Tinta Media: 2024
Tampilkan postingan dengan label 2024. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2024. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Februari 2024

Siapakah Pemenang Sesungguhnya dalam Demokrasi 2024?



Tinta Media - Gegap gempita pesta demokrasi memilih calon presiden dan wakil rakyat, 14 Februari 2024 serentak telah berlangsung di seluruh Indonesia. Prediksi kemenangan diantara Paslon presiden melalui penghitungan suara nyata (real count) atau penghitungan cepat (quick count) telah beredar di media masa. Bahkan Paslon nomor urut 2 (dua), Prabowo – Gibran  sudah menggelar pidato kemenangan Pilpres 2024   berdasar  hasil quick count bersama pendukungnya di Istora Senayan Jakarta, Rabu malam, 14 Februari 20024 (Liputan6.com). 

Berbicara kemenangan dalam setiap pesta demokrasi, sebenarnya siapakah yang dimenangkan? Pertama, apakah rakyat Indonesia selaku  pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistim demokrasi? 

Jawabannya bukan,  rakyat hanya sebatas dijadikan sarana para ambisius kekuasaan untuk melenggang ke kursi kekuasaan. Secara mendasar rakyat belum memahami apa yang mereka lakukan, mereka hanya berpikir ikut berpartisipasi memberikan suara, mereka belum memahami dengan benar risiko akhir dari memberikan suaranya. Mereka hanya pokoke manut dan percaya dengan para kandidat tanpa melakukan penilaian mendalam terkait landasan dari visi dan misi kandidatnya. Kondisi ini terdapat pada pemilih dengan latar belakang pendidikan yang relatif kurang, hampir 60 persen pemilih berpendidikan maksimal setingkat SMP (Kompas.id, 2023).

Bagi pemilih yang terkategorikan pemilih cerdas dengan mengusung perubahan, ini pun tampak masih kabur dalam memaknai perubahan itu sendiri. Tidak adanya kejelasan dalam landasan visi perubahan dan metode untuk menjalankannya. 

Mereka tetap saja menggunakan kendaraan yang sama dari yang bukan pengusung perubahan, yakni gerbong politik demokrasi yang notabenya akan  mengikat siapa pun yang masuk di dalamnya untuk taat kepada rule domokrasi. Para pengusung slogan perubahan berkumpul dan berikat dengan alasan merasa memiliki kepentingan dan kemanfaatan yang sama, yakni isu perubahan. Sementara diantara mereka sendiri memiliki tujuan yang berbeda-beda. Setelah kepentingan diantara mereka terselesaikan, apakah kandidat mereka menang ataukah kalah berkompetisi, selanjutnya mereka akan berpisah dan kembali kepada habitatnya masing-masing.

Keadaan yang demikian dapat terjadi disebabkan kurangnya pemahaman politik secara global dari para pengusung perubahan. Pemahaman politik yang diketahuinya hanya berkutat kepada politik yang  diterapkan saat ini, yakni politik demokrasi. 

Keadaan tersebut terus dipertahankan dengan berbagai argumen pembenaran, seakan politik demokrasi adalah paling benar dan paling pas diterapkan di muka bumi ini. Padahal selain  itu terdapat  politik Islam yang sudah terbukti keunggulannya. Mereka enggan menengok kepada peradaban sebelum era demokrasi, ditambah lagi minimnya motivasi membaca dan mengkaji literatur fakta sejarah, bahwa pernah ada peradaban politik Islam yang masyhur dan  berkuasa sekitar 13.5 abad lamanya. Sebuah peradaban politik yang telah membawa perubahan besar terhadap kemajuan dunia dan kesejahteraan manusia.

Perlu diketahui andaikan para pengusung perubahan itu menang dalam kancah pesta demokrasi, hakikatnya perubahan hanya akan bisa dilakukan pada tatanan teknik saja, dan tidak akan pernah masuk pada perubahan tatanan yang bersifat mendasar, yakni asas demokrasi itu sendiri. Padahal pangkal perubahan  dan kebangkitan suatu bangsa, sangat tergantung dari asas politik yang diusungnya. 

Asas merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan metode pelaksanaan dari politik itu sendiri. Politik demokrasi adalah politik dengan asas sekuler, yakni  pemahaman yang pemisahan agama dari urusan kehidupan.  Asas ini  menjadi landasan setiap pemikiran dan sikap pengemban atau pengusung demokrasi dalam menetapkan langkah politik untuk mencapai kekuasaan. Dalam konsep politik demokrasi tidak akan ada sandaran halal dan haram, yang ada bagaimana cara untuk memenangkan kekuasaan. Sekalipun terdapat rambu-rabu etika yang mengaturnya, toh pada faktanya tetap saja banyak pelanggaran politik yang terjadi selama proses berlangsung.

Kedua, apakah kemenangan pesta demokrasi adalah kemenangan umat Islam sebagai mayoritas pemilih? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Umat Islam adalah umat yang paling dirugikan. Suara umat Islam lagi-lagi hanya dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan atau memperoleh kekuasaan. Kekalahan umat Islam yang paling fatal adalah tidak adanya Paslon yang mengusung untuk diterapkannya kembali aturan Allah Swt dan Rasul-Nya sebagai sumber aturan kehidupan dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Padahal  energi dan semua sumber daya umat telah terkuras, umat justru  terjebak kepada kepentingan penguasa atau kelompok tertentu. Seyogianya umat Islam tersadar,  bahwa perjuangan untuk perubahan dan kebangkitan umat hanya bisa dilakukan  bila landasan perjuangannya adalah asa akidah Islam. Sedangkan jalan perjuangan yang digunakan untuk mewujudkannya adalah dengan mengikuti (I’tiba) kepada jalan perjuangan Rasulullah, baik perjuangan beliau sebelum hijrah, setelah hijrah dan perjuangan setelah wafatnya Rasulullah dengan kepemimpinan para sahabat.

Ketiga, siapakah sesungguhnya yang dimenangkan dalam pesta demokrasi? Adalah mereka imperialis barat yang telah mengendalikan kekuasaannya melalui boneka-boneka kekuasaan di negeri ini. Mereka adalah pencetus, pengusung sekaligus penjaga demokrasi dunia melalui penjajahan politik dan ekonomi  negeri-negeri muslim, termasuk negeri muslim Indonesia. Demokrasi terlahir dari pemahaman sistim sekuler. Paham ini semenjak lahirnya diciptakan dengan mengusung kebebasan individu dalam semua bidang, termasuk politik dan ekonomi. 

Para penguasa ekonomi (oligarki) memainkan peran kunci dalam sistim ini. Mereka akan memanfaatkan kekuatan modal yang  mereka  miliki untuk menguasai, mempengaruhi, bahkan menekan para penguasa dalam menetapkan kebijakan-kebijakan  supaya pro dengannya. karenanya bila dicermati secara mendalam, kemenangan seorang calon penguasa dalam pesta demokrasi, sejatinya bukanlah pemenang yang sesungguhnya, mereka hanyalah representasi dari kemenangan imperialis barat penjajah negeri ini.

Konsep demokrasi sesungguhnya bertentangan dengan konsep Islam. Islam menstandarkan segala bentuk pemenuhan kebutuhan manusia, baik hajat hidup dan naluri adalah terikat dengan hukum syariat. Setiap muslim yang memenuhi ketentuan syariat berkesempatan sama dalam memperoleh kekuasaan untuk menjadi pemimpin/imam/khalifah. Kekuasaan dalam sistim Islam adalah ditangan rakyat yang kemudian kekuasaan tersebut diserahkan kepada seorang pemimpin /imam/khalifah melalui mekanisme bai’at. 

Penyerahan kekuasan rakyat kepada pemimpin/imam/khalifah adalah penyerahan amanat untuk menerapkan hukum Allah Swt. dalam kehidupan umat manusia. Karena kekuasaan ditangan rakyat, kewajiban memberikan teguran, nasihat dan pengawasan kepada pemimpin/imam/khalifah berada ditangan rakyat melalui majlis umat (Majlis Syura). 

Amanat kekuasaan seorang pemimpin/imam/khalifah dapat diambil Kembali oleh rakyat bila mana  pemimpin/imam/khalifah mengundurkan diri, tidak mampu menjalankan amanah karena udzur syar’I, melakukan  pelanggaran  atau tidak menjalankan amanah penegakan hukum Allah dengan benar. Sementara kedaulatan dalam sistim Islam bukan ada ditangan rakyat, melainkan ada pada pembuat hukum (Allah Swt.). Dengan penerapan  sistim Islam akan menutup celah rapat-rapat terhadap pihak-pihak yang akan menekan seorang pemimpin/imam/khalifah dalam menetapkan kebijakan pengelolaan negara untuk melayani rakyatnya. Seorang imam/pemimpin/khalifah senantiasa mempertanggungjawabkan amanahnya kepada Allah juga umat Islam. Karenanya keridhoan Allah Swt. adalah kunci keberkahan dari semua aktivitas kehidupan yang dijalankan dalam sistim kehidupan Islam. Wallahu a’laam bi ash shawaab

Purwokerto,  12 Sya’ban 1445 H / 22 Februari 2024 M

Oleh: Amir Mahmudin
Sahabat Tinta Media

Selasa, 09 Januari 2024

Tantangan Muslimah di Tahun 2024



Tinta Media - Memasuki tahun 2024, ada yang menarik sekaligus membuat miris saat berbicara tentang muslimah. Pasalnya, permasalahan yang dialami oleh kaum perempuan Indonesia yang mayoritas muslimah ternyata begitu kompleks. Proyek kapitalisasi besar-besaran yang menyasar kaum perempuan dengan segala narasi ‘manis dan menyenangkan’ telah sukses membawa kehidupan mereka semakin dilingkupi oleh berbagai kesempitan hidup. Narasi kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perempuan bangkit ekonomi melejit, dan lain sebagainya nyatanya malah beracun. Fakta tingginya kasus perceraian, kemiskinan, pengangguran, kekerasan seksual, KDRT, human trafficking, kasus aborsi tidak terlepas dari kehidupan muslimah. Jika diungkap data per kasus, jelas akan membuat miris dan meringis. Dan masalah tersebut terus saja meningkat dari tahun ke tahun. 

Setidaknya ada 4 tantangan besar muslimah di tahun 2024 ini, dengan melihat bagaimana kondisi mereka selama tahun 2023 yang baru saja dilewati. Pertama adalah tantangan ‘ekonomi.’ Tantangan ini begitu dirasakan oleh kaum perempuan khususnya muslimah. Godaan berat di ranah ekonomi telah menghipnotis mayoritas dari mereka untuk terjun sebagai pelaku aktif ekonomi. Di tengah makin sulitnya akses ekonomi yang menimpa kaum laki-laki. Akhirnya, secara tak langsung dan tak sadar, peran utama sebagai pendidik pertama generasi dan pengatur rumah tangga mulai bergeser orientasinya. 

Tantangan kedua yakni berupa tantangan ‘politik.’ Ini yang sering kali membawa kaum muslimah pada kondisi dilema. Di mana muslimah dihadapkan dengan politik demokrasi yang menjadikan kesetaraan gender sebagai ‘jargon’ perempuan berpolitik dan memperjuangkan 30% kursi parlemen untuk mereka. Meski faktanya sistem politik yang ada memiliki karakter buruk, rusak dan merusak siapa pun yang masuk ke dalamnya. Lebih-lebih, standar untuk terjun ke dunia politik praktis hari ini adalah terletak pada kemampuan membeli suara. Sedangkan suara politik itu tidaklah murah, harus bermodal ratusan juta, miliaran bahkan triliunan tergantung level kekuasaannya. Akhirnya, muslimah yang telah sukses naik ke panggung politik harus berpikir bagaimana modal yang sudah dikeluarkan bisa kembali bahkan bertambah. Ujung-ujungnya, muslimah ikut terjerat praktik busuk korupsi berjamaah.

Tantangan ketiga yang tak kalah berat adalah tantangan ‘sosial dan budaya’. Semakin ke sini, dunia makin bebas. Budaya asing yang tidak berasal dari Islam justru menjadi ikon budaya yang dibuat trend dan digandrungi kaum muslimah. Baik fashion, musik, termasuk film mencerminkan hilangnya rasa malu pada diri muslimah. Canggihnya teknologi tak dibarengi dengan penerapan sistem sosial dan budaya yang manusiawi akhirnya menyeret mereka ke jurang masalah. Perselingkuhan, pelakor, aborsi, pelecehan seksual, masalah mental health, hingga bunuh diri menjadi buah dari kacaunya pengaturan dalam kehidupan sosial di tengah-tengah mereka.

Dan yang keempat adalah tantangan ‘ideologis’. Dari tantangan-tantangan yang ada, tantangan ideologis inilah yang paling berat. Sebab, muslimah berada dalam pengaruh kuat ideologi sekuler kapitalis yang sedang bercokol hari ini. Dan korbannya bukan hanya muslimah yang biasa-biasa saja. Tetapi muslimah yang sudah mengkaji Islam pun terkena imbasnya. Sesuai dengan namanya, ideologi ini menjadikan kebebasan dan hedonisme sebagai standar kebahagiaan. Wajar bila pengaruhnya mampu mengamputasi peran muslimah dalam ranah domestik maupun publik. Narasi kapitalisme tentang ‘muslimah tangguh, muslimah cerdas, muslimah mandiri’ itu adalah saat mereka mampu bangkit secara ekonomi. Padahal narasi tersebut justru telah melemahkan peran wajib mereka sebagai ibu, istri dan pejuang Islam. Walhasil, waktu hidup mereka terforsir untuk mengejar cuan dan merasa senang jika mampu membeli produk-produk kecantikan yang sejatinya mereka adalah pasar bagi para kapital.

Keadilan Islam Meletakkan Peran Utama Perempuan Dalam Kehidupan

Islam merupakan satu-satunya agama yang benar di sisi Allah SWT. Dan umatnya diberi predikat sebagai umat terbaik. Oleh karena itu, tidak ada kebaikan yang paling baik kecuali hanya pada Islam saja. Maka, saat menginginkan solusi terbaik bagi muslimah dalam menghadapi tantangan yang ada adalah dengan kembali pada standar Islam memandang tantangan-tantangan ini.

Solusi Islam ini bisa kita pahami dengan memahami bagaimana Islam memandang perempuan atau muslimah. Islam memiliki pandangan yang khas terhadap perempuan. Perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Oleh sebab itu, Islam memberikan posisi terhormat pada kaum hawa ini sebagai ‘ummun wa rabbatul bayyt’ yakni ibu dan istri (pengatur rumah tangga). Laki-laki dan perempuan diberikan hak yang sama. Dan kemuliaan keduanya ditentukan oleh kadar ketaqwaannya, bukan sekadar gender. Maka, Islam tidak pernah menjadikan materi sebagai mahkota dan tujuan yang dikejar-kejar. Melainkan hanya ridlo Allah SWT saja yang menjadi mahkota dan tujuan akhir dari setiap peran yang dilakukan.

Dalam mencapai ridlo Allah SWT, Islam telah mengatur jalur bagi laki-laki dan perempuan. tentu ada perbedaan jalur di antara keduanya. Misalnya, dalam perkara nafkah. Dalam Islam, jelas bahwa laki-laki adalah penanggung jawab nafkah rumah tangga. Sedangkan perempuan hanya mubah saja, itu pun jika suami mengizinkan. Terdapat sebuah hadist yang menggambarkan bahwa jalur perjuangan laki-laki dan perempuan itu berbeda. Yakni saat seorang muslimah bernama Zaenab mendatangi Nabi Saw. dan mengatakan, “Aku telah diutus kaum wanita kepada engkau. Jihad yang diwajibkan Allah kepada lelaki itu, jika mereka terluka parah, mereka mendapat pahala. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Manakala kami kaum wanita sering membantu mereka. maka apakah pula balasan untuk kami atas semua itu?”, kemudian Nabi Saw. menjawab, “Sampaikanlah kepada sesiapa yang engkau temui daripada kaum wanita. Bahwasanya, taat pada suami serta mengakui haknya adalah menyamai pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Tetapi adalah ‘sangat sedikit’ daripada golongan kamu yang dapat melakukan demikian”.

Dari hadist tersebut jelas bahwa menjadi ibu dan istri bagi perempuan merupakan peran yang paling utama dan mulia. Peran ini juga memiliki nilai politis dan strategis. Karena para ibu yang menjadi madrasah pertama inilah, lahir generasi yang berkualitas, calon pemimpin yang akan mengaruskan perubahan, mengganti bangunan peradaban kapitalisme yang rapuh dengan bangunan kokoh peradaban Islam. Karena hanya dengan tegaknya peradaban Islam, solusi berbagai masalah manusia akan terpecahkan.

Dengan demikian, menjadi kewajiban bagi muslimah untuk meningkatkan kualitas diri, yakni dengan memperkuat kepribadiannya dengan menjadikan aqidah Islam sebagai standar berpikir dan bersikap. Dan sekaligus menjadi PR besar muslimah di tahun 2024 untuk memperkuat pemahaman Islamnya dengan jalan mengkaji Islam secara intens dan istiqomah. Karena Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari perkara thaharah hingga perkara dakwah dan khilafah. Fiks, muslimah butuh ngaji!! Wallaahua’lam

Oleh: Yulida Hasanah
(Aktivis Muslimah Brebes) 

Selasa, 14 Juni 2022

Kenaikan Anggaran Pilkada 2024


Tinta Media - Pilkada serentak kali ini akan dilaksanakan pada hari Rabu (14/02/2024). KPU Kabupaten Bandung telah mengajukan anggaran untuk Pilkada 2024 sebesar Rp183 miliar. Jumlah ini lebih mahal Rp20 miliar dari modal Pilkada 2020 lalu yang memakan anggaran sebesar Rp160 miliar. 

Ketua KPU Kabupaten Bandung, Agus Baroya beralasan bahwa kenaikan itu diasumsikan untuk memenuhi kebutuhan alat kesehatan pada masa Covid-19. Sedangkan mayoritas dari total anggaran akan digunakan untuk pembayaran honorarium Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), mencakup 12 ribu Tempat  Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 31 Kecamatan (liputan6.com).

Benarkah demikian? Mari kita telaah lebih lanjut, sejauh mana urgensi dari menaikan anggaran untuk Pilkada tersebut. Ini karena anggaran yang digunakan adalah uang rakyat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar saat mempergunakannya. 

Harusnya dipikirkan, lebih penting mana antara anggaran untuk hegemoni Pilkada, atau untuk pemenuhan kebutuhan rakyat? Fakta menunjukkan bahwa bukan kali ini saja rakyat menelan pil pahit akan kebijakan dan langkah yang diambil oleh pemerintah.

Seharusnya, pemerintah mengeluarkan anggaran berdasarkan perhitungan yang jelas dan riil, tidak boleh hanya berdasarkan asumsi, apalagi asumsi tersebut dikaitkan dengan penyediaan alat kesehatan Covid 19.

Selain itu, harga mahal yang dianggarkan tidak berbanding lurus dengan hasil pelaksanaan pilkada, yaitu memunculkan pemimpin-pemimpin yang bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat secara nyata. Alih-alih menikmati, justru rakyat kerap menghirup udara penghianatan. Janji-janji manis kepada rakyat seakan menjadi komoditas tanpa ada realitas. 

Sebagaimana kita tahu, akar masalah sebenarnya ada pada paradigma ideologi yang diterapkan suatu negara. Dengan mengadopsi ideologi kapitalis, asas-asas kebebasan (liberal) yang di dalamnya termasuk kebebasan akal dalam menetapkan hukum, telah melahirkan berbagai peraturan sesuai kehendak pemesan (kaum pemodal).

Demokrasi yang tegak di atas sistem kapitalis ini berasaskan sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini memarginalkan agama dalam pengelolaan negara, sehingga dimanfaatkan oleh penyelenggara negara yang lupa akan perintah Tuhannya, serta abai dalam mengurus rakyat.

Pilkada yang mahal tidak akan dijumpai dalam sistem politik Islam. Negara akan menerapkan syariat Islam sebagai landasan dalam menyelesaikan problematika kehidupan, termasuk dalam hal pemilihan kepala negara maupun kepala daerah. Dalam hal ini, syariat Islam tidak akan mengalami pemborosan anggaran. 

Khalifah (kepala negara) akan memilih kader terbaik untuk mengurus rakyat di suatu wilayah. Sistem Islam menafikan pemilihan pemimpin sebatas pada pergiliran kekuasaan, apalagi hanya untuk kepentingan segelintir orang. Seorang pemimpin yang diamanahi akan senantiasa bertanggung jawab, karena hal ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

Sabda Rasulullah SAW.

"Siapa yang diamanati  Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga." ( HR. Al Bukhari dan Muslim ).

Inilah sistem Islam yang berlandaskan pada akidah Islam. Akidah Islam yang menjadi tolak ukur dalam perbuatan akan menafikan terjadinya kezaliman dan kemaksiatan. Negara yang diatur dengan syariat Islam secara menyeluruh, niscaya akan mewujudkan kepemimpinan yang adil dan tentu saja rakyatnya makmur. Sebab, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu alam bi shawab.

Oleh: Erlyn Lisnawati
Sahabat Tinta Media 

Jumat, 10 Juni 2022

HT1, PILPRES 2024 & KHILAFAH


Tinta Media - Aneh, lucu dan sangat menggelikan ketika ada narasi yang menyebut Eks HTI mendeklarasikan dukungan kepada Anies Baswedan untuk menjadi Capres 2024. Kalau kata orang, mainnya kurang jauh. Sejak awal hingga BHP HTI dicabut, HTI tidak pernah terlibat dalam politik praktis, terlibat dukung mendukung dalam Pemilu, Pilpres maupun Pilkada.

HTI sendiri sebagai bagian dari Hizbut Tahrir telah menyampaikan secara berulang bahwa problem yang dihadapi negeri ini bukan hanya soal krisis pemimpin. Melainkan, krisis kepemimpian. Bukan hanya soal rezim melainkan juga sistem.

Hizbut Tahrir melihat problem yang mendera negeri ini dan negeri kaum muslimin lainnya adalah karena tidak diterapkannya sistem Islam. Negeri-Negeri kaum muslimin dijajah dan dikuasai oleh sistem kapitalisme liberal.

Konklusinya menjadi jelas bagi Hizbut Tahrir, siapapun pemimpinnya jika sistem yang digunakan masih menggunakan sistem demokrasi sekuler maka tidak akan ada kebaikan bagi umat Islam. Tindakan memberikan dukungan, apalagi pembelaan dan pengorbanan pada tokoh atau individu tertentu tanpa mempersoalkan sistem yang mengatur, sama saja melanggengkan masalah yang merupakan bawaan dari sistem demokrasi.

Lantas, apa yang akan menyelamatkan negeri ini ?

Apa lagi kalau bukan Khilafah. Dan berulangkali, HTI menyampaikan Khilafah sejak mula eksis di negeri ini. Sebelum BHP HTI dicabut, HTI membuat banyak kegiatan diskusi, kajian, pawai, konferensi, muktamar, dan berbagai sarana dakwah lainnya untuk mendakwahkan ajaran Islam Khilafah.

Yang paling spektakuler adalah saat Konferensi Khilafah Internasional yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia di stadion Utama Gelora Bung Karno pada tahun 2007 yang lalu. Konferensi ini bertujuan untuk mengingatkan umat akan pentingnya menunaikan kewajiban menegakkan kembali khilafah.

Kala itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto mengatakan bahwa berbagai masalah yang dihadapi umat Islam berawal dari hilangnya kehidupan Islami yang berdasarkan Syariah Islam yang dipimpin seolah khalifah. Selanjutnya dia mengatakan Khilafah dan syariah Islam adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan berbagai masalah dunia Islam.

Konferensi Khilafah Internasional 2007 yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia mendapat respon dan antusiasme yang luar biasa dari berbagai komponen umat Islam, bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri—seperti Malaysia, Australia, Jepang, India, Pakistan, Timur Tengah, Inggris, Denmark, Amerika, dll.

Saat itu, banyak tokoh yang hadir dan memberikan komentarnya.

"Khilafah adalah ajaran Islam yang baik dan mulia. Khilafah ada dalam al-Quran ada dalam sejarah walaupun itu terjadi setelah Rasulullah saw. Wafat. Namun, harus saya katakan, ada perbedaan juga dalam pandangan ulama tentang watak Khilafah yang ada di dalam sejarah." Begitu, ungkap Prof. Dr. Din Syamsudin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, seksligus Wakil Ketua Umum MUI Pusat.

Sejumlah tokoh lain juga memberikan komentar dan apresiasi. Ada KH Thahlon Abdul Rauf (MUI Palembang), KH Amrullah Ahmad (Sekretaris MUI Pusat/Ketua Umum Syarikat Islam) hingga DR. H. Adhyaksa Dault, Menpora kala itu.

"Acara Konferensi Khilafah Internasional merupakan momen yang bagus untuk mempersatukan umat. Khilafah itu, saya kira, hadisnya jelas. “Tsuma takûnu Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.” Yang perlu kita bangun sekarang adalah komunikasi antar gerakan Islam. Jangan ada su’uzhann satu sama lain." tegasnya.

Jadi, trademark HTI itu Khilafah. Tidak pernah ada catatan atau preseden politik HTI ikut terlibat dukung mendukung Capres Wapares, apalagi baru wacana (balon) Capres Cawapres. Makanya, hanya orang tak berakal saja yang membuat opini sesat atau percaya eks HTI mendukung capres tertentu, entah itu Ganjar Pranowo, Puan Maharani, termasuk Anies Baswedan.

Sayangnya, kemuliaan bendera tauhid menjadi direndahkan hanya karena gawe Pilpres. Pada acara deklarasi dukungan untuk Anies Baswedan, bendera tauhid diturunkan.

Aneh juga, masih ada yang mengulangi narasi sesat bendera bertuliskan lafadz tauhid sebagai bendera HTI. Padahal, masalah ini telah berulangkali dijelaskan bahwa bendera dengan lafadzt tauhid adalah bendera Rasul, Bendera Islam, benderanya kaum muslimin.

Memang benar, Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2016 menunjukan betapa kuatnya gerakan politik keumatan. Para politisi tentu tidak ingin mereka mengulangi kekalahan karena adanya peran kelompok politik yang berbasis gerakan umat, bukan gerakan partai.

Kalau memperhatikan hal ini, tentu kita dapat mudah membaca, siapa aktor dibalik operasi klaim dukungan HTI untuk Anies Baswedan. Lagipula, urusannya sebenarnya bukan pada siapa mendukung siapa. Melainkan, siapa yang diuntungkan dari operasi sesat menjual nama eks HTI ?

Disisi lain, meskipun telah dicabut BHP nya, HTI masih menjadi sentral opini politik. Sebuah konfirmasi, betapa besarnya pengaruh HTI. Apakah hal ini juga mengkonfirmasi Capres manapun yang berlaga dalam Pilpres 2024 tidak akan menang tanpa restu dan dukungan HTI ? [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab