Tinta Media: 102 Tahun Tanpa Khilafah
Tampilkan postingan dengan label 102 Tahun Tanpa Khilafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 102 Tahun Tanpa Khilafah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Februari 2023

102 Tahun Tanpa Khilafah, Analis: Pendidikan Sekedar Melahirkan Buruh

Tinta Media - Kondisi pendidikan selama 102 tahun tanpa khilafah dinilai Analisis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, hanya melahirkan para buruh baru.

“Pendidikan di negeri-negeri Muslim hari ini tanpa Khilafah, kalau menurut saya pendidikan yang hanya sekedar melahirkan para buruh-buruh baru,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (20/2/2023).

“Kondisi pendidikan tanpa Khilafah, kalau secara objektif kita lihat sangat memprihatinkan,” tambahnya.

Ia melihat pendidikan sekarang tidak lebih memproduksi manusia yang akan menjadi mesin, dan akan menjadi pelengkap bagi mesin kapitalisme. “Jadi pendidikan kita hari ini hanya melahirkan alat produksi yaitu manusia yang kemudian akan mengokohkan ekonomi kapitalisme. Hanya melahirkan para buruh, para profesional, yang kemudian mengisi posisi-posisi di pabrik, di perusahaan, di apapun sistem rantai pasok yang ada di sistem kapitalis,” jelasnya.
 
Dipaparkannya alih-alih umat Islam berpikir tentang bagaimana pendidikan haruslah melahirkan sebuah peradaban, mempersiapkan bagaimana caranya membuat pendidikan itu melahirkan para intelektual yang kemudian orientasinya adalah untuk kemajuan umat Islam. “Bagaimana pendidikan itu melahirkan orang-orang sekaliber Al Khawarizmi, sekaliber Al Hindi, sekaliber ibnu Sina dan seterusnya,” paparnya.

Selain itu, kondisi saat ini menurut Ustadz Fajar sebagai keberhasilan Barat untuk membaratkan generasi muda Islam. Jadi menanam nilai-nilai liberalisme dan pluralisme ke dalam benak kaum muslimin. Banyak yang bersholawat di gereja, ikut dalam  perayaan-perayaan natal, misa-misa mereka di gereja. “Ini saya kira semua itu mengkonfirmasi bahwa memang Barat sedang menjalankan sebuah mega proyek yang sangat besar untuk bagaimana agar generasi muda Islam betul-betul terjerabut dari akarnya, keyakinannya, syariah Islam dan kemudian mengakomodir sebanyak mungkin nilai-nilai yang dikehendaki oleh Barat,” ungkapnya.

Kehilangan Maha Dahsyat

Ia menilai keruntuhan Daulah Khilafah Utsmaniyah merupakan sebuah momentum kehilangan yang maha dahsyat bagi umat Islam. kehilangan pelindung (al junnah), kehilangan pengayom, kehilangan sosok periayah urusan-urusan umat Islam. “Sehingga dengan runtuhnya khilafah itu, maka di situ pula dimulai adanya penderitaan-penderitaan umat Islam yang datang silih berganti tiada henti hingga hari ini,” nilainya.

Maka dari itu, penting menurutnya untuk mengembalikan lagi kekhilafahan sebagai al junnah. “Langkah penting yang harus dilakukan adalah proses penyadaran karena semua ini sebenarnya berpangkal dari hilangnya kesadaran politik. Hilangnya kesadaran politik umat akan pentingnya persatuan, akan pentingnya kepemimpinan politik umat Islam yang akan menaungi seluruh umat Islam di dunia apapun suku mereka, apapun bangsa mereka, apapun warna kulit mereka apapun ras mereka,” tegasnya.

Ia mengajak umat Islam untuk mengambil peran bagaimana kemudian agar perubahan yang Hakiki tadi itu bisa dilakukan secara lebih masif, lebih akseleratif dan harus dilakukan secara monial. “Apapun profesi kita, apapun berlatar belakang kita, apapun aktivitas yang kita geluti, maka itu harus menjadi kewajiban utama, menjadi prioritas untuk kemudian segera diperjuangkan,” pungkasnya. [] Raras

102 Tahun Tanpa Khilafah, Analis: Pendidikan Sekedar Melahirkan Buruh

Tinta Media - Kondisi pendidikan selama 102 tahun tanpa khilafah dinilai Analisis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, hanya melahirkan para buruh baru.

“Pendidikan di negeri-negeri Muslim hari ini tanpa Khilafah, kalau menurut saya pendidikan yang hanya sekedar melahirkan para buruh-buruh baru,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (20/2/2023).

“Kondisi pendidikan tanpa Khilafah, kalau secara objektif kita lihat sangat memprihatinkan,” tambahnya.

Ia melihat pendidikan sekarang tidak lebih memproduksi manusia yang akan menjadi mesin, dan akan menjadi pelengkap bagi mesin kapitalisme. “Jadi pendidikan kita hari ini hanya melahirkan alat produksi yaitu manusia yang kemudian akan mengokohkan ekonomi kapitalisme. Hanya melahirkan para buruh, para profesional, yang kemudian mengisi posisi-posisi di pabrik, di perusahaan, di apapun sistem rantai pasok yang ada di sistem kapitalis,” jelasnya.
 
Dipaparkannya alih-alih umat Islam berpikir tentang bagaimana pendidikan haruslah melahirkan sebuah peradaban, mempersiapkan bagaimana caranya membuat pendidikan itu melahirkan para intelektual yang kemudian orientasinya adalah untuk kemajuan umat Islam. “Bagaimana pendidikan itu melahirkan orang-orang sekaliber Al Khawarizmi, sekaliber Al Hindi, sekaliber ibnu Sina dan seterusnya,” paparnya.

Selain itu, kondisi saat ini menurut Ustadz Fajar sebagai keberhasilan Barat untuk membaratkan generasi muda Islam. Jadi menanam nilai-nilai liberalisme dan pluralisme ke dalam benak kaum muslimin. Banyak yang bersholawat di gereja, ikut dalam  perayaan-perayaan natal, misa-misa mereka di gereja. “Ini saya kira semua itu mengkonfirmasi bahwa memang Barat sedang menjalankan sebuah mega proyek yang sangat besar untuk bagaimana agar generasi muda Islam betul-betul terjerabut dari akarnya, keyakinannya, syariah Islam dan kemudian mengakomodir sebanyak mungkin nilai-nilai yang dikehendaki oleh Barat,” ungkapnya.

Kehilangan Maha Dahsyat

Ia menilai keruntuhan Daulah Khilafah Utsmaniyah merupakan sebuah momentum kehilangan yang maha dahsyat bagi umat Islam. kehilangan pelindung (al junnah), kehilangan pengayom, kehilangan sosok periayah urusan-urusan umat Islam. “Sehingga dengan runtuhnya khilafah itu, maka di situ pula dimulai adanya penderitaan-penderitaan umat Islam yang datang silih berganti tiada henti hingga hari ini,” nilainya.

Maka dari itu, penting menurutnya untuk mengembalikan lagi kekhilafahan sebagai al junnah. “Langkah penting yang harus dilakukan adalah proses penyadaran karena semua ini sebenarnya berpangkal dari hilangnya kesadaran politik. Hilangnya kesadaran politik umat akan pentingnya persatuan, akan pentingnya kepemimpinan politik umat Islam yang akan menaungi seluruh umat Islam di dunia apapun suku mereka, apapun bangsa mereka, apapun warna kulit mereka apapun ras mereka,” tegasnya.

Ia mengajak umat Islam untuk mengambil peran bagaimana kemudian agar perubahan yang Hakiki tadi itu bisa dilakukan secara lebih masif, lebih akseleratif dan harus dilakukan secara monial. “Apapun profesi kita, apapun berlatar belakang kita, apapun aktivitas yang kita geluti, maka itu harus menjadi kewajiban utama, menjadi prioritas untuk kemudian segera diperjuangkan,” pungkasnya. [] Raras

Selasa, 21 Februari 2023

102 Tahun Tanpa Khilafah, FIWS: Mengingatkan Umat Wajibnya Khilafah

Tinta Media - Seabad lebih dunia Islam tanpa khilafah, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Ustadz Farid Wadjdi, menyampaikan bahwa hal tersebut mengingatkan kembali kepada umat tentang kewajiban mengembalikan Khilafah.

"Mengingatkan kembali kepada umat adalah sesuatu yang sangat penting, bukan hanya sekedar romantisme sejarah dan glorifikasi sejarah. Akan tetapi, mengingatkan tentang kewajiban syariat Islam, bahwa di tengah-tengah umat wajib adanya Khilafah yang diperintahkan berdasarkan syariat Islam," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (17/02/2023).

Menurutnya, tanpa khilafah, dunia kehilangan tiga hal penting yang sangat menentukan eksistensi kaum muslimin. "Dunia islam tanpa adanya Khilafah berarti dunia Islam kehilangan Tiga hal penting, yang itu sangat menentukan eksistensi kaum muslimin dan eksistensi ajaran Islam," ujarnya.

Pertama, umat Islam kehilangan institusi negara yang menerapkan seluruh syariat Islam yang akan mengatur seluruh kehidupan manusia. "Umat Islam kehilangan institusi yang menerapkan seluruh syariat Islam yang mengatur umat manusia yang menjaga agama ini," jelasnya.

Akibat ketiadaan Syariah Islam, katanya, membuat umat Islam diatur oleh aturan-aturan kufur, aturan-aturan yang bersumber dari hawa nafsu, untuk kepentingan ideologi kapitalisme liberal, yang pemiliknya adalah negara-negara imperialis. Maka, apa yang kita saksikan saat ini, kemiskinan, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, kemaksiatan merajalela, di mana-mana terjadi pembunuhan. 

Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa penghinaan dan penistaan terhadap kaum muslimin juga terjadi karena ketiadaan khilafah. "Yang terjadi atas kaum muslimin adalah penghinaan demi penghinaan, ini merupakan buah dari ketiadaan Khilafah yang menerapkan seluruh syariat Islam," imbuhnya.

Kedua, Ustadz Farid menjelaskan bahwa ketiadaan khilafah, kondisi politik Umat Islam kehilangan institusi yang mempersatukan Umat Islam seluruh dunia. "Ketiadaan khilafah kondisi politik umat Islam kehilangan institusi yang mempersatukan umat Islam di seluruh dunia," terangnya.

Padahal, lanjutnya, persatuan seluruh dunia yang membuat umat Islam menjadi kuat. Dengan Khilafah umat Islam memiliki negara global, negara adidaya, yang mempersatukan umat, memiliki khalifah yang menjadi Al Junah atau perisai dan pelindung bagi umat Islam.

Ia kembali menerangkan bahwa setelah satu abad lebih ketiadaan khilafah umat terpecah belah, kondisi kaum muslimin semakin lemah dan terpuruk.

"Setelah satu abad lebih dunia Islam yang dibelenggu oleh negara yang memecah belah umat Islam dan melemahkan kaum muslimin bahkan menjadi legitimasi bagi penguasa penguasa yang tidak peduli terhadap umat Islam untuk tidak melakukan apa-apa terhadap kepentingan umat Islam," bebernya.

Ketiadaan Khilafah, lanjut Ustadz Farid, juga berarti lebih satu abad umat Islam tidak memiliki negara yang memiliki politik luar negeri, yang menyebarluaskan Islam. Padahal Islam bisa meluas ke seluruh penjuru dunia karena tanggung jawab menyebarluaskan Islam bukan hanya ada pada pundak individu ataupun jamaah atau organisasi tetapi kewajiban ini ada pada pundak negara yang melakukan dakwah dan futuhat, sehingga Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Ia juga memberikan penjelasan yang merujuk kepada kitab yang disusun oleh Imam Mawardi.

"Merujuk kepada apa yang disebut oleh Imam Al mawardi, dalam kitabnya _Al Ahkamu Sulthoniah_ bahwa ada dua fungsi utama dari Khilafah pertama adalah menjaga agama, yang kedua adalah mengatur urusan-urusan dunia kaum muslimin, baik urusan ekonomi, urusan politik maupun pendidikan," terangnya.

Ketiga, ia kembali menegaskan bahwa ketiadaan khilafah menjadikan umat Islam tidak memiliki penjaga yang menjadikan umat Islam diatur dan dikuasai hukum kapitalis liberalisme.

"Kekhilafahan membuat umat Islam tidak lagi memiliki penjaga Islam. Ketiadaan khilafah telah membuat umat Islam tidak lagi diatur berdasarkan syariat Islam tapi diatur berdasarkan hukum-hukum kapitalis liberal untuk kepentingan para pemilik modal negara-negara imperialis," tegasnya.

Adapun hal yang mesti dilakukan, ujarnya, untuk mengembalikan Khilafah, tidak lain adalah dengan dakwah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, ketika menegakkan Daulah Islam di Madinah dengan aktivitas utama membina membina umat atau tasqif mencetak kader-kader dakwah. Sehingga Islam menjadi sesuatu yang menggerakkan dan membangkitkan.

Terakhir, ia menegaskan bahwa perjuangan ini membutuhkan dukungan dari ahlu nusrah.
 
"Hal ini tentu butuh dukungan dari ahlunusrah, mereka yang memiliki kekuasaan yang nyata untuk berkorban demi Islam. Menggunakan kekuasaannya untuk Islam sehingga meraih surga dari Allah subhanahu wa ta'ala," pungkasnya.[] Nur Salamah

102 Tahun Tanpa Khilafah, FIWS: Mengingatkan Umat Wajibnya Khilafah

Tinta Media - Seabad lebih dunia Islam tanpa khilafah, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Ustadz Farid Wadjdi, menyampaikan bahwa hal tersebut mengingatkan kembali kepada umat tentang kewajiban mengembalikan Khilafah.

"Mengingatkan kembali kepada umat adalah sesuatu yang sangat penting, bukan hanya sekedar romantisme sejarah dan glorifikasi sejarah. Akan tetapi, mengingatkan tentang kewajiban syariat Islam, bahwa di tengah-tengah umat wajib adanya Khilafah yang diperintahkan berdasarkan syariat Islam," tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (17/02/2023).

Menurutnya, tanpa khilafah, dunia kehilangan tiga hal penting yang sangat menentukan eksistensi kaum muslimin. "Dunia islam tanpa adanya Khilafah berarti dunia Islam kehilangan Tiga hal penting, yang itu sangat menentukan eksistensi kaum muslimin dan eksistensi ajaran Islam," ujarnya.

Pertama, umat Islam kehilangan institusi negara yang menerapkan seluruh syariat Islam yang akan mengatur seluruh kehidupan manusia. "Umat Islam kehilangan institusi yang menerapkan seluruh syariat Islam yang mengatur umat manusia yang menjaga agama ini," jelasnya.

Akibat ketiadaan Syariah Islam, katanya, membuat umat Islam diatur oleh aturan-aturan kufur, aturan-aturan yang bersumber dari hawa nafsu, untuk kepentingan ideologi kapitalisme liberal, yang pemiliknya adalah negara-negara imperialis. Maka, apa yang kita saksikan saat ini, kemiskinan, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, kemaksiatan merajalela, di mana-mana terjadi pembunuhan. 

Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa penghinaan dan penistaan terhadap kaum muslimin juga terjadi karena ketiadaan khilafah. "Yang terjadi atas kaum muslimin adalah penghinaan demi penghinaan, ini merupakan buah dari ketiadaan Khilafah yang menerapkan seluruh syariat Islam," imbuhnya.

Kedua, Ustadz Farid menjelaskan bahwa ketiadaan khilafah, kondisi politik Umat Islam kehilangan institusi yang mempersatukan Umat Islam seluruh dunia. "Ketiadaan khilafah kondisi politik umat Islam kehilangan institusi yang mempersatukan umat Islam di seluruh dunia," terangnya.

Padahal, lanjutnya, persatuan seluruh dunia yang membuat umat Islam menjadi kuat. Dengan Khilafah umat Islam memiliki negara global, negara adidaya, yang mempersatukan umat, memiliki khalifah yang menjadi Al Junah atau perisai dan pelindung bagi umat Islam.

Ia kembali menerangkan bahwa setelah satu abad lebih ketiadaan khilafah umat terpecah belah, kondisi kaum muslimin semakin lemah dan terpuruk.

"Setelah satu abad lebih dunia Islam yang dibelenggu oleh negara yang memecah belah umat Islam dan melemahkan kaum muslimin bahkan menjadi legitimasi bagi penguasa penguasa yang tidak peduli terhadap umat Islam untuk tidak melakukan apa-apa terhadap kepentingan umat Islam," bebernya.

Ketiadaan Khilafah, lanjut Ustadz Farid, juga berarti lebih satu abad umat Islam tidak memiliki negara yang memiliki politik luar negeri, yang menyebarluaskan Islam. Padahal Islam bisa meluas ke seluruh penjuru dunia karena tanggung jawab menyebarluaskan Islam bukan hanya ada pada pundak individu ataupun jamaah atau organisasi tetapi kewajiban ini ada pada pundak negara yang melakukan dakwah dan futuhat, sehingga Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Ia juga memberikan penjelasan yang merujuk kepada kitab yang disusun oleh Imam Mawardi.

"Merujuk kepada apa yang disebut oleh Imam Al mawardi, dalam kitabnya _Al Ahkamu Sulthoniah_ bahwa ada dua fungsi utama dari Khilafah pertama adalah menjaga agama, yang kedua adalah mengatur urusan-urusan dunia kaum muslimin, baik urusan ekonomi, urusan politik maupun pendidikan," terangnya.

Ketiga, ia kembali menegaskan bahwa ketiadaan khilafah menjadikan umat Islam tidak memiliki penjaga yang menjadikan umat Islam diatur dan dikuasai hukum kapitalis liberalisme.

"Kekhilafahan membuat umat Islam tidak lagi memiliki penjaga Islam. Ketiadaan khilafah telah membuat umat Islam tidak lagi diatur berdasarkan syariat Islam tapi diatur berdasarkan hukum-hukum kapitalis liberal untuk kepentingan para pemilik modal negara-negara imperialis," tegasnya.

Adapun hal yang mesti dilakukan, ujarnya, untuk mengembalikan Khilafah, tidak lain adalah dengan dakwah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, ketika menegakkan Daulah Islam di Madinah dengan aktivitas utama membina membina umat atau tasqif mencetak kader-kader dakwah. Sehingga Islam menjadi sesuatu yang menggerakkan dan membangkitkan.

Terakhir, ia menegaskan bahwa perjuangan ini membutuhkan dukungan dari ahlu nusrah.
 
"Hal ini tentu butuh dukungan dari ahlunusrah, mereka yang memiliki kekuasaan yang nyata untuk berkorban demi Islam. Menggunakan kekuasaannya untuk Islam sehingga meraih surga dari Allah subhanahu wa ta'ala," pungkasnya.[] Nur Salamah

Senin, 20 Februari 2023

102 Tahun Tanpa Khilafah, ABI: Pendidikan Mengalami kemerosotan Moral

Tinta Media - Seratus dua tahun tanpa khilafah, Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al Islamiyah Bogor Ustadz Arief B. Iskandar (ABI) mengungkapkan sisi lain pendidikan yang mengalami kemerosotan moral.

“Sebetulnya hari ini pendidikan tanpa khilafah, satu sisi memang menciptakan kemajuan sains dan teknologi, tapi di sisi lain justru diiringi dengan kemerosotan moral yang luar biasa,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (18/2/2023).

ABI sebutan akrab Ustadz Arief, tidak menampikkan kemajuan pendidikan dari aspek teknologi. Tetapi ia mengingatkan bahwa sebetulnya tingginya kemajuan teknologi, sains misalnya justru kemudian kebalikan dengan kondisi moralitas atau akhlak yang terjadi hari ini. “Bagaimana misalnya kita lihat itu kerusakan moral terjadi di mana-mana,” paparnya mengingatkan.

Diungkapkannya, di Barat pusat bebas L68T sudah perkara biasa. “Bahkan Indonesia yang mayoritas muslim, misalnya kita kemarin dihebohkan dengan adanya para remaja usia SMP, SMA itu sudah meminta dispensasi pernikahan karena 80% mereka justru telah melakukan hubungan seks atau perzinaan,” ungkapnya. 

Di Indonesia kurang lebih ada 50.000 kasus seperti itu. Belum lagi kriminalitas pelajar yang lain, seperti narkoba dan lain-lain. “Artinya pendidikan sekuler hari ini itu tidak bisa diharapkan untuk menciptakan kualitas manusia yang bukan saja kemudian mereka punya apa memiliki atau mencapai kemajuan sains dan teknologi, tapi juga penting sebetulnya adalah punya adab, punya moral,” terangnya.

Ia menjelaskan bagaimana di era kekhilafahan Islam, banyak ulama ahli fiqih, ulama ushuluddin, ulama ahli atau termasuk para ilmuwan. "Mereka bukan saja maju secara pemikiran tapi moralitas mereka luar biasa. Adab mereka juga luar biasa, karena memang konsep pendidikan Islam itu yang dikenal oleh para ulama adalah al adab qoblal ilmi (adab itu lebih didahulukan daripada ilmu). Artinya, mereka fokuskan adab terlebih dulu sebelum kemudian mereka mengejar pencapaian sains dan teknologi,” jelasnya.

ABI berharap kemajuan di era kekhilafahan diakui oleh Barat. “Nah, tapi mereka ini yang sering kali tidak jujur adalah bahwa kemajuan pengetahuan, kemajuan sains, teknologi, kemajuan peradaban Islam itu justru di era Khilafah. Itu yang seringkali kemudian tidak mereka akui secara jujur,” tuturnya.

Tragis

Runtuhnya khilafah lebih dari satu abad seharusnya menjadi bahan renungan bersama. Dia menilai ini sesuatu yang tragis, sangat ironis, karena jangankan lebih dari 100 tahun, dulu para sahabat Rasulullah SAW.  ketika kemudian Rasulullah wafat sebagai kepala negara posisinya tentu harus digantikan. “Karena untuk kenabian yang sudah berakhir, bagaimana kemudian para sahabat itu sampai menunda penguburan jenazah Rasulullah sampai 3 hari, dan mereka sibuk kemudian mengadakan bermusyawarah, berdebat untuk memilih, mengangkat khalifah. Khalifatul Rasul yakni pengganti Rasulullah urusan pemerintahan,” paparnya.

“Nah ini menunjukkan bahwa betapa kemudian urusan kekuasaan itu sesuatu yang sangat penting,” tegasnya. 

Para sahabat sepakat sehingga menjadi ijma’ bahwa tidak boleh kaum muslimin sepanjang kehidupan mereka kosong dari kekhilafahan lebih 3 hari. Maka tentu umat Islam dan para ulama menurut ABI harus segera mewujudkan kembali tegaknya khilafah. “Ini sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau kemudian itu ditunda terus, maka efeknya pertama tentu dosa,” tuturnya.

Yang kedua menurutnya, bahwa sejak khilafah tidak ada berbagai ragam persoalan, penderitaan, terus terjadi menimpa umat ini. “Sampai kapan? Tentu sampai kemudian umat ini kembali sukses menegakkan kembali khilafah,” paparnya.

Terkait dengan upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk membangkitkan kembali Khilafah alamin hajnubuwah, ABI menjelaskan bahwa pertama sebetulnya harus ditanamkan pada umat bahwa menegakkan khilafah itu sebagai kewajiban. “Ini kewajiban yang mujma’ alaihi telah disepakati dikalangan para ulama, tidak ada ikhtilaf,” jelasnya.

Kedua perlunya memahamkan bagaimana kemudian opini ini harus betul-betul ditanamkan, dibangun di tengah-tengah umat sebagai satu kesadaran syar'i. Di samping kesadaran politik dan ideologi, bahwa hari ini kalau kita melihat dunia ya ketika Uni Soviet yang komunismenya sudah hancur, Amerika sudah mulai sempoyongan. “Kita tahu dunia ini sebetulnya hanya berharap pada satu, kepada Islam, pada ideologi Islam,” terangnya. 

Sebagaimana Islam pernah memimpin dunia dengan peradaban yang mulia, maka sebenarnya ABI menilai ini menjadi sesuatu yang niscaya kalau ingin kembali pada kemuliaan umat. “Tentu umat harus menyadari bahwa harapannya satu-satunya itu bukan kepada ideologi di luar Islam. Bukan Kemudian pada kapitalisme yang terbukti menjadi biang segala kerusakan,” tegasnya.

“Apalagi pada komunisme yang sudah nyata gagal,” tambahnya.

Ia menjelaskan tugas umat Islam adalah bagaimana pertama menyadarkan umat tentang kewajibannya dan yang kedua membangun opini tentang pentingnya kembali kepada Khilafah Islam. “Kembali menegakkan syariat Islam karena itu sumber kemuliaan kaum muslimin. Maka gencarkan dakwah, gencarkan penyadaran umat, dan kita harus melawan sekuat mungkin narasi-narasi yang mendeskripsikan khilafah, yang menolak khilafah, yang sebetulnya ini berangkat atau berasal dari orang-orang kafir barat,” paparnya.

Ia menjelaskan bahwa penjajah memang tidak suka akan kembalinya khilafah. Mereka sangat sadar bahwa khilafahlah dulu yang menjadi faktor penghambat misi dan ideologis mereka. Ketika mereka berhasil meruntuhkannya tahun 1924, mereka tentu sangat tidak ingin khilafah itu bisa hidup kembali. Maka yang perlu dilakukan sekarang adalah harus menciptakan kesadaran berpikir, kesadaran ideologis yang kesadaran politis. “Hari ini kita hidup dalam sebuah era perang pemikiran,” jelasnya.

Bagaimana kemudian ideologi kapitalisme terus menyerang, mendeskritkan ideologi Islam. Bagaimana syariat Islam dituduh sebagai radikal atau terorisme. “Kita jangan sampai terjebak permainan orang-orang kafir Barat  yang memang tidak ingin khilafah bangkit,” pintanya.
 
“Jadi kalau kita kemudian malah ikut-ikutan mendiskritkan khilafah, menganggap khilafah radikal, menolak khilafah, sebenarnya kita sedang masuk dalam jebakan mereka,” tegasnya.

Menurutnya tugas siapapun apalagi ulama misalnya harus di garda terdepan dalam mendakwahkan kepada umat tentang pentingnya mereka kembali pada syariat, kembali pada khilafah. “Itulah insya Allah yang kemudian akan menjadi umat ini bisa kembali kepada kemuliaannya seperti dulu,” harapnya.

Ia menegaskan sebetulnya justru urgenitas saat ini adalah kembali pada sistem Khilafah yang terbukti telah menciptakan peradaban yang mulia, peradaban yang Agung. “Bukan saja menciptakan kemajuan teknologi tapi juga moralitas yang luar biasa,” pungkasnya. [] Raras

102 Tahun Tanpa Khilafah, ABI: Pendidikan Mengalami kemerosotan Moral

Tinta Media - Seratus dua tahun tanpa khilafah, Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al Islamiyah Bogor Ustadz Arief B. Iskandar (ABI) mengungkapkan sisi lain pendidikan yang mengalami kemerosotan moral.

“Sebetulnya hari ini pendidikan tanpa khilafah, satu sisi memang menciptakan kemajuan sains dan teknologi, tapi di sisi lain justru diiringi dengan kemerosotan moral yang luar biasa,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (18/2/2023).

ABI sebutan akrab Ustadz Arief, tidak menampikkan kemajuan pendidikan dari aspek teknologi. Tetapi ia mengingatkan bahwa sebetulnya tingginya kemajuan teknologi, sains misalnya justru kemudian kebalikan dengan kondisi moralitas atau akhlak yang terjadi hari ini. “Bagaimana misalnya kita lihat itu kerusakan moral terjadi di mana-mana,” paparnya mengingatkan.

Diungkapkannya, di Barat pusat bebas L68T sudah perkara biasa. “Bahkan Indonesia yang mayoritas muslim, misalnya kita kemarin dihebohkan dengan adanya para remaja usia SMP, SMA itu sudah meminta dispensasi pernikahan karena 80% mereka justru telah melakukan hubungan seks atau perzinaan,” ungkapnya. 

Di Indonesia kurang lebih ada 50.000 kasus seperti itu. Belum lagi kriminalitas pelajar yang lain, seperti narkoba dan lain-lain. “Artinya pendidikan sekuler hari ini itu tidak bisa diharapkan untuk menciptakan kualitas manusia yang bukan saja kemudian mereka punya apa memiliki atau mencapai kemajuan sains dan teknologi, tapi juga penting sebetulnya adalah punya adab, punya moral,” terangnya.

Ia menjelaskan bagaimana di era kekhilafahan Islam, banyak ulama ahli fiqih, ulama ushuluddin, ulama ahli atau termasuk para ilmuwan. "Mereka bukan saja maju secara pemikiran tapi moralitas mereka luar biasa. Adab mereka juga luar biasa, karena memang konsep pendidikan Islam itu yang dikenal oleh para ulama adalah al adab qoblal ilmi (adab itu lebih didahulukan daripada ilmu). Artinya, mereka fokuskan adab terlebih dulu sebelum kemudian mereka mengejar pencapaian sains dan teknologi,” jelasnya.

ABI berharap kemajuan di era kekhilafahan diakui oleh Barat. “Nah, tapi mereka ini yang sering kali tidak jujur adalah bahwa kemajuan pengetahuan, kemajuan sains, teknologi, kemajuan peradaban Islam itu justru di era Khilafah. Itu yang seringkali kemudian tidak mereka akui secara jujur,” tuturnya.

Tragis

Runtuhnya khilafah lebih dari satu abad seharusnya menjadi bahan renungan bersama. Dia menilai ini sesuatu yang tragis, sangat ironis, karena jangankan lebih dari 100 tahun, dulu para sahabat Rasulullah SAW.  ketika kemudian Rasulullah wafat sebagai kepala negara posisinya tentu harus digantikan. “Karena untuk kenabian yang sudah berakhir, bagaimana kemudian para sahabat itu sampai menunda penguburan jenazah Rasulullah sampai 3 hari, dan mereka sibuk kemudian mengadakan bermusyawarah, berdebat untuk memilih, mengangkat khalifah. Khalifatul Rasul yakni pengganti Rasulullah urusan pemerintahan,” paparnya.

“Nah ini menunjukkan bahwa betapa kemudian urusan kekuasaan itu sesuatu yang sangat penting,” tegasnya. 

Para sahabat sepakat sehingga menjadi ijma’ bahwa tidak boleh kaum muslimin sepanjang kehidupan mereka kosong dari kekhilafahan lebih 3 hari. Maka tentu umat Islam dan para ulama menurut ABI harus segera mewujudkan kembali tegaknya khilafah. “Ini sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau kemudian itu ditunda terus, maka efeknya pertama tentu dosa,” tuturnya.

Yang kedua menurutnya, bahwa sejak khilafah tidak ada berbagai ragam persoalan, penderitaan, terus terjadi menimpa umat ini. “Sampai kapan? Tentu sampai kemudian umat ini kembali sukses menegakkan kembali khilafah,” paparnya.

Terkait dengan upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk membangkitkan kembali Khilafah alamin hajnubuwah, ABI menjelaskan bahwa pertama sebetulnya harus ditanamkan pada umat bahwa menegakkan khilafah itu sebagai kewajiban. “Ini kewajiban yang mujma’ alaihi telah disepakati dikalangan para ulama, tidak ada ikhtilaf,” jelasnya.

Kedua perlunya memahamkan bagaimana kemudian opini ini harus betul-betul ditanamkan, dibangun di tengah-tengah umat sebagai satu kesadaran syar'i. Di samping kesadaran politik dan ideologi, bahwa hari ini kalau kita melihat dunia ya ketika Uni Soviet yang komunismenya sudah hancur, Amerika sudah mulai sempoyongan. “Kita tahu dunia ini sebetulnya hanya berharap pada satu, kepada Islam, pada ideologi Islam,” terangnya. 

Sebagaimana Islam pernah memimpin dunia dengan peradaban yang mulia, maka sebenarnya ABI menilai ini menjadi sesuatu yang niscaya kalau ingin kembali pada kemuliaan umat. “Tentu umat harus menyadari bahwa harapannya satu-satunya itu bukan kepada ideologi di luar Islam. Bukan Kemudian pada kapitalisme yang terbukti menjadi biang segala kerusakan,” tegasnya.

“Apalagi pada komunisme yang sudah nyata gagal,” tambahnya.

Ia menjelaskan tugas umat Islam adalah bagaimana pertama menyadarkan umat tentang kewajibannya dan yang kedua membangun opini tentang pentingnya kembali kepada Khilafah Islam. “Kembali menegakkan syariat Islam karena itu sumber kemuliaan kaum muslimin. Maka gencarkan dakwah, gencarkan penyadaran umat, dan kita harus melawan sekuat mungkin narasi-narasi yang mendeskripsikan khilafah, yang menolak khilafah, yang sebetulnya ini berangkat atau berasal dari orang-orang kafir barat,” paparnya.

Ia menjelaskan bahwa penjajah memang tidak suka akan kembalinya khilafah. Mereka sangat sadar bahwa khilafahlah dulu yang menjadi faktor penghambat misi dan ideologis mereka. Ketika mereka berhasil meruntuhkannya tahun 1924, mereka tentu sangat tidak ingin khilafah itu bisa hidup kembali. Maka yang perlu dilakukan sekarang adalah harus menciptakan kesadaran berpikir, kesadaran ideologis yang kesadaran politis. “Hari ini kita hidup dalam sebuah era perang pemikiran,” jelasnya.

Bagaimana kemudian ideologi kapitalisme terus menyerang, mendeskritkan ideologi Islam. Bagaimana syariat Islam dituduh sebagai radikal atau terorisme. “Kita jangan sampai terjebak permainan orang-orang kafir Barat  yang memang tidak ingin khilafah bangkit,” pintanya.
 
“Jadi kalau kita kemudian malah ikut-ikutan mendiskritkan khilafah, menganggap khilafah radikal, menolak khilafah, sebenarnya kita sedang masuk dalam jebakan mereka,” tegasnya.

Menurutnya tugas siapapun apalagi ulama misalnya harus di garda terdepan dalam mendakwahkan kepada umat tentang pentingnya mereka kembali pada syariat, kembali pada khilafah. “Itulah insya Allah yang kemudian akan menjadi umat ini bisa kembali kepada kemuliaannya seperti dulu,” harapnya.

Ia menegaskan sebetulnya justru urgenitas saat ini adalah kembali pada sistem Khilafah yang terbukti telah menciptakan peradaban yang mulia, peradaban yang Agung. “Bukan saja menciptakan kemajuan teknologi tapi juga moralitas yang luar biasa,” pungkasnya. [] Raras

102 Tahun Khilafah Runtuh, FAKKTA: Sistem Kapitalisme Merusak Tatanan Ekonomi Negeri Muslim

Tinta Media - Akibat dari keruntuhan khilafah selama 102 tahun dalam sektor ekonomi, menurut Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak adalah rusaknya tatanan ekonomi negeri-negeri muslim termasuk Indonesia karena dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalisme.

“Sistem ekonomi kapitalisme telah merusak tatanan ekonomi negeri-negeri muslim termasuk Indonesia . Hal ini sebagai akibat keruntuhan khilafah selama 102 tahun,” ujarnya kepada Tinta Media, Jumat (17/2/2023).

Ia menegaskan bahwa sistem ekonomi kapitalisme ini menyebabkan negeri-negeri muslim terlilit kemiskinan dan pengangguran yang tinggi dengan tingkat pendapatan per kapita yang sangat jauh tertinggal dengan negara-negara Barat.

“Di samping itu ketergantungan negeri-negeri pada utang luar negeri yang menyebabkan sebagian pendapatan APBN terkuras untuk membayar bunga di samping syarat-syarat yang merugikan negara pengutang, serta eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan swasta dan asing yang menyebabkan manfaatnya sangat minim dinikmati oleh penduduk lokal. Ini hanya beberapa contohnya,” tegasnya.

Ia mengungkapkan bahwa khilafah Islam merupakan mahkota kewajiban. Banyak kewajiban di dalam Islam tidak dapat dilaksanakan tanpa institusi politik tersebut.

“Sekian lamanya umat Islam menelantarkan kewajiban tersebut, yang tentu saja jika menelantarkan upaya untuk mewujudkan kewajiban tersebut apalagi hingga menentangnya, ini merupakan kemaksiatan,” ungkapnya.

Akibat hilangnya mahkota kewajiban ini berdampak dalam berbagai bidang, baik yang menimpa umat Islam maupun umat manusia pada umumnya. Ia memaparkan dampak tersebut meliputi maraknya pemurtadan, penistaan agama Islam, dan berkuasanya negara penjajah Barat atas negeri-negeri muslim.

“Selain itu, terjadi kerusakan sosial dengan maraknya L68T dan perzinaan, dan sebagainya,” tuturnya.

Dengan demikian diperlukan berbagai upaya untuk membangkitkan kembali khilafah ala minhajin nubuwwah kepada umat muslim khususnya dan kepada seluruh elemen yang meliputi rakyat umum, intelektual, aparat pemerintah, hingga militer.

“Upaya tersebut berupa penyadaran dan pendidikan publik khususnya kaum muslim akan wajibnya penerapan khilafah Islam serta pentingnya institusi tersebut untuk kebangkitan dan kemuliaan mereka. Pada saat yang sama, dilakukan penyadaran dan pendidikan akan bahaya dari sistem selain Islam, yakni kapitalisme dan komunisme,” jelasnya.

Ia mengakhirinya dengan menyatakan umat Islam harus terlibat secara serius dalam proyek perjuangan penegakan khilafah Islam. “Dengan penuh keikhlasan, kesungguhan, kesabaran, dan konsistensi hingga akhir hayat,” pungkasnya.[] Ageng Kartika

102 Tahun Khilafah Runtuh, FAKKTA: Sistem Kapitalisme Merusak Tatanan Ekonomi Negeri Muslim

Tinta Media - Akibat dari keruntuhan khilafah selama 102 tahun dalam sektor ekonomi, menurut Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak adalah rusaknya tatanan ekonomi negeri-negeri muslim termasuk Indonesia karena dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalisme.

“Sistem ekonomi kapitalisme telah merusak tatanan ekonomi negeri-negeri muslim termasuk Indonesia . Hal ini sebagai akibat keruntuhan khilafah selama 102 tahun,” ujarnya kepada Tinta Media, Jumat (17/2/2023).

Ia menegaskan bahwa sistem ekonomi kapitalisme ini menyebabkan negeri-negeri muslim terlilit kemiskinan dan pengangguran yang tinggi dengan tingkat pendapatan per kapita yang sangat jauh tertinggal dengan negara-negara Barat.

“Di samping itu ketergantungan negeri-negeri pada utang luar negeri yang menyebabkan sebagian pendapatan APBN terkuras untuk membayar bunga di samping syarat-syarat yang merugikan negara pengutang, serta eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan swasta dan asing yang menyebabkan manfaatnya sangat minim dinikmati oleh penduduk lokal. Ini hanya beberapa contohnya,” tegasnya.

Ia mengungkapkan bahwa khilafah Islam merupakan mahkota kewajiban. Banyak kewajiban di dalam Islam tidak dapat dilaksanakan tanpa institusi politik tersebut.

“Sekian lamanya umat Islam menelantarkan kewajiban tersebut, yang tentu saja jika menelantarkan upaya untuk mewujudkan kewajiban tersebut apalagi hingga menentangnya, ini merupakan kemaksiatan,” ungkapnya.

Akibat hilangnya mahkota kewajiban ini berdampak dalam berbagai bidang, baik yang menimpa umat Islam maupun umat manusia pada umumnya. Ia memaparkan dampak tersebut meliputi maraknya pemurtadan, penistaan agama Islam, dan berkuasanya negara penjajah Barat atas negeri-negeri muslim.

“Selain itu, terjadi kerusakan sosial dengan maraknya L68T dan perzinaan, dan sebagainya,” tuturnya.

Dengan demikian diperlukan berbagai upaya untuk membangkitkan kembali khilafah ala minhajin nubuwwah kepada umat muslim khususnya dan kepada seluruh elemen yang meliputi rakyat umum, intelektual, aparat pemerintah, hingga militer.

“Upaya tersebut berupa penyadaran dan pendidikan publik khususnya kaum muslim akan wajibnya penerapan khilafah Islam serta pentingnya institusi tersebut untuk kebangkitan dan kemuliaan mereka. Pada saat yang sama, dilakukan penyadaran dan pendidikan akan bahaya dari sistem selain Islam, yakni kapitalisme dan komunisme,” jelasnya.

Ia mengakhirinya dengan menyatakan umat Islam harus terlibat secara serius dalam proyek perjuangan penegakan khilafah Islam. “Dengan penuh keikhlasan, kesungguhan, kesabaran, dan konsistensi hingga akhir hayat,” pungkasnya.[] Ageng Kartika

102 Tahun Khilafah Runtuh, LBH Pelita Umat: Jadikan Momen untuk Mempelajari Kembali

Tinta Media - Kekhilafahan Islam yang telah runtuh selama 102 tahun yang lalu, menurut Ketua LBH Pelita Umat seharusnya menjadi momen bagi umat Islam untuk mempelajari kembali sistem pemerintahan Islam yakni khilafah.

"Jadikan momen 102 tahun tanpa khilafah ini untuk mempelajari kembali," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (19/2/2023).

Menurutnya, saat ini ketiadaan khilafah yakni kurang lebih 102 tahun tanpa khilafah, semestinya menjadi momen bagi masyarakat untuk tidak takut mempelajari, memahami sistem pemerintahan Islam yakni khilafah. "Sebagaimana di sekolah mempelajari sistem pemerintahan Monarki, Republik, Kekaisaran, Absolut dan seterusnya," ungkapnya. 

Chandra menegaskan, khilafah itu bukan ideologi. "Dia adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan atas Islam," ujarnya. 

Menurutnya, di dunia ini sistem pemerintahan beraneka ragam. Ada yang dikenal dengan sistem pemerintahan Monarki, sistem pemerintahan Republik, sistem pemerintahan Absolut dan ada juga sistem pemerintahan yang disebut Kekaisaran. "Nah, jika kita sekolah, kita pasti mempelajari sistem pemerintahan yang saya sebutkan tadi, seperti Republik, kemudian Absolut, Monarki kerajaan, Kekaisaran dan seterusnya," bebernya.

"Tetapi kita tidak akan temukan sistem pemerintahan Islam dalam hal ini khilafah. Itu di sekolah tidak dibahas," ungkapnya.

Ia kemudian mempertanyakan bahwa kalau sistem pemerintahan selain Islam tadi dipelajari bahkan boleh dipahami. "Pertanyaannya kemudian, kenapa mempelajari sistem pemerintahan Islam yakni khilafah dipersoalkan dan dipermasalahkan?" tanyanya.

Menurutnya, khilafah berdasarkan beberapa kitab-kitab fikih dinyatakan sebagai kewajiban. Kewajiban bagi seorang muslim tentu saja. "Jadi kalau dia kewajiban berarti ini merupakan perintah yang harus dilaksanakan," tegasnya.

"Jadi, oleh karena itu, ketiadaan khilafah 102 tahun ini, berarti karena dia kewajiban. Berarti mesti diupayakan untuk kemudian ada kembali," tandasnya.[] Ajira

102 Tahun Khilafah Runtuh, LBH Pelita Umat: Jadikan Momen untuk Mempelajari Kembali

Tinta Media - Kekhilafahan Islam yang telah runtuh selama 102 tahun yang lalu, menurut Ketua LBH Pelita Umat seharusnya menjadi momen bagi umat Islam untuk mempelajari kembali sistem pemerintahan Islam yakni khilafah.

"Jadikan momen 102 tahun tanpa khilafah ini untuk mempelajari kembali," tuturnya kepada Tinta Media, Ahad (19/2/2023).

Menurutnya, saat ini ketiadaan khilafah yakni kurang lebih 102 tahun tanpa khilafah, semestinya menjadi momen bagi masyarakat untuk tidak takut mempelajari, memahami sistem pemerintahan Islam yakni khilafah. "Sebagaimana di sekolah mempelajari sistem pemerintahan Monarki, Republik, Kekaisaran, Absolut dan seterusnya," ungkapnya. 

Chandra menegaskan, khilafah itu bukan ideologi. "Dia adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan atas Islam," ujarnya. 

Menurutnya, di dunia ini sistem pemerintahan beraneka ragam. Ada yang dikenal dengan sistem pemerintahan Monarki, sistem pemerintahan Republik, sistem pemerintahan Absolut dan ada juga sistem pemerintahan yang disebut Kekaisaran. "Nah, jika kita sekolah, kita pasti mempelajari sistem pemerintahan yang saya sebutkan tadi, seperti Republik, kemudian Absolut, Monarki kerajaan, Kekaisaran dan seterusnya," bebernya.

"Tetapi kita tidak akan temukan sistem pemerintahan Islam dalam hal ini khilafah. Itu di sekolah tidak dibahas," ungkapnya.

Ia kemudian mempertanyakan bahwa kalau sistem pemerintahan selain Islam tadi dipelajari bahkan boleh dipahami. "Pertanyaannya kemudian, kenapa mempelajari sistem pemerintahan Islam yakni khilafah dipersoalkan dan dipermasalahkan?" tanyanya.

Menurutnya, khilafah berdasarkan beberapa kitab-kitab fikih dinyatakan sebagai kewajiban. Kewajiban bagi seorang muslim tentu saja. "Jadi kalau dia kewajiban berarti ini merupakan perintah yang harus dilaksanakan," tegasnya.

"Jadi, oleh karena itu, ketiadaan khilafah 102 tahun ini, berarti karena dia kewajiban. Berarti mesti diupayakan untuk kemudian ada kembali," tandasnya.[] Ajira

Minggu, 19 Februari 2023

102 Tahun Khilafah Runtuh, Pengamat: Kegelapan Menyertai Umat Islam

Tinta Media - Kekhilafahan Islam yang telah runtuh selama 102 tahun lalu, menurut Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana mengakibatkan umat Islam dalam kegelapan. 

"Dan ini sudah terjadi setidaknya sejak institusi khilafah runtuh 102 tahun silam. Kegelapan menyertai umat Islam. Umat Islam mengalami kondisi yang tidak pernah terbayangkan oleh generasi-generasi sebelumnya," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (18/2/2023).

Menurutnya, khilafah adalah institusi yang merepresentasikan tiga hal sekaligus yang ada dalam Islam. "Ukhuwah, Syariah dan Dakwah," ungkapnya. 

Pertama, tanpa khilafah maka ukhuwah tidak terjalin dengan sempurna. Persatuan diantara umat Islam menjadi semu. Umat Islam tidak diikat dengan ikatan Islam. Umat Islam tercerai berai dengan prinsip nation state. Pembelaan terhadap umat Islam di negeri yang berbeda, seolah tidak mendapatkan justifikasi. "Akhirnya antar umat bisa berselisih bahkan diadu domba demi kepentingan musuh-musuh Islam," ujarnya.

Kedua, tanpa khilafah penerapan syariat Islam juga tidak sempurna. Banyak syariat Islam yang tidak bisa ditunaikan. Karena memang penerapannya membutuhkan Institusi negara yang memiliki komitmen kuat untuk menjalankan aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Syariat seolah hanya bicara nilai spiritual yang individual. "Padahal Islam mengatur tidak hanya urusan private, namun juga urusan politik," jelasnya.

Ketiga, tanpa khilafah dakwah menjadi mandeg. Syiar Islam terhambat. Kebodohan manusia yang dikungkung oleh sistem sesat dan menyesatkan, tidak dapat dibuka oleh dakwah yang dilakukan negara khilafah. "Ide toleransi seolah memberi ruang pembiaran manusia dalam kebodohan untuk mengenal Tuhannya yang hakiki dan menemui kebenaran sejati," bebernya.

Ia mengungkapkan bahwa harus dilakukan upaya-upaya untuk membangkitkan kembali khilafah ala minhajin nubuwwah dengan membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya eksistensi khilafah. Khilafah adalah puncak dari bangunan peradaban Islam yang keberadaannya menjadi bukti keagungan penerapan syariat Islam dan menjadi bukti eksistensi peradaban Islam.

"Dengan adanya kesadaran ini, maka umat akan memiliki landasan dan motivasi yang kuat untuk membangkitkan kembali khilafah 'ala minhajin nubuwwah," tukasnya.

"Tentu upaya membangkitkan ini harus sesuai dengan thariqah yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam," terangnya.

"Karena khilafah yang kelak tegak, sesuai dengan bisarah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam adalah khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Khilafah yang sesuai metode kenabian. Sebagaimana dulu yang dijalani oleh sahabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam," pungkasnya.[] Ajira

102 Tahun Khilafah Runtuh, Pengamat: Kegelapan Menyertai Umat Islam

Tinta Media - Kekhilafahan Islam yang telah runtuh selama 102 tahun lalu, menurut Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana mengakibatkan umat Islam dalam kegelapan. 

"Dan ini sudah terjadi setidaknya sejak institusi khilafah runtuh 102 tahun silam. Kegelapan menyertai umat Islam. Umat Islam mengalami kondisi yang tidak pernah terbayangkan oleh generasi-generasi sebelumnya," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (18/2/2023).

Menurutnya, khilafah adalah institusi yang merepresentasikan tiga hal sekaligus yang ada dalam Islam. "Ukhuwah, Syariah dan Dakwah," ungkapnya. 

Pertama, tanpa khilafah maka ukhuwah tidak terjalin dengan sempurna. Persatuan diantara umat Islam menjadi semu. Umat Islam tidak diikat dengan ikatan Islam. Umat Islam tercerai berai dengan prinsip nation state. Pembelaan terhadap umat Islam di negeri yang berbeda, seolah tidak mendapatkan justifikasi. "Akhirnya antar umat bisa berselisih bahkan diadu domba demi kepentingan musuh-musuh Islam," ujarnya.

Kedua, tanpa khilafah penerapan syariat Islam juga tidak sempurna. Banyak syariat Islam yang tidak bisa ditunaikan. Karena memang penerapannya membutuhkan Institusi negara yang memiliki komitmen kuat untuk menjalankan aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Syariat seolah hanya bicara nilai spiritual yang individual. "Padahal Islam mengatur tidak hanya urusan private, namun juga urusan politik," jelasnya.

Ketiga, tanpa khilafah dakwah menjadi mandeg. Syiar Islam terhambat. Kebodohan manusia yang dikungkung oleh sistem sesat dan menyesatkan, tidak dapat dibuka oleh dakwah yang dilakukan negara khilafah. "Ide toleransi seolah memberi ruang pembiaran manusia dalam kebodohan untuk mengenal Tuhannya yang hakiki dan menemui kebenaran sejati," bebernya.

Ia mengungkapkan bahwa harus dilakukan upaya-upaya untuk membangkitkan kembali khilafah ala minhajin nubuwwah dengan membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya eksistensi khilafah. Khilafah adalah puncak dari bangunan peradaban Islam yang keberadaannya menjadi bukti keagungan penerapan syariat Islam dan menjadi bukti eksistensi peradaban Islam.

"Dengan adanya kesadaran ini, maka umat akan memiliki landasan dan motivasi yang kuat untuk membangkitkan kembali khilafah 'ala minhajin nubuwwah," tukasnya.

"Tentu upaya membangkitkan ini harus sesuai dengan thariqah yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam," terangnya.

"Karena khilafah yang kelak tegak, sesuai dengan bisarah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam adalah khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Khilafah yang sesuai metode kenabian. Sebagaimana dulu yang dijalani oleh sahabat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam," pungkasnya.[] Ajira

102 Tahun Khilafah Runtuh, Intelektual Muslim: Peradaban Islam yang Utuh Telah Absen dalam Kehidupan Umat Manusia

Tinta Media - Keruntuhan khilafah yang telah berlangsung selama 102 tahun dimaknai Intelektual Muslim Nopriadi Hermani, Ph.D bahwa peradaban Islam yang utuh telah absen dalam kehidupan umat manusia.

“Selama 102 tahun khilafah runtuh artinya sudah 102 tahun peradaban Islam yang utuh telah absen dalam kehidupan umat manusia.  Selama 102 tahun itu pula kekuatan politik global Islam telah tiada,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Sabtu (18/2/2023).

Dengan diubahnya Khilafah bani Utsmani menjadi bentuk Republik oleh Kamal At-Taturk waktu itu, menurutnya membuat sistem kehidupan Islam berubah total menjadi sistem kehidupan sekuler di Turki. Turki, lanjutnya, yang merupakan pusat kekuasaan Khilafah Islam berubah menjadi pusat sekularisme dunia Islam. Sekulerisasi kehidupan kaum muslimin kemudian  merembet pada negeri-negeri muslim lainnya di seluruh dunia. “Akibat sekulerisasi, kehidupan Islam itupun hari ini telah sirna. Peradaban Islam tenggelam dan peradaban sekular mewarnai sepenuhnya kehidupan umat manusia.  Dunia  diatur dan dikendalikan oleh nilai-nilai yang memisahkan agama dari kehidupan. Nilai-nilai yang mensyaratkan absennya agama dalam kehidupan publik,” ulasnya.

 Ia menggambarkan bila ada ajaran Islam dibiarkan hadir dan diadopsi dalam kehidupan publik, maka dia hanya sebagai pemanis saja. Sekadar memenuhi sedikit aspirasi umat yang membutuhkan Islam dalam kehidupannya seperti masalah ibadah, nikah, talak, dan waris. “Selebihnya? Allah Swt. katanya  tidak berhak mengatur manusia. Serahkan pada kesepakatan manusia,” ujarnya.
 
Setelah 102 tahun berlalu tanpa khilafah, ia menilai umat manusia asing dengan peradaban dan kehidupan Islam. Bahkan, sebagian umat Islam tidak memahami bagaimana agama (Islam) dapat berperan memberikan kebaikan dalam kehidupan publik mereka.   

Dalam bidang pendidikan juga mengalami hal sama dengan bidang lain saat tidak ada khilafah. Menurutnya arah semua sektor kehidupan kita tidak lagi berorientasi pada pemenuhan tujuan diciptakan manusia, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Semua mengarah pada kehidupan sekuler dengan tujuan memenuhi kepentingan materi. “Mainstream sektor pendidikan umat manusia adalah pendidikan sekuler. Pendidikan tidak dimaksudkan menghasilkan manusia bertakwa dengan dilengkapi pengetahuan dan keterampilan untuk  kehidupan. Pendidikan lebih diarahkan untuk mencetak buruh profesional yang kompatibel dengan industri,” ungkapnya.

Ia menjelaskan jika pendidikan untuk kepentingan industri maka karakter yang dibentukpun bukan karakter semacam keshalihan atau ketakwaan tapi karakter yang mendukung kesuksesan di dunia kerja. “Pendidikan kita menjadi sangat pragmatis dan mencetak manusia-manusia yang pragmatis. Pendidikan juga tidak dimaksudkan menghasilkan para pemikir yang menghasilkan ilmu dan tsaqofah yang berbasis pada Islam, tapi menghasilkan ilmu dan tsaqofah yang berbasis pada sekulerisme,” imbuhnya.

Di samping itu, ia juga menyampaikan pendidikan semacam ini bukan pelayanan negara pada rakyatnya, tapi sedang dan sudah bergeser menjadi komoditas yang harus dibeli. “Maka tidak heran dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sudah sangat komersil. Ada uang ada barang. Ingin pinter harus bayar,” cetusnya.  

Upaya Menegakkan Khilafah

Ia memaparkan bahwa di dalam hadits riwayat Imam Ahmad disebutkan Khilafah ala min haji an nubuwwah akan kembali setelah fase-fase yang dilalui oleh kaum muslimin dari fase kenabian, fase khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, fase mulkan adhdhon, dan mulkan jabariyyan.

“Kapan dia (red. Khilafah) akan hadir kembali? Kita semua tidak akan pernah bisa memprediksi kapan waktunya. Kita tidak bisa memastikan bagaimana menghadirkannya. Bahkan kehadirannya bukanlah karena ulah tangan kita.  Tidak ada satu orang manusia pun yang mampu menghadirkannya. Tidak ada satu kelompok pun yang punya kemampuan untuk  menghadirkannya. Kehadirannya adalah hak prerogatif Allah Swt. semata. Dia akan hadir ketika Allah Swt. memang menghendaki,” urainya.

Menurutnya, apa yang kita lakukan bukanlah menjadikannya sebagai tujuan dalam gerak langkah kehidupan kita.  “Yang mesti kita perjuangkan adalah  bagaimana mengembalikan kehidupan Islam secara utuh. Itu  bisa kita lakukan dengan menyempurnakan pengamalan Islam  dalam kehidupan kita dan menyeru umat agar mengamalkan Islam secara keseluruhan,” tambahnya.

Ia menyarankan semestinya kita menshalihkan diri kita sekaligus menshalihkan masyarakat dengan melakukan aktifitas dakwah sebagaimana Rasulullah SAW berdakwah dulu. Selain itu juga menyibukkan diri untuk menyeru umat agar mereka mau menjalankan Islam dalam kehidupan ini. “Kita segarkan kembali ingatan umat akan hakikat dan tujuan hidup sebagai muslim.  Umat di sini  untuk semua lapisan, dari rakyat jelata sampai para penguasa. Selama dia makhluk Allah Swt. maka patut dipahamkankan dan disadarkan bahwa hidup ini dari Allah Swt., untuk Allah Swt. dan akan kembali pada Allah Swt.,” bebernya.

Dalam pemberian kesadaran dan pemahaman, ia tegaskan harus diberikan kepada siapa saja termasuk diri kita yaitu bagaimana menjalani  kehidupan ini agar mendapatkan ridha Allah SWT, baik dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia. “Bila umat sadar tentang akan muasal kehidupannya, sadar akan tujuan hidupnya dan paham bagaimana seharusnya menjalani kehidupan ini sesuai aturan-Nya, maka  baru kita bisa berharap Allah Swt. akan menganugerahi Khilafah ala minhaji an nubuwwah pada kita. Bila umat melupakan hakikat hidupnya, salah menetapkan tujuan hidupnya dan menolak menjalani kehidupan Islam secara utuh maka jangan berharap Khilafah ala minhaji an nubuwwah akan kembali,” terangnya.

Yang juga utama, menurutnya umat mesti dipahamkan bahwa keterpurukan kehidupan mereka pada hari ini, termasuk kehidupan umat manusia, adalah karena manusia punya tujuan hidup yang berbeda dengan tujuan penciptaan mereka. Karena tujuan hidup berbeda dengan tujuan penciptaan, maka manusia mengatur dirinya tidak sesuai dengan tujuan Sang Pencipta. 

Ketika manusia memilih jalan sekuler, bukan jalan keshalihan, ia menyampaikan akibatnya kita merasakan ketidakbahagiaan hidup dan kerusakan peradaban. Jadi umat mesti dipahamkan agar kembali pada jalan Allah Swt, yaitu jalan ketaatan. Taat pada aturan Sang Pencipta pada seluruh aspek kehidupan, dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan seluruh dunia.
 
“Kita mesti berkontribusi memahamkan umat tentang persoalan ini. Agar kontribusi kita berhasil maka mari tingkatkan kualitas diri kita. Mari kita sempurnakan dalam mengikuti jalan hidup umat Muhammad Saw., yaitu dakwah. Mari kita luruskan niat dengan meningkatkan keikhlasan dalam berdakwah, menjaga kemurniah fikrah dan thariqah, memilih uslub-uslub yang terbaik dalam dakwah dan jangan lupa selalu berdo’a kepada Allah Swt. untuk kebaikan umat,” tutupnya.[] Erlina

102 Tahun Khilafah Runtuh, Intelektual Muslim: Peradaban Islam yang Utuh Telah Absen dalam Kehidupan Umat Manusia

Tinta Media - Keruntuhan khilafah yang telah berlangsung selama 102 tahun dimaknai Intelektual Muslim Nopriadi Hermani, Ph.D bahwa peradaban Islam yang utuh telah absen dalam kehidupan umat manusia.

“Selama 102 tahun khilafah runtuh artinya sudah 102 tahun peradaban Islam yang utuh telah absen dalam kehidupan umat manusia.  Selama 102 tahun itu pula kekuatan politik global Islam telah tiada,” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Sabtu (18/2/2023).

Dengan diubahnya Khilafah bani Utsmani menjadi bentuk Republik oleh Kamal At-Taturk waktu itu, menurutnya membuat sistem kehidupan Islam berubah total menjadi sistem kehidupan sekuler di Turki. Turki, lanjutnya, yang merupakan pusat kekuasaan Khilafah Islam berubah menjadi pusat sekularisme dunia Islam. Sekulerisasi kehidupan kaum muslimin kemudian  merembet pada negeri-negeri muslim lainnya di seluruh dunia. “Akibat sekulerisasi, kehidupan Islam itupun hari ini telah sirna. Peradaban Islam tenggelam dan peradaban sekular mewarnai sepenuhnya kehidupan umat manusia.  Dunia  diatur dan dikendalikan oleh nilai-nilai yang memisahkan agama dari kehidupan. Nilai-nilai yang mensyaratkan absennya agama dalam kehidupan publik,” ulasnya.

 Ia menggambarkan bila ada ajaran Islam dibiarkan hadir dan diadopsi dalam kehidupan publik, maka dia hanya sebagai pemanis saja. Sekadar memenuhi sedikit aspirasi umat yang membutuhkan Islam dalam kehidupannya seperti masalah ibadah, nikah, talak, dan waris. “Selebihnya? Allah Swt. katanya  tidak berhak mengatur manusia. Serahkan pada kesepakatan manusia,” ujarnya.
 
Setelah 102 tahun berlalu tanpa khilafah, ia menilai umat manusia asing dengan peradaban dan kehidupan Islam. Bahkan, sebagian umat Islam tidak memahami bagaimana agama (Islam) dapat berperan memberikan kebaikan dalam kehidupan publik mereka.   

Dalam bidang pendidikan juga mengalami hal sama dengan bidang lain saat tidak ada khilafah. Menurutnya arah semua sektor kehidupan kita tidak lagi berorientasi pada pemenuhan tujuan diciptakan manusia, yaitu beribadah kepada Allah Swt. Semua mengarah pada kehidupan sekuler dengan tujuan memenuhi kepentingan materi. “Mainstream sektor pendidikan umat manusia adalah pendidikan sekuler. Pendidikan tidak dimaksudkan menghasilkan manusia bertakwa dengan dilengkapi pengetahuan dan keterampilan untuk  kehidupan. Pendidikan lebih diarahkan untuk mencetak buruh profesional yang kompatibel dengan industri,” ungkapnya.

Ia menjelaskan jika pendidikan untuk kepentingan industri maka karakter yang dibentukpun bukan karakter semacam keshalihan atau ketakwaan tapi karakter yang mendukung kesuksesan di dunia kerja. “Pendidikan kita menjadi sangat pragmatis dan mencetak manusia-manusia yang pragmatis. Pendidikan juga tidak dimaksudkan menghasilkan para pemikir yang menghasilkan ilmu dan tsaqofah yang berbasis pada Islam, tapi menghasilkan ilmu dan tsaqofah yang berbasis pada sekulerisme,” imbuhnya.

Di samping itu, ia juga menyampaikan pendidikan semacam ini bukan pelayanan negara pada rakyatnya, tapi sedang dan sudah bergeser menjadi komoditas yang harus dibeli. “Maka tidak heran dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, sudah sangat komersil. Ada uang ada barang. Ingin pinter harus bayar,” cetusnya.  

Upaya Menegakkan Khilafah

Ia memaparkan bahwa di dalam hadits riwayat Imam Ahmad disebutkan Khilafah ala min haji an nubuwwah akan kembali setelah fase-fase yang dilalui oleh kaum muslimin dari fase kenabian, fase khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, fase mulkan adhdhon, dan mulkan jabariyyan.

“Kapan dia (red. Khilafah) akan hadir kembali? Kita semua tidak akan pernah bisa memprediksi kapan waktunya. Kita tidak bisa memastikan bagaimana menghadirkannya. Bahkan kehadirannya bukanlah karena ulah tangan kita.  Tidak ada satu orang manusia pun yang mampu menghadirkannya. Tidak ada satu kelompok pun yang punya kemampuan untuk  menghadirkannya. Kehadirannya adalah hak prerogatif Allah Swt. semata. Dia akan hadir ketika Allah Swt. memang menghendaki,” urainya.

Menurutnya, apa yang kita lakukan bukanlah menjadikannya sebagai tujuan dalam gerak langkah kehidupan kita.  “Yang mesti kita perjuangkan adalah  bagaimana mengembalikan kehidupan Islam secara utuh. Itu  bisa kita lakukan dengan menyempurnakan pengamalan Islam  dalam kehidupan kita dan menyeru umat agar mengamalkan Islam secara keseluruhan,” tambahnya.

Ia menyarankan semestinya kita menshalihkan diri kita sekaligus menshalihkan masyarakat dengan melakukan aktifitas dakwah sebagaimana Rasulullah SAW berdakwah dulu. Selain itu juga menyibukkan diri untuk menyeru umat agar mereka mau menjalankan Islam dalam kehidupan ini. “Kita segarkan kembali ingatan umat akan hakikat dan tujuan hidup sebagai muslim.  Umat di sini  untuk semua lapisan, dari rakyat jelata sampai para penguasa. Selama dia makhluk Allah Swt. maka patut dipahamkankan dan disadarkan bahwa hidup ini dari Allah Swt., untuk Allah Swt. dan akan kembali pada Allah Swt.,” bebernya.

Dalam pemberian kesadaran dan pemahaman, ia tegaskan harus diberikan kepada siapa saja termasuk diri kita yaitu bagaimana menjalani  kehidupan ini agar mendapatkan ridha Allah SWT, baik dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia. “Bila umat sadar tentang akan muasal kehidupannya, sadar akan tujuan hidupnya dan paham bagaimana seharusnya menjalani kehidupan ini sesuai aturan-Nya, maka  baru kita bisa berharap Allah Swt. akan menganugerahi Khilafah ala minhaji an nubuwwah pada kita. Bila umat melupakan hakikat hidupnya, salah menetapkan tujuan hidupnya dan menolak menjalani kehidupan Islam secara utuh maka jangan berharap Khilafah ala minhaji an nubuwwah akan kembali,” terangnya.

Yang juga utama, menurutnya umat mesti dipahamkan bahwa keterpurukan kehidupan mereka pada hari ini, termasuk kehidupan umat manusia, adalah karena manusia punya tujuan hidup yang berbeda dengan tujuan penciptaan mereka. Karena tujuan hidup berbeda dengan tujuan penciptaan, maka manusia mengatur dirinya tidak sesuai dengan tujuan Sang Pencipta. 

Ketika manusia memilih jalan sekuler, bukan jalan keshalihan, ia menyampaikan akibatnya kita merasakan ketidakbahagiaan hidup dan kerusakan peradaban. Jadi umat mesti dipahamkan agar kembali pada jalan Allah Swt, yaitu jalan ketaatan. Taat pada aturan Sang Pencipta pada seluruh aspek kehidupan, dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan seluruh dunia.
 
“Kita mesti berkontribusi memahamkan umat tentang persoalan ini. Agar kontribusi kita berhasil maka mari tingkatkan kualitas diri kita. Mari kita sempurnakan dalam mengikuti jalan hidup umat Muhammad Saw., yaitu dakwah. Mari kita luruskan niat dengan meningkatkan keikhlasan dalam berdakwah, menjaga kemurniah fikrah dan thariqah, memilih uslub-uslub yang terbaik dalam dakwah dan jangan lupa selalu berdo’a kepada Allah Swt. untuk kebaikan umat,” tutupnya.[] Erlina

102 Tahun Tanpa Khilafah, Direktur Siyasah Institute: Krisis di Dunia Islam Tak Ada Solusi

Tinta Media - Ketiadaan khilafah selama 102 tahun, sejak diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Pasha at-Tartuk pada 28 Rajab 1342 Hijriah, mengakibatkan krisis di dunia Islam tidak ada solusinya.

“Silakan jujur menilai, berbagai krisis di dunia Islam tidak ada solusinya, penjajahan Israel dan genoside mereka terhadap warga Palestina tidak ada penyelesaian bahkan dibiarkan, tambah lagi krisis Suriah, genonide di Myanmar dan Uyghur. Tidak ada solusi,” tutur Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar kepada Tinta Media, Jumat (17/2/2023).

Umat Islam seperti anak ayam kehilangan induknya, bingung, kacau dan tidak ada yang melindungi. Oleh karena itu, menurutnya, para ulama, pemikir muslim dan politisi serta umat harus dengan serius menilai bahwa umat sedang mengalami kekacauan dalam segala hal, dan membuat umat berfikir agar kembali kepada warisan Islam agar terselamatkan.

“Selanjutnya mereka harus kembali memahami hukum-hukum syariat dan kewajiban penegakkan khilafah, meyakini ini solusi terbaik. Lalu sampaikan pada umat dan penguasa bahwa Islam, syariah dan khilafah bukan ancaman,” jelasnya.

Lanjutnya, walaupun ada sebagian pemikir muslim yang berpendapat bahwa Umat tidak membutuhkan sistem kenegaraan khilafah yang dianggap sudah usang, bermasalah, tidak kompatibel dengan sistem politik moderen. Dengan mengusulkan Umat bebas untuk memilih sistem politik dan kenegaraan nya asalkan menjamin prinsip-prinsip ajaran Islam terutama mewujudkan Maqashid asy-syariah.

“Bila kita kaji lebih dalam pendapat di atas bertentangan dengan dua alasan; pertama, dengan hukum kewajiban menegakkan khilafah yang dibahas oleh para ulama sebagai wajib bahkan disebut sebagai tajul furudl/mahkota kewajiban,” ujarnya.

“Kedua, faktanya sistem kenegaraan dan politik hari ini termasuk demokrasi sudah gagal mewujudkan prinsip-prinsip ajaran Islam, termasuk gagal mewujudkan maqashid asy-syar'iyyah,” imbuhnya.

Maka sebab itu, ia mengajak Umat untuk mengkaji dan memahami kewajiban menegakkan hukum-hukum Islam dan hanya dengan khilfah semua itu bisa terlaksana. Dan nasib umat terangkat kembali mulia dengan berislam kaffah.

“Untuk itu tidak bisa hanya dengan memperjuangkan tokoh Islam, tapi harus Islamnya yang diperjuangkan. tak ada artinya seribu pemimpin muslim bila tidak melaksanakan syariat Islam. Cukuplah melihat pemilu sebelumnya dimana umat dicampakkan pasca pemilu. Begitu pula di negara lain umat alami hal serupa,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu 

102 Tahun Tanpa Khilafah, Direktur Siyasah Institute: Krisis di Dunia Islam Tak Ada Solusi

Tinta Media - Ketiadaan khilafah selama 102 tahun, sejak diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Pasha at-Tartuk pada 28 Rajab 1342 Hijriah, mengakibatkan krisis di dunia Islam tidak ada solusinya.

“Silakan jujur menilai, berbagai krisis di dunia Islam tidak ada solusinya, penjajahan Israel dan genoside mereka terhadap warga Palestina tidak ada penyelesaian bahkan dibiarkan, tambah lagi krisis Suriah, genonide di Myanmar dan Uyghur. Tidak ada solusi,” tutur Direktur Siyasah Institute Ustaz Iwan Januar kepada Tinta Media, Jumat (17/2/2023).

Umat Islam seperti anak ayam kehilangan induknya, bingung, kacau dan tidak ada yang melindungi. Oleh karena itu, menurutnya, para ulama, pemikir muslim dan politisi serta umat harus dengan serius menilai bahwa umat sedang mengalami kekacauan dalam segala hal, dan membuat umat berfikir agar kembali kepada warisan Islam agar terselamatkan.

“Selanjutnya mereka harus kembali memahami hukum-hukum syariat dan kewajiban penegakkan khilafah, meyakini ini solusi terbaik. Lalu sampaikan pada umat dan penguasa bahwa Islam, syariah dan khilafah bukan ancaman,” jelasnya.

Lanjutnya, walaupun ada sebagian pemikir muslim yang berpendapat bahwa Umat tidak membutuhkan sistem kenegaraan khilafah yang dianggap sudah usang, bermasalah, tidak kompatibel dengan sistem politik moderen. Dengan mengusulkan Umat bebas untuk memilih sistem politik dan kenegaraan nya asalkan menjamin prinsip-prinsip ajaran Islam terutama mewujudkan Maqashid asy-syariah.

“Bila kita kaji lebih dalam pendapat di atas bertentangan dengan dua alasan; pertama, dengan hukum kewajiban menegakkan khilafah yang dibahas oleh para ulama sebagai wajib bahkan disebut sebagai tajul furudl/mahkota kewajiban,” ujarnya.

“Kedua, faktanya sistem kenegaraan dan politik hari ini termasuk demokrasi sudah gagal mewujudkan prinsip-prinsip ajaran Islam, termasuk gagal mewujudkan maqashid asy-syar'iyyah,” imbuhnya.

Maka sebab itu, ia mengajak Umat untuk mengkaji dan memahami kewajiban menegakkan hukum-hukum Islam dan hanya dengan khilfah semua itu bisa terlaksana. Dan nasib umat terangkat kembali mulia dengan berislam kaffah.

“Untuk itu tidak bisa hanya dengan memperjuangkan tokoh Islam, tapi harus Islamnya yang diperjuangkan. tak ada artinya seribu pemimpin muslim bila tidak melaksanakan syariat Islam. Cukuplah melihat pemilu sebelumnya dimana umat dicampakkan pasca pemilu. Begitu pula di negara lain umat alami hal serupa,” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab