Tinta Media: Agama
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 November 2022

R-20 Serukan Agama sebagai Solusi Global, MMC: Bertentangan dengan Realita

Tinta Media - Pertemuan yang diadakan para pemimpin dunia di Yogyakarta pada Jumat, 4 September 2022 dengan mengambil tema: ‘Komunike R20 Upaya Pastikan Agama Berfungsi Sebagai Sumber Solusi Global’ dikritisi oleh Muslimah Media Center. 

“Faktanya seruan menjadikan agama sebagai solusi bertentangan dengan realita yang ada,” ujar narator dalam rubrik Serba-Serbi: Forum R20 Serukan Agama sebagai Solusi, Kontradiksi dengan Deradikalisasi, Kamis (10/11/2022) di kanal youtube Muslimah Media Center.

Menurutnya, umat Islam yang menyerukan tegaknya kembali hukum syariat Islam dalam tatanan bermasyarakat dan bernegara kerap dituduh sebagai teroris dan dianggap radikal. "Penguasa negeri ini pun seringkali mengaitkan problem yang muncul dengan keberadaan kelompok teroris dan radikal," ungkapnya. 

Demikian juga pernyataan tokoh agama KH. Yahya Kholil Staquf yang menjelaskan tentang maksud agama sebagai sumber solusi global, menurut narator,  juga perlu dikritisi lebih lanjut. Dalam pernyataannya, Yahya Kholil menjelaskan gagasan konferensi tokoh agama internasional berkeinginan menjadikan agama sebagai solusi berbagai permasalahan dunia. Masih menurut Yahya, agama diimplementasikan dengan menanamkan nilai-nilai luhur dan agama dalam dinamika politik dan ekonomi internasional. 

Narator tidak menyepakati pernyataan Yahya Kholil tersebut. “Dari pernyataan tersebut nampak bahwa agama hanya dipahami sebagai aturan nilai-nilai dan ibadah semata dan bukan sebagai ideologi,” urainya.

Menurut narator, agama memang dilibatkan, namun masih di bawah bingkai ideologi Kapitalisme Barat. Narator juga mengungkapkan di sisi lain seruan tersebut justru menunjukkan serangan terhadap Islam sebagai ideologi. 

Islam Ideologi Shahih

“Dunia tidak akan keluar dari krisis jika posisi ideologi Islam tidak diterapkan. Islam adalah satu-satunya ideologi shahih di dunia yang mampu menyelesaikan problem dunia,” tegasnya.

Narator menguraikan lebih lanjut tentang Islam sebegai ideologi. “Ideologi Islam dibangun berlandaskan akal yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, dan kemukjizatan Alquran al-karim dengan menggunakan akalnya,” tuturnya. 

“Selain itu, Islam juga mewajibkan setiap muslim beriman kepada yang ghaib. Argumennya berasal dari sesuatu yang dapat dibuktikan keberadaannya dengan akal seperti Alquran dan Hadis Mutawatir.  Dengan demikian ideologi Islam dibangun berlandaskan akal. Dari segi fitrah manusia maka ideologi Islam sesuai dengan fitrah manusia. Sebab ideologi Islam mempercayai adanya agama dan adanya kewajiban merealisir agama dalam kehidupan ini serta menjalankan kehidupan sesuai dengan perintah dan larangan Allah,” tambahnya. 

Syariat Islam berupa perintah dan larangan dari Allah subhanahu wa ta'ala yang dilaksanakan oleh setiap individu mukmin, menurut narator karena adanya dengan dorongan ketakwaan kepada Allah yang tumbuh dalam jiwanya. 

 “Untuk teknis pelaksanaannya dijalankan oleh negara dengan adil yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Negara inilah yang dikenal dengan istilah Khilafah,” jelasnya.

Lebih lanjut, narator menguraikan bahwa khilafah mendapat jaminan dari Allah dan akan mampu merealisasikan tujuan bernegara yaitu terwujudnya umat yang sejahtera dengan dukungan beberapa aspek. Menurut narator, setidaknya ada empat aspek pendukungnya, yaitu :

Pertama, keunggulan konstitusi yang bersumber dari syariat Islam. Syariat  yang berasal dari Allah Al Khaliq,  Al Mudabbir, yang Maha Mengetahui, dan Maha Adil. "Syariat Islam ini bersifat komprehensif karena mencakup semua pilar bernegara baik politik ,ekonomi, sosial, budaya, serta, pertahanan dan keamanan. Syariat Islam juga bersifat luas dan manusiawi karena mencakup semua permasalahan baru pada manusia serta dapat diterapkan secara praktis oleh umat manusia," ujarnya. 

Kedua, kemampuan pemimpin dalam sistem Islam. "Pemimpin dalam sistem Islam harus paham urusan publik dan bagaimana mengaturnya. Karena tanggung jawabnya yang besar terhadap umat, maka Islam menetapkan pemimpin haruslah seorang yang mempunyai pribadi kuat, bertaqwa, berpengetahuan, dan terampil menjalankan tugas negara dengan ketakwaannya tersebut. Seorang pemimpin dalam Islam dapat tercegah dari tindakan menyeleweng dan curang atau zalim kepada rakyatnya," terangnya. 

Ketiga, struktur pemerintahan Islam sangat efisien dan sederhana. Kewenangan dan tupoksi antar lembaga jelas. "Tidak ada birokrasi yang panjang sehingga cepat dalam memecahkan masalah," tegasnya. 

Keempat, adanya kesatuan komando oleh khalifah sebagai pelaksana kebijakan semua urusan dalam negeri. Layanan publik, hubungan luar negeri, industri, dan militer berada dalam kontrol khalifah. Walaupun dalam pelaksanaannya dibantu oleh muawim pembantu khalifah dan Sekretariat Negara. 

“Dengan demikian hanya tegaknya ideologi Islam di bawah naungan negara Khilafah yang dapat menyelesaikan problem yang menimpa dunia saat ini,” pungkasnya.[] Erlina YD

Kamis, 10 November 2022

MEWASPADAI UPAYA PENGHAPUSAN LARANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

Tinta Media - Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama) yang diajukan oleh Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi harus mendapatkan perhatian umat Islam. Diketahui Ramos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial. Sebab perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama. Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan Pemohon, Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.

KEDUA, bahwa jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. etentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 

KETIGA, Bahwa Mahkamah Konstitusi harus menyatakan dalam putusannya bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian permohonan Ramos Petege harus ditolak. Apabila perkawinan beda agama dilegalkan, maka hal tersebut sama saja melegalkan perzinahan. Legalisasi perkawinan beda agama akan mengundang murka Allah SWT. *Jika permohonannya dikabulkan, maka akan banyak wanita Muslimah yang nikah dengan non muslim Demikian itu akan menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi kepentingan syariat Islam dan umat Islam itu sendiri.*

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

Minggu, 06 November 2022

Ruang Penyalahgunaan Moderasi Beragama di Internal Islam

Tinta Media - Pemerintah tengah mengupayakan program untuk merespon isu terorisme di Indonesia. Dilatarbelakangi kaum ekstremes dengan program deradikalisasi, tentu hal ini menjadi semacam ancaman besar yang dapat merusak tatanan dan keutuhan NKRI.

Itulah mengapa, dana hingga triliyunan disiapkan demi suksesnya program yang pemerintah menamainya dengan moderasi beragama.

Sebenarnya, Islam itu wasathiyah sejak dahulu. Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin, tidak mengajarkan kekerasan sebagaimana judgment yang keliru dari masyarakat. 

Lihatlah bagaimana Rasulullah selama memimpin di Madinah dengan mengayomi banyak agama. Tidak ada indikasi intoleran di sana.

Adapun mengenai peperangan-peperangan dalam sejarah, tentu bukan dalam konteks bermasyarakat sebagaimana kepemimpinan Rasulullah di Madinah.

Para pejuang kemerdekaan negara Indonesia mengakui keberadaan agama lain selain Islam. Bahkan sejak dulu, umat Islam Indonesia pun mengamalkan washathiyah. 

Sebenarnya, moderasi beragama itu bukan hal yang baru dalam Islam. Ia adalah identitas umat. Allah sendiri yang menyebut umat Islam dengan sebutan ummatan wasathan dalam surat al-Baqarah ayat 143.

Tidak mungkin ada umat Islam yang meragukan washathiyah, karena itulah ajarannya.

Artinya, hanya karena pemerintah baru memprogramkannya akhir-akhir ini. Akan tetapi, moderasi beragama bukanlah hal yang baru, itulah hakikat Islam. Itulah ummatan wasathan. Itulah Islam wasathiyah.

Program pemerintah ini sebenarnya semakin menegaskan dan mengukuhkan eksistensi ajaran Islam itu sendiri, bukan semacam kebaruan dalam agama Islam. 
Anehnya, sebagus apa pun program ini, masih saja ada yang meragukan. 

Sebenarnya, umat Islam tidak mungkin meragukan ajarannya. Akan tetapi, yang membuat mereka ragu adalah sisi penyalahgunaan yang mungkin bisa mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk dievaluasi demi terselenggaranya program dengan lebih baik.

Pemaknaan Moderasi Beragama di Internal Islam

Moderasi beragama atau kita sebut saja pertengahan, tidak terlalu longgar dan tidak terlalu keras. Bila moderasi beragama sampai dimaknai terlalu longgar, maka ia bisa jatuh pada moderasi agama. 

Moderasi agama, yang dimoderasikan adalah 'ajaran'nya, sedangkan moderasi beragama; yang dimoderasikan adalah 'prilaku beragama'nya. Khalayak masyarakat perlu memahami ini. Karena bagaimanapun, moderasi beragama dengan agama tipis sekali, bahkan masyarakat awam mungkin saja bisa masuk pada toleransi yang berlebih.

Bila sudah terperosok jatuh pada memoderasikan ajaran, sama artinya dengan keluar dari batasan ajaran Islam.
Bila diibaratkan, umat Islam memiliki akidah (keyakinan). Bila umat sampai melanggar akidah itu, tentu ia telah salah memaknai moderasi beragama.
Inti ajaran sampai diubahnya atas nama kerukunan beragama. Kalau sudah ajaran yang diubah, maka ia telah merusak ajarannya sendiri.

Inilah yang penulis ingin sampaikan bahwa ada hal yang sangat krusial. Islam baik-baik saja, ia mengajarkan nilai-nilai toleransi. Namun, tidak lagi dalam jalurnya bila toleransi itu dilebih-lebihkan, bahkan melewati batas.

Sesungguhnya nilai toleransi dalam Islam semenjak Indonesia merdeka tidak sampai mengganggu kerukunan beragama. Hanya karena teroris dan kaum radikal mengaku dari Islam, bukan berarti umat Islam dipaksa dengan sesuatu yang bisa melanggar akidahnya. 

Islam berdiri di atas toleransi, lantas momentum program ini digunakan sebagian oknum agar umat Islam dipaksa untuk toleransi yang keluar batasnya. 
Bagaimana mungkin ia menggadaikan akidah agamanya sendiri, bahkan toleransi umat Islam tidak sampai mengganggu kerukunan beragama. 

Sedangkan mereka yang melakukan pengeboman itu, yang bervisi deradikalisasi itu, sesungguhnya mereka yang seharusnya menjadi sasaran, bukan umat Islam pada umumnya yang bahkan berusaha mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.

Kemudian, bila Islam terlalu keras pun, hakikatnya telah keluar dari batasannya. Namun di program ini pun ada semacam peluang ketidakadilan.

Saat kaum ekstremes mengaku dari Islam, kemudian pemerintah begitu overprotektif terhadap 'seluruh' umat Islam demi melindungi keutuhan negara, justru, ada baiknya sasaran itu lebih dispesifikan lagi. 

Coba perhatikan fenomena yang terjadi. Media marak meradikal-radikalkan seseorang tanpa bukti, khususnya umat Islam. Padahal, itu hanyalah konsekuensi dari pemahaman fikih yang dipegangnya.

Sesungguhnya fikih itu luas, tidak hanya satu. Umat Islam yang dimaknai tidak pro dengan pemahamanmya, lantas dilabeli teroris. 

Di sinilah pentingnya pemaknaan moderasi beragama di internal Islam. Perlunya mengedukasi masyarakat agar jangan sampai program ini memecah belah persatuan Islam hanya karena merasa paling benar dengan madzhabnya.

Alih-alih merukunkan antar agama, justru internal agama Islam malah terpecah-belah dengan program ini, penuh provokasi kebencian, hingga saling curiga mencurigai. Padahal, merekalah yang seharusnya jadi sasaran, yang jelas bukti radikalnya?

Inilah yang dimaksud penulis agar jangan sampai makna moderasi beragama itu menjadi kabur dan tidak tepat sasaran. Seharusnya yang dituju adalah kaum ekstremes, tapi yang dibidik adalah umat Islam seluruhnya. Hal ini bisa menjadi celah diskriminasi untuk agama Islam.

Itulah sisi evaluasi program ini yang perlu mendapat perhatian. Dalam agama Islam, ada satu lagi PR yang jadi catatan, yaitu memperbaiki pemahaman mereka yang mudah meradikalkan seseorang tanpa bukti. Ini bisa mengaburkan makna moderasi beragama, bahwa Islam dengan agama lain rukun, tetapi Islam di agamanya sendiri saling bermusuhan.

Bagaimana mungkin ia bisa toleransi dengan agama lain, tetapi tidak toleransi dengan perbedaan furu' di agamanya sendiri.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Sahabat Tinta Media


Sabtu, 05 November 2022

ANALISIS TIDAK SAHNYA PERKAWINAN BEDA AGAMA

Tinta Media - Tulisan ini disarikan dari keterangan lisan dan tertulis penulis saat memberikan keterangan sebagai Ahli Teori Hukum pada sidang Mahkamah Konstitusi. Tanggal 1 Nopember 2022. Diajukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) selaku Pihak Terkait. Perkara Uji Materi (Judicial Review) Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Perkara uji materi perihal perkawinan beda agama yang dimohonkan Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi telah memasuki tahap akhir. Tujuh hari ke depan agenda kesimpulan dan setelah itu menunggu putusan. Diketahui Ramos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak melangsungkan perkawinan dengan muslimah. Namun, perkawinan itu terhalang oleh persyaratan “tidak sahnya perkawinan beda agama”. Dirinya merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut. Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.

Kemudian, Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.  Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan memberikan pembatasan yakni, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

Terhadap permohonan a quo, maka dipandang perlu disampaikan pendapat hukum terkait dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan. Keberlakuan Undang-Undang Perkawinan dapat ditinjau dari empat landasan, yakni filosofis, teoretis, yuridis dan sosiologis.

*Pertama; secara filosofis.* Indonesia bukan negara yang netral agama, tidak pula didirikan di atas dasar salah satu agama atau negara agama. Namun, Indonesia merupakan negara beragama dengan menganut paradigma simbiotik. Hal ini ditemui dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai negara beragama, maka bagi setiap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya dijamin oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945. Salah satu bentuk ibadah umat Islam dalam rangka menjalankan keyakinan agama adalah melangsungkan perkawinan.

Menyangkut Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945, Ismail Suny mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. Dengan demikian seluruh hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan.

Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Perkawinan, maka ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan ditinjau Maslahah-Mursalah dan Al Maqashid Syariyah sangat berkesesuaian. Didalamnya mengandung lima kemaslahatan primer (dharuriyyatul khams), yakni yakni hifdzud-din (menjaga agama), hifdzun-nafs (menjaga jiwa), hifdzun-nasl (menjaga keturunan), hifdzul-maal (menjaga harta), dan hifdzul-aql (menjaga akal). Menjaga agama, menjaga keturunan dan menjaga harta berkorespondensi dengan norma dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan.

Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syariah baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Menurut Mohammad Daud Ali, bahwa tujuan hukum Islam secara umum adalah tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat.

Lebih lanjut, menurut syariat Islam perkawinan memiliki tujuan guna membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rum: 21. Untuk membentuk keluarga yang demikian, maka bagi umat Islam terlarang melakukan pernikahan beda agama. Larangan tersebut sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 221 dan Surah Al-Mumtahanah ayat 10. Bagaimana mungkin terwujud keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah jika perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam berbeda agamanya.

Allah SWT menurunkan syariat bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan.  Sebagaimana kaidah yang menyatakan “dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”, yang bermakna mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan ditinjau secara fiosofis selaras dan sejalan dengan cita hukum Pancasila.

*Kedua; secara teoretis.* Ditinjau dari perspektif teoretis, Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan teori yang sangat kuat. Indonesia yang menganut paradigma simbiotik, memberikan jaminan bagi kelangsungan ajaran agama. Sejalan dengan itu, terdapat dua identitas yang memerlukan perlindungan, yakni agama dan individu sebagai penganut agama di satu sisi. Di sisi lain, negara berperan dalam memberikan perlindungan baik terhadap agama dan individu-individunya. Paradigma simbiotik menunjukkan hubungan antara negara dan agama berjalan secara sinergis.

Imam Ghazali mengisyaratkan hubungan antara agama dan negara. Bahkan, Imam Ghazali ra berpendapat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Begitu dekatnya hubungan agama dan negara, sampai-sampai ia mengatakan, “agama adalah dasar dan sultan adalah penjaganya.” Hubungan simbiotik antara agama dan negara dengan jelas diutarakan oleh al-Ghazali sebagai teori ketergantungan, agama memerlukan negara dan negara memerlukan agama.

Imam Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah, menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan merupakan dua aktifitas yang berbeda, tetapi berhubungan secara simbiotik.  Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara negara dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama.

Dari uraian di atas terlihat relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan dan menguntungkan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara (hukum positif). Bahkan dalam hal tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Hukum Islam dalam tata hukum nasional diakui sebagai sebuah sistem hukum yang dapat dijadikan bahan bagi pembentukan hukum nasional. Salah satu produk legislasi yang mengandung muatan agama adalah Undang-Undang Perkawinan.

Menurut teori solvasasi hukum (pelarutan hukum) - yang penulis gagas - menempatkan Al-Maqashid Syariyah sebagai suatu kebutuhan dan berdayaguna dalam upaya menjaga kepentingan agama dan negara. Teori solvasisasi (pelarutan) hukum meneguhkan undang-undang yang terkait dengan perlindungan terhadap agama, keturunan, jiwa, akal dan harta. Keberadaan teori solvasisasi hukum mengakomodasi kepentingan agama dan negara. Terciptanya hubungan kooperatif antara Al-Maqashid Syariyah dengan hukum positif adalah manifestasi relasi negara dan agama dalam paradigma negara simbiotik. Perspektif teori solvasisasi hukum dalam kaitannya dengan keberadaan Undang-Undang Perkawinan sangat terkait dengan teori receptio in complexu, receptio a contrario, lingkaran konsentris, eksistensi hukum Islam dan pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralisme).

Teori receptio in complexu sebagai teori pertama diperkenalkan oleh Lodewijk Willem Christian van Den Berg. Teori ini menyatakan keberlakuan hukum agama sesuai dengan yang diimaninya. Bagi pemeluk agama Islam, maka secara langsung hukum Islam yang berlaku baginya. Pada masa kolonial diberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya tentang hukum perkawinan dan hukum waris, sebagaimana terdapat dalam Resolutie der Indische Regeering (Compendium Freijer) dan Pasal 75 Regeering Reglement.

Teori receptio a contrario oleh Sayuti Thalib. Dinyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya. Kemudian, berlakunya hukum adat bagi orang Islam, jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.

Teori lingkaran konsentris diperkenalkan oleh Muhammad Tahir. Teori ini didasarkan pada ajaran Islam yang tidak mengenal dikotomi, baik antara agama dan negara maupun antara agama dengan hukum. Hal ini berbeda dengan pemikiran Barat yang memisahkan agama dari negara dan hukum. Dalam teori lingkaran konsentris, ketiga komponen yakni agama, hukum, dan negara, apabila disatukan akan membentuk lingkaran konsentris yang merupakan suatu kesatuan dan berkaitan erat satu dengan lainnya.

Kemudian teori eksistensi yang menegaskan bahwa hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional, diakui dan berhubungan dengan hukum nasional dalam pembentukan hukum. Menurut teori penerimaan otoritas hukum yang diperkenalkan oleh seorang orientalis, H.A.R. Gibb, dikatakan bahwa secara sosiologis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Diakui olehnya bahwa hukum Islam telah memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Hukum Islam telah berfungsi sebagai pengatur kehidupan rohani dan sekaligus pula menjadi suara hati nurani umat Islam.

Selanjutnya teori pluralisme hukum yang kuat. Pada dasarnya pluralisme hukum tidak melihat secara dikotomis antara hukum negara dengan hukum adat, maupun hukum agama. Pada pluralisme hukum derajat kuat, kedudukan hukum agama diakui keberadaannya dan tidak dianggap lebih rendah dari hukum negara (hukum positif). Hukum agama dapat menjadi hukum positif. Menurut Brian Z. Tamanaha keberagaman produk undang-undang yang mengatur hukum agama merupakan bagian dari fenomena pluralisme hukum. Dalam pandangan postmodern, tidak mengakui adanya satu hukum saja (undang-undang). Postmodern berusaha membuat banyak alternatif lain yang menolak ketunggalan satu sistem hukum dalam pembentukan undang-undang, melainkan terdapat beberapa sistem hukum seperti, hukum adat dan hukum agama yang harus diterima.

*Ketiga; secara yuridis.* Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”  merupakan penegasan kembali dari Sila pertama Pancasila. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

Jika Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak setiap warga negara, maka Pasal 29 ayat (2) merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan terhadap ketentuan tersebut. Atas dasar norma hukum konstitusi yang mengatur mengenai agama, merupakan mandat yang harus dilakukan oleh penyelenggara negara untuk membuat norma hukum yang berisi jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap agamanya.

Diakui bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan doktrin agama. Namun, negara dapat melakukan pembatasan-pembatasan tertentu melalui undang-undang yang tidak berarti mendiskriminasi, melainkan untuk melindungi kepentingan agama. Dengan demikian dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang tetap melekat pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Disebutkan pembatasan diadakan salah satunya menunjuk pada nilai-nilai agama.

Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf e Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Demikian itu mengandung makna bahwa perkawinan yang sah adalah menunjuk pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang Perkawinan menunjuk pada agama masing-masing.

Menurut fiqih munakahat, dalam pernikahan terdapat berbagai persyaratan agar pernikahan menjadi sah. Pernikahan yang sah bagi umat Islam menunjuk pada syarat dan rukun. Syarat mendahului rukun. Tidak akan pernah tercapai rukun nikah, jika tidak terpenuhi syarat. Salah satu syarat perkawinan adalah calon suami dan istri harus beragama Islam. Syarat demikian juga dijumpai dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan diberlakukan guna memastikan perkawinan yang sah sesuai dengan agamanya masing-masing. Demikian itu juga terhubung dengan ketentuan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan yang menentukan adanya pelarangan perkawinan. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut tertolak alias tidak mendapatkan pengakuan dari negara.

Dalam konsiderans Undang-Undang Perkawinan disebutkan, “bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Secara a contrario, terhadap perkawinan yang tidak sah (in casu beda agama), maka negara tidak dapat memberikan jaminan.  Jaminan dimaksud menunjuk pada kepastian hukum dalam hal hak-hak keperdataan yang akan timbul, seperti hak atas waris dan wali nikah. Kedua hal tersebut terhubung dengan lima kemaslahatan primer yakni menjaga keturunan dan menjaga harta. Disinilah pentingnya dilakukan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

Menurut ajaran Islam, perkawinan beda agama adalah tergolong perkawinan yang bathil.  Maksudnya, dari semenjak dianggap tidak pernah ada perkawinan tersebut. Status demikian, lazim disebut “batal demi hukum”, dan bersifat imperatif. Selanjutnya, menyangkut tentang pencatatan perkawinan, terdapat suatu kaidah fikih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Bila dikaitkan dengan ketentuan pencatatan terhadap perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, maka pencatatan tersebut adalah juga tergolong sesuatu yang hukumnya wajib.

Menurut Ronald Dworkin bahwa masalah hukum tidak hanya dipastikan oleh kekuatan fakta sosial, tetapi juga oleh prinsip-prinsip. Artinya, hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan saja, tapi juga prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum. Menurutnya, prinsip memiliki dimensi kadar. Jika terdapat pertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah. Ketentuan persyaratan dan pembatasan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada prinsip ajaran agama (baca: Islam). Prinsip ajaran agama diakui dalam konstitusi. Demikian itu memiliki dimensi kadar yang paling tinggi dibandingkan dengan prinsip lainnya.

Menjadi jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan memiliki landasan yuridis yang kokoh. Pembentukannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.

*Keempat; secara sosiologis.* Ditinjau dari sudut sosiologis, Undang-Undang Perkawinan memberikan jaminan kepastian hukum bukan saja terhadap pasangan suami-istri, namun juga terhadap anak yang dilahirkan, sepanjang anak yang dilahirkan tersebut dalam perkawinan yang sah. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Jaminan kepastian hukum juga ditujukan terhadap harta bersama, ketika perkawinan putus karena perceraian. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Pada penjelasannya disebutkan, “Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Konsekuensi hukum bagi pasangan beda agama adalah tidak berhak untuk saling mewarisi, karena perkawinan tersebut terlarang dan tidak sah (batal demi hukum). 

Konsekuensi perkawinan beda agama juga akan menimbulkan akibat hubungan nasab. Hal ini disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Hal yang sama terdapat dalam syariat Islam. Ayah biologisnya itu tidak punya hubungan nasab dengan anak diluar perkawinan. Anak diluar perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai anak sah dan ini berpengaruh terhadap hak waris dan wali nikah. Anak tersebut terlarang mendapatkan warisan dari ayah biologisnya. Ketika si anak berkelamin perempuan dan mau menikah, maka ayah biologisnya terlarang menjadi wali nikah.

Perkawinan beda agama menurut hukum Islam adalah haram (zina). Telah menjadi kebiasaan di masyarakat terhadap anak diluar perkawinan yang sah sering disebut dengan istilah “anak zina” atau anak “haram jadah”. Walaupun yang berdosa adalah kedua orang tuanya, namun sebutan itu membawa beban psikologis yang mendalam. Demikian itu membuktikan bahwa perkawinan yang tidak sah (in casu beda agama) termasuk yang dicela oleh masyarakat.

Sesuatu yang tercela dalam pandangan masyarakat termasuk perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) yang bersifat materiil. Maksudnya, meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai agama, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Sebagai penutup dapat disampaikan bahwa perkawinan yang sah menurut ajaran Islam adalah yang telah memenuhi syarat dan rukun. Kedua unsur tersebut bersifat mendasar dan tidak boleh ditinggalkan. Perkawinan beda agama adalah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945. Jika permohonan uji materi (in casu perkawinan beda agama) dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, maka hal tersebut sama saja dengan melegalkan perzinahan. Perkawinan beda agama adalah dosa besar dan menimbulkan kemudaratan yang berkelanjutan. Legalisasi perkawinan beda agama mengundang murka Allah SWT.


Jakarta, 2 Nopember 2022.

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Ahli Teori Hukum DDII


Islam Berkali-kali Dinistakan di Negeri Mayoritas Muslim, IJM: Menyakitkan!

Tinta Media - Penistaan terhadap Islam yang sering terjadi di negeri mayoritas Muslim benar-benar menyakitkan hati. “Islam adalah agama bagi mayoritas penduduk negeri ini. Namun yang menyakitkan hati berkali-kali ajaran Islam justru dinistakan di negeri ini. Berkali-kali juga para penista Islam selalu lolos dari jeratan hukum,” ungkap Dr. Erwin Permana dari Indonesia Justice Monitor (IJM) di program Aspirasi Rakyat: Menyoal Framing Jahat terhadap HT1, Selasa (1/11/2022) melalui Channel Justice Monitor.
 
Seorang komisaris BUMN bernama Dede Budhyarto melecehkan salah satu ajaran Islam yang mulia yakni Khilafah. “Dalam akun twitternya komisaris independen PT Pelni ini yang juga merupakan relawan Jokowi mempelesetkan kata Khilafah dengan ditambahi cacian kasar berbahasa Inggris. Meski reaksi keras berdatangan dari banyak kalangan, sang komisaris menolak meminta maaf,” ujar Erwin.
 
Kasus lain yang menghebohkan publik, sambung Erwin, berita terkait seorang wanita bercadar menerobos masuk ke Istana Negara di Jakarta. Bahkan wanita tersebut membawa senjata api jenis FN dan menodongkan pistol tersebut ke anggota Paspampres yang sedang siaga di Istana Negara.
 
“Kasus tersebut dinilai banyak pihak terkesan janggal. Yang menjadi pertanyaan publik adalah kesimpulan BNPT yang mengaitkan perempuan berpistol yang coba terobos istana negara tersebut dengan HT1, sebuah narasi yang menyudutkan organisasi dakwah Islam Hizbut Tahrir Indonesia,” bebernya.
 
Menurut Erwin, berdasarkan literatur yang pernah  dibaca,  HT1 dalam menyampaikan dakwah dengan pendekatan pemikiran, dialektika, adu gagasan, tanpa kekerasan, tanpa fisik tanpa melakukan pemaksaan.
 
“Begitu juga secara defacto dan dejure  tidak ada satu jiwa pun yang meninggal karena dakwah HT1 atau fasilitas publik yang rusak akibat dakwah  HT1,” imbuhnya.
 
Erwin lalu berkesimpulan bahwa segala fitnah dan tuduhan keji terhadap organisasi dakwah HT1 adalah tidak adil dan melanggar hukum, karena tidak mengedepankan asas hukum yang memberikan kesempatan kepada pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan. Serta asas persamaan kedudukan dalam hukum yang menyatakan bahwa setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil.
 
 “Lantas bagaimana HT1 akan melakukan pembelaan diri sedangkan BHPnya telah dicabut?  Bahwa segala tuduhan dan fitnah berupa narasi polarisasi yang bersifat pengkotak-kotakan yang mengarah kepada kebohongan publik adalah tindakan melanggar pasal 14 dan pasal 15 Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana,” ungkap Erwin.
 
Lecehkan Agama
 
Erwin juga menyoroti munculnya narasi Khilafah yang disejajarkan dengan komunisme yang jelas-jelas  sangat menodai ajaran agama Islam.
 
“Dampak buruk penyamaan ini adalah menyamakan pengemban dakwah yang menyiarkan Khilafah disamakan dengan pengusung komunisme atau PKI. Jika sengaja mensejajarkan agama Islam dengan paham lain buatan manusia maka itu sama dengan merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama,” tutur Erwin geram.
 
Erwin mengatakan,  menyamakan Khilafah dengan paham komunisme,  radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama Islam. Jadi, dapat dinilai sebagai penistaan terhadap agama.
 
“Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang  politik, di bidang siasah, ajaran Islami yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya,” jelasnya.
 
Menurutnya, khilafah adalah ajaran agama sehingga tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama.  
 
“Maka Khilafah tak pantas ditambahi isme-isme sebagaimana paham buatan manusia seperti kapitalisme, komunisme, radikalisme dan isme isme lainnya,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 

Kamis, 03 November 2022

ISLAM DATANG DARI ALLAH, BUKAN DARI ARAB

Tinta Media - Ucapan menteri agama yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang berasal dari Arab tentu saja ucapan itu tidak benar sama sekali, sebab Islam itu agama dari Allah, bukan buatan manusia apalagi berasal dari wilayah tertentu. Yaqut harusnya paham itu. Sebab masalah ini sangatlah mudah, semua orang tahu, bahkan mungkin anak kecilpun tahu bahwa Islam adalah agama yang datang dari Allah, dibawakan oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia di dunia dalam rangka menebar rahmat bagi alam semesta.

 

Benar bahwa Nabi Muhammad adalah orang Arab, tapi agama Islam datang dari Allah, bukan datang dari Arab. Tidak ada istilah Islam itu sebagai agama pendatang, sebab bumi ini milik Allah, diciptakan oleh Allah, bahkan seluruh manusia dan alam semesta juga diciptakan oleh Allah.

 

Ucapan ini tentu saja sangat disayangkan, beda kalau karena tidak paham. Jika tak paham, maka tulisan ini semoga bisa memahamkannya. Sebab ucapan seperti justru akan memantik masalah di kalangan umat Islam. Ucapan seperti ini jika sengaja dilakukan, maka akan semakin memunjulkan kegaduhan yang tidak produktif. Semestinya sebagai menteri agama sangat paham soal yang sederhana ini.

 

Menteri agama juga mestinya menebarkan kesejukan, bukan malah membuat kegaduhan. Katanya umat ini harus menebar perdamaian, nyatanya dia sendiri justru menebar kegaduhan dengan ucapan yang salah itu. Sebaiknya menteri agama meminta maaf kepada seluruh umat Islam di negeri ini.

 

Apakah ini termasuk penistaan agama ?. Tentu saja yang paling tahu adalah yang mengucapkan, adakah motif dibalik ucapan yang salah itu. Jika karena tidak tahu, maka hanya perlu minta maaf. Namun jika sengaja membuat kegaduhan, maka sangat disayangkan. Seorang menteri agama mestinya tidak mengucapkan hal tersebut.

 

Agama Islam adalah agama sempurna yang berasal dari Allah dan sangat memberikan penghargaan kepada manusia dan kemanusiaan. Islam adalah agama yang sangat toleran atas perbedaan, terbukti saat Rasulullah memimpin Daulah Madinah yang sangat plural. Semua agama bisa hidup damai di Madinah.

 

Mungkin ahli hukum dan pihak kepolisian yang lebih tahu apakah ucapan ini termasuk penistaan agama Islam atau tidak sesuai dengan UU yang berlaku di negeri ini. Yang pasti ucapan Yaqut adalah ucapan yang menyalahi ajaran Islam. Namun, jika ucapan ini memang diniatkan untuk merendahkan ajaran Islam yang sumpurna ini, maka tentu saja bisa saja ada delik penistaan agama. Apalagi jika niatnya adalah mempermainkan agama Allah, maka termasuk dosa besar

 

Allah berfirman : Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At Taubah : 65-66)

 

Bagaimana menanggapi hal ini sebagai masyarakat ?. Masyarakat semestinya tidak terpancing secara emosional, namun harus tetap meluruskan ucapan-ucapan yang salah dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Masyarakat harus memberikan edukasi dan dakwah kepada siapa saja yang telah melakukan kesalahan soal agama Islam. Dakwah adalah bagian dari kewajiban setiap muslim. Dakwah adalah tanda cinta umat kepada bangsa ini. Masyarakat harus diberikan pembelajaran yang benar soal agama ini, terlebih kepada para pejabat dan pemimpin yang salah paham dan pahamnya salah atas Islam dan ajarannya.

 

Apa yang seharusnya dilakukan umat Islam dalam menanggapi hal tersebut ?. Umat Islam harus menyadari bahwa selama demokrasi sekuler yang diterapkan di negeri ini, maka Islam hanya akan menjadi obyek dan sasaran berbagai stigmatisasi. Sebab sekulerisme adalah paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan, termasuk politik.

 

Dengan kondisi ini, maka setiap kali ada usaha-usaha mendakwahkan Islam, akan dihadapkan dengan berbagai label yang negatif atas Islam. Ucapan yang menyudutkan Islam tentu saja sudah tidak terhitung jumlahnya di negeri mayoritas muslim ini. Bahkan sering berasal dari para pejabar dan pemimpin di negeri ini yang seharusnya justru memberikan edukasi yang benar tentang Islam.

 

Peristiwa seperti ini mungkin tidak akan pernah berhenti selama Islam dan ajarannya hanya dijadikan sebagai obyek. Lain lagi jika ajaran Islam menjadi penentu kebijakan dan perundang-undangan di negeri ini. Orang yang memiliki paham sekuler liberal akan terus memberikan stigma negatif atas Islam dan ajarannya. Umat Islam harus terus mencermati setiap perkembangan keagamaan Islam di negeri ini, terus mendakwahkan dan terus melakukan pembelaan atas agama ini dari orang-orang yang berupaya memadahkan cahaya agama ini.

 

Hal ini sejalan dengan firman Allah : Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad 47: Ayat 7).

 

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya (QS Ali Imran : 19)

 

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (QS. As-Saff Ayat 8).

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 31/10/22 : 15.18 WIB)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Selasa, 01 November 2022

Judicial Review Perkawinan Beda Agama, Dr. Abdul Chair: Perlu Perhatian Umat Islam


Tinta Media - Judicial review yang diajukan Elias Ramos Petege ke Mahkamah Konstitusi  agar bisa menikahi wanita muslimah ditanggapi oleh Ketua Umum HRS Center Dr. Abdul Chair Ramadhan, S,H., M.H. perlu perhatian umat Islam.
 
“Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama) yang diajukan oleh Ramos Petege kepada Mahkamah Konstitusi harus mendapatkan perhatian umat Islam,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (31/10/2022).
 
Saat ini proses sidang di Mahkamah sudah masuk tahap pemeriksaan terhadap para ahli. “Insya Allah hari Selasa tanggal 1 November 2022 saya akan memberikan keterangan sebagai Ahli Teori Hukum yang dihadirkan oleh Pihak Terkait, yaki Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII),” terangnya.
 
Abdul Chair menegaskan, Mahkamah Konstitusi harus menyatakan dalam putusannya bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Dengan demikian permohonan Ramos Petege harus ditolak,” tegasnya.
 
Menurutnya, apabila perkawinan beda agama dilegalkan, maka hal tersebut sama saja melegalkan perzinahan.
 
“Perkawinan beda agama adalah dosa besar dan menimbulkan kemudaratan yang berkelanjutan. Legalisasi perkawinan beda agama akan mengundang murka Allah SWT,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 

Jumat, 28 Oktober 2022

Dede Plesetkan Khilafah, Iwan Januar: Keterlaluan!

Tinta Media - Menanggapi pernyataan Komisaris Pelni Dede Budhyarto di akun twitter pribadinya yang memplesetkan khilafah menjadi khilaf***, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menilai hal ini sudah keterlaluan.

“Keterlaluan kalau ada manusia yang menghina ajaran khilafah!” tegasnya dalam wawancara khusus dengan Tinta Media, Selasa (25/10/2022).

Ia meminta untuk membuka kitab-kitab yang berisi wajibnya menegakkan khilafah.
“Silakan dibuka dalam kitab-kitab klasik ulama salaf dari mulai tasir, syarah hadits, kitab fikih, kitab siyasah syar'iyyah, semua ulama ahlus sunnah menyatakan menegakkan khilafah adalah wajib,” pintanya.

Khilafah sudah jadi kesepakatan para ulama ahlus sunnah, ia menjelaskan hukumnya adalah kewajiban. “Disebut sebagai mahkota kewajiban,” jelasnya.

Maka menurut Iwan, apa yang dilakukan Dede jelas termasuk penistaan pada ajaran Islam. 

Ia menilai maraknya penistaan terhadap ajaran Islam karena hukum terhadap penista agama, dengan pelaku, sekubu dengan rezim.  "Rezim tak bisa menyentuh mereka. Mulai dari Ade Armando, Viktor Laiskodat, Densi, dsb. Mereka makin leluasa menista agama, apalagi kalau yang diserang kubu oposisi dengan isu khilafah, hampir seratus persen aman,” nilainya.

Umat harus sadar kalau sistem demokrasi benar-benar menjadi kawasan bebas berpendapat, termasuk menista agama. Ajaran Islam sulit dilindungi dalam sistem demokrasi. “Para pelaku berdalih ini bagian kebebasan berpendapat, mengamankan ajaran yang mengancam negara dan masyarakat,” paparnya.

Iwan mengakhiri wawancara dengan kalimat penutup bahwa “Kemuliaan agama dan umat hanya bisa terlindungi dalam syariat Islam, selain itu tidak bisa,” tutupnya. [] Raras

Selasa, 25 Oktober 2022

Agama Ranah Privat, Benarkah?

Tinta Media - Baru-baru ini jagad media sosial ramai dengan pembicaraan bahwa agama adalah urusan privat. Hal ini bermula dari pertanyaan penceramah GM, kepada seorang penyanyi cilik, FP, terkait apa agamanya. FP menyebutkan bahwa agama adalah urusan privat. Belakangan, FP naik daun sejak diundang ke istana pada upacara peringatan 17 Agustus lalu. (liputan6.com, 11/10/2022)

Beberapa komentar ikut meramaikan jagat Twiter terkait jawaban FP. Sebagian menyetujui jawaban FP, dan tidak sepatutnya orang lain bertanya soal agama seseorang. Ada pula yang meminta normalisasi agama, karena itu adalah urusan privasi seseorang. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa tidak penting agamanya, yang paling penting adalah sumbangsihnya untuk negara. (inet.detik.com, 10/10/2022). 

Lantas, benarkah agama adalah urusan privasi?

Narasi yang menyebutkan bahwa agama adalah urusan privasi atau pribadi, bukanlah hal baru. Narasi ini terus bergulir sejak adanya pemisahan agama dari kehidupan atau sekularisme, yaitu sejak runtuhnya Daulah Khilafah Utsmaniah yang dimotori oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Di Indonesia sendiri, paham sekularisme gencar dilakukan oleh Snouck Hurgronje, seorang tokoh orientalis yang berpura-pura masuk Islam, untuk memuluskan ide dan pemikirannya.

Sekularisme menempatkan agama sebagai urusan seseorang dengan Tuhannya, dan agama tidak berhak mengatur kehidupan manusia. Alhasil, lahir orang-orang yang berpaham liberal, yang tidak peduli alias masa bodoh dengan agamanya. Yang terpenting mereka bermanfaat bagi orang banyak, tidak berbuat zalim, dan taat kepada agama yang dianutnya, dengan alasan sama-sama menyembah Tuhan. 

Jika dicermati, pemahaman dan pemikiran liberal tersebut tentu sangat berbahaya. Seseorang akan memosisikan agama bukan lagi hal penting, bahkan berpotensi mencampuradukkan agama, serta berpindah-pindah agama sesuai kemauannaya. Allah rida atau tidak terhadap agama yang dianut, tidak lagi menjadi persoalan.

Posisi Agama Menurut Islam

Dalam Islam, agama tidak hanya menyangkut urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan antar manusia, mengatur urusan ekonomi, hingga urusan politik. Islam sebagai agama juga merupakan sebuah ideologi. Islam mempunyai peran besar dalam membentuk peradaban di tengah-tengah masyarakat. 

Islam sebagai ideologi adalah sebuah pemikiran mendasar, yang akan melahirkan pemikiran cabang. Dalam istilah lain disebutkan sebagai sebuah pemikiran, yang darinya dibangun pemikiran-pemikiran turunan (derivasi). Islam Islam disebut juga dengan mabda’ Islam.

Seperti halnya ideologi sekularisme yang melahirkan liberalisme atau kebebasan dalam segala hal, ideologi Islam juga melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Bukan hanya terkait ibadah, mengimani Allah, kitab-kitab, malaikat, para rasul, hari kiamat, serta qada dan qadar, tetapi dari ideologi Islam juga terpancar berbagai sistem aturan hidup yang mengatur seluruh kehidupan manusia, yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunah Rasul yang mulia.

“Dan kami turunkan kepada kamu kitab ini untuk menerangkan semua perkara  dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri …” (QS. An Nahl: 89)

Tidak hanya itu, perkara agama seseorang wajib diketahui untuk menyelesaikan perkara tertentu, seperti administrasi, akad nikah, pengurusan jenazah, dan lain sebagainya. Apa jadinya, jika agama seseorang tidak diketahui, khususnya bagi umat Islam? Mereka tidak bisa mendapatkan pelayanan selayaknya seorang muslim. 

Bisa dibayangkan, kerusakan apa yang akan ditimbulkan? Pernikahan beda agama semakin membudaya, pengurusan jenazah yang tidak sebagaimana mestinya, dll.

Dengan demikian, agama bukanlah urusan individu sebagaiman pemahaman masyarakat. Agama adalah urusan negara. Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah.

Imam al-Ghazali berkata, “Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang.”
Wallahualam bisshawab.

Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Kontributor Media

APA SIH AGAMA SI PENISTA KHILAFAH AJARAN ISLAM INI?

Tinta Media - Apa sih agamanya orang itu? Kok lancang sekali menista khilafah ajaran Islam sedemikian rupa? Kalau agamanya Islam, mustahil ngomong begitu karena itu sama saja dengan melecehkan ajaran agamanya sendiri. Kalau non-Muslim, mesti juga tidak mungkin berani gegabah begitu di depan umum. 
.
Satu-satunya kemungkinan dia itu penganut sekte sesat islamofobia-radikal-intoleran. Penganut sekte sesat islamofobia-radikal-intoleran ini bisa saja mengaku beragama apa saja, sesuai dengan agama sebelum dirinya menganut kesesatan akut tersebut.
.
Jelas, yang dilakukan penganut sekte sesat islamofobia-radikal-intoleran ini termasuk penistaan agama Islam. Karena khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan yang hukumnya fardhu kifayah untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. 
.
Akhir-akhir ini orang-orang tersebut semakin marak menista ajaran Islam karena rezim berkuasa membiarkan para penganut sekte sesat islamofobia-radikal-intoleran ini menista ajaran Islam. 
.
Lebih parahnya lagi, rezim ini bukan hanya membiarkan mereka merajalela, tetapi malah melindungi sejumlah pejabat dan buzzeRp yang menista khilafah ajaran Islam dan beberapa terminologi ajaran Islam lainnya sehingga mereka tidak dihukum. Laporan dari kaum Muslim yang merasa agamanya terlecehkan tidak digubris aparat. Karena memang rezimnya begitu. 
.
Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan kaum Muslim terkait masalah ini. Pertama, melawan narasi-narasi sesat mereka karena sesat-sesatnya orang sesat mesti aja ada orang yang mengikutinya. Maka untuk mencegah semakin banyak orang ikut sesat, dakwah melawan narasi sesat ini penting dilakukan.
.
Kedua, berdakwah menyadarkan semua kalangan kaum Muslim agar tumbuh kesadaran untuk berjuang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Karena ketika Islam diterapkan secara kaffah, orang-orang sesat model begitu bisa diminimalisir dengan dakwah yang intensif. Bila masih saja ada yang begitu, kepala negara akan memberikan sanksi tegas. Tidak akan dibiarkan marak terjadi seperti hari ini. 
.
Depok, 29 Rabiul Awal 1444 H | 25 Oktober 2022 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis

Minggu, 29 Mei 2022

Rektor UIN Sebut Agama Candu, Tabayyun Center: Itu Pandangan Sekuler


Tinta Media - Mengkritisi pendapat Rektor Universitas Islam Negeri  (UIN) Sunan Kalijaga Yograkarta, Prof. Al Makin yang menyoroti konten media sosial yang katanya penuh dengan simbol agama yang berlebihan sehingga agama menjadi candu, Abu Zaid dari Tabayyun Center mengatakan itu pandangan sekuler.
 
“Kita duga kuat memang sudut pandang  yang dipakai oleh Prof. Al-Makin  ini sudut pandang sekuler  bahkan mungkin sekuler liberal,” tuturnya di Kabar Petang: Polemik Rektor UIN Sunan Kalijaga Menyebut Agama Menjadi Candu, Kamis (26/5/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.
 
Abu Zaid menjelaskan bahwa sekuler maknanya kehidupan itu tidak boleh diatur oleh agama (Islam). Islam itu hanya persoalan privat persoalan pribadi bukan perkara publik. “Sehingga kalau di ranah publik seperti sosial media itu dipenuhi konten-konten beragama  dianggap sebagai sesuatu yang tidak santun.Kita bisa tangkap seperti itu. Jadi sudut pandang yang dipakai sekuler, “ tegasnya mengkritisi pernyataan Prof. Al-Makin.
 
“Tentu komentar beliau itu sangat tidak bisa kita terima karena komentar itu lahir dari akidah atau keyakinan sekuler yang  jelas-jelas bertentangan dengan Islam,” imbuhnya.
 
Moderasi Beragama
 
Terkait anjuran Prof. Al-Makin untuk mengemas pesan agama di medsos yang salah satunya melalui konten moderasi beragama, Abu Zaid menegaskan bahwa moderasi beragama itu sendiri harus dikritisi.
 
Menurut Abu Zaid, diantara ide moderasi agama yang paling kuat adalah pluralisme yang menganggap semua agama sama. “Sehingga kalau yang mengatakan Islam saja yang benar dianggap radikal. Kalau mengakui semua agama sama, baru dikatakan sebagai moderat,” tukasnya.
 
Abu Zaid menilai moderasi beragama itu proses menjadikan umat Islam bisa menerima sekulerisme sebagai ideologi mereka. “Jadi moderasi beragama itu supaya umat Islam bisa menerima sekularisme sebagai ideologi mereka dan kapitalisme ataupun demokrasi lebih khusus sebagai sistem hidup mereka,” tandasnya.
 
Jadi, umat Islam tidak lagi menuntut pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. “Itu sebenarnya yang diinginkan, sehingga  umat Islam tidak lagi mempersoalkan penjajahan yang menimpa mereka yang dilakukan oleh  ideologi sekuler  kapitalis yang sekarang menguasai dunia,” tegasnya.
 
Abu Zaid mengatakan, ujung moderasi beragama adalah menjinakkan umat Islam supaya berakidah moderat, menyamadudukkan semua agama, tidak menganggap syariat itu perkara penting yang harus diterapkan secara kaffah.
 
“Moderasi beragama tidak bisa diterima oleh akidah Islam karena Islam mengatakan  sesungguhnya agama  yang diterima di  sisi Allah itu hanya Islam. Jadi Islam saja yang benar yang lain tidak benar,” tegasnya.
 
Abu Zaid mengingatkan, meski Islam saja yang benar tidak identik dengan sikap garang, keras bahkan teroris. “Itu enggak ada hubungannya. Faktanya kaum muslimin di Indonesia ini sudah  700 tahun lebih ada dan sebagai agama mayoritas. Tapi tidak pernah membantai penduduk non Muslim. Kenapa? Karena Islam punya syariat yang mengatur hubungan dengan non Muslim," cetusnya.

“Jadi, kalau mengatakan Islam saja yang benar terus identik dengan kekerasan, bar bar, itu fitnah  keji. Karena faktanya selama berabad-abad umat Islam mayoritas di negeri ini dan mengatakan agama Islam saja yang benar  tapi  tidak pernah terjadi hal-hal yang seperti dituduhkan,” terangnya.
 
Candu
 
Ungkapan agama itu menjadi candu dinilai Abu Zaid menyerupai pernyataan komunisme. "Menurut mereka agama itu meninabobokkan manusia sehingga tidak berani melawan kezaliman para kapitalis. Ini terjadi di Eropa,” paparnya.
 
Makna agama menjadi candu bagi tokoh agama, lanjutnya,  adalah sebagai tameng. Sedang candu bagi  umatnya dimaksudkan  tidak berani melawan dominasi tokoh-tokoh agama dan kapitalis. “Ini tentu perkara yang harus kita kritisi bagaimana bisa terjadi seorang muslim menganggap agama itu candu,” jelasnya.
 
Abu Zaid pun berharap agar umat Islam lebih semangat belajar agama agar bisa membedakan mana yang sesuai syariat Islam mana yang tidak secara rinci. Bukan hanya mengandalkan tulisan atau video  di sosial media.
 
Sekulerisme

Abu  Zaid menyebut bahaya  jika seorang muslim meyakini sekulerisme. “Berarti ia telah keluar dari Islam,” tandasnya.  
 
“Apalagi komunisme.  itu bahaya paling besar . Sadar atau tidak dia telah keluar dari Islam,” ungkapnya.
 
Bahaya selanjutnya kata Abu Zaid,  ini akan berpengaruh terhadap pola hidupnya karena pandangan sekuler  dan komunis itu nanti akan membuat dia tidak terikat lagi dengan akidah dan syariat Islam. Akibatnya, gaul bebas, hidup untuk dirinya saja,  ngga jelas, suka-suka, ngga ada rasa tanggung jawab.
 
Untuk menghindari itu semua, menurut Abu Zaid, harus ngaji Islam kaffah. Tidak perlu takut dituduh jadi radikal. Ini tuduhan yang tidak terbukti sampai hari ini, karena betapa banyak justru faktanya semakin paham Islam itu akan semakin santun.
 
“Semakin tahu hak dan kewajibannya dia akan semakin santun pada dirinya sendiri, orang tuanya, keluarga dan masyarakatnya. Karena Islam memang memerintahkan untuk berbuat adil serta melaksanakan kewajiban untuk semua orang,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 

Jumat, 06 Mei 2022

Menepuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri


Tinta Media - Ada narasi yang kembali digulirkan oleh salah seorang tokoh yang pernah menjadi saksi ahli sebagai pembela seorang penista agama. Padahal, apa yang dikatakan tersebut bukanlah sebuah fakta, melainkan hanya sebuah pengarusutamaan opini semata, seolah-olah sedang mencoba kembali menaikkan suhu dalam memusuhi perjuangan menegakkan kemuliaan Islam.

Dia mengatakan di salah satu akunnya bahwa menegakkan khilafah dan syari'at Islam adalah mimpi. Sebagai seorang yang sudah ditokohkan oleh sebuah ormas Islam, apakah mungkin dia tidak tahu bahwa khilafah itu adalah janji Allah (wa'dullah) dan juga kabar gembira yang dibawa Rasulullah (busyra Rasulillah)? Rasanya tidak mungkin, bukan? 

Mengimani apa yang disampaikan oleh Allah Swt. dalam kitabullah seharusnya menjadi sebuah kepastian yang kita yakini kebenarannya. 
Allah Swt. berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan) dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata" (TQS. Al Baqarah: 208).

Bagaimana mungkin masalah pokok (akidah) tidak dia ketahui?

Nah untuk mewujudkan kehidupan Islam secara kaafah dibutuhkan sebuah prasyarat berupa institusi legal yang melaksanakannya. Sebuah kaidah fiqih menyatakan:

"Apabila sebuah kewajiban tidak dapat terlaksana karena ketiadaan sesuatu maka keberadaan sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya." 

Oleh karena itu, menegakkan khilafah ini adalah hukum syara' yang dibangun dari keyakinan pokok (akidah) Islam.

Menyerang pejuang khilafah dengan narasi bahwa khilafah adalah perkara akidah itu juga salah alamat. Justru hal itu semakin memperlihatkan bahwa orang tersebut tidak mau tahu perbedaan perkara akidah dan syari'ah, dikarenakan kebenciannya yang sangat terhadap penerapan Islam secara kaffah. Mengatakan bahwa khilafah dan syari'at sebagai mimpi jelas bukan pemikiran Islam.

Lalu, apa konsep lain yang dia tawarkan sebagai untuk melaksanakan kewajiban menerapkan Islam secara kaffah selain dengan khilafah? Tentu saja dia tidak punya. Ini karena secara akidah sudah sangat terbaca bahwa dia diduga kuat sebagai pengusung akidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Mana mungkin ia akan menerapkan Islam secara kaffah?

Bagaimana dengan konsep khilafah, apakah selain yang diperjuangkan oleh pengusung Islam ideologis selama ini, dia punya konsep selainnya? Lagi-lagi dia tidak akan punya. Hal itu karena dia bukan seorang mujtahid sehingga tidak memiliki fikrah dan thariqah penegakannya. Lagi pula, sebenarnya dia sedang mempertegas posisinya sebagai pembebek demokrasi yang dijajakan Barat, yaitu sebuah konsep kenegaraan kuno dari Yunani, alih-alih konsepnya sendiri.

Oleh karena itu, ketika saat ini pihak-pihak yang memusuhi penerapan syari'at Islam dengan metode penerapan yang keliru dan dangkal semakin ditampakkan Allah Swt., maka sesungguhnya hal tersebut merupakan cara Allah untuk memuliakan Islam dan para pejuangnya. Memusuhi syari'at Islam dan khilafah bagaikan menepuk air didulang lalu terpercik muka sendiri. Wallahu a'lam bishshawwab.

Oleh: Trisyuono Donapaste 
Sahabat Tinta Media 


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab