Kapitalisasi Air Lahirkan Kemiskinan
Tinta Media - Fenomena masyarakat kelas menengah terjun bebas ke dalam kelompok miskin, benar adanya.
Data BPS menyebutkan, jumlah kelas menengah merosot dari angka 53,37 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024 (cnbcindonesia.com, 31-8-2024).
Beragam kebutuhan kian mahal di tengah sulitnya lapangan pekerjaan dan badai PHK yang tidak kunjung berhenti. Salah satunya kebutuhan masyarakat terkait pemenuhan air bersih layak konsumsi yang jauh di bawah ambang normal. Pola ini tampak dalam keseharian masyarakat yang menggunakan air kemasan untuk kebutuhan minum, memasak dan kebutuhan harian lainnya. Fenomena tersebut dibenarkan adanya oleh ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro. Penurunan jumlah masyarakat ekonomi menengah menjadi miskin tidak hanya karena dampak pandemi Covid-19, namun juga pola konsumsi air galon yang semakin menambah beban berat pengeluaran harian mereka (cnbcindonesia.com, 6-9-2024). Demikian ungkap Bambang.
Dampak Kapitalisasi
Menanggapi pernyataan tersebut, Anthony Budiawan, Managing Economy and Policy Studies mengungkapkan bahwa fakta ini menggambarkan kegagalan rezim yang menetapkan pengaturan kebijakan terkait penyediaan kebutuhan primer dan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan primer kian sulit diakses berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan secara drastis. Untuk memenuhi kebutuhan air minum saja, rakyat begitu kesulitan. Wajar saja, kehidupan rakyat kian sulit karena pengeluaran yang terus melonjak dari waktu ke waktu.
Penyediaan air minum yang mestinya ditetapkan sebagai kebijakan sistematis oleh negara. Namun faktanya, negara abai dalam kebijakan tersebut. Negara menganggap anggaran terkait penyediaan air minum dan konsumsi rakyat adalah beban berat bagi anggaran negara. Sementara di sisi lain, negara terus menggenjot pembangunan infrastruktur yang memaksa pemerintah terus memeras anggaran nasional dan tidak ada nilai urgenitasnya secara langsung bagi kepentingan rakyat.
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya. Kawasan hutan yang luas membentang mestinya mampu menjadi sumber air tanah yang melimpah. Namun sayang, pengelolaan yang berbasis pada keuntungan telah berujung pada keburukan yang langsung dirasakan seluruh rakyat. Perambahan hutan terjadi besar-besaran. Hingga akhirnya terjadilah perubahan iklim yang ekstrem. Kekeringan melanda berbagai wilayah, rakyat pun mengalami krisis air bersih. Walaupun ada, kualitas air yang tersedia berada di bawah standar kelayakan. Mau tak mau, rakyat harus berusaha mandiri mencari alternatif sumber air demi memenuhi kebutuhan primer hariannya. Air galon atau air kemasan menjadi salah satu alternatif yang menutupi masalah. Tapi ternyata, masalah tidak mampu utuh tersolusikan. Rakyat dipaksa terus membeli air demi memenuhi kebutuhan air setiap hari.
Di sisi lain, saat ini begitu banyak perusahaan air minum kemasan dan dijual bebas. Bentuk kapitalisasi air begitu nyata di depan mata. Perusahaan-perusahaan bermodal besar telah berhasil mendapatkan kesempatan emas. Perusahaan tersebut memandang bahwa daruratnya rakyat dalam mencari alternatif sumber air bersih dan layak, menjadi obyek bisnis yang menjanjikan. Miris, kesusahan yang dialami rakyat menjadi sasaran empuk para kapitalis opportunis. Inilah bentuk kapitalisasi sumber daya, dalam hal ini kapitalisasi sumber air oleh para pemodal. Fakta ini pun kian membuktikan, betapa rusaknya tata kelola negara yang menyandarkan konsep pengaturannya pada sistem kapitalisme yang liberal. Kebebasan tanpa batas telah menciptakan pasar bebas yang senantiasa berorientasi pada keuntungan materi. Rakyat kian dimiskinkan secara kontinyu. Karena beragam kebutuhan primernya diabaikan oleh negara.
Dalam sistem kapitalisme, negara sama sekali tidak mampu berfungsi sebagai penjaga dan pelindung rakyat. Justru sebaliknya, negara hanya berfungsi sebagai regulator yang menghubungkan antara kebijakan dan kepentingan pemodal. Sedangkan kepentingan rakyat sama sekali tidak mendapatkan ruang perhatian. Memprihatinkan.
Tata Kelola Air dalam Islam
Islam menetapkan bahwa air merupakan kebutuhan utama seluruh rakyat yang wajib diurus negara.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Berdasarkan hadits tersebut, negara menjadi penanggung jawab utama setiap kebutuhan primer rakyat yang terhimpun dalam tiga perkara, yakni padang rumput, termasuk hutan, dan sejenisnya, kemudian air beserta seluruh sumbernya dan api, yakni segala bentuk sumber energi.
Menyoal kebutuhan air, negara akan menetapkan kebijakan pelarangan kepemilikan sumber air secara pribadi atau lembaga. Karena sumber air menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan negara menjadi satu-satunya lembaga pengelola yang pertama dan utama. Berbagai teknologi dan anggaran ditetapkan negara untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat di setiap wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan. Jika negara belum mampu menyediakan teknologi mumpuni, maka negara akan menyewa teknologi beserta ahlinya dari negeri lain dengan pengawasan langsung dari negara. Sehingga kebijakan tersebut mampu menempatkan setiap kepentingan rakyat sebagai prioritas layanan yang utama. Paradigma tersebut akan meniscayakan pengaturan kebutuhan rakyat dengan amanah dan bijaksana. Setiap pemimpin yang berwenang dalam hal kebijakan memiliki konsep keimanan dan menempatkan kekuasaannya sebagai sarana untuk melayani dan melindungi rakyat. Dengan demikian, rakyat akan dimudahkan dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, termasuk memenuhi kebutuhan air. Air berkualitas akan disediakan negara dengan harga terjangkau bahkan gratis.
Segala bentuk mekanisme dan strategi tersebut hanya mampu diwujudkan dalam satu tatanan yang menerapkan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh. Inilah sistem Islam dalam wadah khilafah. Dengannya rakyat dijamin sejahtera dalam pengurusan yang tangguh dan bijaksana.
Wallahu a'lam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor