Tinta Media: ACT
Tampilkan postingan dengan label ACT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ACT. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Juli 2022

Di Balik Massifnya Pemberitaan Shiddiqiyah dan ACT

Tinta Media - Kasus pelecehan seksual oleh Subchi terhadap sejumlah santriwati di Pesantren Shiddiqiyah, Jombang, diberitakan secara massif dan viral. Mengutip dari detik.com (10/07/2022), Subchi terancam hukuman penjara hingga 12 tahun. 

Pemberitaan massif juga berkaitan dengan isu penyelewengan dana donasi di Aksi Cepat Tanggap (ACT). Sebagaimana dikutip dari MSN, (10/07/2022), Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri meminta keterangan Mantan Presiden ACT, Ahyudin dan Presiden ACT, Ibnu Khajar pada Jumat (08/07/2022), dilanjutkan dengan penutupan 300 Rekening ACT.

Kasus yang menimpa Pesantren Shiddiqiyyah dan ACT memang memilukan. Hanya saja, yang menimbulkan pertanyaan publik adalah adanya pemberitaan yang sangat massif dan tidak wajar. Pemberitaan kasus semacam itu seperti selalu berulang, sangat massif kala pelakunya berkaitan dengan simbol ke-Islaman. 

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kalau ditelisik lebih jauh, semua itu tidak lepas dari skenario global  internasional. Ini bisa dilihat dari beberapa dokumen, salah satunya adalah RAND Corp. 

Pada tahun 2003, RAND Corp, merilis dokumen dengan judul Civil Democratic Islam. Dokumen tersebut ditulis oleh Cheryl Bernard, memuat taktik dan strategi yang perlu dilakukan dalam menghadapi umat Islam, terutama pasca WTC 11 September 2001. 

Dokumen tersebut berisi tentang beberapa rekomendasi dalam rangka menyerang kelompok muslim dengan pembunuhan karakter tokoh agama dan lembaga kemanusiaan Islam, terlepas dari adanya penyelewengan atau sekadar embusan fitnah. 

Di antaranya pertama, memanfaatkan media massa dan jurnalistik untuk melakukan pemberitaan secara massif untuk memublikasikan kesalahan tokoh atau pengelola pesantren, seperti korupsi, kemunafikannya, atau berbagai tindakan tidak bermoral lainnya. Targetnya adalah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat sehingga tidak suka dengan simbol pendidikan Islam, semisal pesantren, dan lembaga kemanusiaan Islam. 

Kedua, mengekspos hubungan tokoh beragama dengan kegiatan ilegal serta mengaitkan dengan tindak teroris, radikalisme, agar masyarakat enggan dan menjauhi mereka sekaligus enggan berkontribusi secara finansial terkait dengan tokoh dan lembaga tersebut.

Rekomendasi tersebut merupakan bagian dari kebencian terhadap Islam atau lebih dikenal dengan Islamofobia. Sikap ini muncul karena ketakutan orang kafir Barat terhadap Islam yang semakin berkembang dan sinergis ke seluruh dunia. Barat dengan peradaban kapitalis sekulernya sangat khawatir kedudukan mereka sebagai pemimpin peradaban dunia akan tergeser oleh Islam. 

Peperangan peradaban ini telah berlangsung sangat lama dan belum akan berakhir. Barat telah mencium aroma kebangkitan peradaban Islam. Pada tahun 2022, Islam menempati posisi kedua dengan jumlah pengikut terbanyak di dunia setelah Kristen. Oleh karenanya, upaya apa pun akan Barat lakukan demi mencegah Islam kembali bangkit dan menjadi pemimpin peradaban dunia.

Realita Islamofobia tersebut harus dihadapi dengan tepat agar umat Islam tidak mudah termakan konspirasi Barat. Dakwah harus kian massif dan gencar. Program pembinaan harus terus berlanjut agar umat memiliki pemahaman yang utuh, sehingga secara sadar semakin dekat dengan Al-Qur'an. Hal ini karena kemajuan umat berkolerasi dengan implementasi Al-Qur'an dalam kehidupan, sedangkan kemunduran umat disebabkan karena jauhnya mereka dengan Al-Qur'an. 

Umat ​​ harus selalu berpikir dan bertindak secara Islami dan meninggalkan cara berpikir sekuler. Umat ​​harus didorong secara penuh dan total untuk melanjutkan kehidupan Islam, dengan cara berupaya bersama-sama untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan syariat Islam. 

Dengan seluruh dimensi kehidupan yang didasarkan pada syariat Islam, maka umat akan membangun peradaban mulia, segala masalah akan teratasi, termasuk melawan Islamofobia yang diorganisasi oleh negara-negara pengusung kapitalisme yang ingin melanggengkan penjajahan. 

Wallahu a'lam

Oleh: Fastaghfiru ilaLLah
Aktivis dan Pemerhati Politik

Jumat, 15 Juli 2022

Analis: Pemberitaan Miring ACT Tabur Kemarahan Umat Islam

Tinta Media - Menanggapi pemberitaan miring tentang ACT, Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD)Hanif Kristianto menyampaikan bahwa itu bentuk menabur kemarahan umat Islam.

"Sebetulnya kalau kita amati, ini adalah bentuk menabur kemarahan umat Islam," tuturnya dalam acara Kabar Petang: Membongkar Motif di Balik Pemberitaan ACT, Senin (11/7/2022) di kanal youtube Khilafah News.

Menurutnya, dari sisi pemberitaan dan juga politis, ini saling berkaitan. Pasalnya beberapa waktu yang lalu juga muncul isu-isu ketakutan kepada Islam. "Kalau kita amati juga kampanye islamofobia berkaitan dengan isu syariah, khilafah, dan umat Islam khususnya," ucapnya.

Ia menilai, kali ini pun pemberitaan ACT juga ditengarai diseret kepada isu-isu yang mengarah pada pendanaan terorisme. Sampai-sampai BNPT dan Densus urun rembuk mengatasi hal ini. "Sekali lagi, ini yang sangat kita sayangkan," sesalnya.

Bagaimana umat Islam yang menaruh kepercayaan publik kepada suatu lembaga, apalagi ini juga kaitannya dengan lembaga kemanusiaan yang "perannya itu besar", membantu peran negara yang sebetulnya tidak dihandle oleh negara, yang selama ini dilupakan. "Itu tiba-tiba saja dicabut. Nah ini, ACT ini kan bisa aksi cepat tangkap. Ditangkap, kemudian dicabut, kemudian juga beberapa asetnya dibekukan karenanya. Ini yang pertama," ucapnya.

Kedua, ia menduga bahwa ada seolah-olah kebutuhan dana segar dari beberapa kelompok, mungkin kalangan elit politik, khususnya yang mengendalikan negeri ini. "Dengan cara-cara apa? Membekukan aset, memblokir rekening, dan sebagainya," jelasnya.

"Nah, ini kan juga kalau kita tidak jeli menghadapi atau mencermati, dana itu juga akan jadi bancakan oleh mereka yang tidak amanah terkait dengan memroses peristiwa ini," tandasnya.

Karena itu, lanjut Hanif, menjadi tendensius politik juga, sebab, kalau mau adil, berapa banyak lembaga-lembaga yang korupsi.
"Misalnya, katakan kementerian, itu pun juga sikapnya tidak segegabah ini, kan?" imbuhnya.

"Berapa banyak juga pejabat atau juga petinggi-petinggi di BUMN sebetulnya mendapatkan fasilitas ini. Sementara kadang-kadang juga BUMN katanya merugi triliunan rupiah. Ini satu dilematis. Karena itu, sekali lagi umat harus adil dalam memandang peristiwa ini," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Selasa, 12 Juli 2022

IJM: Jangan Hanya Dana ACT, Masih Banyak Dana Umat yang Digarong


Tinta Media - Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. dari Indonesia Justice Monitor (IJM) meminta kepada penegak hukum agar
jangan hanya dana umat yang dikelola lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saja yang dijadikan sebagai sasaran bidik karena masih banyak dana umat yang digarong.

"Jangan cuma dana umat yang dikelola ACT sebagai sasaran bidik. Masih banyak yang lain," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (10/7/2022).

Ia menyatakan hingga kini publik sedang menunggu ada banyak kasus penggarongan uang umat, yang jumlahnya sangat fantastis dibanding dengan tudingan terhadap penyelewengan dana oleh ACT yang belum apa-apa. "Sebut misalnya, penyelewengan donasi umat Kristiani oleh salah satu gereja terbesar di Jawa Timur,  jumlahnya hingga 4,7 trilyun rupiah," ungkapnya.

Sampai sekarang masih gelap, lanjutnya, terkesan disembunyikan. Tidak menjadi bulan-bulanan media publik di tanah air.
"Malahan lembaga penegak hukum belum juga tergerak serius menangkap pelaku dalang penilep uang gereja yang konon donasi warga Kristen Surabaya," imbuhnya.

Ia juga menyebutkan contoh penyelewengan dana ASABRI yang menelan kerugian negara 23,74 trilyun, pelaku sesungguhnya masih tidak terdeteksi. "Belakangan dana haji juga belum jelas ke mana? Mestinya lebih konsen diselidiki serius para penegak hukum," tukasnya.

Sjaiful pun memaparkan adanya media massa sepertinya tidak adil. "Penggarongan dana umat yang strategis, tidak disentuh. PPATK juga tidak adil," tegasnya.

Ia menyatakan adanya persoalan lalu lintas keuangan donasi milik ACT adalah murni internal para pengurus bukan untuk digembar-gomborkan ke publik apalagi sampai menyeret Densus 88 dan BNPT ikut-ikutan menggembosi. "Ketua PPATK, sepertinya kurang kerjaan, hanya mencari sensasi murahan," tegasnya.

Sjaiful melontarkan pertanyaan yang cukup sederhana, mengapa cuma dana ACT yang disoal? "Sebab ada banyak lalu lintas dana siluman para pejabat dan oligarki yang jumlahnya pasti sangat fantastis. Sebahagian diantaranya belum terjamah oleh penegak hukum," bebernya.

Menurutnya, banyak kalangan curiga, kasus internal pengurus ACT, gegara dana umat sengaja digembar-gemborkan sebagai konsumsi publik, sebagai bagian dari Islamofobia. "Isunya digulirkan sebagai bentuk kriminalisasi tidak langsung terhadap ajaran Islam karena terkait erat dengan kegiatan umat Islam yang sangat strategis," pungkasnya.[] Nita Savitri

Saiful juga mengungkapkan bahwa kasus ACT yang menghentak publik muslim Indonesia, mestinya disikapi para pegiat dakwah di negeri ini dengan tetap mengedepankan sikap tabayyun. "Mengambil sikap hati-hati untuk tidak terprovokasi oleh sekelompok orang untuk memancing di air keruh," lanjutnya.

Ia membeberkan bahwa tujuan hal tersebut adalah pembelahan umat Islam guna melemahkan kebangkitan Islam, yang saat ini menjadi isu sangat menguat.
"Memang tidak salah, umat Islam tetap harus mewaspadai gelagat sekelompok orang, berkedok lembaga donasi tetapi sejatinya hanya mengeruk keuntungan pribadi," jelasnya.

Saiful mengingatkan untuk tidak melupakan perjuangan tegaknya Islam politik dalam bentuk instutisi daulah ala minhaj nubuwah agar tetap menjadi titik perhatian nomor wahid bagi umat Islam dimana saja. Keberadaan institusi politik Islam demikian, satu-satunya harapan, sebagai institusi yang bertanggungjawab menjamin kemaslahatan serta kesejahteraan umat secara paripurna.

"Tidak perlu lagi ada semacam lembaga-lembaga donasi nirlaba yang bersusah payah meminta dana kepada umat Islam," pungkasnya.[] Nita Savitri

Senin, 11 Juli 2022

'BUMI HANGUS' ACT, LANGKAH LANJUTAN TERORISASI KEGIATAN SOSIAL UMAT ISLAM?



Tinta  Media - "Kita mencabut dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Sosial,"

[Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi, 6/7/2022]

Ribut-ribut soal ACT telah meningkat dijadikan sarana membelenggu kegiatan sosial keumatan. Kementerian Sosial akhirnya secara sepihak mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang telah diberikan kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Tahun 2022. 

Pencabutan sepihak izin ACT dinyatakan dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi, 5 Juli 2022. 

Lucunya, pencabutan hanya didasarkan adanya indikasi kegiatan ACT dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan memang diatur bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.

Sedangkan dari hasil klarifikasi, Presiden ACT lbnu Khajar mengatakan bahwa menggunakan rata-rata 13,7% dari dana hasil pengumpulan uang atau barang dari masyarakat sebagai dana operasional yayasan. Klarifikasi Ibnu Hajar inilah, yang dijadikan dalih pencabutan izin. Hanya tafsir sepihak atas materi konpers saat klarifikasi ACT.

Semestinya, pemerintah cq Kemensos melakukan pemanggilan, permintaan klarifikasi dan mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus ACT. Bukan menafsirkan secara sepihak, lantas mencabut izin tanpa proses pembuktian terlebih dahulu.

Apalagi, untuk mendapatkan izin bukanlah perkara mudah. Namun, dalam kasus ACT ini nampaknya logika 'SANKSI DULU, BUKTI BELAKANGAN' yang dipergunakan Kemensos.

Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam perkara ACT ini nampaknya tidak diindahkan. Kemensos tidak lagi memperhatikan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan/tidak diskriminatif, asas kecermatan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas pelayanan yang baik, asas tertib penyelenggaraan negara, asas akuntabilitas, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas keadilan.

Mencabut izin secara sepihak tanpa melakukan klarifikasi, tanpa bukti bahkan tanpa tindakan pendahuluan sebagai upaya untuk memastikan adanya dugaan terhadap pelanggaran peraturan, jelas melanggar asas kepastian hukum. Tindakan subjektif ini rawan disusupi kepentingan politik rezim yang ingin membelenggu kegiatan sosial kemumatan.

Mencabut izin secara sepihak tanpa melakukan klarifikasi, tanpa bukti bahkan tanpa tindakan pendahuluan sebagai upaya untuk memastikan adanya dugaan terhadap pelanggaran peraturan, jelas melanggar asas keterbukaan. Sikap tertutup dan langsung main gebuk Kemensos, rawan diselewengkan menjadi sikap tiran dan arogan.

Mencabut izin secara sepihak tanpa melakukan klarifikasi, tanpa bukti bahkan tanpa tindakan pendahuluan sebagai upaya untuk memastikan adanya dugaan terhadap pelanggaran peraturan, jelas melanggar asas kepentingan umum. Karena mencabut secara sepihak berkonsekuensi pada terhambat, tertunda bahkan batalnya sejumlah rencana aksi sosial kemanusiaan yang sudah dicanangkan ACT.

Mencabut izin secara sepihak tanpa melakukan klarifikasi, tanpa bukti bahkan tanpa tindakan pendahuluan sebagai upaya untuk memastikan adanya dugaan terhadap pelanggaran peraturan, jelas melanggar asas akuntabilitas, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas keadilan. Negara dikelola suka-suka penguasa. Tak ada lagi jaminan kepastian dan keadilan bagi segenap masyarakat yang dilayani.

Apalagi dalam kasus ini, Kemensos tidak hanya fokus kepada ACT. Bukan mustahil, sejumlah lembaga sosial kemanusiaan lainnya akan di ACT-kan.

Muhadjir, berdalih merespons terhadap hal-hal yang meresahkan masyarakat akan melakukan penyisiran terhadap izin-izin yang telah diberikan kepada yayasan lain, untuk memberikan efek jera agar tidak terulang kembali. Bisa saja, kasus ACT ini dijadikan palu godam untuk memberangus kegiatan sosial kemanusiaan lainnya, dengan narasi meresahkan masyarakat, terkait kegiatan terlarang, atau hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Ngeri sekali di negeri ini, berusaha berkontribusi untuk membangun negeri direpresi dan dikriminalisasi. Sedangkan aset pejabat yang korupsi tak pernah diusik apalagi dikaitkan dengan narasi terorisasi. [].
.
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik


Sabtu, 09 Juli 2022

Jangan Cuma Dana ACT yang Dibidik

Tinta Media - Majalah Tempo, 2 Juli 2022, menurunkan berita cukup provokatif  bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat”. Isinya tudingan terhadap lembaga donasi Aksi Cepat Tanggap disingkat ACT yang menilep dana umat Islam hingga milyaran rupiah. Seperti gayung bersambut, sejumlah media elektronik dengan irama yang sama, rame-rame memojokkan sejumlah mantan pengurus ACT sebagai pelaku utama, penilepan. 

Tak mau kalah, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap terdapat temuan aliran dana ACT ke negara-negara yang berisiko tinggi dalam pembiayaan terorisme. Tidak main-main, PPATK, meneruskan dugaan laporan temuannya ke Densus dan BNPT, dua lembaga yang sangat serius menyorot gerakan Islam dikaitkan dengan terorisme.

Mendalami dugaan penyelewengan dana oleh sejumlah pengurus ACT, sebab yang dikelola adalah dana umat, memang tidak salah, sebagai bentuk kewaspadaan umat Islam terhadap lembaga donasi yang ternyata berkedok hanya memperkaya sekelompok orang.

Sikap adil dan proporsional, terhadap kasus ACT sebagai lembaga donasi, mestinya juga tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Jangan cuma dana umat yang dikelola ACT sebagai sasaran bidik. Masih banyak yang lain. Hingga kini publik sedang menunggu ada banyak kasus penggarongan uang umat, jumlahnya sangat fantastis dibanding dengan tudingan terhadap penyelewengan dana oleh ACT yang belum apa-apa. Sebut misalnya, penyelewengan donasi umat Kristiani oleh salah satu gereja terbesar di Jawa Timur,  jumlahnya hingga 4,7 trilyun rupiah. Sampai sekarang masih gelap, terkesan disembunyikan. Tidak menjadi bulan-bulanan media publik di tanah air. Malahan lembaga penegak hukum belum juga tergerak serius menangkap pelaku dalang penilep uang gereja yang konon donasi warga Kristen Surabaya.

Belum pupus di benak publik, penyelewengan dana ASABRI menelan kerugian negara 23,74 trilyun, pelaku sesungguhnya masih tidak terdeksi. Belakangan dana haji yang belum jelas kemana, mestinya lebih konsen diselidiki serius para penegak hukum.

Media massa sepertinya tidak adil, penggarongan dana umat yang strategis, tidak disentuh. PPATK juga tidak adil. Persoalan lalu lintas keuangan donasi milik ACT, adalah murni internal para pengurus bukan untuk digembar-gomborkan ke publik apalagi sampai menyeret Densus 88 dan BNPT ikut-ikutan menggembosi. Ketua PPATK, sepertinya kurang kerjaan, hanya mencari sensasi murahan. Pertanyaannya cukup sederhana, mengapa cuma dana ACT yang disoal sebab ada banyak lalu lintas dana siluman para pejabat dan oligarki yang jumlahnya pasti sangat fantastis. Sebahagian diantaranya belum terjamah oleh penegak hukum.

Banyak kalangan curiga, kasus internal pengurus ACT, gegara dana umat sengaja digembar-gemborkan sebagai konsumsi publik, sebagai bagian dari Islamofobia. Isunya digulirkan sebagai bentuk kriminalisasi tidak langsung terhadap ajaran Islam karena terkait erat dengan kegiatan umat Islam yang sangat strategis.

Kasus ACT yang menghentak publik muslim Indonesia, mestinya disikapi para pegiat dakwah di negeri ini dengan tetap mengedepankan sikap tabayyun, mengambil sikap hati-hati untuk tidak terprovokasi oleh sekelompok orang untuk memancing di air keruh. Tujuannya, pembelahan umat Islam guna melemahkan kebangkitan Islam yang saat ini menjadi isu sangat menguat.

Memang tidak salah, umat Islam tetap harus mewaspadai gelagat sekelompok orang, berkedok lembaga donasi tetapi sejatinya hanya mengeruk keuntungan pribadi. Jangan lupa, perjuangan tegaknya Islam politik dalam bentuk institusi daulah ala minhaj nubuwah tetap menjadi titik perhatian nomor wahid bagi umat Islam dimana saja.

Keberadaan institusi politik Islam demikian, satu-satunya harapan, sebagai institusi yang bertanggungjawab menjamin kemaslahatan serta kesejahteraan umat secara paripurna. Tidak perlu lagi ada semacam lembaga-lembaga donasi nirlaba yang bersusah payah meminta dana kepada umat Islam.

Oleh: Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H.
Indonesia Justice Monitor


Jumat, 08 Juli 2022

AKSI CEPAT TANGGAP (ACT) 'DIGARAP' DENSUS 88?

Tinta Media - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sedang menganalisis aliran dana dari Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dari hasil sementara teridentifikasi ada penyalahgunaan dana terkait aktivitas terlarang.

"Transaksi mengindikasikan demikian (penyalahgunaan). Indikasi kepentingan pribadi dan terkait dengan dugaan aktivitas terlarang,"

Begitu, ungkap Ketua PPATK Ivan Yustina, Senin, 4/7/2022.

Laporan itu, lanjut Ivan, dilayangkan ke Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Aneh, semestinya PPATK tidak membuka isi analisis kepada publik. Cukup kepada penegak hukum sebagaimana amanat UU No 8 Tahun 2010.

Bocoran PPATK kepada publik ini sama saja telah mengabaikan asas praduga tidak bersalah. ACT belum dikonfirmasi atas temuan itu, belum pula ada penyelidikan. Namun sayang, statemen PPATK ini secara opini telah menjatuhkan vonis sepihak kepada ACT.

Apalagi, laporan itu disebut diteruskan ke Densus 88 dan BNPT. Patut diduga, framing narasi pendanaan terorisme melalui lembaga donasi sedang dijalankan.

Dampaknya, bukan hanya terhadap ACT tapi juga kepada seluruh lembaga donasi dan umat Islam pada umumnya. Umat akan digiring untuk menaruh curiga kepada setiap gerakan sosial yang menghimpun donasi dengan narasi 'pendanaan terorisme'. Umat juga dijejali kecurigaan terhadap lembaga donasi dengan narasi penyelewengan dana umat untuk kepentingan pribadi.

Akhirnya, semangat untk saling tolong menolong diantara umat Islam berubah menjadi saling curiga dan penuh syak wasangka. Karena itu, umat Islam harus jeli dalam kasus ini.

Ada problem personal dan managerial, itu wajar. Dan perlu dilakukan perbaikan, wajib. Namun, kasus ACT ini jangan sampai dijadikan sarana generalisasi apalagi sandaran legitimasi untuk memerangi terorisme berdalih 'pendanaan terorisme'.

Konflik internal di ACT nampaknya sedang di eksploitasi untuk merusak kohesi sosial umat dan semangat filantropi untuk berbagi dan membantu sesama. Laporan tempo yang langsung diramaikan sosmed, PPATK langsung bunyi hingga munculnya BNPT dan Densus 88, patut diwaspadai ada motif jahat dibalik kasus ACT ini. [].

https://youtu.be/2jHLmOhuC2w
https://youtu.be/2jHLmOhuC2w
https://youtu.be/2jHLmOhuC2w

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab