Tinta Media: 17 an
Tampilkan postingan dengan label 17 an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 17 an. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Agustus 2024

Cerita 17-an

Tinta Media - “Nyuwun Sewu, Jeng,” kata perempuan paruh baya itu mengetuk pintu.

Belum terlalu malam. Jamaah sholat Maghrib di masjid baru saja usai. Penghuni rumah itu masih agak rieweuh dengan keempat anaknya. Dua diantaranya masih balita, satu masih usia SD, satu lagi sudah duduk di bangku SMA. Sang Ayah juga baru saja melepas wearpack (pakaian pekerja galangan kapal).

“Tok tok tok, Assalamualaikum,” tamu itu kembali mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

Wa’alaikumussalam, nggih sebentar,” jawab tuan rumah sembari mengondisikan anak-anak.

“Silakan masuk dulu, Bude!” Pinta tuan rumah mempersilakan masuk tamu tersebut dengan membuka pintu secukupnya. Karena belum mengenakan jilbab dan kerudung secara sempurna.

“Ini Jeng, iuran Agustusan. 25.000/ keluarga,” kata tamu itu dengan menyodorkan buku catatan iuran.

“Silakan masuk dulu, Bude. Monggo!” tanpa menghiraukan tentang iuran. Tuan rumah tersebut fokus mempersilakan masuk tamunya.
Ini adalah perkara yang sudah ditunggu sejak beberapa hari lalu. Karena telah mendapatkan informasi sebelumnya terkait sumbangan Agustusan, maka tuan rumah, sebut saja Ummu Haris, ibarat orang hendak berperang tentu harus mempersiapkan persenjataan. Dalam hal ini adalah perang pemikiran antara masyarakat sekuler dengan Islam.

“Ngapunten sebelumnya nggih Bude,” Ummu Haris membuka pembicaraan.

“Bukan kami tidak mau berpartisipasi untuk kegiatan ini. Bukan juga masalah jumlah nominalnya. Jangankan 25.000, lebih dari itu pun, asal untuk kebaikan insya Allah kami kasih. Permasalahannya, ritual Agustusan ini jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Ini adalah kemaksiatan. Jadi kami jelas tidak mau dan tidak rida jika uang kami digunakan untuk kemaksiatan,” Ummu Haris berusaha menjelaskan.

Belum selesai Ummu Haris berbicara. Tamu itu manggut-manggut dan mempertanyakan kritik dan saran.

“Coba Bude renungkan. Setiap tahun lomba yang diadakan gak ganti-ganti. Itu itu terus. Lomba joget balon, panjat pinang, makan kerupuk dan lain-lain. Hampir di setiap daerah, mulai dari kota hingga ke pelosok desa. Apa gak ada perlombaan yang mencerdaskan seperti baca puisi atau lomba ranking satu, begitu? Tapi nyatanya jarang kan, De? Bahkan bisa dibilang tidak ada. Bukankah ini namanya pembagongan alias pembodohan generasi,” panjang lebar Ummu Haris memberikan penjelasan dengan tenang.

Padahal kalau dipikir-pikir memang ritual tahunan dalam rangka merayakan hari kemerdekaan itu sangat jauh dari esensi perjuangan. Bahkan sangat bertolak belakang.

“Oke Jeng, saya catat nggih. Terima kasih masukannya,” kata tamu itu.

Benar atau tidaknya, tulus atau tidaknya dia bicara begitu. Itu tidak penting. Masalah hati bukan lagi urusan kita. Sikap kita adalah apa yang kita lihat atau kita dengar. Sebenarnya sudah pernah ada kejadian. Tamu ini seperti bunglon. Bukan bermuka dua lagi tapi bermuka banyak. Namun, sekali lagi itu bukan lagi urusan kita.

“Oh ya Jeng, kemaksiatan yang jenengan maksud itu apa?” Tamu itu bertanya kepada Ummu Haris.

“Lomba joget balon contohnya. Emak-emak bergoyang, lenggak-lenggok di hadapan banyak orang, banyak laki-laki yang bukan mahram. Ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sebenarnya terlepas dari agama, sekarang coba kita bayangkan ya, De. Apakah para suami itu rela jika istrinya joget-joget menonjolkan auratnya, disaksikan laki-laki lain. Jika laki-laki itu normal, pasti cemburu dan marah. Makanya Islam melarang itu,” Ummu Haris masih terus berbicara. Ibarat kereta api yang terus melaju sebelum tiba di stasiun.

“Selanjutnya lomba makan kerupuk. Bukankah Islam telah mengajarkan makan sambil duduk, dengan tangan kanan. Tapi dalam perlombaan ini tangan diikat makan sambil berdiri. Ini adalah pelanggaran syariat dan merendahkan martabat manusia. Belum lagi campur baur laki-laki dan perempuan. Ini semua adalah kemaksiatan,” Ummu Haris masih saja melanjutkan bicara.

“Terus bagaimana ini, Jeng?” tamu itu memotong. Aura gerah telah tampak menyelimuti.

“Lo, terserah Bude. Saya mau dan akan menyumbang, namun dengan syarat uang itu tidak untuk kemaksiatan. Kami tidak rida jika uang kami digunakan untuk kemaksiatan,” Ummu Haris mulai menegaskan.

“Ya sudah Jeng. Gak usah dulu. Biar tak sampaikan ke Pak RT dulu. Saya pamit nggih,” tamu itu bergegas untuk pergi meninggalkan rusun lantai satu. Sampai saat tulisan ini dibuat tidak ada lagi yang datang untuk menarik iuran.

Selesai.

Oleh: L. Nur Salamah
Sahabat Feature News

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab