Tinta Media: 2022
Tampilkan postingan dengan label 2022. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 2022. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 31 Desember 2022

REFLEKSI AKHIR TAHUN: KILAS BALIK 2022 UNTUK MEWUJUDKAN KEDAULATAN NEGERI

Tinta Media - Ahad, 25 Desember 2022, penulis diundang ke Surabaya oleh Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD), untuk menjadi salah satu nara sumber diskusi refleksi akhir tahun. Kali ini, PKAD mengambil tema "Kilas Balik 2022 untuk mewujudkan kedaulatan negeri".

Selain penulis yang diminta menyoroti bidang hukum, juga akan hadir Ust. M. Ismail Yusanto (Politik), Ust. Azizi Fathoni (Agama), Prof. Suteki (Ideologi), Assoc. Prof Fahmy Lukman (Sosbud), Dr. Rizal Taufikurrahman (Ekonomi) dan Agung Wisnuwardhana (Kebijakan Publik). Sebagaimana biasa, bertindak sebagai Keynote Speaker Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD).

Belum diketahui, siapa saja narasumber yang hadir secara langsung (offline). Kabarnya, diskusi ini akan diselenggarakan secara hibrid (offline-online).

Kembali ke tema diskusi, PKAD mengambil tema "Kilas Balik 2022 untuk mewujudkan kedaulatan negeri", tentulah berdasarkan kajian dan rujukan data yang dapat disimpulkan Indonesia belum berdaulat atas negeri. Kekayaan yang Allah SWT karuniakan untuk negeri ini belum mampu memberikan dampak kesejahteraan bagi rakyat.

Kemandirian dan independensi hukum yang terbebas dari imperialisme, nampak belum wujud. Hadirnya UU Omnibus Law yang disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 November 2020 dan resmi menjadi UU No 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, justru memperdalam cengkeraman penjajahan ekonomi rakyat berdalih investasi.

Kabar pelelangan 100 pulau di kawasan Kepulauan Widi, Maluku Utara pada awal Desember 2022 lalu, juga tak lepas dari eksistensi UU Cipta Kerja. Mendagri Tito Karnavian berdalih pengembang Kepulauan Widi, PT Leadership Islands Indonesia (LII) diberikan waktu 7 tahun untuk mengembangkan kawasan tersebut untuk mencari investor karena kekurangan modal.

Lagi-lagi, berdalih investasi, untuk menarik investor, kedaulatan negeri dijual kepada asing. Negara tidak lagi meletakan kedaulatan dan kemandirian sebagai asas kebijakan mengelola negeri. Investasi telah dijadikan dalih paling klasik, untuk mengerat-erat dan memecahbelah negeri, menyerahkan kedaulatan bangsa kepada asing dan aseng.

UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, juga turut memberikan andil hilangnya kedaulatan mineral dan batu bara. 

Menurut UU Minerba lama maupun PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, kontrak karya yang ada berlaku sampai jangka waktunya berakhir. *Setelah berakhir, maka selesailah hubungan kerja sama antara pemerintah dengan kontraktor dan wilayah kerja pertambangan tersebut sepenuhnya kembali menjadi milik pemerintah.*

Namun, bukannya pemerintah menyiapkan sarana prasarana, kemampuan dan sumber daya untuk mengambil alih sejumlah tambang minerba yang sudah habis kontrak kerjanya, pemerintah malah mengubah UU Minerba yang membuat pemegang konsesi kontrak karya (KK) bisa langsung mendapatkan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).

Akibatnya, sejumlah oligarki tambang khususnya Batubara seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) akan habis malah difasilitasi dengan perubahan status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK-OP).

Padahal, tiga perusahaan ini saja kalau tambangnya kembali kepada pemerintah (negara), tentulah akan menambah kesejahteraan rakyat. Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini, akan memberikan nilai positif bagi pembangunan nasional.

Faktanya, Negara kehilangan potensi pendapatan dari pertambangan batubara yang dikuasai empat perusahaan ini. Belum lagi, masih banyak perusahaan tambang batubara lainnya yang dikuasai individu, korporasi, swasta, asing dan aseng.

PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah membukukan pendapatan (belum termasuk konsolidasi KPC) senilai US$ 1,39 miliar hingga kuartal III-2022. Jumlahnya melesat 109,3% dari periode yang sama tahun lalu US$ 666,18 juta.

PT Indika Energy Tbk (INDY) mencetak pendapatan sebesar US$ 3,13 miliar hingga akhir kuartal III-2022. Melesat sekitar 57% dari US$ 1,99 miliar pada Januari-September 2021.

PT Adaro Energy Indonesia Tbk (IDX: ADRO) meraup laba inti sebesar USD2,331 miliar pada sembilan bulan tahun 2022, atau naik 262 persen dibanding periode sama tahun 2021 yang tercatat senilai USD644 juta.

Belum lagi perusahaan Batu bara lainnya seperti PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) Emiten milik konglomerat Dato' Low Tuck Kwong yang memproduksi sebanyak 37,6 juta ton batu bara pada 2021. Pada 2022, BYAN berencana memproduksi sejumlah 37 juta-39 juta ton batu bara.

PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), PT Golden Energy Mines Tbk. (GEMS), PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), PT ABM Investama Tbk. (ABMM), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Eksistensi tambang yang dikuasai korporasi swasta, asing dan aseng tersebut, baik tambang batubara dan tambang lainnya, adalah konfirmasi tiada daulat atas negeri. *Kekayaan alam yang melimpah di negeri ini hanya membuat kaya raya segelintir orang saja.*

Lalu, apakah masih relevan norma pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan:

_"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."_

Dalam bidang hukum, masalah pengesahan RKUHP menjadi KUHP juga hanya konfirmasi mempertahankan ruh norma hukum penjajah belanda dalam bentuk yang lain. Negeri ini, tetap saja dicengkeram oleh sekulerisme dan mengabaikan hukum Allah SWT.

Sejumlah pasal represif dan anti Islam justru dihidupkan dan dipertahankan dalam KUHP baru. Pasal soal penghinaan Presiden, DPR, pasal kriminalisasi demo, kontra pancasila, perlindungan terhadap zina, dan banyak lagi masalah dalam UU yang oleh DPR dibanggakan sebagai 'Karya Agung Anak Bangsa' yang mengakhiri dominasi penjajahan yang bercokol lebih dari 150 tahun.

Belum lagi, kebijakan penegakan hukum ditahun 2022 masih copas (Copy Paste) dari kebijakan hukum tahun-tahun sebelumnya, dimana hukum dijadikan instrumen untuk membungkam kritik, menekan gerakan Islam dan melindungi jubah kekuasaan yang zalim.

Penangkapan Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah, Ustadz Anung al Hamat hingga divonis 3 tahun penjara dengan tuduhan teroris menjadi buktinya. Aktivitas dakwah dituduh terorisme, Ulama dituduh teroris.

Belum lagi penangkapan Gus Nur dan Bambang Tri. Kasus ini adalah konfirmasi rezim anti kritik, hukum dijadikan sarana untuk membungkam nalar kritis rakyat.

Tidak ada resolusi lain, selain penulis ingin menyampaikan firman Allah SWT:

_“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”._ [QS Ar Rum: 41].

Semua kerusakan yang menimpa negeri ini, adalah karena maksiat, manusia tidak mau taat, tidak mau menerapkan hukum Allah SWT. Maka, manusia mengalami kesulitan hidup, negeri ini selalu ditimpa bencana dan masalah.

Dalam akhir tulisan ini, penulis mengajak kepada segenap umat Islam untuk memperbaiki negeri ini dengan Islam. Menjadikan penduduk negeri ini beriman dan taqwa kepada Allah SWT, agar negeri ini berkah, menjadi negeri yang baldatun, thayyibatun, warobbun ghaffur.

Hanya dengan syariat Islam, negeri ini akan berdaulat. Hanya dengan syariat Islam, kekayaan alam yang Allah SWT karuniakan di negeri ini akan menyejahterakan. Hanya dengan syariat Islam, kedaulatan hukum akan terwujud, dan hukum Allah SWT dapat diberlakukan.

Maha benar Allah SWT yang berfirman:

_"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."_

[QS Al A'rof 96].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

[Catatan Hukum Akhir Tahun, sebagai Refleksi untuk menghadirkan Resolusi Untuk Negeri]

Selasa, 27 Desember 2022

REFLEKSI HUKUM 2022: PERISTIWA HUKUM YANG BERIMPLIKASI TERHADAP ISLAM & UMAT ISLAM

Tinta Media - Tulisan berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki impilasi terhadap Islam dan Umat Islam. Simak pemaparan berikut ini:

I. KRIMINALISASI KEBEBASAN BERPENDAPAT 

Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan yang lebih dikenal dengan nama UU ITE tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu.  Hingga kini, jumlah korban kriminalisasi UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari kriminalisasi UU ITE pun bermacam-macam. Bukan hanya pasal ITE, begitu juga  pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yaitu menyebarkan kebohongan yang sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat. 


II. PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Pernikahan beda agama tahun 2022 terjadi dibeberapa daerah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut diantaranya di Surabaya, Yogyakarta dll. Bahkan amos Petege pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam melakukan Judicial Review terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan (norma perkawinan beda agama)

perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial. Sebab perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama. Selain itu, sehubungan dengan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan yang dipersoalkan Pemohon, Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.

jika merujuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pada Pasal 2 Ayat (1) berbunyi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ".... menurut hukum masing-masing agama....". Sehingga ketika agama Islam misalnya melarang menikah dengan orang yang beda agama, maka ketika dipaksakan menjadi tidak sah. etentuan pasal diatas diperkuat dengan fatwa MUI yang menyatakan pernikahan beda agama haram dan tidak sah. Hal itu dimuat dalam Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 


III. KAMPANYE RADIKAL, EXTREMISME & TOLERANSI TERUS TERJADI

Pemerintah telah berhasil membangun narasi ‘bahaya radikalisme’, ‘radikal dan ekstrimisme adalah awal terorisme”. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung narasi yang diciptakan dengan berbagai tindakan diantanya menerbitkan Peraturan terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal, kemudian mengeluarkan dari pekerjaannya. 

Selain itu oknum aparatur Pemerintah ada yang berupaya mengawasi atau mengintel di rumah dan ditempat pekerjaan terhadap orang yang dituduh radikal. Semestinya Pemerintah tidak melakukan indelingsbelust yaitu mendefinisikan, pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan.  

Pemerintah wajib menghentikan. Apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi persekusi di akar rumput rakyat. "Apabila itu terjadi persekusi di akar rumput rakyat, maka negara dikhawatirkan dapat dinilai mensponsori kebencian terhadap sesama anak bangsa. 

Mengutip data yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Global Counter - Terrorism Strategy (A/RES/60/288 and 2030), menyatan diperlukannya penekanan untuk mencegah penyebaran kelompok atau individu yang dituduh ekstremisme dan radikal. Adakah kaitannya dengan rencana global memerangi kelompok yang dituduh radikal-ekstremisme dan teroris?

Kampanye toleransi terus di galakan seolah-olah muslim di negeri ini tidak toleran.


IV. PENINDAKAN TERDUGA TERORIS TAMPAK MENYASAR UMAT ISLAM

Kamis malam, 10 Maret 2022 viral diberbagai kantor berita, memberitakan "Dokter Sunardi ditembak mati oleh Detasemen Khusus atau Densus 88 di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dokter Sunardi tewas ditembak lantaran diduga melakukan perlawanan saat hendak ditangkap oleh Densus 88. Ia disebut mencoba melarikan diri saat hendak diringkus oleh Densus 88 lantaran dugaan terlibat terorisme.". Perkara ini telah menjadi perhatian publik, agar diperoleh keadilan publik maka perlu KOMNAS HAM RI segera membentuk tim independen pencari fakta dan harus transparan mengungkap kejadian tersebut, terutama menyingkap penyebab terjadinya penembakan. Jika aparat yang dilapangan dan/atau memberikan perintah yang terlibat dalam insiden itu melanggar protokol tentang penggunaan kekuatan dan senjata api, mereka harus diungkap secara terbuka dan diadili sesuai dengan hukum.

Terdapat catatan atas penindakan terhadap terduga teroris, yaitu sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Terduga itu tidak untuk dimatikan, tapi dilumpuhkan. Negara ini merupakan negara hukum, dan tugas polisi adalah menegakkan hukum. Dan hukum itu pun ada asas praduga tak bersalah. Apabila terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan terduga tersebut, seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law) dan bahwa aparat dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, sebagai upaya terakhir.

Kemudian dalam proses penyitaan barang bukti, sebaiknya menghindarkan dari hal-hal yang beririsan dengan simbol-simbol agama atau yang dipersonifikasikan dengan agama yaitu penyitaan sejumlah buku yang bertema jihad, iqra, alquran, bendera tahuhid, terlebih lagi kemudian dipublikasikan ke media dan publik. Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap istilah dan ajaran Islam yaitu jihad. Istilah jihad banyak dijelaskan didalam Al-Qur'an dan hadits. mendorong agar proses penegakan hukum dipisahkan dari politik. Kami berpendapat bahwa menyita buku-buku bertema jihad dan menampilkan kehadapan media dan publik adalah tampak seperti tindakan politik. Apa hubungannya antara tindakan pidana dengan buku tersebut. Kami patut menduga sedang ada upaya membangun narasi "buku-buku jihad inspirator teroris", sehingga berujung pada stigmatisasi-alienasi istilah jihad. adanya kriminalisasi dan 'monsterisasi' Jihad, membuat orang takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakutkan. Dikhawatirkan terjadi kecenderungan tidak akan berani menjelaskan terkait Jihad Sebab ketika membahas seolah-olah seorang penjahat atau teroris dan dituduh orang yang cenderung akan berpikiran ISIS.


V. PENISTAAN AGAMA

Tahun 2022, tercatat cukup banyak yang melakukan penistaan agama, kasus penistaan agama kian menjadi-jadi. Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah SAW, dan simbol-simbol serta ajarannya. Bak jamur di musim hujan. Para penista agama terus lantang bersuara atas nama kebebasan. 


VI. KUHP BARU

Didalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022). terdapat norma yang memiliki potensi implikasi terhadap Islam dan umat Islam yaitu Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:  
 
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun." 
 
KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun. 
 
Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana “principle of legality” yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang.  
Kedua, konsep lex stricta. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.  
 
Saya khawatir norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno. 
 
Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru. 
 
Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada 
 
Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu  pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 

Demikian
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT 

Minggu, 25 Desember 2022

REFLEKSI HUKUM 2022, NORMA KUHP BARU BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI & ANCAMAN TERHADAP KEBEBASAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT

Tinta Media - Tulisan-tulisan saya terkait refleksi hukum 2022 akan difokuskan pada produk politik yang baru yaitu Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022).  
 
Tulisan ke-1 refleksi hukum 2022, akan membahas Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:  
 
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun." 
 
KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun. 
 
Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana “principle of legality” yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang.  
Kedua, konsep lex stricta. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.  
 
Saya khawatir norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno. 
 
Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru. 
 
Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada 
 
Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 
 
Menutup tulisan ini, saya mengajak kepada seluruh masyarakat “saatnya Anda Peduli dan bersuara”. 
 
Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan., S.H., M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT

Senin, 28 November 2022

IJM Ungkap Sisi Gelap di Balik Mahalnya Piala Dunia Qatar 2022

Tinta Media - Piala Dunia Qatar 2022 yang menjadi Piala Dunia termahal dalam sejarah menurut Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana ternyata memiliki sisi-sisi gelap di baliknya.

“Ternyata ada sisi-sisi gelap di balik Piala Dunia Qatar 2022 yang dinyatakan sebagai Piala Dunia termahal dalam sejarah. Qatar mengeluarkan dana 3.400 triliun rupiah dan FIFA mengeluarkan 26,4 triliun rupiah demi kepentingan Piala Dunia,” tuturnya dalam Program Aspirasi Rakyat: Piala Dunia Qatar | Sisi Gelap, Jumat (25/11/2022) di kanal Youtube Justice Monitor.

Ia mengungkapkan bahwa Piala Dunia Qatar 2022 ternyata memiliki  sisi-sisi gelap dan kontroversi selama menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Pertama, polemik ribuan buruh migran yang meninggal dunia. Mereka menjadi korban dalam proyek pembangunan infrastruktur untuk Piala Dunia 2022 di Qatar.
“Berita yang beredar menunjukkan bahwa banyak pekerja migran di Qatar yang meninggal, mereka umumnya berasal dari kawasan Asia Selatan, seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal,” ujarnya.

Agung mengutip pernyataan dari The Guardian bahwa lebih dari 6500 buruh migran yang membangun infrastruktur untuk Piala Dunia 2022 di Qatar dilaporkan tewas. Sementara mengutip dari penulis buku Digital Auto Ritarianisme in The Middle Is Mark Owen Jones dalam akun twitternya menyebutkan bahwa jumlah tersebut sebenarnya mengacu pada semua kematian pekerja migran.

“Apa pun penjelasan kematiannya, memang ada beberapa versi terkait masalah ini. Tetapi ada tentunya banyak yang meninggal karena membangun infrastruktur untuk Piala Dunia,” ungkapnya.

Ia pun mengutip dari The Washington Post bahwa pekerja yang tewas mencapai 1200 orang. “Jumlah tersebut ialah akumulasi kasus selama 10 tahun telah berjalannya proses pembangunan infrastruktur,” kutipnya.

Kedua, pemerintah Qatar telah mengusir para tenaga kerja asing dari blok apartemen mereka di Doha. Dikutip dari The Reuters, proses mengosongkan tempat tersebut ditujukan agar ribuan penggemar bola di masing-masing negara dapat tinggal di daerah tersebut selama Piala Dunia berlangsung.

“Proses evakuasi tersebut sudah dimulai sejak empat minggu sebelum dimulainya Piala Dunia. Sejumlah korban menyebutkan hampir 12 bangunan tempat tinggal para pekerja telah ditutup oleh pihak berwenang,” bebernya.

Ia mengkritisi kebijakan Qatar yang tidak menghiraukan para pekerja yang kehilangan tempat tinggal.

“Hal ini mendapat perhatian internasional, namun pihak Qatar tidak menghiraukan bagaimana setelahnya para pekerja tinggal. Mereka dipaksa untuk mencari perlindungan apa yang mereka bisa termasuk tempat tidur di trotoar, di luar salah satu bekas rumah mereka,” kritiknya.

Ketiga, Qatar memberlakukan sistem upah murah. Agung menyebutkan bahwa pekerja migran ini kesulitan mendapatkan upah yang layak dalam pembangunan infrastruktur Piala Dunia. “Para pekerja migran tersebut diketahui belum dibayar selama lebih dari satu tahun lamanya, hal ini dikutip dari bisnis-humanrights.org,” ujarnya.

Baginya, sisi-sisi gelap tersebut menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur yang fantastis untuk membangun banyak fasilitas mulai dari hotel, bandara, dan stadion untuk pertandingan Piala Dunia 2022 telah mengorbankan para pekerja migran.

Piala Dunia Qatar 2022 menjadi edisi kompetisi sepak bola dunia termahal sepanjang sejarah. Dana yang digelontorkan digunakan untuk membangun tujuh stadion berskala internasional dan merenovasi satu stadion bola yang berskala internasional dan sejumlah fasilitas lain bagi para penonton.
“Qatar ibarat menggantang pepesan kosong. Kondisi rugi besar diperkirakan akan dialami oleh Qatar pada gelaran Piala Dunia 2022,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab