Tinta Media - Pengalihan Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI periode 2024-2029 menjadi tunjangan perumahan dinilai ICW (Indonesian Corruption Watch) mempersulit pengawasan dalam penggunaan dana tersebut. Terlebih, tunjangan ini ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing dari anggota dewan. Minimnya akses pengawasan tersebut akan berdampak pada pemborosan anggaran dan adanya potensi penyalahgunaan anggaran.
Selain itu, upaya pengalihan ini tidak memiliki perencanaan sehingga diduga hanya untuk memperkaya anggota DPR saja tanpa memikirkan kesehjateraan dan nasib rakyat. Terlebih, tunjangan rumah dinas ini berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat.
Karena itu, ICW mendesak Sekertaris Jendral DPR Dr. Ir. Indra Iskandar, M.Si., M.I.Kom. untuk mencabut surat Setjen DPR nomor B/733/RT.01/09/2024 yang salah satunya berkaitan dengan tunjangan perumahan.
Namun, Indra mengatakan bahwa uang tunjangan perumahan akan tetap dimasukan dalam komponen gaji sehingga diberikan setiap bulan untuk para anggota DPR RI. Menurut Indra, hal itu sudah menjadi hak para anggota dewan untuk menggunakan tunjangan tersebut, (tirto.id, Sabtu, 12/10/2024).
Adanya tunjangan rumah dinas bagi anggota DPR ini menambah panjang daftar fasilitas yang diterima oleh anggota dewan, mulai dari mobil, rumah, serta tunjangan-tunjangan lainnya. Tentunya, rakyat berharap dengan banyaknya tunjangan yang diterima akan semakin memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat.
Rakyat berharap, para anggota dewan bisa menyampaikan aspirasi bagi kesehjateraan mereka, menjalankan peran dan fungsi dengan lebih baik sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat. Namun, realitanya anggota dewan periode saat ini belum bisa mewujudkan harapan rakyat. Kerja mereka pun seakan tidak optimal.
Seharusnya anggota dewan menjadi wakil dari suara rakyat. Kenyataannya, mereka hanya mencari kekayaan pribadi dan lupa akan peran serta tugasnya. Mereka berlomba-lomba ingin menjadi anggota dewan dengan menggunakan berbagai cara agar terpilih, entah dengan cara halal ataupun haram.
Mereka membuat janji-janji dan iming-iming manis kepada rakyat. Namun, kita lihat bagaimana mereka lupa akan janji-janji tersebut ketika sudah mendapatkan jabatan. Mereka tidak peduli, bahkan membuat banyak kebijakan yang merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Tunjangan rumah jabatan bagi anggota dewan ini mau tidak mau menjadi satu pemborosan anggaran negara. Padahal, anggaran negara ini bersumber dari pajak rakyat. Kita tahu, rakyat semakin menderita dengan banyaknya pajak dari berbagai aspek. Namun, ternyata hasil pajak itu malah diberikan untuk kenyamanan anggota dewan.
Terlebih, muncul persoalan lain. Adanya tunjangan ini semakin mempersulit pengawasan penggunaan dana tersebut karena ditransfer ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. Maka, wajar jika ada anggapan bahwa tunjangan ini hanya memperkaya mereka.
Ironisnya, tunjangan tersebut diberikan di tengah realita rakyat yang saat ini masih kesulitan untuk memiliki rumah. Mereka hidup dalam penderitaan dan jauh dari kata sejahtera
Inilah yang terjadi pada sistem saat ini, yaitu kapitalisme yang menyebabkan begitu banyak ketimpangan. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Tolok ukur kebahagian dalam sistem ini adalah terpenuhinya kebutuhan jasadiah atau materi. Maka, mereka akan berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan nasib orang lain, baik dengan jalan halal ataupun haram.
Mereka sering menyalahgunakan jabatan untuk meraih tujuan yang diharapkan. Wakil rakyat bukanlah sebagai wadah aspirasi dalam menyuarakan suara rakyat. Namun, sebagai ladang guna memperkaya diri pribadi. Mereka sudah tidak peduli bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban.
Dalam sistem Islam, ada Majelis Umat yang berperan sebagai wakil rakyat. Namun, peran dan fungsinya jelas berbeda dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi. Majelis Umat murni mewakili umat untuk menyampaikan aspirasi dan suara rakyat atas dasar keimanan, ketakwaan kepada Allah Swt, serta kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi pelayan dan penyambung lidah rakyat. Mereka tidak menetapkan undang-undang atau hukum.
Dalam Islam, suatu jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Amanah ini dijalankan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan rakyat karena sejatinya penguasa adalah pelayan bagi rakyat.
Dalam Islam, diatur tentang harta dan kepemilikan, serta kemanfaatannya. Kepemilikan harta dibagi menjadi tiga.
Pertama, harta milik individu, seperti sawah, kebun, dan ladang.
Kedua, harta milik rakyat secara umum, yaitu sumber daya alam yang dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat guna memenuhi semua kebutuhan hidup rakyat.
Ketiga, harta milik negara, seperti kharaj, jizyah, fa'i, dan sejenisnya.
Sistem ekonomi Islam akan memberikan jaminan kesehjateraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Tidak ada lagi ketimpangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam pengaturan ini, harta milik rakyat dan negara tidak bisa dimiliki dan diekpoitasi oleh individu. Maka, hanya dengan menerapkan sistem Islam secara kaffahlah semua persoalan akan mendapatkan solusi. Wallahu a'lam bish shawwab
Oleh: Iske
Sahabat Tinta Media