Tinta Media - Seratus dua tahun tanpa khilafah, Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al Islamiyah Bogor Ustadz Arief B. Iskandar (ABI) mengungkapkan sisi lain pendidikan yang mengalami kemerosotan moral.
“Sebetulnya hari ini pendidikan tanpa khilafah, satu sisi memang menciptakan kemajuan sains dan teknologi, tapi di sisi lain justru diiringi dengan kemerosotan moral yang luar biasa,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (18/2/2023).
ABI sebutan akrab Ustadz Arief, tidak menampikkan kemajuan pendidikan dari aspek teknologi. Tetapi ia mengingatkan bahwa sebetulnya tingginya kemajuan teknologi, sains misalnya justru kemudian kebalikan dengan kondisi moralitas atau akhlak yang terjadi hari ini. “Bagaimana misalnya kita lihat itu kerusakan moral terjadi di mana-mana,” paparnya mengingatkan.
Diungkapkannya, di Barat pusat bebas L68T sudah perkara biasa. “Bahkan Indonesia yang mayoritas muslim, misalnya kita kemarin dihebohkan dengan adanya para remaja usia SMP, SMA itu sudah meminta dispensasi pernikahan karena 80% mereka justru telah melakukan hubungan seks atau perzinaan,” ungkapnya.
Di Indonesia kurang lebih ada 50.000 kasus seperti itu. Belum lagi kriminalitas pelajar yang lain, seperti narkoba dan lain-lain. “Artinya pendidikan sekuler hari ini itu tidak bisa diharapkan untuk menciptakan kualitas manusia yang bukan saja kemudian mereka punya apa memiliki atau mencapai kemajuan sains dan teknologi, tapi juga penting sebetulnya adalah punya adab, punya moral,” terangnya.
Ia menjelaskan bagaimana di era kekhilafahan Islam, banyak ulama ahli fiqih, ulama ushuluddin, ulama ahli atau termasuk para ilmuwan. "Mereka bukan saja maju secara pemikiran tapi moralitas mereka luar biasa. Adab mereka juga luar biasa, karena memang konsep pendidikan Islam itu yang dikenal oleh para ulama adalah al adab qoblal ilmi (adab itu lebih didahulukan daripada ilmu). Artinya, mereka fokuskan adab terlebih dulu sebelum kemudian mereka mengejar pencapaian sains dan teknologi,” jelasnya.
ABI berharap kemajuan di era kekhilafahan diakui oleh Barat. “Nah, tapi mereka ini yang sering kali tidak jujur adalah bahwa kemajuan pengetahuan, kemajuan sains, teknologi, kemajuan peradaban Islam itu justru di era Khilafah. Itu yang seringkali kemudian tidak mereka akui secara jujur,” tuturnya.
Tragis
Runtuhnya khilafah lebih dari satu abad seharusnya menjadi bahan renungan bersama. Dia menilai ini sesuatu yang tragis, sangat ironis, karena jangankan lebih dari 100 tahun, dulu para sahabat Rasulullah SAW. ketika kemudian Rasulullah wafat sebagai kepala negara posisinya tentu harus digantikan. “Karena untuk kenabian yang sudah berakhir, bagaimana kemudian para sahabat itu sampai menunda penguburan jenazah Rasulullah sampai 3 hari, dan mereka sibuk kemudian mengadakan bermusyawarah, berdebat untuk memilih, mengangkat khalifah. Khalifatul Rasul yakni pengganti Rasulullah urusan pemerintahan,” paparnya.
“Nah ini menunjukkan bahwa betapa kemudian urusan kekuasaan itu sesuatu yang sangat penting,” tegasnya.
Para sahabat sepakat sehingga menjadi ijma’ bahwa tidak boleh kaum muslimin sepanjang kehidupan mereka kosong dari kekhilafahan lebih 3 hari. Maka tentu umat Islam dan para ulama menurut ABI harus segera mewujudkan kembali tegaknya khilafah. “Ini sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Kalau kemudian itu ditunda terus, maka efeknya pertama tentu dosa,” tuturnya.
Yang kedua menurutnya, bahwa sejak khilafah tidak ada berbagai ragam persoalan, penderitaan, terus terjadi menimpa umat ini. “Sampai kapan? Tentu sampai kemudian umat ini kembali sukses menegakkan kembali khilafah,” paparnya.
Terkait dengan upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk membangkitkan kembali Khilafah alamin hajnubuwah, ABI menjelaskan bahwa pertama sebetulnya harus ditanamkan pada umat bahwa menegakkan khilafah itu sebagai kewajiban. “Ini kewajiban yang mujma’ alaihi telah disepakati dikalangan para ulama, tidak ada ikhtilaf,” jelasnya.
Kedua perlunya memahamkan bagaimana kemudian opini ini harus betul-betul ditanamkan, dibangun di tengah-tengah umat sebagai satu kesadaran syar'i. Di samping kesadaran politik dan ideologi, bahwa hari ini kalau kita melihat dunia ya ketika Uni Soviet yang komunismenya sudah hancur, Amerika sudah mulai sempoyongan. “Kita tahu dunia ini sebetulnya hanya berharap pada satu, kepada Islam, pada ideologi Islam,” terangnya.
Sebagaimana Islam pernah memimpin dunia dengan peradaban yang mulia, maka sebenarnya ABI menilai ini menjadi sesuatu yang niscaya kalau ingin kembali pada kemuliaan umat. “Tentu umat harus menyadari bahwa harapannya satu-satunya itu bukan kepada ideologi di luar Islam. Bukan Kemudian pada kapitalisme yang terbukti menjadi biang segala kerusakan,” tegasnya.
“Apalagi pada komunisme yang sudah nyata gagal,” tambahnya.
Ia menjelaskan tugas umat Islam adalah bagaimana pertama menyadarkan umat tentang kewajibannya dan yang kedua membangun opini tentang pentingnya kembali kepada Khilafah Islam. “Kembali menegakkan syariat Islam karena itu sumber kemuliaan kaum muslimin. Maka gencarkan dakwah, gencarkan penyadaran umat, dan kita harus melawan sekuat mungkin narasi-narasi yang mendeskripsikan khilafah, yang menolak khilafah, yang sebetulnya ini berangkat atau berasal dari orang-orang kafir barat,” paparnya.
Ia menjelaskan bahwa penjajah memang tidak suka akan kembalinya khilafah. Mereka sangat sadar bahwa khilafahlah dulu yang menjadi faktor penghambat misi dan ideologis mereka. Ketika mereka berhasil meruntuhkannya tahun 1924, mereka tentu sangat tidak ingin khilafah itu bisa hidup kembali. Maka yang perlu dilakukan sekarang adalah harus menciptakan kesadaran berpikir, kesadaran ideologis yang kesadaran politis. “Hari ini kita hidup dalam sebuah era perang pemikiran,” jelasnya.
Bagaimana kemudian ideologi kapitalisme terus menyerang, mendeskritkan ideologi Islam. Bagaimana syariat Islam dituduh sebagai radikal atau terorisme. “Kita jangan sampai terjebak permainan orang-orang kafir Barat yang memang tidak ingin khilafah bangkit,” pintanya.
“Jadi kalau kita kemudian malah ikut-ikutan mendiskritkan khilafah, menganggap khilafah radikal, menolak khilafah, sebenarnya kita sedang masuk dalam jebakan mereka,” tegasnya.
Menurutnya tugas siapapun apalagi ulama misalnya harus di garda terdepan dalam mendakwahkan kepada umat tentang pentingnya mereka kembali pada syariat, kembali pada khilafah. “Itulah insya Allah yang kemudian akan menjadi umat ini bisa kembali kepada kemuliaannya seperti dulu,” harapnya.
Ia menegaskan sebetulnya justru urgenitas saat ini adalah kembali pada sistem Khilafah yang terbukti telah menciptakan peradaban yang mulia, peradaban yang Agung. “Bukan saja menciptakan kemajuan teknologi tapi juga moralitas yang luar biasa,” pungkasnya. [] Raras