Tinta Media - Dalam sistem kapitalis, mengatur dan mengatasi masalah finansial atau keuangan akan menjadi sulit. Sebagaimana yang digambarkan dalam, Film Home Sweet Loan yang dirilis pada 26 September 2024 dan disutradarai oleh Sabrina Rochelle Kalangie, yang diadaptasi dari novel populer karya Almira Bastari. Film Indonesia terbaru ini menarik perhatian karena mengangkat tema generasi sandwich, mewakili perjuangan finansial generasi muda yang harus mendukung keluarganya sambil merintis kehidupan mandiri. Ceritanya berfokus pada karakter Kaluna (diperankan oleh Yunita Siregar), yang harus mengatasi tuntutan finansial dari keluarganya sembari mewujudkan impiannya untuk memiliki rumah sendiri.
Memang, mengatur keuangan dalam sistem kapitalisme sering kali sulit karena beberapa faktor struktural dan perilaku. Berikut analisis mendalam mengenai tantangan utama yang dihadapi individu dalam sistem kapitalis.
Pertama, ketimpangan pendapatan dan distribusi kekayaan. Dalam kapitalisme, distribusi kekayaan sering kali sangat tidak merata. Sebagian besar kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau perusahaan besar. Hal ini membuat mayoritas masyarakat bekerja dengan upah yang tidak cukup tinggi untuk membangun kekayaan atau menabung secara signifikan. Sementara kebutuhan hidup terus meningkat, banyak orang menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar, sehingga sulit untuk mengelola keuangan jangka panjang.
Kedua, dorongan untuk konsumsi berlebihan, karena sistem kapitalisme didukung oleh siklus konsumsi yang konstan. Iklan, media sosial, dan budaya konsumtif membuat masyarakat terdorong untuk terus membeli produk baru atau mengikuti tren konsumsi. Kondisi ini mengarah pada gaya hidup berlebihan dan keinginan untuk memiliki barang-barang yang mungkin tidak dibutuhkan, yang pada akhirnya membebani keuangan pribadi.
Ketiga, utang konsumtif yang tinggi. Penyebabnya, sistem kredit dalam kapitalisme mempermudah akses ke utang, yang memungkinkan individu membeli barang atau layanan di luar kemampuan finansial mereka. Kredit konsumtif, seperti kartu kredit dan pinjaman berbunga tinggi, cenderung menambah beban keuangan jika tidak dikelola dengan baik. Individu sering kali terjebak dalam siklus utang yang sebagian besar pendapatan digunakan untuk membayar bunga dan cicilan daripada untuk menabung atau investasi produktif.
Keempat, fluktuasi ekonomi yang tidak stabil. Kapitalisme sering kali mengalami fluktuasi ekonomi yang bisa memengaruhi kestabilan keuangan individu, seperti resesi atau krisis keuangan yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja atau pemotongan upah. Dalam kondisi seperti ini, orang yang sebelumnya memiliki stabilitas ekonomi bisa dengan cepat kehilangan pendapatan, yang pada gilirannya mengganggu perencanaan keuangan mereka.
Kelima, kurangnya pendidikan keuangan. Meskipun mengelola uang adalah keterampilan penting dalam sistem kapitalisme, pendidikan keuangan masih kurang diberikan sejak usia dini. Kebanyakan orang belajar tentang pengelolaan keuangan secara otodidak atau dari pengalaman pribadi yang penuh risiko, tanpa dasar pendidikan yang memadai dalam hal investasi, tabungan, dan perencanaan keuangan jangka panjang.
Keenam, tekanan sosial dan standar hidup. Dalam sistem kapitalisme, ada tekanan sosial untuk mempertahankan standar hidup tertentu yang sering kali tidak realistis dan mengakibatkan pengeluaran yang berlebihan. Media sosial memperkuat tekanan ini, mendorong orang untuk menghabiskan lebih banyak agar dapat menampilkan gaya hidup yang tampak ‘sukses’ atau mengikuti standar masyarakat. Hal ini sering kali berujung pada pengeluaran yang tidak proporsional dengan pendapatan dan membatasi kemampuan untuk menabung.
Ketujuh, prioritas jangka pendek terhadap keuntungan. Kapitalisme menekankan pada pencapaian keuntungan jangka pendek, baik di level perusahaan maupun individu. Hal ini membuat banyak orang fokus pada hasil cepat atau kesuksesan finansial instan daripada membangun keuangan yang berkelanjutan. Kesulitan ini diperburuk oleh iklim investasi berisiko tinggi, karena keuntungan jangka pendek lebih diutamakan daripada keamanan dan stabilitas keuangan jangka panjang.
Secara keseluruhan, tantangan pengelolaan keuangan dalam kapitalisme merupakan kombinasi dari faktor struktural, perilaku, dan sosial yang memengaruhi kemampuan individu dalam membangun stabilitas finansial.
Berbeda dengan sistem Islam, pengelolaan keuangan diatur dengan prinsip-prinsip yang menekankan keseimbangan antara hak pribadi dan tanggung jawab sosial, serta penggunaan harta secara etis dan produktif.
Berikut adalah beberapa prinsip utama dalam pengelolaan keuangan menurut Islam.
Pertama, konsep kepemilikan dan titipan. Islam mengajarkan bahwa harta yang dimiliki seseorang sejatinya adalah titipan dari Allah. Individu bertindak sebagai pengelola atas harta tersebut, yang berarti pengelolaan keuangan harus dilakukan dengan bijaksana dan bertanggung jawab untuk kebaikan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Kedua, larangan riba (bunga). Riba atau bunga dianggap sebagai praktik yang tidak adil dan merugikan, sehingga dilarang dalam Islam. Sistem riba dinilai dapat merugikan ekonomi masyarakat dengan memberikan beban finansial berlebihan kepada pihak yang lemah. Sebagai gantinya, Islam mendorong pembiayaan melalui akad-akad yang adil, seperti mudharabah (kemitraan bisnis) dan musyarakah (pembagian keuntungan) untuk mendorong usaha produktif yang saling menguntungkan.
Ketiga, zakat dan sedekah. Zakat merupakan kewajiban keuangan bagi umat Islam yang berfungsi untuk redistribusi kekayaan. Zakat sebanyak 2,5% dari harta yang mencapai nisab (batas minimum kekayaan yang dikenai zakat) ditujukan untuk membantu mereka yang kurang mampu, sehingga mengurangi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Selain zakat, sedekah (pemberian sukarela) juga dianjurkan sebagai bentuk kepedulian sosial.
Keempat, membatasi konsumsi dan menghindari israf (pemborosan). Islam mengajarkan untuk hidup sederhana dan menghindari konsumsi yang berlebihan atau pemborosan. Konsep israf atau pemborosan dianggap tidak sesuai dengan prinsip Islam karena menghamburkan harta tanpa manfaat. Sebaliknya, Islam mendorong untuk memenuhi kebutuhan secara moderat dan menyisihkan harta untuk kebutuhan masa depan serta untuk tujuan-tujuan kebaikan.
Secara keseluruhan, Islam mengatur pengelolaan keuangan dengan menekankan nilai keadilan, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membantu individu mengelola keuangan secara sehat, tetapi juga mengurangi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.
Oleh: Hana Sheila
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok