Tinta Media: Agraris
Tampilkan postingan dengan label Agraris. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agraris. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Januari 2024

Impor Selalu Menjadi Solusi Kesulitan Beras di Negeri Agraris



Tinta Media - Lagi dan lagi, Impor kembali dilakukan oleh pemerintah, alasannya karena sulit untuk mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat akan beras, dan juga penambahan jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak setiap tahunnya  menjadi penyebab tidak tercapai nya swasembada. Namun mengapa bisa produksi beras tidak cukup? bukankah kita adalah negara agraria dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah bertani. 

Dalam laman CnbcIndonesia.com 02/01/2024. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa sebenarnya tidak ingin melakukan impor lagi, namun hasil produksi beras tidak bisa mencapai target setiap tahunnya, sementara kebutuhan akan beras terus meningkat. Saat ini penduduk Indonesia sudah mencapai 280 juta jiwa yang sebagian besar makanan pokoknya adalah nasi. 

Impor Beras Bukanlah Solusi Tuntas 

Krisis beras ini bukan hanya mengakibatkan Impor, tapi juga berdampak pada kenaikan harga beras yang semakin tinggi, mayoritas ekonomi penduduk Indonesia adalah menengah ke bawah, dengan kenaikan harga ini tentu akan sangat memberatkan masyarakat, sebab harga beras yang mahal akan mengurangi jatah uang untuk membeli lauk, dan kebutuhan lain, juga untuk membayar listrik, atau biaya sewa. 

Namun, pemerintah justru mengambil solusi praktis dengan melakukan impor, padahal kebijakan impor hanya akan menyulitkan petani lokal, sebab harga impor biasanya akan lebih murah dari petani lokal, sehingga masyarakat cenderung memilih harga murah yang akibatnya dapat merugikan para petani. Impor juga menjadi ladang cuan bagi para penguasa sebab ketika negara melakukan impor maka akan mendapat keuntungan. 

Pemerintah harusnya menganalisis secara mendalam, apa penyebab hasil produksi yang sedikit, apakah karena cuaca atau sistem distribusi. Jika akibat cuaca yang berubah- ubah, pemerintah harus melakukan riset dan penelitian demi menciptakan bibit unggul yang tahan perubahan cuaca, memberikan subsidi atau pupuk gratis. Dan jika masalahnya di pendistribusian, maka pemerintah wajib memantau penyaluran beras, mulai dari produksi para petani hingga sampai kepada masyarakat. 

Pemerintah juga harus mengantisipasi adanya toke atau pemain yang akan berlaku curang memainkan harga atau menimbun beras untuk waktu lama, yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga di pasar. Namun solusi- solusi ini tidak akan pernah diterapkan oleh negara kapitalis, yang mengutamakan keuntungan atas segalanya. 

Islam Solusi Kesejahteraan Negeri 

Dalam Islam, pemerintah adalah pelayan umat, sehingga setiap kebijakan yang diambil akan selalu mengutamakan kepentingan umat, bukan mencari keuntungan semata. Produksi beras akan di awasi mulai dari petani hingga pemasaran pada masyarakat, dan akan di pastikan tidak ada kecurangan yang terjadi dalam setiap prosesnya. 

Petani di berikan edukasi pertanian dan teknologi untuk alat-alat terbaru yang akan memudahkan sistem produksi. Sementara petani yang kekurangan modal akan di berikan pinjaman tanpa bunga atau di berikan bantuan gratis, baik uang maupun lahan untuk pertanian. 

Negara Islam juga akan memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelaku curang, cukong pasar atau mafia tanah yang menyulitkan para petani dalam menjalankan usahanya. Negara juga bertanggung jawab penuh dalam pemenuhan kebutuhan pokok warganya, seluruh bantuan diberikan secara gratis, di tanggung oleh baitul maal yang dikelola oleh negara. 

Demikianlah kepemimpinan dalam Islam, negara yang menerapkan syari'at Islam secara menyeluruh tidak akan menzalimi rakyatnya, sebab ada syari'at di sana ada maslahat. dan setiap pengambilan kebijakan akan melihat halal haram atau menimbang dosa dan pahala jika di lakukan, maka insya Allah rakyat akan makmur, tenang, tenteram dan sejahtera. Wallahu A'lam Bisshowab.

Oleh: Audina Putri 
(Aktivis Muslimah) 

Sabtu, 10 Desember 2022

Ironi, Negara Agraris Pecandu Impor Beras

Tinta Media - Kebijakan impor beras ibarat rutinitas tahunan di Indonesia. Ironis, sebab negeri ini dikenal sebagai negara agraris, bahkan sejak masa kolonial penjajahan. Harapan swasembada pangan hanyalah ilusi yang digaungkan oleh setiap rezim yang berkuasa. Faktanya, impor beras terus berlanjut meski sebenarnya justru merugikan petani pribumi. 

Baru-baru ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, alias Zulhas, buka suara mengenai ketersedaiaan beras dalam negeri. Zulhas berujar bahwa persediaan beras di Bulog tidak boleh kurang dari 1,2 juta ton. Ketersediaan pasokan ini menjadi penting karena bisa berpengaruh terhadap inflasi pangan. Kondisi ini berbeda dengan komoditas lain, seperti cabai dan bawang. 

“Beras kalau naik Rp10 saja bisa berpengaruh pada inflasi hingga 3,6 persen. Kalau cabai atau bawang naik, pengaruhnya cuma 0,1 persen," ujar politikus Matahari Putih tersebut.  

Dia mengatakan pemerintah belum mengambil keputusan impor. Namun, Bulog sudah membeli beras di luar negeri.

"Belinya sudah, impornya belum,” ujar Zulhas ketika ditemui wartawan di The Westin Hotel Jakarta, Selasa, 29 November 2022 (tempo.com, 29/11/2022).

Pernyataan mendag tersebut merupakan respon dari kabar tirisnya ketersediaan pasokan beras di gudang bulog. Kondisi ini pertama kali dikeluhkan oleh para pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Pasalnya, pasokan beras dari Bulog per harinya berkurang dari 3000 ton menjadi hanya sekitar 150 ton saja.

Persoalan impor beras bukan persoalan baru bagi Indonesia. Hampir setiap tahun Indonesia rutin mengimpor beras dari negara lain. Anehnya, tidak ada solusi apa pun, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Siapa pun presiden dan menterinya, kebijakannya tidak jauh berbeda. Solusinya adalah impor beras, dan hal ini tidak pernah dianggap sebagai masalah besar. Impor justru dianggap tindakan yang baik dan harus dilakukan. Padahal, faktanya petani pribumi harus menanggung dampak yang tidak menyenangkan, yaitu anjloknya harga gabah.

Polemik impor beras ini sesungguhnya tidak perlu terjadi berlarut-larut apabila pemerintah serius dalam melakukan pengelolaan pertanian di Indonesia. Swasembada beras sebenarnya bukanlah hal yang amat jauh untuk dicapai mengingat Indonesia beriklim tropis dengan lahan yang subur membentang sangat luas di seluruh negeri. Namun sayang, hal ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik dan efisien, sehingga swasembada beras hingga saat ini hanya menjadi mimpi.

Bulog sendiri adalah sebuah badan yang bertanggung jawab atas stok beras negara. Tugasnya adalah menyerap hasil panen para petani untuk dijadikan cadangan pangan dalam negeri. Teorinya memang bagus, tetapi pada prakteknya, Bulog membeli hasil panen petani dengan harga yang lebih rendah daripada swasta sehingga petani pun enggan menjual hasil panennya kepada pemerintah. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi. Penyerapan hasil pertanian dalam negeri, apalagi menyangkut makanan pokok rakyat, harusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Lebih ironis, untuk menjamin stok beras di gudang bulog, pemerintah memutuskan untuk membeli beras dari luar negeri. Bukan hanya tidak bijaksana, tapi kebijakan semacam ini sangat melukai hati para petani. Belum lagi petani harus dihadapkan dengan persoalan mahalnya harga pupuk. Tidak heran jika produksi beras kian menurun. Keterpurukan Ini adalah wujud dari keputusasaan petani yang tidak kunjung sejahtera, padahal hidup di dalam negara agraris.

Lalu mengapa pemerintah memilih impor dibandingkan membeli dari petani sendiri? Apakah harga beras luar negeri lebih murah daripada dalam negeri? Jawabnya iya. Biaya produksi padi di Indonesia memang tergolong tinggi. Di antaranya biaya irigasi dan pupuk di Indonesia tergolong sangat mahal, sehingga petani mau tidak mau harus memasang harga yang sesuai agar tidak merugi. Namun, masalah biaya produksi yang tinggi ini adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh para petani sendiri. Pemerintahlah yang seharusnya memberi solusi, bukan malah membeli beras dari luar negeri.

Impor beras ekstrem pada akhirnya bisa menimbulkan kerugian dan bahaya besar bagi Indonesia. Dampak paling berbahaya dari adanya impor beras adalah para petani di desa bisa mogok menanam padi. Para petani bila terus mengalami kerugian pastinya akan mencari alternatif lain selain dari menanam padi. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan kehilangan stabilitas dan kedaulatan pangan. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan bergantung pada negara lain dalam hal makanan pokok. Tentu ini sangat berbahaya.

Negara luar yang menjadi langganan impor beras Indonesia, seperti Vietnam dan Thailand, bisa saja menaikkan harga beras secara sepihak. Sebab pada setiap bisnis, pasti terdapat intrik politik. Thailand dan Vietnam akan melihat dan memperhitungkan kondisi Indonesia. Jika para petani benar-benar mogok menanam padi, maka bukan tidak mungkin kedua negara tersebut akan menggenjot harga menjadi lebih mahal. Jadilah negara kita kelimpungan untuk membeli beras. Maka benar adanya, bahwa swasembada pangan sangat penting bagi suatu negara.

Indonesia adalah negara agraris karena memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan iklim yang mendukung. Namun, masalah impor beras nyatanya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2000 hingga 2019 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar (solopos.com, 23/03/2021). Beras sebanyak itu diimpor dari sekitar tujuh negara, yakni Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, Myanmar, dan lainnya. 

Hobi impor beras yang bagai candu bagi pemerintah ini, mencerminkan buruknya sistem pengelolaan negara. Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait, baik pemerintah, petani maupun swasta. Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme memunculkan kebijakan pengelolaan pangan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan ekonomi hanya memperhitungkan untung rugi kaum kapital, bukan kemaslahatan seluruh rakyat. 

Keterpurukan semacam ini tidak akan terjadi apabila diterapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam semua lini kehidupan, termasuk tata kelola pertanian. Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  optimal.

Dunia Islam di masa kekhalifahan tercatat telah menguasai teknologi pangan yang lebih maju dari peradaban lain, bahkan dengan Barat sekalipun. Islam memandang pertanian merupakan tiang utama dalam ketahanan sebuah negara, maka segala proses pertanian akan sangat diperhatikan. Pemerintah Islam akan menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung petani dalam menyediakan benih berkualitas, teknologi canggih, dan mempermudah penyediaan penunjang pertanian yang baik seperti pupuk dan pestisida.

Negara dalam sistem Islam juga akan mengatur pasar sedemikian rupa agar ramah bagi para petani dalam negeri. Impor tidak akan dilakukan selama petani dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan pasar. Dengan begitu, hasil panen petani akan dihargai dengan pantas. Kesejahteraan dan keberkahan hidup petani dan seluruh rakyat hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. 

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-A'raf ayat 96. "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan". (QS. Al-A’raf: 96)

Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media

Negara Agraris Harus Impor Beras, Miris!

Tinta Media - Pada era Orde Baru, Indonesia pernah mengalami kejayaan pada bidang pertanian, hingga mendapat julukan "The Tiger of Asia" atau macan Asia. Itu adalah julukan dunia pada Indonesia. Saat itu, Indonesia mampu mengekspor beras hingga 2 juta ton setiap tahunnya. Bahkan, Indonesia mampu memberikan bantuan kemanusiaan ke banyak negara di belahan dunia. Akan tetapi, sekarang ini sungguh miris, negara agraris harus impor beras.

Cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog saat ini hanya  651 ribu ton, jauh  di bawah cadangan ideal sebesar 1,2 juta ton. Budi Waseso mengatakan bahwa cara lain untuk meningkatkan CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yaitu dengan impor.  

"Pemerintah harus bergerak cepat mengambil langkah alternatif untuk memenuhi cadangan beras yang sudah menipis. Kalau terlambat, di satu sisi kita sudah tahu tidak mungkin dalam waktu dekat bisa menyerap dalam jumlah besar, karena selain barangnya tidak ada, harganya tidak memungkinkan," kata Budi Waseso dalam rapat dengar pendapat dengan komisi 4 DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (6/11) seperti dikutip dari Antara.

Indonesia yang merupakan negara agraris diharapkan mampu mencukupi kebutuhan bahan pangan untuk masyarakatnya dari produksi dalam negeri. Akan tetapi, negeri ini ternyata masih melakukan impor bahan pangan seperti beras dari negara lain. Di pedesaan pun masih banyak  masyarakat yang mengalami kelaparan.

Banyak sekali alasan, mengapa Indonesia selalu melakukan impor beras, di antaranya adalah  karena saat ini stok beras pemerintahan di Bulog sangat terbatas. 

Selain itu, alasan yang sangat krusial adalah adanya alih fungsi lahan persawahan yang saat ini semakin gencar dilakukan. Perubahan lahan pertanian menjadi perkotaan jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan mempelebar lahan pertanian. Belum lagi adanya proyek pembangunan di kota, seperti pembangunan bandara, pelabuhan, pembuatan infrastruktur, dan sebagainya. Semua ini turut menyumbang pengurangan lahan pertanian.

Konflik agraria dan sengketa tanah merupakan beberapa gesekan yang bisa mengganggu efektivitas pertanian. Banyaknya pertanian yang beralih fungsi membuat para petani kehilangan mata pencaharian, akhirnya menjadi pengangguran. Jelas, ini menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di pedesaan, yang sebagian besar adalah petani.

Pupus sudah kedigdayaan Indonesia yang pernah menjadi negara swasembada beras. Di mata dunia, Indonesia kini dipandang sebelah mata. Padahal, negeri ini memiliki letak geografis yang menonjol sebagai negara terluas di  kawasan Asia Tenggara dengan sumber daya yang melimpah dan julukan tersohor sebagai negara agraris.

Kapitalis adalah Sebab, Masalah  Agraria adalah Akibat

Kapitalisme yang diterapkan di negeri menyebabkan para oligarki masuk ke setiap lini, termasuk sektor pertanian. Ini menyebabkan kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran bersama. Sistem kapitalisme berpijak pada dasar landasan bahwa yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan semakin lemah. Dari sini dapat dikatakan bahwa kapitalisme dan masalah agraria merupakan suatu hubungan sebab dan akibat.

Sistem kapitalisme dapat menggerogoti sektor pertanian, terutama wacana proyek pembangunan. Sektor pertanian ini merupakan ladang emas bagi para oligarki  asing maupun dalam negeri. 

Agraria Indonesia semakin diselimuti perang kepentingan terselubung dalam proyek pembangunan. Keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi tujuan utama, tanpa memikirkan akibat bagi para petani yang kehilangan mata pencaharian.

Berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Seburuk-buruknya pemimpin adalah yang al huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi rakyat nya)." (HR. Muslim)
Hadis ini merupakan peringatan buat para pemimpin negeri.

Ada hadis lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. 
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi dari harga-harga kaum muslimin, untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak)." (HR. Achmad, Al Baihaqi, At Thabrani)

Di dalam daulah Islam, seorang pemimpin negara mewajibkan kepada seluruh pejabatnya untuk memberikan perhatian penuh kepada rakyatnya, memastikan persediaan stok pangan apakah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Seorang pemimpin negara harus selalu mengingatkan kepada para pejabatnya untuk melakukan aktivitas produksi. Hal ini dengan melakukan pembinaan petani lokal, terutama terkait intensifikasi produksi. Negara mengatur penggunaan lahan pertanian dengan rinci, sehingga tidak akan terjadi alih fungsi lahan  yang dapat menyempitkan lahan pertanian.

Kemandirian negara dalam Islam dilakukan dengan mengharamkan segala bentuk kemungkaran bagi semua pihak di sektor apa pun, baik oleh asosiasi pengusaha, importir, atau pedagang yang melakukan kesepakatan, kolusi, atau persekongkolan dengan tujuan mengatur dan mengendalikan harga atau produk, misalnya dengan menahan atau menimbun stok maupun membuat kesepakatan harga jual sebagaimana yang dilakukan kartel pangan saat ini.

Kemandirian dalam produksi pangan sangatlah penting. Negara wajib mewujudkan swasembada, agar tidak bergantung pada negara lain. Impor tidak diharamkan dengan syarat tidak membahayakan kedaulatan negara.

Hanya dengan sistem Islam, tata kelola pangan bisa dituntaskan. Sudah saatnya umat Islam berpikir untuk berpaling dari sistem kapitalisme yang selamanya selalu menyengsarakan rakyat, ke sistem Islam yang dibuat oleh yang menciptakannya, yaitu Allah Swt. Dengan Islam kaffah, negeri ini akan memecahkan segala problematika umat di muka bumi ini.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Titien Khadijah
Muslimah Peduli Umat

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab