Tinta Media: Akhir
Tampilkan postingan dengan label Akhir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akhir. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2024

Beda Penetapan Awal dan Akhir Ramadan, sebab Persoalan Politik?



"Lihat orang-orang Islam, sekadar melihat bulan saja selalu berselisih, beda dengan kita (orang Barat), sudah pakem karena sudah lama menginjak-injak bulan."

Tinta Media - Kata-kata dari orientalis barat itu memang terkesan menggelitik. Namun, tahukah kalian bahwasanya kalimat itu membuat diri ini sebagai seorang muslim tertunduk malu?

Bagaimana tidak, ketika menetapkan awal dan akhir bulan Ramadan selalu saja  berselisih. Misalnya saja, tahun ini ada yang mengawali Ramadan secara tidak bersamaan. Ada yang mulai tanggal 11 Maret dan ada yang 12 Maret. Tahun lalu pun juga sama, begitu juga tahun-tahun yang sebelumnya. Hampir setiap tahun terjadi perbedaan.

Terkadang, kita meyakini bahwasanya fenomena perbedaan-perbedaan itu ada dasar dan landasannya, yaitu fiqih. Namun, pernahkah kita menelaah lebih lanjut bahwasanya ada faktor lain selain fiqih?

Kita ambil satu contoh saja misalnya, hasil rukyatul hilal di Cakung dan Jepara pernah ditolak oleh sidang isbat di Kementerian Agama dan MUI dengan alasan bahwa hasil perhitungan menunjukkan hilal pada sore itu jauh di bawah batas imkanur rukyat , jadi harus ditolak. (detikNews.com)

Padahal, waktu itu rukyat di Cakung dilakukan dengan tiga metode. Hasilnya, di masing-masing metode, 4,35 derajat, 3 derajat, dan 2 derajat. Ketiga saksi dengan metode masing-masing mengaku melihat hilal. Namun, tidak diambil sumpah ketiga saksi tersebut.

Akhirnya, terjadi spekulasi di berbagai kalangan, karena mendengar alasan penolakan tersebut. Di satu sisi, hilal juga tampak di Malaysia dan Thailand. Secara geografis, Malaysia lebih dekat dengan Indonesia, lantas mengapa Indonesia tidak memakai data tersebut? Namun, pemerintah masih bisa beralasan karena negeri ini mengikuti konsep wilayatul hukmi.

Pendapat tersebut katanya diambil dari pendapat Imam Syafi'i, yang intinya adalah jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari daerah tempat hilal terlihat bisa mengikuti hasil rukyat itu, sedangkan daerah di luar radius itu boleh rukyat sendiri.

Padahal, jumhur ulama tidak menganggap terkait penentuan awal dan akhir Ramadan karena perbedaan wilayah ataupun radius berapa pun  farsakh. Contohnya adalah ulama fiqih kontemporer yang terkenal bernama Al-Sayyid Sabiq. Beliau mengatakan bahwa jumhur ulama tidak menganggap adanya perbedaan terkait penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan baik di sisi  mathla' (jarak/wilayah) atau ikhtilaful mathali' (perbedaan wilayah). Karena itu, kapan saja penduduk satu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa.

Rasulullah saw. bersabda, "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya."

Seruan ini bersifat umum, menyangkut seluruh umat. Jadi, siapa saja di antara mereka (umat Islam) yang melihat hilal di tempat mana pun, maka rukyat itu berlaku bagi umat Islam semuanya.

Kasus tersebut terus terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, satu kasus yang dulu pernah menggelitik. Pada tahun 2006, ormas Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1427 H bertepatan dengan 23 Oktober 2006, sedangkan PBNU menetapkan 1 Syawal pada tanggal 24 Oktober 2006, bersesuaian dengan tanggal merah dan keputusan pemerintah. 

Faktanya, di berbagai wilayah, banyak warga NU yang berlebaran pada hari yang sama dengan warga Muhammadiyah, yaitu 23 Oktober 2006, karena mereka meyakini telah melihat hilal. Hilal ini juga terlihat di Malaysia dan Burnei Darussalam yang letaknya secara geografis dekat dengan Indonesia. Artinya, kalau toh ada perbedaan antara Muhammadiyah dan NU, faktanya itu terjadi sebatas di tingkat elite saja.

Kasus yang hampir sama juga terjadi saat menetapkan 1 Syawal tahun 2011. Ini sangat menggelitik juga. (eramuslim.com)

Jadi, memang jelas bahwa perbedaan awal dan akhir Ramadan bukan disebabkan oleh persoalan-persoalan fiqih, bukan persoalan mathla' (wilayah), bukan jarak, bukan juga perbedaan metodologi (hisab atau rukyatul), ataupun perbedaan organisasi. Namun, nyatalah bahwa itu semua terjadi karena persoalan politik atau lebih tepatnya ego nasionalisme. Hal itu diperjelas dengan fakta geografis Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang berdekatan, tetapi hasilnya tidak diambil sebagai referensi.

Jadi, semua lebih karena dalih, bukan dalil. Dalih yang diambil adalah batas-batas imajiner politis nasionalistik, bukan dalil agama yang menjadi rujukan. Ini sudah tergambarkan lewat kasus-kasus yang dijelaskan tadi.

Ketika masing-masing negeri muslim menetapkan sendiri awal dan akhir bulan Ramadan berdasarkan hasil perhitungan ataupun rukyat di wilayah tersebut, maka akan terjadi perbedaan. Bila di wilayah itu tidak terlihat hilal, maka langsung dianggap hilal tidak tampak tanpa menunggu hasil rukyat di negeri muslim lain, bahkan negeri yang berdekatan sekalipun. 

Padahal, sudah jelas penetapan awal dan akhir Ramadan sesungguhnya terkait erat dengan peredaran bumi, bulan, dan matahari, sama sekali tidak ada kaitannya dengan batas-batas imajiner yang disebut dengan nasionalisme.


Oleh: Setiyawan Dwi 
Jurnalis

Sabtu, 31 Desember 2022

REFLEKSI AKHIR TAHUN: KILAS BALIK 2022 UNTUK MEWUJUDKAN KEDAULATAN NEGERI

Tinta Media - Ahad, 25 Desember 2022, penulis diundang ke Surabaya oleh Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD), untuk menjadi salah satu nara sumber diskusi refleksi akhir tahun. Kali ini, PKAD mengambil tema "Kilas Balik 2022 untuk mewujudkan kedaulatan negeri".

Selain penulis yang diminta menyoroti bidang hukum, juga akan hadir Ust. M. Ismail Yusanto (Politik), Ust. Azizi Fathoni (Agama), Prof. Suteki (Ideologi), Assoc. Prof Fahmy Lukman (Sosbud), Dr. Rizal Taufikurrahman (Ekonomi) dan Agung Wisnuwardhana (Kebijakan Publik). Sebagaimana biasa, bertindak sebagai Keynote Speaker Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD).

Belum diketahui, siapa saja narasumber yang hadir secara langsung (offline). Kabarnya, diskusi ini akan diselenggarakan secara hibrid (offline-online).

Kembali ke tema diskusi, PKAD mengambil tema "Kilas Balik 2022 untuk mewujudkan kedaulatan negeri", tentulah berdasarkan kajian dan rujukan data yang dapat disimpulkan Indonesia belum berdaulat atas negeri. Kekayaan yang Allah SWT karuniakan untuk negeri ini belum mampu memberikan dampak kesejahteraan bagi rakyat.

Kemandirian dan independensi hukum yang terbebas dari imperialisme, nampak belum wujud. Hadirnya UU Omnibus Law yang disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 November 2020 dan resmi menjadi UU No 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, justru memperdalam cengkeraman penjajahan ekonomi rakyat berdalih investasi.

Kabar pelelangan 100 pulau di kawasan Kepulauan Widi, Maluku Utara pada awal Desember 2022 lalu, juga tak lepas dari eksistensi UU Cipta Kerja. Mendagri Tito Karnavian berdalih pengembang Kepulauan Widi, PT Leadership Islands Indonesia (LII) diberikan waktu 7 tahun untuk mengembangkan kawasan tersebut untuk mencari investor karena kekurangan modal.

Lagi-lagi, berdalih investasi, untuk menarik investor, kedaulatan negeri dijual kepada asing. Negara tidak lagi meletakan kedaulatan dan kemandirian sebagai asas kebijakan mengelola negeri. Investasi telah dijadikan dalih paling klasik, untuk mengerat-erat dan memecahbelah negeri, menyerahkan kedaulatan bangsa kepada asing dan aseng.

UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, juga turut memberikan andil hilangnya kedaulatan mineral dan batu bara. 

Menurut UU Minerba lama maupun PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, kontrak karya yang ada berlaku sampai jangka waktunya berakhir. *Setelah berakhir, maka selesailah hubungan kerja sama antara pemerintah dengan kontraktor dan wilayah kerja pertambangan tersebut sepenuhnya kembali menjadi milik pemerintah.*

Namun, bukannya pemerintah menyiapkan sarana prasarana, kemampuan dan sumber daya untuk mengambil alih sejumlah tambang minerba yang sudah habis kontrak kerjanya, pemerintah malah mengubah UU Minerba yang membuat pemegang konsesi kontrak karya (KK) bisa langsung mendapatkan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).

Akibatnya, sejumlah oligarki tambang khususnya Batubara seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) akan habis malah difasilitasi dengan perubahan status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK-OP).

Padahal, tiga perusahaan ini saja kalau tambangnya kembali kepada pemerintah (negara), tentulah akan menambah kesejahteraan rakyat. Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini, akan memberikan nilai positif bagi pembangunan nasional.

Faktanya, Negara kehilangan potensi pendapatan dari pertambangan batubara yang dikuasai empat perusahaan ini. Belum lagi, masih banyak perusahaan tambang batubara lainnya yang dikuasai individu, korporasi, swasta, asing dan aseng.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah membukukan pendapatan (belum termasuk konsolidasi KPC) senilai US$ 1,39 miliar hingga kuartal III-2022. Jumlahnya melesat 109,3% dari periode yang sama tahun lalu US$ 666,18 juta.

PT Indika Energy Tbk (INDY) mencetak pendapatan sebesar US$ 3,13 miliar hingga akhir kuartal III-2022. Melesat sekitar 57% dari US$ 1,99 miliar pada Januari-September 2021.

PT Adaro Energy Indonesia Tbk (IDX: ADRO) meraup laba inti sebesar USD2,331 miliar pada sembilan bulan tahun 2022, atau naik 262 persen dibanding periode sama tahun 2021 yang tercatat senilai USD644 juta.

Belum lagi perusahaan Batu bara lainnya seperti PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) Emiten milik konglomerat Dato' Low Tuck Kwong yang memproduksi sebanyak 37,6 juta ton batu bara pada 2021. Pada 2022, BYAN berencana memproduksi sejumlah 37 juta-39 juta ton batu bara.

PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), PT Golden Energy Mines Tbk. (GEMS), PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), PT ABM Investama Tbk. (ABMM), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Eksistensi tambang yang dikuasai korporasi swasta, asing dan aseng tersebut, baik tambang batubara dan tambang lainnya, adalah konfirmasi tiada daulat atas negeri. *Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini hanya membuat kaya raya segelintir orang saja.*

Lalu, apakah masih relevan norma pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan:

_"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."_

Dalam bidang hukum, masalah pengesahan RKUHP menjadi KUHP juga hanya konfirmasi mempertahankan ruh norma hukum penjajah belanda dalam bentuk yang lain. Negeri ini, tetap saja dicengkeram oleh sekulerisme dan mengabaikan hukum Allah SWT.

Sejumlah pasal represif dan anti Islam justru dihidupkan dan dipertahankan dalam KUHP baru. Pasal soal penghinaan Presiden, DPR, pasal kriminalisasi demo, kontra pancasila, perlindungan terhadap zina, dan banyak lagi masalah dalam UU yang oleh DPR dibanggakan sebagai 'Karya Agung Anak Bangsa' yang mengakhiri dominasi penjajahan yang bercokol lebih dari 150 tahun.

Belum lagi, kebijakan penegakan hukum ditahun 2022 masih copas (Copy Paste) dari kebijakan hukum tahun-tahun sebelumnya, dimana hukum dijadikan instrumen untuk membungkam kritik, menekan gerakan Islam dan melindungi jubah kekuasaan yang zalim.

Penangkapan Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah, Ustadz Anung al Hamat hingga divonis 3 tahun penjara dengan tuduhan teroris menjadi buktinya. Aktivitas dakwah dituduh terorisme, Ulama dituduh teroris.

Belum lagi penangkapan Gus Nur dan Bambang Tri. Kasus ini adalah konfirmasi rezim anti kritik, hukum dijadikan sarana untuk membungkam nalar kritis rakyat.

Tidak ada resolusi lain, selain penulis ingin menyampaikan firman Allah SWT:

_“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”._ [QS Ar Rum: 41].

Semua kerusakan yang menimpa negeri ini, adalah karena maksiat, manusia tidak mau taat, tidak mau menerapkan hukum Allah SWT. Maka, manusia mengalami kesulitan hidup, negeri ini selalu ditimpa bencana dan masalah.

Dalam akhir tulisan ini, penulis mengajak kepada segenap umat Islam untuk memperbaiki negeri ini dengan Islam. Menjadikan penduduk negeri ini beriman dan taqwa kepada Allah SWT, agar negeri ini berkah, menjadi negeri yang baldatun, thayyibatun, warobbun ghaffur.

Hanya dengan syariat Islam, negeri ini akan berdaulat. Hanya dengan syariat Islam, kekayaan alam yang Allah SWT karuniakan di negeri ini akan menyejahterakan. Hanya dengan syariat Islam, kedaulatan hukum akan terwujud, dan hukum Allah SWT dapat diberlakukan.

Maha benar Allah SWT yang berfirman:

_"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."_

[QS Al A'rof 96].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

[Catatan Hukum Akhir Tahun, sebagai Refleksi untuk menghadirkan Resolusi Untuk Negeri]
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab