Beda Penetapan Awal dan Akhir Ramadan, sebab Persoalan Politik?
"Lihat orang-orang Islam, sekadar melihat bulan saja selalu berselisih, beda dengan kita (orang Barat), sudah pakem karena sudah lama menginjak-injak bulan."
Tinta Media - Kata-kata dari orientalis barat itu memang terkesan menggelitik. Namun, tahukah kalian bahwasanya kalimat itu membuat diri ini sebagai seorang muslim tertunduk malu?
Bagaimana tidak, ketika menetapkan awal dan akhir bulan Ramadan selalu saja berselisih. Misalnya saja, tahun ini ada yang mengawali Ramadan secara tidak bersamaan. Ada yang mulai tanggal 11 Maret dan ada yang 12 Maret. Tahun lalu pun juga sama, begitu juga tahun-tahun yang sebelumnya. Hampir setiap tahun terjadi perbedaan.
Terkadang, kita meyakini bahwasanya fenomena perbedaan-perbedaan itu ada dasar dan landasannya, yaitu fiqih. Namun, pernahkah kita menelaah lebih lanjut bahwasanya ada faktor lain selain fiqih?
Kita ambil satu contoh saja misalnya, hasil rukyatul hilal di Cakung dan Jepara pernah ditolak oleh sidang isbat di Kementerian Agama dan MUI dengan alasan bahwa hasil perhitungan menunjukkan hilal pada sore itu jauh di bawah batas imkanur rukyat , jadi harus ditolak. (detikNews.com)
Padahal, waktu itu rukyat di Cakung dilakukan dengan tiga metode. Hasilnya, di masing-masing metode, 4,35 derajat, 3 derajat, dan 2 derajat. Ketiga saksi dengan metode masing-masing mengaku melihat hilal. Namun, tidak diambil sumpah ketiga saksi tersebut.
Akhirnya, terjadi spekulasi di berbagai kalangan, karena mendengar alasan penolakan tersebut. Di satu sisi, hilal juga tampak di Malaysia dan Thailand. Secara geografis, Malaysia lebih dekat dengan Indonesia, lantas mengapa Indonesia tidak memakai data tersebut? Namun, pemerintah masih bisa beralasan karena negeri ini mengikuti konsep wilayatul hukmi.
Pendapat tersebut katanya diambil dari pendapat Imam Syafi'i, yang intinya adalah jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari daerah tempat hilal terlihat bisa mengikuti hasil rukyat itu, sedangkan daerah di luar radius itu boleh rukyat sendiri.
Padahal, jumhur ulama tidak menganggap terkait penentuan awal dan akhir Ramadan karena perbedaan wilayah ataupun radius berapa pun farsakh. Contohnya adalah ulama fiqih kontemporer yang terkenal bernama Al-Sayyid Sabiq. Beliau mengatakan bahwa jumhur ulama tidak menganggap adanya perbedaan terkait penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan baik di sisi mathla' (jarak/wilayah) atau ikhtilaful mathali' (perbedaan wilayah). Karena itu, kapan saja penduduk satu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa.
Rasulullah saw. bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya."
Seruan ini bersifat umum, menyangkut seluruh umat. Jadi, siapa saja di antara mereka (umat Islam) yang melihat hilal di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi umat Islam semuanya.
Kasus tersebut terus terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, satu kasus yang dulu pernah menggelitik. Pada tahun 2006, ormas Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1427 H bertepatan dengan 23 Oktober 2006, sedangkan PBNU menetapkan 1 Syawal pada tanggal 24 Oktober 2006, bersesuaian dengan tanggal merah dan keputusan pemerintah.
Faktanya, di berbagai wilayah, banyak warga NU yang berlebaran pada hari yang sama dengan warga Muhammadiyah, yaitu 23 Oktober 2006, karena mereka meyakini telah melihat hilal. Hilal ini juga terlihat di Malaysia dan Burnei Darussalam yang letaknya secara geografis dekat dengan Indonesia. Artinya, kalau toh ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, faktanya itu terjadi sebatas di tingkat elite saja.
Kasus yang hampir sama juga terjadi saat menetapkan 1 Syawal tahun 2011. Ini sangat menggelitik juga. (eramuslim.com)
Jadi, memang jelas bahwa perbedaan awal dan akhir Ramadan bukan disebabkan oleh persoalan-persoalan fiqih, bukan persoalan mathla' (wilayah), bukan jarak, bukan juga perbedaan metodologi (hisab atau rukyatul), ataupun perbedaan organisasi. Namun, nyatalah bahwa itu semua terjadi karena persoalan politik atau lebih tepatnya ego nasionalisme. Hal itu diperjelas dengan fakta geografis Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang berdekatan, tetapi hasilnya tidak diambil sebagai referensi.
Jadi, semua lebih karena dalih, bukan dalil. Dalih yang diambil adalah batas-batas imajiner politis nasionalistik, bukan dalil agama yang menjadi rujukan. Ini sudah tergambarkan lewat kasus-kasus yang dijelaskan tadi.
Ketika masing-masing negeri muslim menetapkan sendiri awal dan akhir bulan Ramadan berdasarkan hasil perhitungan ataupun rukyat di wilayah tersebut, maka akan terjadi perbedaan. Bila di wilayah itu tidak terlihat hilal, maka langsung dianggap hilal tidak tampak tanpa menunggu hasil rukyat di negeri muslim lain, bahkan negeri yang berdekatan sekalipun.
Padahal, sudah jelas penetapan awal dan akhir Ramadan sesungguhnya terkait erat dengan peredaran bumi, bulan, dan matahari, sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas-batas imajiner yang disebut dengan nasionalisme.
Oleh: Setiyawan Dwi
Jurnalis