Ustadz Ismail Yusanto: HAM Itu Absurd
Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menilai bahwa jika perspektif HAM digunakan untuk membela penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam, termasuk Al Zaytun, maka itu adalah hal yang absurd.
"Umpamanya kita menggunakan perspektif HAM. Anda itu, HAM-nya itu mau duduk di mana? Anda duduk di yang menyimpangkan atau di tidak disimpangkan. Bukankah mereka yang ingin agama tidak disimpangkan itu juga punya hak asasi? Kalau anda duduk di yang menyimpangkan, dianggap itu hak dia, kenapa anda tidak membela hak orang yang agamanya tidak ingin disimpangkan? Ini kan jadi absurd," tegasnya dalam rubrik Fokus to The Point dengan judul "Al Zaytun Diduga Sesat, Kok Seperti Dibiarkan?" dalam kanal Youtube UIY Official, Kamis (22/6/2023).
UIY menyatakan HAM tidak bisa menyelesaikan mana yang sebenarnya mempunyai hak asasi. "Yang menyimpangkan atau yang tidak ingin disimpangkan. Nggak selesai kan?" sindirnya. Dia menegaskan bahwa karena HAM tersebut menjadi absurd maka hal tersebut tidak boleh dipakai.
UIY juga menegaskan bahwa HAM ini sifatnya tidak bisa universal karena pada akhirnya HAM akan memihak pada sesuatu yang dianggap secara subyektif.
"Sebagaimana seperti sekarang yang sedang ramai, L68T. L68T anggap sebagai HAM. Orang yang menolak juga kan sebagai bagian dari HAM, Hak Asasi Manusia dia. Kenapa kemudian dia membela yang L68T. Pada faktanya, dia subyektif juga," terangnya.
Cendekiawan
muslim ini mengingatkan bahwa manusia akan selalu dalam kekacauan mana kala
tidak ada ketentuan yang fixed. " Tidak ada ketentuan yang maton,
kalau orang Jawa bilang, yang mantap, yang fixed. Dan ketentuan itu
harus tidak berasal dari manusia," tambahnya.
"Sebab
jika berasal dari manusia, pasti, kembali yang tadi, berdasar pada
subyektivitas manusia. Dan subyektif itu tergantung kepada kepentingan. Dan
kepentingan itu pasti berbeda-beda sehingga terjadi kekacauan. Sebagaimana yang
kita saksikan ini hari," jelasnya.
UIY juga
menilai bahwa ketika seseorang sudah menjadi muslim maka kewajibannya adalah
untuk mengikuti aturan Islam. "Saya kira tidak layak ketika kita berbicara
dalam konteks Islam masih menggunakan Hak Asasi Manusia. Bukankah ketika dia
masuk Islam, dia terikat dengan keislamannya? Dia terikat pada agamanya, dia
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam agama itu, sebagaimana
juga agama yang lain," terangnya.
Pedoman
Menanggapi
pertanyaan terkait apa pedoman mendasar untuk menilai sesuatu itu sesat atau
tidak, UIY menjelaskan bahwa keluarga, lembaga dakwah, dan pemerintah
seharusnya bersinergi untuk melindungi umat dengan berpedoman pada Kitabullah
dan Sunah Rasulullah. "Karena di situ pula Nabi SAW mengatakan, "Aku
tinggalkan dua perkara, dijamin tidak akan sesat selama-lamanya," kalau
kita berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunah Rasulullah
SAW," terangnya.
UIY mengingatkan terkait peran pemerintah khususnya bahwa pemerintah punya kewajiban untuk menjaga agama.
"Karena itulah Imam Ghazali menyebutkan
"ad-dinu was sulthonu tau amaani". Jadi agama dan penguasa itu
seperti saudara kembar. Agama itu asas, pemimpin itu penjaga. Imam Ghazali
mengatakan apa yang tidak ada pondasi akan hancur. Dan apa yang tidak ada
penjaga, dia akan hilang. Jadi jelas bahwa memang agama itu harus dijaga. Dan
siapa yang menjaga agama? Pemimpin," tegasnya.
"Jadi,
HAM itu mustinya sudah tidak dipakai," simpulnya. [] Hanafi