Tinta Media: APBN
Tampilkan postingan dengan label APBN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label APBN. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 November 2024

Kemplang Pajak Terus Bergulir, Bukti APBN Berasas Kapitalistik


Tinta Media - Kabinet merah putih sudah dibentuk. Presiden dan wapres terpilih pun sudah menjalani prosesi sumpah jabatan, menunjukkan bahwa pemerintahan baru sudah berjalan. Ironis, baru saja diresmikan, sudah memikul warisan problem menggurita.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajat Wibowo menyampaikan bahwa terjadi pengemplangan pajak yang mengakibatkan negara mengalami kerugian mencapai kisaran Rp300 triliun. (Cnbc.Indonesia, 9/10/24).

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditemukan empat sumber potensi penerimaan negara di sektor sawit yang hilang, di antaranya dari denda administrasi terkait dengan pelanggaran pemenuhan kewajiban plasma dan sawit dalam kawasan hutan, serta dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dari sektor ini. (Cnbc.Indonesia, 12/10/24).

Berdasarkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2023, sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah penerimaan perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta penerimaan hibah.

Sedangkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia, per 31 Juli 2024, tercatat realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.045,32 triliunan atau 52,56 persen dari target. Data ini menunjukkan bahwa pajak memang menjadi sumber pemasukan utama di negeri ini. Ironis, pengemplangan pajak malah terjadi secara kronis.

Realitasnya, pengemplangan pajak ini bukan kali pertama, dan terjadi secara bergulir. Bahkan, case terbaru ketika pelaku pengemplangan pajak [RH] hanya dijatuhi hukuman pidana berupa kurungan penjara selama 8 bulan, serta denda sebesar Rp191,84 juta. (regional.espos.id, 22/03/24)

Case ini menunjukkan bahwa ternyata pungutan pajak berlaku untuk seluruh rakyat hanya untaian kata, tanpa penerapan nyata. Para pemilik modal, pengusaha, pemangku kekuasaan, terlihat mencolok seperti anak emas, ada perlakuan istimewa yang nampak privat. Meski setelah terkuak, dibalut dalam kedok korupsi. Miris, hal ini sudah berjalan lama bahkan mereka sudah kenyang menikmati uang rakyat lewat pajak. Tragis, ternyata mereka bebas pajak!

Meskipun majelis hakim menyatakan bahwa jika terdakwa tidak membayar denda dengan durasi waktu paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda yang dimiliki berhak disita oleh jaksa, kemudian dilelang untuk membayar denda. 

Bergulirnya case serupa menunjukkan bahwa hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera, terlebih ternyata keringanan demi keringanan memberi kemudahan.

Analogi sederhana, bahwasanya menggunakan uang rakyat untuk kesenangan pribadi dengan nominal cukup fantastis dan tentu merugikan negara merupakan kejahatan setimpal dengan kurungan penjara 8 bulan, dan denda dengan ketentuan-ketentuan berlaku. Tentunya, bagi pemilik modal  nominal tersebut tidak seberapa. Apabila terkendala dalam pembayaran denda pun, akan diganti dengan kurungan penjara selama tiga bulan. Tentu hukuman ini tidak adil untuk selevel koruptor kelas kakap.

Kalau kita tarik benang merah, akar masalahnya ada pada pungutan pajak tersebut, lalu mengerucut pada sistem yang mengatur di dalamnya. Menarik, ketika Dr. Riyan, M.Ag, seorang pengamat politik Islam mengatakan bahwa APBN yang ada di negeri ini berasas kapitalistik, dengan acuan keuntungan.

Sejatinya, kesejahteraan untuk rakyat hanyalah ilusi semata, selalu terkendala untuk menyentuh taraf sejahtera dan akar problematika. Ini karena dalam asas kapitalistik, pengelolaan SDA dilimpahkan kepada pihak swasta, bukan negara. Sehingga, menjadi wajar ketika salah satu pendapatan negara diambil melalui pungutan pajak.

Padahal, negeri ini memiliki kekayaan alam limpah ruah. Misalnya, perbandingan antara lautan dengan daratan yaitu 70 persen dibanding 30 persen, dengan beragam spesies 4.720 jenis. Namun, kenapa justru keadaan berbalik, rakyat justru mengonsumsi suplemen ikan, bukan ikan fresh? Bahkan, tidak semua rakyat bisa merasakan kelezatan ikan karena tergolong mahal untuk dinikmati.

Semenjak itu, pengelolaan SDA dalam Islam adalah menjadi tanggung jawab negara sebagai wakil rakyat, bukan diserahkan kepada swasta asing dan aseng.

Rasulullah pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, bahwasanya umat Islam berserikat pada tiga perkara, ialah air, padang rumput, serta api.

Sehingga, pengelolaan SDA tidak boleh dilakukan secara privatisasi, karena merupakan kepemilikan umum. Artinya, pengelolaan ini dilimpahkan kepada negara dalam rangka kesejahteraan seluruh rakyat.

Sehingga, langkah strategis yang bisa dilakukan adalah mengganti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang  berasas kapitalistik menjadi APBN dengan asas syariah sesuai hukum syara.

APBN asas syariah ketika sudah diterapkan akan terlihat secara moneter. Negara akan beralih mata uang kertas ke mata uang emas dan perak. Secara fiskal, negara tidak lagi membebani rakyat dengan pajak. Namun, dalam APBN, pengelolaan kepemilikan umum, termasuk SDA dilakukan oleh negara dan dikembalikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Kemudian langkah selanjutnya memperbaiki penegakan hukum yang adil dengan standar agama. Sistem hukum dalam Islam menekankan keadilan yang tidak memihak kepada segelintir orang, yaitu para pemilik modal. 

Para penegak hukum harus memenuhi syarat dan ketentuan Islam, sehingga menjunjung tinggi nilai keadilan dan tidak mudah disuap. Penerapan hukum yang adil dalam segala bidang dilakukan guna menciptakan masyarakat yang harmonis serta menghindari praktik-praktik korupsi dan berbagai macam problematika.

Contoh kasus, pemberantasan korupsi dalam pengemplangan pajak, bisa lebih efektif jika disertai dengan sanksi yang tegas dan pendekatan berbasis moral agama sehingga memberi efek jera.

Paket komplit tersebut hanya ditemui dalam agama Islam, karena Islam mengatur secara rinci sistem pemerintahan yang kompleks. Wallahu'alam Bisawab.




Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak., 
Penulis Ideologis

Kamis, 21 Desember 2023

Pengelolaan APBN Gagal dan Merugikan Keuangan Negara



Tinta Media  - APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun anggaran 2023 ditetapkan defisit Rp598,15 triliun, atau 2,84 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Jumlah ini di bawah ambang batas 3 persen yang dibolehkan oleh undang-undang. APBN tahun anggaran 2023 tersebut ditetapkan di dalam UU No 28 Tahun 2022 tentang APBN Tahun Anggaran 2023. 

Namanya Undang-Undang (UU), wajib ditaati. Begitu juga dengan UU APBN yang ditetapkan bersama DPR, pada hakikatnya mengikat dan wajib ditaati pemerintah dalam mengelola APBN, dan merealisasikan pengeluaran Belanja Negara. 

Tentu saja, APBN adalah sebuah “anggaran”, yang artinya bersifat perkiraan, sehingga tidak mungkin 100 persen tepat atau akurat. Artinya, realisasi APBN pasti berbeda dengan anggaran. Ini dapat dipahami sepenuhnya. 

Tetapi, persoalan APBN bukan masalah akurasi semata. Meskipun akurasi dalam perkiraan APBN tentu saja cukup penting. Agar realisasi pengeluaran (baca: belanja) dapat sebaik mungkin mendekati anggaran, agar target ekonomi dan sosial yang ditetapkan di dalam APBN dapat tercapai sesuai rencana. 

APBN terdiri dari dua komponen. Yaitu, Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Dari dua komponen APBN tersebut, Pendapatan Negara bersifat perkiraan, atau disebut anggaran. Karena itu, realisasi penerimaan Pendapatan Negara bisa meleset dari anggaran yang ditetapkan. 

Artinya, anggaran atau perkiraan Pendapatan Negara di luar kendali pemerintah, bisa fluktuatif, karena dipengaruhi banyak faktor yang di luar kendali pemerintah. Antara lain, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, suku bunga global, perdagangan internasional (ekspor-impor), serta pertumbuhan ekonomi global, dan lainnya. 

Di lain sisi, komponen Belanja Negara sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah. Sebagai konsekuensi, maka defisit APBN juga sepenuhnya dalam kendali pemerintah. Karena, pemerintah dapat menyesuaikan jumlah Belanja Negara atas kelebihan atau kekurangan penerimaan Pendapatan Negara. 

Sebagai contoh, pada tahun tertentu, anggaran Pendapatan Negara ditetapkan Rp1.000 triliun dan anggaran Belanja Negara Rp1.100, sehingga rencana atau anggaran defisit APBN menjadi Rp100 triliun. 

Kalau realisasi Pendapatan Negara ternyata Rp50 triliun lebih rendah dari perencanaan (anggaran), menjadi Rp950 triliun, pemerintah dapat menyesuaikan Belanja Negara juga turun Rp50 triliun, menjadi Rp1.050, untuk mempertahankan defisit anggaran tetap Rp100 triliun (Rp950 triliun – Rp1.050 triliun), dengan asumsi defisit tersebut mendekati ambang batas yang dibolehkan UU sebesar 3 persen dari PDB. 
Cara seperti itu merupakan cara pengelolaan keuangan negara dan APBN yang bertanggung jawab dan taat UU APBN. Karena, perencanaan Belanja Negara merupakan bagian dari perencanaan pencapaian target ekonomi dan sosial, seperti target pengurangan angka stunting, tingkat kemiskinan, target pertumbuhan ekonomi dan inflasi, pemenuhan kebutuhan sanitasi layak, infrastruktur (desa), irigasi, dan sebagainya. 

Tetapi, realisasi APBN 2023 mengejutkan. Pemerintah mengumumkan realisasi defisit APBN per 12 Desember 2023 hanya Rp35 triliun, jauh lebih rendah dari rencana defisit anggaran sebesar Rp598,15 triliun. Padahal, realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp2.553,2 triliun, lebih besar Rp90 triliun dari anggaran Rp2.463 triliun. Tetapi, realisasi Belanja Negara hanya Rp2.588,2 triliun, jauh lebih rendah dari anggaran Rp3.061,18 triliun. Lebih rendah Rp473 triliun. 

Profil realisasi APBN 2023 seperti itu menunjukkan pemerintah gagal mengelola APBN. Ada dua kemungkinan penyebab kegagalan ini. Pertama, pemerintah memang tidak kapabel. Atau, kedua, pemerintah sengaja tidak merealisasikan Belanja Negara sesuai rencana anggaran yang sudah disetujui DPR. Dalam hal ini, artinya, pemerintah sengaja melanggar UU APBN. 

Tampaknya, pemerintah memang sengaja melanggar UU APBN. Alasannya, pemerintah sampai 12 Desember 2023 sudah menarik utang Rp345 triliun untuk membiayai rencana defisit APBN 2023 sebesar Rp598 triliun. Tetapi tidak dipakai. Karena tidak ada defisit. Karena pemerintah menahan Belanja Negara. 

UU APBN secara eksplisit menyatakan, Rakyat (DPR) memberi wewenang kepada pemerintah menarik utang hanya sebesar untuk membiayai defisit anggaran. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menarik utang lebih besar dari defisit anggaran. Maka dinamakan utang Pembiayaan Anggaran. 

Karena itu, menarik utang Rp345 triliun untuk membiayai defisit anggaran Rp35 triliun sangat tidak masuk akal dan melanggar UU APBN. Selain itu juga merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak lain (kreditur pemilik modal). Karena pemerintah harus membayar bunga atas utang yang seharusnya tidak diperlukan untuk membiayai defisit anggaran. 

Patut dicurigai, pemerintah sengaja “menggelembungkan” anggaran Belanja Negara di APBN 2023 (Rp3.061 triliun), yang sebenarnya tidak diperlukan sebesar itu. Atau, pemerintah sengaja memangkas anggaran Belanja Negara yang sudah disepakati dengan DPR di dalam UU APBN, yang berakibat tidak tercapainya target ekonomi dan sosial, dan merugikan masyarakat kelompok bawah (miskin). 

Atau, alasan terakhir, mungkin juga utang Pembiayaan Anggaran tersebut terpaksa digunakan untuk membayar utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2023 sekitar Rp600 triliun, karena pemerintah tidak ada uang, karena tidak bisa refinancing alias menarik utang baru untuk membayar utang lama. 

Artinya, investor tidak tertarik memberi utang kepada Indonesia. Hal ini sejalan dengan laporan Bank Dunia, bahwa tahun ini, investor global menarik utang dari negara berkembang lebih besar dari meminjamkan, sehingga dapat memicu krisis. 

Kalau ini yang terjadi, maka krisis valuta dan moneter sudah di depan mata. 

--- 000 --- 

Oleh: Anthony Budiawan 
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Rabu, 24 Mei 2023

Cina Minta APBN Jamin KCIC, Hilmi: Sejak Awal Proyek Ini Bermasalah

Tinta Media - Menanggapi permintaan Cina agar APBN menjadi jaminan terhadap proyek Kereta Cepat Indonesia-Cina, Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (Hilmi), Dr. Julian Sigit, S.E, M.E.Sy, menilai bahwa sejak awal proyek ini bermasalah.

"Jadi, terkait kasus kereta cepat Indonesia-Cina, itu kan jauh-jauh hari sudah dianalisa dan diperhitungkan bahwa memang proyek dari kereta cepat Indonesia-Cina ini atau KCIC ini, bermasalah," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (15/4/2023).

Menurutnya, proyek ini bermasalah mulai dari perencanaan termasuk juga mapping, bahkan dieksekusi. Akhirnya memang menimbulkan dampak yang signifikan.

"Pembengkakan anggaran yang tidak sedikit, dan yang awalnya sifatnya  B to B (business to business), tidak melibatkan APBN, akhirnya kalau kita melihat fakta, justru melibatkan APBN," ungkapnya.

Nah, lanjutnya, fakta itu menunjukkan bahwa proyek kereta cepat ini minim kajian dan terkesan ini menjadi terkena jebakan debt trap. 

"Debt Trap oleh China, di kisaran 91 triliun, dan pemerintah Jepang itu mengatakan bahwa 75% biayanya itu ditanggung oleh pemerintah Jepang dengan tenor bunganya 0,1% kalau tidak salah," terangnya.

Julian menjelaskan, tiba-tiba kemudian China datang menawarkan dengan harga yang lebih murah yaitu di kisaran 81 triliun. Akhirnya pemerintah Indonesia tertarik. Tetapi masalahanya, kalau kita melihat, karena adanya cost overrun (pembengkakan biaya) ini. 

"Pembengkakan ini, pemerintah China ini menetapkan bunga yang sangat besar yaitu 3,4%. Namun dalam konteks ini pemerintah hanya mampu membayar bunganya itu di kisaran 2%. Nah, ada kemungkinan 1,4% itu diambil dari APBN. Nah ini yang menyebabkan sehingga kalau memang nanti dibayarkan, pemerintah China itu bisa mengakuisisi, mengelola kereta cepat itu, dan ini termasuk ke dalam debt trap," paparnya.

Ia menerangkan, (kondisi ini) persis sebagaimana apa yang terjadi di proyek-proyek debt trap atau jebakan hutang yang terjadi seperti di Srilanka.
"Yang pelabuhan strategisnya, akhirnya kemudian diambil alih oleh China," imbuhnya.

"Sehingga, kalau kita melihat peta dan konsep alurnya, yang hari ini berkembang, mulai dari minim kajian, termasuk biaya bunga yang sangat besar, termasuk juga awalnya tadi B to B (business to business), justru jadinya B to G atau business to government," jelasnya.

Ini menunjukkan ada kesan, bahwa pemerintah Indonesia ini termasuk atau terkena jebakan hutang dari China yang ujung-ujungnya bisa jadi nanti dikelola oleh China, selain kita sudah mengeluarkan banyak uang dari APBN.

Islam

Menurutnya, kalau dikaitkan dengan Islam, maka Islam memandang sebetulnya konsep kepemilikan umum itu jelas. Dalam konteks ini, infrastruktur itu menjadi tanggung jawab negara. 

"Islam memandang bahwa APBN itu sebesar-besarnya, betul-betul dikelola oleh negara untuk menyejahterakan masyarakat. Mulai dari sumber pemasukannya, termasuk pengelolaanya itu betul-betul dikelola untuk menyejahterakan dan meriayah masyarakat. Jadi bukan untuk kepentingan oligarki atau pengusaha semata," tandasnya.

Nah, kalau melihat fakta hari ini, Julian mengungkapkan, justru terkesan ini banyak pihak yang kemudian mencari rente dari proyek ini. "Nah, syariah Islam memandang justru kalau misalkan APBN, itu betul-betul dikelola oleh negara dengan mengoptimalkan dari sektor kepemilikan umum bukan dari pajak," terangnya.

Menurutnya, sektor kepemilikan umum ini, kemudian dikelola, didistribusikan mulai dari mencukupi kebutuhan-kebutuhan primer untuk infrastruktur, termasuk misalkan nanti untuk pelayanan-pelayanan publik.

"Nah, ini dikelola betul-betul oleh negara sehingga proporsinya itu betul-betul untuk menyejahterakan masyarakat, bukan menyejahterakan atau menguntungkan oligarki," kembali ia menegaskan.

"Ini menarik sebetulnya, dalam konteks Islam itu," ungkap Julian. Sehingga, sambungnya, "Kalau pengelolaan APBN dalam Islam, betul-betul APBN dikelola sesuai dengan aturan syariah yang dimana peruntukannya itu jelas untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan oligarki atau misalnya pencitraan dari penguasa, saya kira seperti itu," pungkasnya.[]'Aziimatul Azka

Senin, 17 April 2023

APBN Dijadikan Jaminan Proyek Kereta Cepat, Pakar: Ini Jelas Agenda Penjajahan

Tinta Media - Permintaan Cina yang menjadikan APBN sebagai jaminan proyek kereta cepat, menurut Pakar Ekonomi Dr. Arim Nasim adalah bukti jelas agenda penjajahan Cina terhadap Indonesia.

“Adanya permintaan APBN dijadikan jaminan ini membuktikan dengan jelas bahwa pembangunan kereta api cepat itu agenda penjajahan Cina terhadap Indonesia,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Sabtu (15/4/2023).

Ia mengungkapkan Cina sadar sejak awal bahwa proyek kereta api cepat dari sisi ekonomi tidak menguntungkan. “Tapi Cina tetap memberikan pembiayaan untuk menjerat Indonesia seperti Sri Lanka,” ujarnya. 

Pemerintah Indonesia, lanjutnya, dengan berbagai kebohongan semakin nyata dalam proyek kereta api cepat ini hanya mencari rente atau komisi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya bukan untuk kepentingan rakyat.

Ia juga menilai Cina membidik APBN agar mendapatkan salah satu slot APBN untuk bayar utang yang ketika tak dibayar akan diambil alih. “Itu karena Cina tahu proyek ini sejak awal sebenarnya tidak layak dan tidak akan bisa dibayar dari hasil operasi, maka dia minta APBN yang bayar,” bebernya.

Berbeda dengan Islam, ia memaparkan jika APBN di dalam Islam dirancang untuk menjalankan tugas negara dalam melayani rakyat. “APBN tidak boleh atau haram digunakan sebagai alat untuk memalak rakyat apalagi untuk kepentingan para kapitalis,” pungkasnya.[] Erlina

Kamis, 15 Desember 2022

Mekanisme Pengelolaan APBN dalam Islam

Tinta Media - Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta kementerian atau lembaga untuk menghabiskan sisa anggaran belanja APBN yang jumlahnya masih sekitar Rp1.200 triliun sampai akhir tahun ini. Sri Mulyani mengatakan, tercatat hingga akhir september 2022 belanja negara sudah terealisasi sebesar Rp1.913,9 triliun atau baru terserap 61,6 persen dari target Rp3.106,4 triliun. Artinya masih ada sisa belanja Rp 1.000 triliun lebih yang harus dihabiskan dari Oktober-Desember 2022. (www.cnnindonesia.com)

Di sisi lain, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu menyebutkan meski belanja harus dihabiskan, bukan berarti jor-joran untuk kegiatan yang tidak berkualitas. Sebab, jika ingin mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, maka belanja yang dilakukan harus berkualitas. Artinya, belanja tidak harus habis, tapi realisasinya tinggi, ujarnya. (www.cnnindonesia.com)

Serapan anggaran yang ternyata baru terserap sebesar 61,6 persen pada bulan September lalu menunjukkan kinerja pemerintah yang tidak baik. Di sisi lain, hal ini juga menggambarkan ketidakjelasan dari arah pembangunan yang tidak berdasarkan kepada kebutuhan dan kemaslahatan umat. Apalagi jika dilihat banyaknya layanan publik yang belum optimal, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Namun sayangnya, meski masih ada anggaran kesehatan dan pendidikan, tetapi angkanya hanya sedikit. Parahnya lagi dalam kondisi seperti ini negara justru menganggarkan dana besar untuk pembangunan yang sebagian besar tidak begitu mendesak, seperti pembangunan kereta cepat. Namun di sisi lain, selalu saja di narasikan di tengah masyarakat, bahwa terjadi defisit anggaran, sehingga akhirnya subsidi harus dikurangi bahkan dihapuskan dan pajak pun harus ditingkatkan. Padahal, kenyataannya dana APBN tidak terserap dan malah bersisa, sementara rakyat sendiri masih jauh dari kesejahteraan.

Sungguh sangat nyata kerusakan sistem anggaran dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan saat ini. Tidak heran, jika dikatakan bahwa APBN dalam sistem kapitalisme tidak pro terhadap kepentingan rakyat, tapi justru pro pada kepentingan kapitalis. Maka, selama sistem ini diterapkan, rakyat jangan berharap banyak untuk bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah secara umum.

Kenyataan ini justru berbeda dengan Islam ketika diterapkan dalam sebuah negara. Negara dalam Islam atau yang disebut dengan Khilafah memiliki mekanisme yang khas dalam pengelolaan anggaran negara sesuai dengan hukum Islam. Pemimpin dalam Islam atau Khalifah memiliki hak tabanni (adopsi) dalam menyusun APBN negara.
 APBN yang telah disusun kepala negara atau khalifah, dengan sendirinya akan menjadi undang-undang yang harus dijalankan seluruh aparatur pemerintahan. Mengenai pos-pos anggaran, Khilafah memiliki institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya untuk kepentingan umat yang berhak menerimanya. Institusi tersebut disebut dengan Baitulmal.

Baitulmal sendiri terdiri dari dua bagian pokok. Bagian pertama, berkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitulmal dan seluruh jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Bagian kedua, yaitu berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan seluruh jenis harta yang harus dibelanjakan.

Selain itu, di dalam Baitulmal juga terdapat pos-pos yang sesuai dengan jenis hartanya.

 Pertama, pos fai’ dan kharaj, yang meliputi ghonimah, anfal, fai’,khunus, kharaj, status tanah jizyah dan dharibah (pajak).

Kedua, pos kepemilikan umum, seperti minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang dilindungi oleh negara untuk keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum ini harus dibuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta yang lainnya.

 Ketiga, pos sedekah yang dirancang berdasarkan jenis harta zakat, yaitu zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; zakat unta, sapi dan kambing. Untuk pos zakat ini juga harus dibuatkan tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta yang lainnya.

Sedangkan untuk pemasukan negara sendiri, Khilafah memiliki berbagai jenis harta yang bisa dikelola untuk membelanjakannya sesuai dengan aturan syariat. Bagian pembelanjaan ini juga dilakukan oleh Baitulmal. Di dalam Kitab An-Nizam al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dituliskan bahwa pengeluaran atau penggunaan harta Baitulmal ditetapkan berdasarkan enam kaidah. Yang mana kaidah tersebut didasarkan pada kategori tata cara pengelolaan harta.

Kaidah pertama yaitu, harta yang mempunyai kas khusus dalam Baitulmal. Yakni harta zakat. Harta tersebut adalah hak untuk 8 golongan penerima zakat saja, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran. 

Kedua, harta yang diberikan Baitulmal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad. Seperti, nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta untuk keperluan jihad. Penafkahannya tidak didasarkan pada ada atau tidaknya harta tersebut di Baitulmal, tetapi bersifat tetap. 

Ketiga, harta yang diberikan oleh Baitulmal sebagai suatu pengganti atau kompensasi, yaitu harta yang menjadi hak orang-orang yang telah berjasa, seperti gaji tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif dan sebagainya. 

Keempat, harta yang bukan sebagai pengganti atau kompensasi namun dibutuhkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum, yang mana jika ketiadaannya akan menyebabkan mudharat pada umat, misalnya sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Penafkahannya juga bersifat tetap, tidak melihat kepada ada atau tidak anggaran di Baitulmal. 

Kelima, harta untuk kemaslahatan dan kemanfaatan yang bukan sebagai pengganti atau kompensasi dan juga tidak bersifat mendesak, misalnya pembuatan jalan alternatif setelah ada jalan yang lain dan sebagainya. 

Keenam, harta yang disalurkan oleh Baitulmal dikarenakan adanya unsur kedaruratan seperti paceklik, kelaparan, bencana alam, serangan musuh dan lain sebagainya. Dalam kondisi ini ada atau tidaknya harta di Baitulmal tidak menggugurkan ataupun menangguhkan penafkahannya.

Prinsip pengeluaran Baitulmal yang mampu menyejahterakan rakyat dan jauh dari tidak jelasan anggaran akan berjalan, manakala negara benar-benar menerapkan syariat Islam secara Kaffah di bawah institusi Khilafah Islamiyah. Sistem inilah yang dibutuhkan oleh umat saat ini.

Oleh: Gusti Nurhizaziah
Aktivis Muslimah

Minggu, 13 November 2022

Sistem Anggaran Demokrasi Tak Mampu Memenuhi Kebutuhan Rakyat

Tinta Media - Pengelolaan perekonomian memang menjadi salah satu hal yang penting dalam bernegara. Pasalnya, penggelontoran dana pada berbagai program memang harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, bentukan programnya pun tidak boleh serampangan, apalagi ketika program itu dibuat hanya untuk menguntungkan pihak elit belaka, tanpa memandang kemaslahatan rakyat.

Arus ekonomi yang mengarah pada krisis dan susahnya lapangan pekerjaan yang memadai berdasarkan skill, menjadikan rakyat makin terimpit dalam pemenuhan kebutuhannya. Memang benar, ada berbagai macam bentuk bantuan yang digelontorkan pemerintah. Namun, hal ini tak mampu menuntaskan masalah ekonomi yang menjerat masyarakat.

Padahal, baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa sisa anggaran belanja APBN jumlahnya masih sekitar Rp1.200 triliun sampai akhir tahun ini.

Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam kondisi krisis. Namun, ternyata angka yang dikatakan tak sedikit tadi tak mampu menuntaskan masalah rakyat, utamanya masalah yang berkaitan dengan layanan publik yang masih menuai komplain dari masyarakat karena tidak terpenuhi dengan baik.

Serapan anggaran sementara sebesar 61,6% pada bulan September jika dibandingkan dengan berbagai problem yang dihadapi dan tingkat ketuntasannya ini menunjukkan bahwa kinerja pemerintah belum maksimal dalam menanganinya. Di sisi lain, hal ini juga menggambarkan ketidakjelasan arah pembangunan, yaitu tidak berdasarkan pada kebutuhan dan kemaslahatan umat.

Apalagi, banyak layanan publik yang belum optimal dan membutuhkan dana besar untuk  anggaran beberapa bidang. Namun, faktanya justru kurang dan malah  dikurangi (seperti dana riset, hankam). Sementara, selalu dinarasikan ada defisit anggaran, sehingga subsidi dikurangi, bahkan dihapuskan. Nyatanya, dana tidak terserap dan bersisa.

Sungguh nyata kerusakan sistem anggaran dalam sistem demokrasi. Dengan serapan dana rendah, bagaimana mungkin rakyat terlayani dengan baik kebutuhannya?

Sistem demokrasi di bawah payung kapitalisme sekuler menjadikan liberalisasi sebagai tujuan, sehingga pemenuhan hak dan kewajiban yang semestinya bisa dirasakan rakyat beralih pada hal-hal yang hanya menguntungkan sebagian pihak. Bukan hanya tak perhatian pada rakyat kecil, tetapi juga menjadikan mereka sapi perah. Bahkan, mereka disuruh untuk memfasilitasi diri mereka sendiri, padahal ada pemimpin yang harusnya mampu mengayomi mereka, sehingga tidak menjadi terkatung-katung atau bahkan terdiskriminasi oleh sebagian pihak.

Ini menandakan hak dan kewajiban hanya akan didapatkan dan dirasakan pelayanannya ketika hal tersebut sejalan dengan orang-orang tertentu. Sedangkan amanah yang diletakkan rakyat di pundak penguasa, hanya menjadi formalitas belaka.

Namun, akan berbeda ketika pengaturan ini diserahkan kepada sistem anggaran dalam Islam, di bawah kendali Khalifah yang berperan sebagai ra’in (pengatur) akan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan umat. Mereka yang berperan sebagai penguasa di dalam sistem Islam akan betul-betul menjalankan amanah atas dasar kesadaran bahwa semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.

Selain itu, Islam mempunyai pos-pos pemasukan yang jelas untuk memudahkan periayahan (pengaturannya) kepada rakyat, seperti dana dari pembayaran zakat, hasil dari pengelolaan sumber daya alam, harta yang diperoleh dari perang. Keseluruhan ini akan dikelola di dalam baitul mal yang nantinya akan diperuntukkan demi kemudahan hidup masyarakat, baik layanan secara mandiri terkait kebutuhan hidup, juga secara umum kepada rakyat berupa segala pemenuhan sarana dan prasarana yang mampu mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.

Islam juga memiliki penyaluran yang jelas dalam penganggarannya, seperti pemenuhan gaji pegawai yang akan diberikan dari harta APBN yang berasal dari seluruh pengelolaan kekayaan alam secara mandiri oleh negara. Dengan begitu, negara tak akan kerepotan untuk memenuhi hak pegawai atau bahkan sampai mengorting upah mereka karena negara mengalami defisit.

Semua bentuk pelayanan ini tidak akan mungkin kita rasakan selama masih berpegang pada sistem kapitalisme yang hanya mengejar keuntungan semata karena prospeknya bukanlah kepada pemenuhan amanah yang sesuai dengan Islam, melainkan hanya pada untung semata.
Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis

Minggu, 18 September 2022

Ahmad Khozinudin: Kebijakan Fiskal untuk Mengelola APBN Harus Berdasarkan Syariah

Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin (AK) menyampaikan bahwa dalam perspektif Islam, kebijakan fiskal untuk mengelola APBN harus berdasarkan petunjuk syariah. 

“Dalam perspektif Islam, kebijakan fiskal untuk mengelola APBN juga harus dikelola berdasarkan petunjuk syariah,” tuturnya kepada Tinta Media, Jum’at (16/9/2022).

Menurutnya, barang-barang yang terkategori milik umum dan milik negara menjadi sumber pemasukan APBN. "Tidak seperti saat ini, sangat tergantung pada pajak dan utang,” lanjutnya.

AK mengungkap, kebijakan yang pro kapitalis, pro oligarki, adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal.

“Karena itu, saat ada tawaran alternatif sistem ekonomi Islam, semestinya solusi perspektif Islam ini harus diberi ruang diskusi dan kajian yang lebih luas, khususnya diskusi soal potensi penerapannya di negeri ini,” ujarnya.

AK menjelaskan, bahwa dalam perspektif Islam, BBM dan sumber energi lainnya seperti batubara dan migas adalah Public Good, harta milik umum yang tidak boleh (haram) dikuasai individu, korporasi, swasta, asing maupun aseng..

“Harta-harta yang terkategori milik umum (Public Property/al Milkiyatul Ammah) sudah semestinya wajib dikelola negara dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat,” jelasnya.

“Artinya, seluruh swasta yang bermain dalam sektor energi baik tambang minyak, gas hingga batubara harus hengkang, dan tambang-tambang itu wajib dikuasai dan dikelola Negara sebagai wakil rakyat. Dengan pengelolaan oleh negara maka orientasi ekspolitasi sumber energi adalah untuk public service, bukan profit oriented,” jelasnya lebih lanjut.

Hanya saja, menurutnya, kebijakan pengelolaan energi secara Islami membutuhkan otoritas kekuasaan yang Islami yakni sistem kekuasaan Khilafah. “Khilafahlah, yang akan mengelola kebijakan fiskal negara secara Islami,” tegasnya.

Ia menyayangkan, saat ini diskursus Khilafah justru ditempatkan sebagai diskursus ancaman. “Padahal, Khilafah adalah solusi sistemik untuk menerapkan kebijakan energi yang Islami, ekonomi yang Islami bahkan lebih jauh akan menerapkan sistem kehidupan yang Islami, yang dijamin adil dan menyejahterakan,” tandasnya. [] Raras

Jumat, 16 September 2022

Subsidi BBM Bebani APBN, AK: Ini Fakta, Narasi atau Hoax?

Tinta Media - Terkait narasi yang disampaikan oleh pemerintah bahwa subsidi BBM membebani APBN, dipertanyakan oleh Advokat Ahmad Khozinudin (AK).

"Bahwa narasi yang selama ini disampaikan oleh pemerintah soal subsidi BBM itu akan membebani APBN, soal bahwa harus ada realokasi APBN yang berpihak kepada rakyat miskin, soal bahwa APBN kita akan jebol kalau harga BBM tidak dinaikkan. Nah, ini fakta atau hanya narasi? Bahkan apakah ini malah hoax atau kebohongan?" tuturnya dalam acara Forum Silaturahmi Ulama dan Tokoh Kabupaten  Garut yang bertajuk Peran Ulama dan Tokoh Masyarakat Kabupaten Garut  dalam menyikapi Kenaikan Harga BBM, Ahad (11/09/2022), yang ditayangkan di Kanal Youtube Ahmad Khozinudin Channel.

Terkait subsidi, ia memandang harus didudukkan dulu yang namanya subsidi itu seperti apa.

Ia mencontohkan seorang tukang kredit panci. Tukang kredit panci itu, dia membeli panci dengan modal 10 ribu. Harga pasaran panci itu 18 ribu. Kemudian dia jual panci itu ke pelanggan sebesar 12 ribu. Dia katakan kepada pelanggan, "Pak, panci itu sebenarnya harganya18 ribu, tapi bapak, saya subsidi 4 ribu. Cukup ke bapak saya jual 12 ribu," ungkapnya mencontohkan.

"Ini subsidi apa subsidi?" tanyanya. "Orang yang nyubsidi panci itu untung apa untung?" cecarnya.

Ia melanjutkan, bahwa tukang panci itu masih untung sebesar 2 ribu. Kenapa dia untung? karena, modal dasarnya 10 ribu. Kalau dia jual 18 ribu, untungnya lebih banyak lagi. 

"Berarti, ketika dia jual 12 ribu, dia ngasih subsidi atau ngurangin keuntungan? Hanya mengurangi keuntungan," terangnya.

Ahmad menjelaskan bahwa seharusnya subsidi itu adalah ada biaya beban modalnya tergerus karena kurang. Baru pemerintah menambal modal, "Itulah subsidi," jelasnya. 

"Kalau yang dimaksud subsidi itu adalah selisih harga pasar pesaing Pertamina dengan yang dijual Pertamina, ini namanya subsidi ala tukang panci," imbuhnya.

Karena, sambung Ahmad, Pertamina tidak pernah menjelaskan cost (biaya) produksi BBM per liter itu berapa.

"Sekarang bagaimana bisa kita mempercayai, meyakini pemerintah memberi subsidi kepada kita kalau Pertamina tidak pernah menjelaskan cost produksi per liter itu berapa," ujarnya.

Menurutnya, kalau cost produksi atau biaya yang menghasilkan Pertalite seliter itu adalah 18 ribu atau 17 ribu, dijual 10 ribu, baru kita disubsidi 7 ribu. 

"Tapi pertanyaannya, pemerintah tidak pernah menjelaskan berapa biaya cost produksi dari minyak kita," sesalnya.

Yang selalu dijadikan acuan itu namanya ICP (Indonesian Crude Price) atau standar harga minyak Indonesia. Harga jualnya itu ICP. 

Ia menjelaskan ICP itu yang membentuk komponennya formula itu mereka ada ESDM, SKK Migas, dan Menteri Keuangan. Standar untuk membentuk ICP itu bahan bakunya adalah harga minyak mentah dunia. 

"Jadi, kalau harga minyak mentah dunia naik, ICPnya naik. Kalau harga minyak dunia turun, ICPnya turun. Jadi ICP ini dibentuk dari komponen harga minyak mentah dunia," terangnya.

Ahmad mengungkapkan bahwa bahan baku minyak yang dijadikan Pertalite, Pertamax dan yang lainnya tidak semuanya diimpor dari luar negeri.

"Kita punya 70% yang kita produksi dari bumi yang oleh Allah berikan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Beli ga itu?. Gratis! Cuma biaya ngebor. Biaya ngebor dengan biaya beli ke pasar internasional murah mana?. Murah ngebor," tandasnya.

"Kenapa kita disuruh beli minyak dengan standar minyak dunia, kalau yang distandari begitu orang Singapura, wajar!" kesalnya.

"Kenapa? Karena Singapura enggak punya ladang minyak, kita punya walaupun 70%," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Selasa, 13 September 2022

Kenaikan Subsidi Akan Membuat Dana APBN Jebol, Benarkah?

Tinta Media - Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan menilai pernyataan pemerintah bahwa menaikkan subsidi BBM akan merugikan APBN sangat tidak berdasar, sebab tahun lalu Indonesia mengalami keadaan ekonomi lebih parah, namun bisa diatasi dengan baik.

"Kenaikan dari harga minyak, dan kenaikan subsidi ini, selalu disuarakan sebagai bahwa ini APBN akan jebol. APBN tidak akan bisa menanggung lagi. Nah, sekarang definisi itu apa, jika sekarang kita lihat, tahun lalu itu jauh lebih buruk. Dan isinya jauh lebih buruk. Tapi tidak apa-apa. Kenapa tahun lalu bisa, tahun sekarang ini tidak bisa?" Terangnya dalam diskusi Media Umat secara live dengan tema ' BBM NAIK, UNTUK SIAPA?' di kanal YouTube 'Media Umat, Ahad (11/9/2022).

 Menurutnya, masalahnya saat ini, rakyat sedang menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi, dari adanya inflasi. Inflasi pangan ini sangat tinggi, yaitu sampai dengan bulan Juli, sudah lebih dari 11 persen. Jadi kalau masyarakat dibebankan lagi akan sangat sulit.

 Anthony pun mempertanyakan apakah pembebanan ini cukup adil atau tidak. "Kenapa Ini dibebankan kenapa harus kepada pengguna dari pertalite atau solar itu?" Herannya.

 Total yang diperoleh dari masyarakat dengan kenaikan harga, sambungnya, hanya 31,75 triliun. Tetapi biaya yang harus dikeluarkan masyarakat sangat besar. "Semuanya pada protes, demo dan sebagainya. Jadi, kita juga lihat, kasihan rakyat, mahasiswa, guru, belum menghadapi yang di lapangan, belum sampai ada yang terluka dan sebagainya," jelasnya.

Jadi, ia menyimpulkan hal ini sangat tidak adil untuk dibebankan pada masyarakat. "Di lain pihak bahwa harga batubara, minyak sawit itu kan naik tinggi sekali. Nah kenapa itu tidak dipecah-pecah untuk diambil sebagai substitusi kalau seandainya seperti itu diperlukan. Tapi saya melihat tidak diperlukan," ungkapnya.

Kalau dikatakan APBN akan jebol, lanjutnya, ini adalah omong kosong. Ini adalah tidak benar. "Karena kalau kita lihat bahwa kita tidak ada batasan 3 persen tahun ini. Kecuali kalau kita ada batasan 3 persen ya. Kita ada batasan jebol dalam arti melewati batas 3 persen," pungkasnya.[] Wafi

Kamis, 01 September 2022

Sengkarut BBM, Ahmad Khozinudin: Terapkan Sistem Islam, Selesai Masalah 


Tinta Media - Menanggapi sikap pemerintah terkait subsidi BBM yang dianggap membebani APBN, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menyarankan untuk menerapkan sistem Islam.

"Berulangkali pusing dengan subsidi BBM tapi enggan menerima solusi Islam. Kalau Islam dijadikan solusi, terapkan melalui sistem khilafah, selesai itu urusan BBM," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (1/9/2022).

Menurutnya, kenapa? Karena Islam menyelesaikan sengkarut BBM itu dari akar masalahnya, bukan cabangnya. "Bagaimana Islam menyelesaikan masalah BBM ini? ujarnya.

Ia kemudian menjelaskan bagaimana Islam dalam menyelesaikan masalah BBM. "Pertama, dalam Islam filosofi bernegara itu melayani rakyat, bukan berdagang dengan rakyat. Negara hadir untuk meringankan beban rakyat, bukan menambah beban rakyat," jelasnya.

Ia memandang bahwa APBN dibiayai pajak rakyat, tetapi kenapa negara pelit mensubsidi rakyat? Negara malah mau jualan BBM Kepada rakyat? "Ini semua karena negeri ini menerapkan kapitalisme sekuler. Para kapitalis migas yang berbisnis di sektor hilir tidak untung kalau BBM terus disubsidi. Mereka maunya diliberalisasi, agar mereka untung beliung," ungkapnya.

Ia melanjutkan bahwa yang kedua, minyak dan gas itu dalam Islam harta milik umum _al Milkiyatul Ammah_. Tidak boleh diserahkan kepada swasta, asing maupun Aseng, harus negara yang mengelola sebagai wakil rakyat. "Faktanya, migas dan harta tambang yang melimpah di negeri ini semua mayoritasnya dikuasai swasta, asing dan aseng. Andaikan semua sektor milik umum ini dikuasai negara, sudah pasti BBM murah dan bisa digratiskan kepada rakyat," bebernya.

Ia menilai, kalau negeri ini dikelola dengan Islam melalui khilafah, sudah pasti negara dapat memberikan pelayanan BBM murah bahkan gratis kepada rakyat. "Bukan seperti saat ini, dikit-dikit pemerintah mengeluh APBN terbebani dan memindahkan beban itu ke pundak rakyat,"imbuhnya.

Ia menambahkan bahwa yang ketiga, sistem Islam yang diterapkan khilafah mengharamkan pasar komoditi berjangka _future trading_ yang selama ini dijadikan media transaksi BBM dunia. "Sektor 'judi' inilah yang membuat harga BBM 800% lebih mahal, karena adanya suplay and demand semua di pasar komoditi berjangka," tegasnya.

"Karena masalah inilah, BBM berulangkali dinaikkan dengan dalih kenaikan harga minyak dunia. Meskipun, kalau BBM dunia turun, pemerintah tidak menurutnya harga BBM nasional," paparnya.

Kalau dalam Islam, transaksi BBM nanti wajib antara penjual dan pembeli, dan wajib _yadan bi yadin_ (diserah terimakan). "Bukan seperti pasar komoditi berjangka, yang melewati puluhan bahkan ratusan pialang, dan barang yang ditransaksikan bisa diperjualbelikan ratusan hingga ribuan kali, padahal belum ada serah terima barang (tidak terpenuhi syarat akad Al Bai' dalam Islam, berupa penyerahan barang yang diperjualbelikan)," pungkasnya.[]Ajira

Rabu, 31 Agustus 2022

MMC: Indonesia Tak Memiliki APBN yang Kokoh

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menuturkan, negara tidak memiliki APBN yang kokoh sehingga menganggap dana pensiun sebagai beban negara.

"Dalam sistem kapitalisme, negara tidak berfungsi sebagai ra'in (pengayom atau pelindung). Apalagi sistem ekonomi kapitalisme tidak memiliki APBN yang kokoh, karena sumber pemasukannya berasal dari pajak dan hutang," jelasnya dalam tayangan yang berjudul "Dana Pensiun Jadi Beban Negara, Sistem Kapitalisme Abai Hak Rakyat" di channel Muslimah Media Center (MMC), Senin (28/8/2022)

Alhasil, sambungnya, negara akan perhitungan meski kepada rakyatnya sendiri. "Jiwa-jiwa bisnis yang sarat dengan untung rugi menjadi corak setiap kebijakannya.  Maka wajar jika terlontar penyataan, "dana pensiun beban APBN , beban negara"," bebernya.

Padahal, menurut narator, pemerintah lah yang menjadi beban pegawai karena telah memotong gaji dengan seabrek iuran. Oleh sebab itu, sistem kapitalisme sudah terbukti gagal menjamin kesejahteraan para pegawai negeri sipilnya.

Ia menuturkan bahwa kesejahteraan pegawai negeri sebenarnya tidak akan menjadi beban negara jika urusan tersebut diatur oleh Islam. "Karena Islam memiliki mekanisme untuk mengatur kepegawaian termasuk mengatur jaminan dana pensiun," terangnya.

Namun menurutnya,  mekanisme ini membutuhkan peran negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah termasuk sistem ekonominya. Dan negara tersebut disebut khilafah.

Ia melanjutkan, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang Mujtahid besar telah menjelaskan mekanisme tersebut melalui kitabnya yang berjudul Nidzamul Iqtishodiyah (sistem ekonomi Islam) Bab 'Pemasukan dan Pengeluaran Baitul Mal'.

Baitul mal, lanjutnya, adalah lembaga keuangan khilafah yang memiliki tiga pos pemasukan. Yaitu pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat. Masing-masing pos tersebut memiliki jalur pemasukan dan pengeluaran masing-masing.

 "Contohnya pos kepemilikan negara. Dana pos ini bersumber dari harta fa'i, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul, dharibah, dan sebagainya. Salah satu alokasi dana pos ini digunakan untuk menggaji para tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif,dan pihak-pihak yang sudah berjasa kepada negara," paparnya.

Ia menjelaskan, para pegawai di masa khilafah akan mendapatkan gaji yang besar. "Khalifah Umar bin Khattab telah memberikan teladan yang baik dalam mengatur gaji pegawai. Dalam buku "fikih Ekonomi Umar bin Khattab, jaribah bin Ahmad Alharitsi, " dijelaskan gaji pegawai negeri diberikan dengan jumlah tidak kurang dari batas kecukupan, yakni sebaiknya sejalan dengan kondisi umum bagi umat," tuturnya.

Artinya, sebut narator, gaji tersebut secara ma'ruf dapat memenuhi kebutuhan pokok pegawai negara dan keluarganya. Dengan konsep ini, Khalifah Umar bin Khattab  mampu memberi gaji guru di Madinah sebesar 15 dinar. "Jika dikonversikan ke dalam rupiah 1 Dinar setara dengan 4,25 gram emas. 1 gram emas 24 karat senilai dengan 975.000. Maka total gaji yang akan didapatkan para guru anak-anak sebesar Rp. 62.156.250," ungkapnya.

Senada dengan itu, terangnya,  Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya "Muqaddimah ad Dustur" bab kepegawaian menjelaskan bahwa seluruh pegawai yang berkerja pada negara khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah (kontrak kerja) dan ereka mendapatkan perlakuan adil sejalan dengan hukum syariah.

Artinya, ia melanjutkan, hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur dilindungi oleh khilafah.  Para pegawai bekerja sesuai bidang masing-masing dan selalu diperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara maupun sebagai rakyat.

"Para pegawai khilafah mendapat gaji dan jaminan sesuai yang ditentukan oleh hukum syara'. Tidak akan ada potongan-potongan gaji bagi para pegawai negara," tegas narator.

Ia mengatakan bahwa Gaji mereka tentu lebih dari cukup, karena untuk kebutuhan dasar publik seperti pendidikan kesehatan dan keamanan akan dijamin langsung oleh khilafah. Artinya khilafah yang akan bertanggungjawab secara mutlak untuk menyediakan kebutuhan tersebut. Sehingga masyarakat, baik itu masyarakat biasa atau pegawai negara bisa mengakses dan menikmati layanan tersebut secara gratis.

"Jaminan langsung ini akan dibiayai langsung oleh pos kepemilikan umum Baitul Mal, yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dan dengan penjelasan ini, dipastikan para pegawai Khilafah tidak akan pusing terkait nasib mereka di masa tuanya," pungkasnya.[] Wafi

Selasa, 19 Juli 2022

Mungkinkah APBN Menahan Jebolnya Subsidi Energi?


Tinta Media - Menurut fitch rating ; High Subsidy Burden: The government has significantly increased subsidies to shield households from high international oil and food prices, allowing for unchanged domestic prices for the most used types of subsidised fuel. The resulting energy-related subsidy spending, which the government expects to total 2.4% of GDP this year compared with 1.1% in 2021, is to a large extent offset by increased revenue, partly due to higher commodity prices%.

Sebelum dibahas berapa gawatnya peningkatan nilai subsidi dalam APBN tersebut sebaiknya kita mengerti lebih dahulu apa itu program subsidi menurut UU APBN? Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak, atau disalurkan langsung kepada penerima manfaat, sesuai kemampuan keuangan negara.

Apa yang dimaksud dengan "parameter" adalah semua variabel yang memengaruhi perhitungan subsidi, antara lain: besaran subsidi harga, volume konsumsi BBM bersubsidi, volume konsumsi LpG tabung 3 kg, Harga Indeks Pasar (HIP) LPG tabung 3 kg, volume penjualan listrik bersubsidi, susut jaringan, dan volume pupuk bersubsidi. 


Besaran Subsidi Dalam APBN 2022

Dalam UU APBN 2022 disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) Program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2022 direncanakan sebesar Rp206.96 triliun. (2) Anggaran untuk Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. (3) Anggaran untuk Program Pengelolaan Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, perubahan parameter, perubahan kebijakan, danlatau pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Program Pengelolaan Subsidi dalam Tahun Anggaran 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Adapun yang dimaksud dengan asumsi pada pasal 16 ayat 3 diuraikqn dalam pasal penjelasan Ayat (3) yakni dimaksud dengan "asumsi dasar ekonomi makro" adalah harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Yang dimaksud dengan "parameter" adalah semua variabel yang memengaruhi perhitungan subsidi, antara lain: besaran subsidi harga, volume konsumsi BBM bersubsidi, volume konsumsi LpG tabung 3 kg, Harga Indeks Pasar (HIP) LPG tabung 3 kg, volume penjualan listrik bersubsidi, susut jaringan, dan volume pupuk bersubsidi. Dalam rangka melaksanakan program pengelolaan subsidi yang lebih tepat sasaran mulai Tahun 2022, Pemerintah dapat mengarahkan pelaksanaan subsidi LPG dan listrik dengan berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) secara bertahap.

Selanjutnya pasal 17 Pasal 17 ayat (1) Dalam hal realisasi PNBP Migas yang dibagihasilkan melampaui target penerimaan dalam APBN yang diikuti dengan kebijakan peningkatan belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquifted Petroleum Gas (LPG), Pemerintah dapat memperhitungkan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi BBM dan LPG terhadap kenaikan PNBP Migas yang dibagi hasilkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan persentase tertentu atas peningkatan belanja subsidi BBM dan LPG terhadap kenaikan PNBP Migas yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Berapa Uang Yang Diperlukan

Kebijakan Pemerintah dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap belanja subsidi, antara lain: (1) pemberian diskon listrik untuk golongan rumah tangga 450 VA dan 900 VA (DTKS); (2) insentif subsidi bunga untuk erumahan bagi MBR; dan (3) tambahan subsidi bunga untuk UMKM yang terdampak Covid-19, serta (4) insentif pajak ditanggung pemerintah untuk dunia usaha. Perkembangan realisasi belanja subsidi selama tahun 2017– 2021 meningkat cukup besar. 

Subsidi energi terdiri atas subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg, serta subsidi listrik. Pada periode tahun 2017–2020, realisasi subsidi energi mengalami perkembangan yang cenderung fluktuatif, terutama dipengaruhi perkembangan asumsi dasar ekonomi makro dan kebijakan besaran subsidi tetap untuk minyak solar. Selama kurun waktu tahun 2017–2020, subsidi energi menunjukkan pertumbuhan rata-rata 3,7 persen, dari Rp97,64 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp108.84 triliun pada tahun 2020. Pada outlook tahun 2021, subsidi energi diperkirakan mengalami peningkatan menjadi Rp128.46 triliun. Dalam realisasi tahun 2020 dan outlook tahun 2021 tersebut telah ditampung kebijakan diskon listrik yang ditujukan untuk membantu daya beli masyarakat di masa pandemi Covid-19.

Realisasi subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg selama kurun waktu tahun 2017–2020 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,5 persen, dari Rp47,05 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp47.74 triliun pada tahun 2020. Dalam outlook tahun 2021, subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg diperkirakan mencapai Rp66.94 triliun, atau menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2020. Hal ini dipengaruhi perkembangan asumsi dasar ekonomi makro terutama ICP dan nilai tukar rupiah, perkembangan volume konsumsi, serta pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya.

Selain itu, perkembangan realisasi subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg juga dipengaruhi oleh perubahan kebijakan besaran subsidi tetap solar. Kebijakan besaran subsidi solar pada periode tahun 2017–2021 telah beberapa kali mengalami penyesuaian dengan memperhatikan perkembangan asumsi dasar ekonomi makro terutama ICP dan nilai tukar rupiah. Pada tahun 2017, besaran subsidi tetap solar sebesar Rp500/liter, selanjutnya menjadi Rp2.000/liter pada tahun 2018–2019, Rp1.000/liter pada tahun 2020, dan menjadi Rp500/liter pada tahun 2021.

Selanjutnya pada RAPBN tahun anggaran 2022, alokasi belanja subsidi direncanakan sebesar Rp206.96 triliun, terdiri atas subsidi energi sebesar Rp134,03 triliun dan subsidi nonenergi sebesar Rp72,94 triliun. Jumlah alokasi tersebut lebih rendah 16,7 persen apabila dibandingkan dengan outlook APBN tahun 2021 sebesar Rp248,56 triliun. Hal ini disebabkan dalam outlook 2021 menampung tambahan anggaran penanganan pandemi Covid-19.

Dalam RAPBN tahun anggaran 2022, subsidi energi direncanakan sebesar Rp134.03 triliun, terdiri atas subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg sebesar Rp77.55 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp56,47 triliun. Dalam pagu RAPBN tahun anggaran 2022 tersebut, masih disediakan alokasi untuk subsidi LPG tabung 3 kg dan subsidi listrik rumah tangga berbasis komoditas. Kebijakan transformasi subsidi energi menjadi subsidi berbasis orang/ penerima manfaat akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.

Anggaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg dalam RAPBN tahun anggaran 2022 diperkirakan sebesar Rp77,55 triliun atau lebih tinggi 15,9 persen apabila dibandingkan dengan outlook APBN tahun 2021 sebesar Rp66,94 triliun. Anggaran subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg dalam tahun anggaran 2022 diarahkan untuk: (1) melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah; (2) melaksanakan transformasi kebijakan subsidi LPG tabung 3 kg tepat sasaran dan menjadi berbasis target penerima secara bertahap dan berhati-hati dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.


Asumsi Jauh Berubah

Seluruh asumsi makro yang dibuat berunah drastis sejak perang Russia Ukraina berlangsung.. Harga minyak melompat ke angka 120 dolar AS per barel. Demikian pula nilai tukar rupiah juga bergerak melewati Rp. 15.000/ dolar Amerika Serikat (AS). Ini tentu secara drastis mengubah angka angka yang ditetapkan dalam APBN, semua berubah secara significant. Mengingat harga minyak dan nilai tukar masih merupakan parameter paling dasar dalam membuat asumsi APBN.

Akibatnya nilai subsidi yang harus ditanggung APBN meningkat sangat besar. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani nilai subsidi energi yang digulirkan pemerintah untuk menahan harga BBM, elpiji 3 kilogram, dan listrik meningkat. Terbaru, pihaknya menambah anggaran subsidi energi untuk tahun 2022 mencapai Rp 520 triliun. Namun, karena subsidi masih berbasis komoditas, BBM, hingga elpiji bersubsidi itu juga banyak dinikmati oleh orang kaya.

Sementara sebelumnya realisasi belanja subsidi dan kompensasi energi hingga Mei 2022 sudah mencapai Rp 75,41 triliun terdiri dari subsidi reguler pada bulan Mei mencapai Rp 65,24 triliun dan kurang bayar tahun sebelumnya Rp 10,17 triliun. Subsidi dan kompensasi energi mendominasi belanja nonkementerian/lembaga dengan realisasi Rp 334,7 triliun sampai Mei 2022.

Tingginya realisasi subsidi pada bulan Mei 2022 tersebut karena dipengaruhi oleh volume barang-barang bersubsidi yang meningkat. Volume BBM yang meliputi solar dan minyak tanah meningkat menjadi 5,6 juta kiloliter dari 5 juta kiloliter di tahun 2021. Lalu, elpiji 3 kilogram meningkat menjadi 2,5 juta MT dari sekitar 2,4 juta MT. Begitu juga dengan listrik bersubsidi yang naik menjadi 38,4 juta pelanggan dari 37,4 juta pelanggan pada tahun 2021. Peningkatan yang luar biasa besar. 


APBN akan Bangkrut?

Pemerintah memang tidak akan pernah mengumumkan secara terbuka bahwa APBN bangkrut dan tidak lagi sanggup menanggung beban subsidi. Pertama, karena subsidi memang merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam UU. Tentu pemerintah tidak tidak mau dianggap gagal menjalankan kewajiban kepada negara dan rakyat. Kedua, pemerintah tetap membutuhkan kepercayaan intetnasional dan investor agar tetap mendapatkan bantuan liquiditas dari pasar untuk kesinambungan anggaran. Sistem anggaran yang defisit menciptakan ketergantungan pada sumber sumber pembiayaan baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Pemerintah akan terus dalam model konsolidasi fiskal semacam itu. Fiscal Consolidation Likely to Continue: Fitch forecasts the fiscal deficit to narrow marginally to 4.3% in 2022 from 4.6% in 2021. We assume the government will meet its deficit target of just below 3% of GDP in 2023, when the budget ceiling will be reinstated, although risks to the fiscal outlook have increased and include a further rise in the subsidy bill and weaker GDP growth than we expected. angka defisit yang besar mencerminkan kebutuhan pembiayaan (utang) yang besar agar tetap dalam sistem anggaran yang ambisius atau ekspansif atau pro pada pertumbuhan. 

Pemerintah tidak mungkin mengurangi belanja, namun sangat mungkin menekan jumlah subsidi yang tidak langsung atau mengurangi subsidi yang bersifat terbuka berbasis komuditas dengan alasan anggaran negara yang tidak lagi mencukupi karena dua sebab penerimaan yang menurun akibat tekanan resesi ekonomi sementara pengeluaran atau beban bertambah. 

Namun ada argumentasi uang menolak pemerintah menjalankan subsidi tertutup dengan alasan pemerintah masih cukup uang karena mendapatkan winfall dari kenaikan harga komoditas. Argumentasi itu berbasis pada meningkatnya Pendspatan SDA pemerintah akibat kenaikan harga komuditas global. 

Sebagai dasarnya APBN 2022 menggambarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA dalam RAPBN tahun anggaran 2022 ditargetkan sebesar Rp121.950,1 miliar atau terkontraksi sebesar 6,9 persen apabila dibandingkan dengan outlook tahun 2021. PNBP SDA tersebut terdiri dari pendapatan SDA migas sebesar Rp85.900,6 miliar dan pendapatan SDA nonmigas sebesar Rp36.049,5 miliar. Sebelumnya pada outlook tahun 2021, pendapatan SDA nonmigas diperkirakan mencapai Rp35.994,0 miliar atau tumbuh 27,9 persen bila dibandingkan tahun 2020. Pertumbuhan tersebut sebagai dampak dari meningkatnya harga komoditas dunia terutama batubara yang diperkirakan sebesar US$81,3 per ton atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang sebesar US$58,2 per ton. 

Selanjutnya pendapatan SDA nonmigas pada RAPBN tahun anggaran 2022 diperkirakan sebesar Rp36.049,5 miliar, tumbuh 0,2 persen dibandingkan outlook tahun 2021. Pertumbuhan ini didukung oleh membaiknya PNBP sektor kehutanan, perikanan, dan panas bumi, sementara sektor pertambangan minerba diperkirakan akan mengalami perlambatan dibandingkan tahun 2021. Sebelumnya pada outlook tahun 2021, realisasi pendapatan SDA pertambangan minerba diperkirakan mencapai Rp28.978,5 miliar, tumbuh 36,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan harga dan produksi batubara. Tahun 2021 produksi batubara diperkirakan mencapai 625 juta ton lebih tinggi dibandingkan realisasi produksi tahun 2019 sebesar 616 juta ton setelah sempat turun ditahun 2020 yang mencapai 563 juta ton. Begitu pula dengan HBA yang diperkirakan terus mengikuti tren positif harga komoditas walau diperkirakan cenderung melandai di akhir tahun 2021. Perkembangan HBA dan produksi batubara dapat dilihat pada Pada RAPBN tahun anggaran 2022, pendapatan pertambangan minerba diproyeksikan sebesar Rp28.011,3 miliar atau turun 3,3 persen dari outlook tahun 2021. Penurunan ini terutama disebabkan oleh lebih rendahnya proyeksi harga dan produksi batubara pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. HBA diproyeksikan sebesar US$67,3 per ton lebih rendah dari HBA tahun 2021 yang sebesar US$81,3 per ton, sedangkan volume produksi batubara diproyeksikan sebesar 550 juta ton, lebih rendah dari volume produksinya di tahun 2021 sebesar 625 juta ton.

Namun besaran penerimaan negara dari SDA retaif belum sebanding dengan kebutuhan subsidi yang sangat besar. Belum lagi masalah utang negara yang besar yang mengakibatkan beban bunga dan cicilan utang yang harus ditanggung setiap tahun sangatlah besar. Sementara sistem bagi hasil sumber daya alam belum sejalan dengan kebutuhan pemerintah mendapatkan dana yang besar bagi pembangunan. Ada terobosan seperti rencana pungutan ekspor batubara dan sumber daya alam lainnya yang selama ini dijual ke luar negeri, namun sistem itu belum berjalan secara terbuka dan transparan. Selain itu laju eksplotasi sumber daya alam akan tertahan oleh agenda perubahan iklim, sehingga dapat dipastikan akan semakin mengecil di masa mendatang, walaupun harga komuditas meningkat.


Jalan Keluar Dari Krisis Energi

Tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Demikian kata orang orang tua jaman dulu. Mudah mudahan. Hanya saja ini membutuhkan rute yang lebih akurat, sistematis dan fokus kepada masalah yang hendak diselesaikan. Seluruh polemik dan perdebatan harus diarahkan pada bagaimana mencari solusi jebolnya APBN dikarenakan beban subsidi yang sangat instan. Ini juga akan menjadi ruang sosialisasi bagi usaha membuat masyarakat urun rembuk atas masalah ini. 

Sedikitnya ada tiga tema yang berkembang baik dikalangan pengambil kebijakan maupun publik terkait dengan krisis APBN Akibat jebolnya subsidi bahan bakar minyak dan LPG sekarang ini. Pertama adalah; pertama, menaikkan harga jual BBM dan LPG sehingga harganya mendekati harga pasar atau harga keekonomian sehingga otimatis mengurangi subsidi dan kompensasi. Kedua, membatasi jumlah kuota BBM dan LPG subsidi dengan mengalokasikan BBM dan LPG subsidi kepada pihak yang berhak sehingga tidak menambah beban. Ketiga, mengalihkan sepenuhnya subsidi BBM dan LPG melalui mekanisme tertutup dengan mengalokasikan subsidi kepada masyarakat paling miskin. 

Langkah pertama adalah langkah yang dipandang paling beresiko karena akan dapat mengalahkan merosotnya ekonomi, daya beli, inflasi, dan mungkin lebih luas akan menimbulkan dampak politik. Cara pandang inilah yang mengakibatkan sampai saat ini pemerintah sulit mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM dan LPG bersubsidi meskipun harganya sudah terpaut sangat jauh dengan harga pasar. 

Langkah kedua sebetulnya sudah mulai dicoba dijalankan dengan berbagai cara. Namun sistem alokasi dan pengawasan baik dari sisi regulasi maupun teknis belum cukup memadai. Lembaga lembaga yang selama ini mengawasi olokasi BBM dan LPG subsidi belum cukup sanggup mengatasi penyimpangan BBM dan LPG subsidi. Dalam bahasa lain masih digunakan oleh kelompok masyarakat yang tidsk berhak. 

Sebelumnya ada usaha yang dilakukan melalui sistem pendataan konsumen BBM bersubsidi. Alat pendataannya adalah platform digital MyPertamina. Diharapkan dengan cara ini maka akan dapat dipotret siapa atau kelompok masyarakat mana yang sebetulnya yang menggunakan BBM subsidi dan untuk keperluan apa. Platform akan menghasilkan rekaman data yang bagus untuk pembuatan kebijakan dimasa mendatang. 

Langkah ketiga adalah langkah pamungkas mengalokasikan seluruh kekuatan subsidi secara tertutup kepada kelompok miskin, yakni 40 persen penduduk termiskin sebagaimana dilaksanakan tetangga tetangga Indonesia, atau kepada 8 persen penduduk miskin secara mutlak atau sekitar 27 juta penduduk Indonesia. Cara ini berartiemghentikan sama sekali subsidi berbasis komoditas. 

Ketiga langkah tersebut dipandang sebagai cara untuk keluar dari masalah jebolnya APBN akibat meningkatnya beban subsidi. Memang jalan keluar ini mengandung konsekuensi yang berbeda beda. Namun semua terpulang pada analisis para pengambil kebijakan dengan berbasis data data yang mereka miliki yang tentu saja cukup kuat untuk membaca dinamika ekonomi politik dan sosial yang berkembang. Semua keputusan yang diambil membutuhkan sosialisasi yang efektif agar alasan dan argumentasi atas kebijakan itu mudah diterima oleh masyarakat. Selamat berdiskusi.

Oleh: Salamuddin Daeng
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab