tujuan-tujuan baik dan petunjuk yang bermanfaat bagi hati, setelah Allah Swt. menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya dalam kitab-kitab-Nya yang telah diturunkan kepada para Rasul-Nya.

Sementara menurut Syekh Muhammad Ali Ash Shabuni, menerangkan maksudnya dalam tafsir beliau Shafwatu Tafasir. “Yakni orang-orang yang menyembunyikan apa yang Kami turunkan kepadanya berupa bukti-bukti yang jelas dan dalil-dalil yang nyata yang menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad saw.,” ujarnya.

Guru Luthfi mengungkapkan, penjelasan dari Imam Al Qurthubi dalam tafsir beliau Al Jaami‘ li Ahkamil Qur’an bahwa terdapat perbedaan pendapat dari para ulama tentang siapa yang dilaknat di ayat tersebut.
“Ada yang berpendapat kaum Yahudi dan Nasrani yang menutupi kerasulan Muhammad saw., sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa maknanya siapa pun yang menutupi kebenaran, umum untuk semua orang yang menutupi ilmu apa pun yang berasal dari agama Islam,” ungkapnya.

Menurutnya, Abu al-Aliyah menuturkan ayat ini turun berkenaan dengan Ahlul Kitab yang menyembunyikan sifat Nabi Muhammad saw., kemudian Allah Ta’ala memberitahukan bahwa mereka dilaknat oleh segala sesuatu akibat perbuatan mereka itu. “Sebagaimana seorang ulama dimohonkan ampunan oleh segala sesuatu, bahkan sampai ikan paus di air dan burung yang terbang diangkasa. Maka sebaliknya, orang-orang Ahlul Kitab yang menyembunyikan kebenaran Rasulullah saw. itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk yang dapat melaknat,” ucapnya.

Dijelaskan oleh Imam Al Qurthubi, yakni Allah Swt. telah melepaskan diri dari mereka dan menjatuhkan mereka dari segala kebaikan-Nya, seakan Allah Swt. berkata kepada mereka: “Kalian berhak atas laknat-Ku.”

Ia mengakhirinya dengan menjelaskan bahwa laknat itu dikecualikan oleh Allah kepada orang-orang yang bertaubat.

“Kecuali orang-orang yang menyesal terhadap apa yang telah mereka perbuat, dan melakukan perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan mereka, yaitu menyembunyikan sifat-sifat Muhammad saw., kemudian juga menerangkan kepada manusia kebenaran yang telah diturunkan Allah Swt., maka Allah akan menerima taubat mereka, dan Allah akan meliputi mereka dengan rahmat-Nya,” pungkasnya. []Ageng Kartika

Senin, 20 Februari 2023

Guru Luthfi: Sa’i Antara Bukit Shafa dan Marwah adalah Salah Satu Rukun Haji


Tinta Media - Penjelasan Surat Al-Baqarah ayat 158 menurut Pengurus Majelis Baitul Qur’an Tapin Guru H. Luthfi Hidayat adalah tentang ritual sa'i, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah.

“Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 158 adalah tentang ritual sa'i yang merupakan bagian dari ritual haji atau umrah, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Sa'i, Berlari-lari Kecil Antara Bukit Shafa dan Marwah, Jumat (10/2/2023) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt.:

إِنَّ الصَّفا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨)

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 158)

Ia mengungkapkan muhasabah dari keterkaitan ayat 158 ini dengan ayat sebelumnya, adalah tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.

“Dan Allah mengajak orang-orang beriman untuk meminta tolong dengan sabar dan shalat, kemudian ayat selanjutnya menerangkan pentingnya haji,” ungkapnya.
Ia menerangkan bahwa Shafa dan Marwah, keduanya nama dua Bukit dekat Masjidil Haram.

“Imam Al Qurthubi menyebutkan Bukit yang pertama dinamakan dengan Shafa karena dulu Nabi Adam a.s. (al musthafa) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakanlah bukit itu dengan nama tersebut (ash Shafa). Dan Bukit kedua dinamakan Bukit Marwah karena dulu Hawa (Al Mar’wah) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakan bukit ini dengan nama tersebut (Marwah), wallahu a’lam,” terangnya.

Bukit Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Berdasarkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dari kalimat “sya’aairillah”. Pluralnya adalah “sya’iirah”, secara bahasa bermakna tanda-tanda.

“Termasuk sebagai tanda-tanda agama Allah dan ritual-ritual agama-Nya, yang mana kita beribadah kepada Allah dengan ritual-ritual tersebut,” ujarnya.

“Sya’aair bisa bermakna setiap amalan yang kita pahami sebagai beribadah kepada Allah, berkenaan dengan perkara agama, seperti thawaf, sa’i, adzan, dan lain-lain,” lanjutnya.
Ia menyebutkan penjelasan Imam Ibnu Katsir tentang sa’i antara Shafa dan Marwah adalah salah satu syiar Allah Swt. dan merupakan sesuatu yang disarankan kepada Ibrahim dalam menunaikan ibadah haji.

“Tentang disyariatkannya ritual sa’i antara Shafa dan Marwah, diriwayatkan dalam hadis sahih Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah r.a. mengatakan Rasulullah saw. telah mensyariatkan sa’i antara keduanya, maka tidak seorang pun diperbolehkan meninggalkan sa’i di antara Shafa dan Marwah,” urainya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Habibah binti Abi Tajrah bahwa ia menceritakan pernah menyaksikan Rasulullah saw. mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah. Orang-orang berada di hadapannya, dan Rasulullah berlari-lari kecil, karena kerasnya ia melihat kedua lututnya dikelilingi oleh kain. Rasulullah saw. bersabda, ”kerjakanlah sa’i karena Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian sa’i.”

“Hadis ini dijadikan sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu rukun haji,” tuturnya.

Ia mengungkapkan kalimat selanjutnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 158.

 فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ

Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.

“Artinya barang siapa mengerjakan haji dan umrah setelah melaksanakan hajatnya, yang diwajibkan kepadanya, akan mengerjakan kebaikan fardu maupun sunah,” ungkapnya.
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan ketaatannya dan akan membalas perbuatannya dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui setiap apa yang berasal dari hamba-Nya, berupa amal perbuatannya. Sesungguhnya Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. [] Ageng Kartika









Guru Luthfi: Sa’i Antara Bukit Shafa dan Marwah adalah Salah Satu Rukun Haji

Tinta Media - Penjelasan Surat Al-Baqarah ayat 158 menurut Pengurus Majelis Baitul Qur’an Tapin Guru H. Luthfi Hidayat adalah tentang ritual sa'i, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah.

“Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 158 adalah tentang ritual sa'i yang merupakan bagian dari ritual haji atau umrah, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Sa'i, Berlari-lari Kecil Antara Bukit Shafa dan Marwah, Jumat (10/2/2023) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt.:

إِنَّ الصَّفا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨)

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 158)

Ia mengungkapkan muhasabah dari keterkaitan ayat 158 ini dengan ayat sebelumnya, adalah tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.

“Dan Allah mengajak orang-orang beriman untuk meminta tolong dengan sabar dan shalat, kemudian ayat selanjutnya menerangkan pentingnya haji,” ungkapnya.
Ia menerangkan bahwa Shafa dan Marwah, keduanya nama dua Bukit dekat Masjidil Haram.

“Imam Al Qurthubi menyebutkan Bukit yang pertama dinamakan dengan Shafa karena dulu Nabi Adam a.s. (al musthafa) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakanlah bukit itu dengan nama tersebut (ash Shafa). Dan Bukit kedua dinamakan Bukit Marwah karena dulu Hawa (Al Mar’wah) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakan bukit ini dengan nama tersebut (Marwah), wallahu a’lam,” terangnya.

Bukit Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Berdasarkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dari kalimat “sya’aairillah”. Pluralnya adalah “sya’iirah”, secara bahasa bermakna tanda-tanda.

“Termasuk sebagai tanda-tanda agama Allah dan ritual-ritual agama-Nya, yang mana kita beribadah kepada Allah dengan ritual-ritual tersebut,” ujarnya.

“Sya’aair bisa bermakna setiap amalan yang kita pahami sebagai beribadah kepada Allah, berkenaan dengan perkara agama, seperti thawaf, sa’i, adzan, dan lain-lain,” lanjutnya.
Ia menyebutkan penjelasan Imam Ibnu Katsir tentang sa’i antara Shafa dan Marwah adalah salah satu syiar Allah Swt. dan merupakan sesuatu yang disarankan kepada Ibrahim dalam menunaikan ibadah haji.

“Tentang disyariatkannya ritual sa’i antara Shafa dan Marwah, diriwayatkan dalam hadis sahih Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah r.a. mengatakan Rasulullah saw. telah mensyariatkan sa’i antara keduanya, maka tidak seorang pun diperbolehkan meninggalkan sa’i di antara Shafa dan Marwah,” urainya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Habibah binti Abi Tajrah bahwa ia menceritakan pernah menyaksikan Rasulullah saw. mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah. Orang-orang berada di hadapannya, dan Rasulullah berlari-lari kecil, karena kerasnya ia melihat kedua lututnya dikelilingi oleh kain. Rasulullah saw. bersabda, ”kerjakanlah sa’i karena Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian sa’i.”

“Hadis ini dijadikan sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu rukun haji,” tuturnya.

Ia mengungkapkan kalimat selanjutnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 158.

 فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ

Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.

“Artinya barang siapa mengerjakan haji dan umrah setelah melaksanakan hajatnya, yang diwajibkan kepadanya, akan mengerjakan kebaikan fardu maupun sunah,” ungkapnya.
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan ketaatannya dan akan membalas perbuatannya dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui setiap apa yang berasal dari hamba-Nya, berupa amal perbuatannya. Sesungguhnya Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. [] Ageng Kartika

Minggu, 12 Februari 2023

Guru Luthfi: Inilah Balasan Kebaikan bagi yang Bersabar dan Mengucapkan Kalimat Istirja

Tinta Media - Meresapi Surat Al-Baqarah ayat 157, Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menyatakan bahwa Allah memberi balasan bagi seorang mukmin yang bersabar saat tertimpa musibah dengan mengucapkan kalimat istirja, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

“Betapa banyak ganjaran yang Allah berikan saat seseorang mendapat musibah, kemudian ia bersabar dan mengucapkan kalimat istirja, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Berbagai Balasan Kebaikan bagi yang Mengucapkan Kalimat Istirja, Jumat (3/2/2023) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia mengungkapkan mukmin tersebut akan mendapatkan banyak ganjaran berupa shalawat, rahmat, dan keberuntungan. Selain itu memperoleh pujian dan kasih sayang dari Allah. 

“Mendapat permohonan ampunan dosa dari malaikat, keamanan dari azab, penambahan derajat dari Allah di dunia dan di akhirat, diringankan dari musibah itu, dihilangkan kesulitan dan dipenuhinya berbagai hajat atau keperluan. Dan mereka selalu mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT,” ungkapnya.

Firman Allah SWT:

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمْ اْلمُهْتَدُونَ(١٥٧)

“Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-Nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk,” (TQS. Al-Baqarah [2]: 157).

Guru Luthfi mengatakan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir tentang kondisi orang yang bersabar dan mengucapkan kalimat istirja. Allah SWT memberitahukan mengenai apa yang diberikan kepada mereka (yakni yang bersabar dan mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, dengan Firman-Nya: 
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِهِمْ وَرَحْمَة 
mereka  itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-Nya.
“Artinya pujian dan kasih sayang dari Allah Ta’ala atas mereka. Imam Ibnu Katsir menekankan, ini merupakan dua balasan. Sementara menurut Sa’id bin Jubair, artinya keselamatan atau keamanan dari azab,” katanya.

Sementara Imam Ali Ash Shabuni dalam Tafsirnya Shafwatu Tafasir menjelaskan dari kalimat “shalawat” ini, yakni makna asal dari kata salat atau shalawat ini adalah berdoa. Dari Allah bermakna rahmat dan daru malaikat bermakna meminta ampunan.

Ia pun menuturkan penjelasan dari Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an. Ini adalah limpahan nikmat dari Allah SWT kepada orang yang bersabar dan selalu mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun setiap ia mengalami musibah. Kalimat shalawatun mir rabbihim dalam ayat yang mulia ini merupakan shalawat Allah atas hamba-Nya.
“Adalah magfirah atau ampunan-Nya, rahmat atau kasih sayang-Nya, barakah atau tambahan kebaikan-Nya, dan derajat yang diberikan kepadanya di dunia dan di akhirat,” tuturnya.

Sementara pendapat lain dari Az- Zujaj yang mengatakan makna kalimat shalawat dari Allah adalah pemberian ampunan, pujian, dan kebaikan dari Allah SWT. 
“Makna inilah yang diambil ketika salat atas mayit, shalawat merupakan pujian dan doa untuk mereka yang telah meninggal,” ujarnya.
Ia menambahkan pendapat lain yang bermakna rahmat itu sebagai penghilang kesulitan dan memberikan yang dibutuhkan.

Guru Luthfi menyebutkan dalam kitab sahih Al Bukhari bahwa Umar radiallahu anhu mengatakan dua ayat dari Surat Al-Baqarah ayat 156-157 adalah sebaik-baik dua nilai dan sebaik-baik derajat. Dan pendapat lain tentang ayat ini (Surat Al-Baqarah ayat 157) merupakan pemberian ganjaran dan pelepasan pahala.
“Dan ada juga pendapat lain, yakni meringankan musibah dan meredamkan kesedihan,” ucapnya.

Ia mengakhiri penjelasan dari ayat yang mulia ini, yaitu: وَأُولَئِكَ هُمْ اْلمُهْتَدُونَ
Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra mengatakan alangkah nikmatnya dua balasan itu, dan betapa menyenangkan (anugerah) tambahan itu. [] Ageng Kartika

Minggu, 25 Desember 2022

Tafsir Al Baqarah 148, Guru Luthfi: Segeralah Berlomba-lomba Melakukan Kebaikan

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat mengingatkan makna dari Tafsir Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 148 agar umat Islam segera berlomba-lomba  melakukan kebaikan, khususnya dalam mengerjakan ibadah shalat.

“Ayat ini mengingatkan kepada kita untuk segera berlomba-lomba melakukan kebaikan, khususnya dalam mengerjakan ibadah shalat,” tuturnya dalam Kajian Jum’at Bersama Al-Qur’an: Berlomba-lomba Melakukan Kebaikan, Jum’at (16/12/2022), di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia menegaskan peringatan dari Rasulullah akibat dari lalai melakukan kebaikan, terutama dalam menyegerakan ibadah shalat.

“Jika kita lalai, tidak bersegera, maka Rasulullah mengingatkan itu artinya kita kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari keluarga dan harta,” tegasnya.
Sebagaimana yang terkandung dalam suatu pendapat, yakni mengatakan bahwa yang tertulis pada ayat ini secara tersirat darinya adalah bersegera dalam melaksanakan shalat pada awal waktunya.

Pada hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daraquthni dan Abu Hurairah menyebutkan, Rasullah Saw. bersabda bahwa jika salah seorang dari kalian melaksanakan shalat tepat pada waktunya, namun ia tidak mengerjakannya di awal waktu, maka sesungguhnya ia telah kehilangan sesuatu yang lebih baik dari keluarga dan harta yang dimilikinya.

“Diriwayatkan pula oleh imam Ad-Daraquthni dari Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda bahwa sebaik-baik perbuatan adalah shalat pada awal waktunya,” urainya.

Firman Allah Swt.:
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَ لِّيها فَا سْتَبِقُوا الْخيَرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَهُ جَمِعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(١٤٨)
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat kebaikan). Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari kiamat) semuanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 148)

Ia menguraikan tafsir dari ayat yang mulia ini. 
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَ لِّيها
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Menurut Imam Al Qurthubi telah dijelaskan dalam Tafsir beliau Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an.
“Bahwa kata وِجْهَةٌ pada ayat ini asal tashrifnya adalah فِعْلَةٌ
Yang artinya adalah arah. Sama artinya dengan kata الْجَهْةُ 
dan الوَجْهُ   sedangkan pada ayat ini maknanya adalah kiblat, yakni tempat mengarahkan wajah ketika shalat,” ujarnya.

Sementara menurut Abu al-Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai kiblat tersendiri dan orang-orang Nasrani pun mempunyai kiblat tersendiri. Dan Allah Ta ’ala telah memberikan petunjuk kepada kalian (umat Islam) yang memiliki keyakinan untuk menghadap ke kiblat yang sebenarnya. Hal senada juga diriwayatkan dari Mujahid, Atha’, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas, dan as-Suddi.

“Dalam riwayat yang lain, Mujahid dan Hasan al-Bashri mengatakan semua kaum telah diperintahkan untuk mengerjakan  shalat dengan menghadap ke Ka’bah,” bebernya.

Kalimat berikutnya dalam ayat ini menyatakan: 
فَا سْتَبِقُوا الْخيَرَاتِ
Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan.
Ia menjelaskan pendapat dari Imam Al-Qurthubi bahwa kalimat ini huruf jar (ila) dihilangkan, semestinya kalimat lengkapnya adalah 
فَا سْتَبِقُوا إلىاالْخيَرَاتِ
“Yakni bersegeralah (kalian) melakukan segala yang diperintahkan oleh Allah Swt., yang dalam hal ini adalah menghadap ke Masjidil Haram, dan umumnya segala bentuk ketaatan kepada-Nya,” jelasnya.

Ia mengungkapkan sebuah hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Perumpamaan orang yang paling bersegera melaksanakan shalatnya adalah seperti seorang yang berkurban seekor unta. Kemudian perumpamaan orang yang (melakukan shalat) setelahnya adalah seperti seorang yang berkurban seekor sapi. Kemudian  perumpamaan orang yang  (melakukan shalat) setelahnya adalah seperti seorang yang berkurban seekor domba. Kemudian perumpamaan orang yang (melakukan shalat) setelahnya adalah seperti orang yang berkurban sebutir telur.

Ia melanjutkan kalimat berikutnya dari ayat ini adalah:
أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَهُ جَمِعًا
Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari kiamat) semuanya.
“Imam Muhammad Ali Ash Shabhuni menjelaskan artinya di mana pun kalian (umat Islam) berada, baik di bagian bumi yang paling dalam atau dipuncak gunung, niscaya Allah akan mengumpulkan kalian untuk dihisab, dipisahkan antara yang hak dan yang bathil,” lanjutnya.

Dan ia mengungkapkan kalimat terakhir dari ayat mulia ini,
      إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

“Allah Swt. Maha Kuasa untuk mengumpulkan kalian yang berada di bumi meskipun tubuh dan raga kalian terpisah-pisah,” ungkapnya.

Terakhir ia mengingatkan kembali kepada umat manusia di dunia tentang hari akhir nanti di mana manusia akan diminta pertanggungjawaban atas segala amal yang dijalaninya selama di dunia.
“Jangan lupa di mana pun manusia di dunia berada, niscaya ia akan dikumpulkan Allah di hari akhir nanti untuk diminta tanggung jawab atas segala amal yang dia jalani di dunia,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 13 November 2022

Al-Baqarah 141-142, Guru Luthfi: Allah Bantah Kebohongan Yahudi dan Nasrani tentang Nabi Terdahulu

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menjelaskan renungan dari Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 141-142 bahwa Allah membantah kebohongan Yahudi dan Nasrani tentang nabi terdahulu dan menyifati mereka yang menyembunyikan kebenaran dengan paling zalim. 

“Renungan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 141-142 yakni setelah Allah membantah kebohongan Yahudi dan Nasrani tentang nabi terdahulu. Allah juga menyifati mereka yang menyembunyikan kebenaran itu dengan yang paling zalim,” tuturnya dalam kajian Jumat Bersama Al Quran: Zalim Menyembunyikan Kebenaran Isi Al Kitab, Jumat (4/11/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah SWT berfirman:

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْراهِيمَ وَإِسْماعِيلَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطَ كانُوا هُوداً أَوْ نَصارى قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (140) تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَها مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ ما كَسَبْتُمْ وَلا تُسْئَلُونَ عَمَّا كانُوا يَعْمَلُونَ (141)

“Ataukah kalian mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani? Katakanlah: “Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?; dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah (persaksian) dari Allah yang ada padanya?” dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kalian kerjakan (140). Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta  pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al Baqarah [2] : 140-141) 

Pada kalimat dari ayat yang mulia ini:

أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْراهِيمَ وَإِسْماعِيلَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطَ كانُوا هُوداً أَوْ نَصارى

Ataukah kalian mengatakan bahwa Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya adalah penganut agama Yahudi dan Nasrani?
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa kemudian Allah Ta’ala mengingkari pengakuan mereka (Yahudi dan Nasrani). 

“Bahwasanya Ibrahim serta para nabi yang disebutkan sesudahnya, al-Asbath, menganut agama mereka, baik agama Yahudi ataupun agama Nasrani,” ujarnya. 

Selanjutnya قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ
Katakanlah: “Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?

Ia memaparkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash shabuni yang menerangkan makna kalimat tersebut. Apakah kalian lebih mengetahui agama-agama mereka (para nabi) ataukah Allah Yang Maha Mengetahui? 

“Padahal Allah telah menjadi saksi terhadap rasul-rasul itu dan atas keislaman mereka dari agama Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 67 yang menyatakan bahwa Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi Ibrahim adalah orang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah),” paparnya. 

Menurutnya, Imam Al Qurthubi menambahkan penjelasan bahwa firman Allah ini merupakan penegasan sekaligus cemoohan atas pengakuan mereka. Di mana mereka mengaku sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani.

“Allah mengemukakan bantahan kepada mereka dengan mengatakan bahwa Allah lebih tahu tentang mereka daripada kalian. Maksudnya mereka bukanlah orang-orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani,” ucapnya. 

Ia menjelaskan kalimat di atas lebih ditegaskan Allah dengan kalimat pada ayat berikutnya, dengan menyebut apa yang mereka lakukan adalah sebagai tindak kezaliman. 

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah (persaksian) dari Allah yang ada padanya?” dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kalian kerjakan.”

Lalu ia memaparkan penjelasan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni bahwa tidak seorang pun lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan apa yang terkandung di dalam Taurat dan Injil, di dalamnya terdapat kabar gembira kedatangan utusan Allah.

“Atau ayat ini bermakna: tidak seorang pun yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan apa yang diberitakan Allah mengenai nabi-nabi yang mulia, sedangkan mereka adalah menganut Islam,” paparnya. 

Firman Allah di ayat ke 141:

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَها مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ ما كَسَبْتُمْ وَلا تُسْئَلُونَ عَمَّا كانُوا يَعْمَلُونَ

“Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagi kalian apa yang kalian usahakan; dan kalian tidak akan diminta  pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.”

Ia mengungkapkan penjelasan Imam Ali Ash Shabuni yakni Allah mengulang ayat ini sebab mengandung makna ancaman dan menakuti. 
“Ayat ini bermakna bahwa para nabi itu - berdasarkan keutamaan dan keagungan mereka- akan dibalas sesuai dengan usaha mereka, maka kalian pun akan mendapatkan balasan yang baik,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan mengingatkan umat Islam agar tidak memiliki sifat seperti Yahudi dan Nasrani yang berkata bohong atas nabi-nabi terdahulu dan menyembunyikan kebenaran dari kitab yang ada pada mereka, baik Taurat maupun Injil. 

“Kita sebagai umat Islam, terlebih para ulama dan Asatidz, harus menjelaskan seluruh isi Al Quran kepada umat, menerangkan Islam sebagai rahmatan lil’ alamin tidak akan pernah tercapai kecuali kita mengamalkan seluruh ajaran Al Quran yang dibawa Rasulullah, mulai masalah akidah, muamalah, ekonomi, politik dan lain sebagainya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 19 Oktober 2022

Al Baqarah 137, Guru Luthfi: Ahlul Kitab Akan Mendapat Petunjuk dan Kebenaran Jika...


Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menjelaskan syarat bagi Ahlul Kitab agar mendapat petunjuk dan kebenaran dari Allah. 

“Makna Qur'an Surat Al Baqarah ayat 137 adalah jika Ahlul Kitab beriman, berkeyakinan sebagaimana keyakinan orang-orang mukmin, tidak membeda-bedakan di antara rasul-rasul Allah maka mereka akan mendapat petunjuk dan kebenaran dari Allah,” ungkapnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al Quran: Ahlul Kitab akan Mendapat Petunjuk Jika Mereka Mau Beriman, Jumat (14/10/2022), dikanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Namun, jika Ahlul Kitab melakukan Syiqaaq atau permusuhan maka Allah akan menolong orang-orang yang beriman. “Pertolongan dari Allah inilah yang menjadi kunci kemenangan umat Islam, hanya dengan terus meningkatkan ketaatan, taqarub, dan ketakwaan kepada Allah,” ujarnya. 

Firman Allah SWT:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّما هُمْ فِي شِقاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ    

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepada-Nya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (QS. Al Baqarah: 137).

Ia mengemukakan penjelasan Imam Al Qurthubi dalam Tafsir beliau Al Jaami' li Ahkamil Qur’an, Firman Allah: 
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا                    
Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepada-Nya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.

“Imam Al Qurthubi menjelaskan bahwa Khitab (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Maknanya, jika mereka beriman seperti iman kalian dan percaya seperti kepercayaan kalian, maka sesungguhnya mereka telah mendapatkan petunjuk. Dengan demikian, kesetaraan terjadi antara kedua keimanan tersebut,” tuturnya. 

Ia mengartikannya dengan pendapat dari Imam Ali Ash Shabuni yang lebih spesifik memaknai kalimatnya bahwa Ahlul Kitab yang beriman sebagaimana imannya orang-orang beriman maka mereka mendapat petunjuk di jalan yang benar. 

“Artinya, jika mereka Ahlul Kitab mendapat petunjuk sebagaimana orang-orang beriman mendapat petunjuk,” ucapnya. 

Ia pun mengatakan makna keimanan dari penjelasan Imam Ibnu Katsir atas ayat ini. 
“Yaitu iman kepada semua kitab Allah, para rasul-Nya, serta tidak membedakan antara satu nabi dengan nabi lainnya,” katanya. 

Kalimat berikutnya: 
وَإِنْ تَوَلَّوْا
Dan jika mereka berpaling. 
Ia mengungkapkan pendapat dari Imam Ibnu Katsir dan Imam Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi memaknainya sebagai  berpaling dari keimanan. 

“Sementara  pendapat dari Imam Ibnu Katsir, jika mereka berpaling, yakni berpaling dari kebenaran kepada kebatilan setelah adanya hujah ada pada diri mereka,” ungkapnya. 

Kalimat berikutnya:
فَإِنَّما هُمْ فِي شِقاقٍ
Maka sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). 
Guru Luthfi menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang makna Syiqaaq. Zaid bin Aslam menyatakan sebagai al munaaza'ah (permusuhan). Menurut satu pendapat, adalah perdebatan, penyimpangan, dan pelanggaran.

“Menurut pendapat yang lain, Asy-Syiqaaq diambil dari perbuatan yang menyulitkan dan menyusahkan sehingga seolah masing-masing pihak berusaha untuk menyulitkan sahabatnya,” bebernya. 

Ia pun mengutarakan tentang lanjutan kalimat dari ayat ini:
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ
Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. 
“Yakni, Allah akan memelihara rasul dari musuh-musuhnya,” ujarnya. 

Menurutnya hal ini merupakan janji Allah untuk melindungi nabi-Nya. 

“Bahwa Allah akan memeliharanya dari orang-orang yang menentang dan menyalahinya, dengan orang-orang beriman yang dia berikan petunjuk,” tuturnya.

Dan ia menegaskan pemenuhan janji Allah untuk memelihara nabi-Nya terjadi pada peristiwa peperangan dengan Bani Qainuqa, Bani Quraizhah, dan Bani An-Nadhir. 

Kalimat terakhir dari ayat mulia ini: 
وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ                    
Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 
Ia menyatakan penjelasan dari Tafsir Imam Ali Ash Shabuni dalam kitabnya Shafwatu Tafaasir tentang kalimat terakhir ini. 

“Artinya, Dia Allah SWT Maha Mendengar apa yang mereka ucapkan dan Maha Mengetahui kejahatan dan kedengkian yang mereka sembunyikan dalam hati mereka,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Guru Luthfi: Al Baqarah 136 Tempatkan Porsi dan Posisi Keimanan bagi Rasulullah dan Nabi Lain

Tinta Media - Pengasuh Majelis Ta'lim Baitul Qur’an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat menegaskan bahwa makna QS. Al-Baqarah ayat 136 adalah porsi dan posisi keimanan yang pas terhadap Rasulullah dan Nabi yang lain. 

“Makna Firman Allah Surat Al Baqarah ayat 136, yakni menempatkan porsi dan posisi keimanan yang pas terhadap Rasulullah dan nabi yang lain,” tegasnya dalam Program Kajian Jumat Bersama Al Quran: Keimanan kepada Muhammad SAW dan Para Nabi yang Lain, Jumat (7/10/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Ia mengungkapkan bahwa umat Islam wajib mengimani kepada semua rasul secara global.

“Allah telah mengutus mereka dan menurunkan kitab atau suhuf kepada mereka (semua rasul). Tidak membeda-bedakan di antara mereka,” ungkapnya. 

Namun, ia mengatakan keimanan kepada Rasulullah SAW dalam porsi secara rinci. 
“Termasuk taat dan tunduk kepada hukum yang dibawa beliau Saw. secara keseluruhan. Masuk ke dalam Islam secara kafah, menyeluruh,” katanya. 

Firman Allah SWT:

قُولُوا آمَنَّا بَاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلى إبْرَاهِمَ وَإسْمَاعِيلَ وَإسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطّ وَمَا -ُوتِيَ مُوسى وَعِيس وَمَا أُتِيَالنَّبِيُّونَ مِن رَبِّهِمْ لَا نُفَرِقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ 

Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, lsma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya " (TQS. Al Baqarah [2]: 136).

Guru Luthfi memaparkan penjelasan dari Imam Ibnu Katsir bahwa Allah Swt. membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka melalui Rasul-Nya, Muhammad Saw. secara rinci, serta apa yang diturunkan kepada para nabi yang terdahulu secara global.

“Allah Ta'ala telah menyebutkan beberapa nama rasul, menyebutkan secara global nabi-nabi lainnya. Dan Allah menghendaki mereka (orang-orang mukmin) tidak membeda-bedakan salah satu di antara mereka (para rasul),hendaklah mereka beriman kepada seluruh rasul,” paparnya. 

Ia pun menguraikan pendapat dari Imam Al Qurthubi yang menerangkan tafsir beliau al Jaami'li Ahkamil Qur'an perihal Asbabun Nuzul (sebab turun-Nya) ayat ini. 
“khitab (seruan) dalam ayat ini ditujukan kepada umat ini. Kepada mereka (orang-orang mukmin) Allah mengajarkan keimanan. Ibnu Abbas berkata, “Sekelompok orang-orang Yahudi datang kepada Nabi Saw., lalu mereka bertanya tentang nabi siapa saja yang harus diimani? Maka turunlah ayat ini,” urainya. 

Ia mengatakan Firman Allah Swt., yang menyatakan, katakanlah (hai orang-orang mukmin): kami beriman kepada Allah. Diriwayatkan Al Bukhari dari Abu Hurairah, mengatakan bahwa dahulu Ahlul Kitab membacakan Taurat yang menggunakan bahasa Ibrani dan menafsirkannya kepada orang-orang Islam dengan bahasa Arab. 

“Kemudian Rasulullah Saw. bersabda agar kalian (orang-orang mukmin) tidak mempercayai kepada Ahlul Kitab tapi tidak boleh juga mendustakan mereka, akan tetapi katakan kepada mereka bahwa ‘kami beriman kepada Allah dan apa yang  Dia turunkan’,” katanya. 

Ia mengungkapkan penuturan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni, makna dari: “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”.

“Artinya, katakanlah (oleh kalian) wahai kaum Muslimin bahwa kami beriman kepada Allah, dan kepada Al Quran yang telah diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, dan anak cucunya,” tuturnya. 

Ia melanjutkan, “Artinya, kami beriman kepada suhuf dan hukum-hukum yang diturunkan kepada Ibrahim, yang nabi-nabi lain juga mengamalkannya, kami juga percaya kepada apa yang diturunkan kepada anak cucu Ibrahim dan Ishaq. Mereka adalah anak cucu menurut silsilah kenabian pada mereka,” ungkapnya. 

Ia mengakhirinya dengan menegaskan kembali bahwa wajib bagi kita beriman dan tidak membeda-bedakan seorang pun dari para nabi dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi secara keseluruhan. 

“Artinya kami beriman kepada kepada apa yang diturunkan atas selain mereka dari para nabi semuanya, dan membenarkan apa yang diturunkan kepada mereka dari sisi Allah berupa ayat-ayat jelas dan mukjizat yang terang,” bebernya. 

“Kita turut dan tunduk kepada perintah Allah dan hukum-hukumnya, tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka (para nabi), artinya kita tidak beriman kepada sebagian dan mengingkari sebagian yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab