Langkah Lamban yang Menyebabkan Kematian
Tinta Media - Kasus gangguan ginjal akut progesif atipikal (GGAPA) yang menyerang anak-anak usia 6 bulan hingga 18 tahun baru-baru ini mengalami peningkatan di 22 provinsi di Indonesia, hingga sebagian telah berujung pada kematian anak.
Dikutip dari Tempo.co (29/10/2022), Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengungkap per-kamis 27 Oktober 2022, tercatat total ada 269 kasus gagal ginjal akut anak. Sebanyak 157 di antaranya meninggal, 73 masih dirawat, dan 39 dinyatakan sembuh. Tingkat kematian atau fatality-nya telah mencapai 58%. Mirisnya, kasus gagal ginjal ini paling banyak didominasi oleh anak usia 1 hingga 5 tahun.
Seiring dengan peningkatan kasus tersebut, Kemenkes mengimbau pada seluruh orang tua untuk tidak panik, tetap tenang, tetapi selalu waspada, terutama apabila anak didapati mengalami gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut.
Gejala gagal ginjal pada anak di antaranya diare, mual, muntah, demam selama 3 hingga 5 hari, batuk pilek, sering mengantuk, serta gejala yang lebih spesifik adalah jumlah air seni atau air kecil semakin sedikit, bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.
Hingga saat ini, kasus gagal ginjal akut pada anak belum diketahui secara pasti penyebabnya. Namun, ada banyak faktor yang memungkinkan menjadi penyebabnya. Kemenkes memperkirakan, gagal ginjal akut tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh cemaran dari bahan tambahan yang terdapat pada obat sediaan sirup untuk anak.
Menurut paparan informasi resmi keempat yang disampaikan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, dalam konfrensi press BPOM yang diselenggarakan 20 oktober 2022, Penny K Lukito, bahwa memungkinkan adanya cemaran senyawa kimia yang terdapat dalam sirup obat anak, yang merupakan reaksi samping dari bahan tambahan sirup yang menggunakan salah satu bahan pelarut dengan kandungan polietilen glikol, propilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol.
Bahan pelarut obat tersebut bisa menghasilkan produk sampingan berupa senyawa etilen glikol (EG) atau dietilen glikol (DEG). EG dan DEG sangat mungkin ditemukan dalam produk sirup yang menggunakan jenis pelarut tersebut. Hanya saja, jika kadarnya masih di ambang batas, itu masih aman untuk dikonsumsi. Akan tetapi, jika kadarnya sudah melebihi ambang batas yang dipersyaratkan, maka akan sangat berbahaya bagi tubuh. Senyawa EG dan DEG itu diduga dapat masuk ke tubuh anak melalui obat sirup yang mereka konsumsi.
Sejauh ini, BPOM telah melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 sirup obat anak yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG. Hasil uji menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada 5 (lima) produk sirup anak dan berencana untuk memperluas pemeriksaan dan pengujian lebih lanjut.
Selain senyawa EG dan DEG, sejumlah faktor yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut anak lainnya adalah daya tahan tubuh anak yang rentan hingga lingkungan yang tidak terlalu bersih. Pasalnya, tidak semua pasien anak yang mengidap penyakit tersebut sedang mengonsumsi obat sirup.
Persoalan kesehatan yang menimpa anak bukanlah permasalahan baru di negeri ini. Persoalan kesehatan anak seperti stunting dan kurang gizi hingga hari ini belum juga mendapatkan solusi tuntas.
Kematian anak yang tinggi melalui fenomena gagal ginjal akut dalam dua bulan terakhir ini seharusnya menyadarkan penguasa dan masyarakat bahwa ada kesalahan dalam tata kelola kesehatan di negeri ini, sebab kesehatan sangat erat kaitannya dengan lingkungan yang bersih, makanan yang bergizi, edukasi tentang pola hidup sehat, hingga perlindungan ketat oleh negara dari penyakit menular.
Namun, penanganan terhadap kasus gagal ginjal akut anak ini seperti tidak ditangani dengan cepat dan sigap. Kasus ini sebenarnya sudah ditemui sejak bulan Januari. Namun, baru mendapatkan perhatian setelah terjadi lonjakan kasus pada bulan September sampai sekarang. Selayaknya sudah lebih banyak yang dapat dilakukan pemerintah untuk menemukan penyebab dan penanggulangannya sejak dini, sehingga jatuh korban tidak menjadi sebanyak ini.
Pasalnya, kesehatan di bawah pengelolaan sistem kapitalisme adalah objek komersialisasi yang menggiurkan untuk diperdagangkan. Sistem kapitalisme telah melahirkan kebijakan yang hanya berputar pada persoalan uang, bisnis, dan keuntungan.
Setiap tahun, subsidi kesehatan terus dikurangi. Negara hadir di tengah-tengah umat bukan sebagai pengurus urusan rakyat, tetapi sebagai regulator yang berperan dalam memuluskan bisnis para korporasi, termasuk dalam bidang kesehatan. Tidak heran jika kasus gagal ginjal ini sangat lamban ditangani hingga menelan ratusan nyawa anak. Oleh karena itu, perwujudan kesehatan anak tidak akan pernah terwujud dalam kapitalisme karena cara pandang negara terhadap kesehatan akan memengaruhi prioritas dan kualitas negara dalam memenuhinya.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, anak bukan sekadar aset masa depan, tetapi mereka adalah bagian dari masyarakat yang wajib dipenuhi kebutuhannya. Dengan pemahaman itu, negara akan berusaha sekuat tenaga memenuhinya, mulai dari penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai atau gratis, pemenuhan gizi yang tercukupi, baik untuk orang yang kaya ataupun miskin, hingga pemberian pendidikan yang merata di kota maupun di desa. Semua itu dibiayai oleh Baitul Mal yang ada dalam sistem ekonomi negara Islam atau yang disebut Khilafah.
Khilafah akan memberikan anggaran untuk mencukupi segala kebutuhan rakyat, termasuk anak-anak. Kekayaan negara di Baitul Mal diperoleh dari jizyah, kharaj, ghonimah, Fai, harta tak bertuan, pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain. Semua pendapatan itu bersifat tetap dan besar sehingga memampukan negara memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyat.
Semua bentuk pelayanan yang dilakukan negara bukan untuk mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk mengurusi kebutuhan seluruh masyarakat. Hal ini dilakukan atas dasar keimanan dan tanggung jawab karena pemimpin negara (khalifah) akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Hadis Riwayat Bukhari).
Atas dasar inilah, seorang khalifah wajib dan butuh menerapkan syariat secara menyeluruh atau kaffah, termasuk dalam bidang kesehatan. Sebab, salah satu fungsi syariat adalah hifdzun nafs atau menjaga jiwa manusia.
Jika terjadi wabah atau penyakit menular atau fenomena kematian yang misterius, maka
khilafah akan segera bertindak. Bahkan, pada satu kasus penyakit saja yang belum diketahui penyebabnya, negara akan segera melakukan riset terkini agar cepat dalam menangani penyakit tersebut.
Masyarakat tidak akan dibiarkan menghadapi sendiri penyakit tersebut hingga mendapatkan efek yang lebih buruk. Negara akan segera melakukan riset tentang standar pengobatan instrumen dan obat-obatan terbaik bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa pasien. Setelah ditemukan, negara akan memproduksinya dan memberikan secara cuma-cuma kepada pasien tanpa memungut biaya sepeser pun. Inilah sistem terbaik yang menjamin terpeliharanya jiwa manusia dan terjaminnya seluruh kebutuhan masyarakat.
Allahu a’alam bish shawab.
Oleh: Falihah Dzakiyah
Praktisi Kesehatan dan Aktivis Muslimah Peduli Generasi