Tinta Media - Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jawa Barat saat ini menjadi tren yang sangat mengkhawatirkan. Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bandung Rukmana menghadiri rapat koordinasi (Rakor) bersama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan RI. Hal ini berkaitan dengan penetapan upah minimum 2025 yang dikhawatirkan akan berdampak terjadinya PHK.
Penyebab utama terjadinya PHK di Jawa Barat ini adalah karena penutupan sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri tekstil dan garment disebabkan karena tingginya upah minimum kabupaten (UMK) di Jawa Barat.
Untuk mengurangi terjadinya risiko PHK, Kemendagri dan Kementerian Ketenagakerjaan melakukan mitigasi deteksi dini, yaitu berdialog dengan tripartit, baik dengan pekerja, pengusaha, maupun pemerintah sehingga bisa meminimalisir terjadinya PHK.
Saat ini Indonesia sedang mengalami deflasi, terjadi PHK karena perusahaan tidak mampu menghadapi kondisi bahwa permintaan barang dan jasa menurun akibat merosotnya pendapatan masyarakat. Hal ini jelas dipicu ketidakmampuan penguasa memperbaiki kondisi moneter negara, sehingga mau tidak mau perusahaan pun mudah mem-PHK buruh tanpa hambatan karena UU Cipta Kerja.
Maraknya PHK menunjukkan kegagalan pemerintah dalam ekonomi. Janji manis saat kampanye untuk membuka lapangan pekerjaan secara luas ternyata tidak terealisasi. Bahkan, UU Cipta Kerja yang diopinikan akan membuka lapangan kerja ternyata juga gagal total. Apa pun solusi yang di tawarkan, tetap bukan solusi hakiki. Ini adalah bukti dari kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia.
Dalam kapitalisme, para pekerja atau buruh hanya dipekerjakan sesuai kepentingan industri atau perusahaan, sementara perusahaan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mengecilkan biaya produksi.
Jadi, apabila produksi menurun karena mengalami goncangan, maka jalan satu-satunya jalan adalah memberhentikan pekerja untuk meminimalisir biaya. Hal ini terjadi karena dalam sistem kapitalisme pekerja (buruh) hanya dianggap sebagai salah satu bagian dari biaya produksi. Prinsip produksi dalam sistem kapitalisme adalah mengeluarkan modal sekecil-kecilnya. Alhasil, rakyat yang sebagian besar bekerja sebagai buruh harus bernasib malang. Belum lagi derita rakyat kian bertambah dengan kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada rakyat.
Para pekerja (buruh) diperlakukan berbeda dengan tenaga kerja asing (TKA) dari luar, khususnya Cina yang bebas masuk Indonesia karena dijamin UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam aturan itu, perusahaan diberikan kemudahan mempekerjakan TKA dengan syarat yang tidak ribet.
Namun, hal itu berbanding terbalik dengan rakyat lokal. Mereka dipekerjakan atau tidak tergantung perusahaan.
Kondisi seperti ini semakin membuktikan bahwa pemerintah abai terhadap nasib rakyatnya sendiri.
Pekerja (buruh) yang kehilangan pekerjaan harus merasakan pahitnya kehidupan, karena selain tidak lagi memiliki pemasukan yang pasti, mereka harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga di tengah naiknya harga kebutuhan pokok. Belum lagi biaya kesehatan, pendidikan, maupun lainnya yang harus ditanggung.
Negeri iniypun dibanjiri dengan pengangguran yang berarti kehidupan rakyat semakin menderita.
Ini berbeda dengan Islam. Penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan telah menciptakan keadilan yang begitu luar biasa. Pekerja (buruh) dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai faktor produksi yang nasibnya ada di tangan industri atau perusahaan.
Islam memandang pekerja adalah manusia sebagaimana manusia lainnya. Dalam Islam, negara wajib menjamin kebutuhan mereka berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Hal ini diwujudkan negara melalui penerapan sistem politik Islam berikut sistem ekonominya.
Islam menjamin kejelasan akad antara pekerja dan pemberi kerja dengan sangat rinci. Akad ijarah telah mengikat kedua belah pihak untuk saling membutuhkan serta memberi keuntungan satu sama lain, bukan sebaliknya.
Dalam Islam, banyak atau sedikit barang produksi tidak memengaruhi gaji pekerja. Dengan demikian, pekerja tidak akan jadi objek PHK massal jika terjadi penurunan permintaan barang atau saat kondisi ekonomi negara melemah.
Sistem Islam juga tentu akan menjaga kestabilan ekonomi, mendorong berbagai usaha yang kondusif bagi rakyat, memberlakukan larangan praktik ribawi, dan menerapkan sistem keuangan berbasis emas dan perak, serta kebijakan fiskal berbasis syariah. Dengan begitu, dunia usaha berkembang dengan baik dan berefek pada serapan tenaga kerja yang masif.
Negara yang menerapkan Islam akan memiliki aturan yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dalam Islam, laki-laki sebagai pencari nafkah dilarang menganggur atau bermalas-malasan dalam bekerja. Oleh karena itu, negara akan terlibat langsung dalam menjamin setiap laki-laki dewasa bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Negara juga memiliki berbagai macam pengelolaan kekayaan umum yang dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kekayaan umum berupa SDA tersebut merupakan milik rakyat dan haram hukumnya dikelola swasta maupun asing.
SDA yang berlimpah itu akan dikelola oleh negara dan keuntungannya diberikan kepada seluruh rakyat dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis.
Selain itu, penerapan sistem pendidikan Islam akan mampu melahirkan sosok yang berkepribadian Islam dan memiliki kemampuan untuk bekerja, baik sebagai tenaga teknis maupun tenaga ahli.
Alhasil, akan tersedia tenaga kerja handal dan profesional yang akan mengisi kebutuhan yang ada. Negara tidak perlu mengimpor tenaga kerja asing, karena kebutuhan tenaga kerja dapat dipenuhi oleh lulusan pendidikan di negeri sendiri. Dengan demikian, nyatalah bahwa hanya sistem Islam yang mampu menyelesaikan masalah ketenagakerjaan, meniadakan pengangguran, hingga menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Wallahu a'alam Bisshawab.
Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media