Tinta Media - "Halo," kata Ummu Ayyas ketika memberanikan diri mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal yang diduga dari kantor polisi. Ahad, 28 Juli 2019, cuaca Batam yang cukup panas membuat jiwanya semakin gerah.
"Kok belum ada yang datang ke kantor?"
Benar saja, ungkap Ummu Ayyas dalam hati. Kemudian ia pun menyampaikan alasan sebagaimana yang suamiku sampaikan.
"Maaf Pak. Kami tidak bisa datang tanpa surat panggilan," jawab Ummu Ayyas sebagai penanggung jawab kegiatan Formusda (Forum Muslimah Perindu Surga).
Formusda adalah sebuah komunitas dakwah yang terdiri dari Muslimah yang memiliki tujuan li isti’nafil hayatil Islam (melanjutkan kehidupan Islam). Adapun aktivitasnya adalah melakukan penyadaran di tengah-tengah masyarakat melalui dakwah fikriyah (pemikiran) bahwa Islam bukan sekadar ibadah ritual semata, namun Islam merupakan akidah yang memancarkan segenap aturan dalam seluruh aspek kehidupan.
"Oh, begitu. Jadi nunggu surat panggilan? Oke, akan kami buatkan," kata salah satu polisi via sambungan telepon dengan nada garang.
Lalu Ummu Ayyas pun menceritakannya kepadaku, lantaran kami tidak kunjung datang juga ke kantor polisi maka polisi menelepon untuk menanyakan mengapa kami tidak kunjung datang ke kantor polisi. Polisi pun kini tengah menyiapkan surat panggilan sebagaimana yang diminta Ummu Ayyas.
***
Di panggilnya kami ke kantor polisi terkait kejadian yang berlangsung pada hari itu, tahun 2019, ketika menyelenggarakan kajian bulanan Formusda, yang rutin diselenggarakan setiap Ahad pekan keempat.
Biasanya peserta yang hadir berkisar hanya 25-30 orang. Namun, saat itu benar-benar luar biasa. Sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Peserta yang hadir berasal dari berbagai perumahan yang ada di wilayah Batu Aji, Batam mencapai 90 orang lebih. Aula Rusunawa Fanindo blok C lantai dasar penuh sesak.
Tidak ada firasat apa pun dalam diri panitia maupun peserta. Kegiatan berjalan lancar sejak awal hingga akhir. Ketika acara telah ditutup dengan doa, panitia dan peserta ada kegiatan ramah tamah. Makan nasi liwet bersama yang sengaja disiapkan oleh panitia.
Kebahagiaan dan kebersamaan itu terpancar dalam wajah ceria mereka. Namun, canda dan tawa itu seketika sirna, berganti ketegangan dan ketakutan yang luar biasa.
Satu mobil polisi datang, berhenti tepat di samping aula rusun. Di mana rusun. Rombongan berseragam dinas warna coklat itu langsung menarik atribut (rayah dan Liwa) yang sengaja dipasang panitia di sekeliling dinding.
Aula yang berukuran 12 X 4 M, dengan cat berwarna kuning itu menjadi horor. Tanpa berpikir panjang, peserta berhamburan, segera meninggalkan tempat acara, walaupun mereka belum selesai makan. Beberapa panitia dipanggil oleh salah satu polisi di ruangan sebelah, tepatnya di dekat kantor pengelola rusun.
"Mana ketuanya?" Tanya sosok berbadan gempal, hitam, tinggi besar itu cukup menyeramkan.
"Sebentar Pak, biar kami panggilkan," jawabku dan beberapa orang panitia yang mengenakan seragam batik dengan kerudung merah marun itu bergegas mencari.
Ketika kami mencari Ummu Ayyas, selaku penanggung jawab kegiatan Formusda, polisi masih sibuk mengamankan atribut.
"Simpan, simpan! Untuk tanda bukti," kata salah satu polisi yang masih terlihat sangat muda.
"Apa ini?" tanya salah satu polisi sambil menunjukkan rayah (bendera hitam bertuliskan kalimat La Illa ha Illa Allah Muhammad Rasulullah).
"Bapak muslim atau bukan?" tanyaku diselimuti rasa kesal dan takut.
"Saya Nasrani," jawabnya singkat.
"Pantesan Bapak tidak paham. Perlu Bapak ketahui, ini adalah bendera kaum muslimin seluruh dunia," sambungku kembali.
"Enggak peduli. Yang kami tahu ini adalah bendera HTI, salah satu organisasi terlarang yang sudah dibubarkan pemerintah. Kalian harus ikut kami ke kantor polisi," katanya sambil menunjukkan atribut itu kepada kami.
Karena panik, aku dan Ummu Ayyas bergegas mencari kunci motor hendak pergi ke kantor polisi. Sementara dari kejauhan, suamiku memanggil.
"Bunda mau ke mana?" tanyanya seolah memberi isyarat larangan.
"Mau ke kantor polisi, Yah," jawabku masih sedikit panik.
"Jangan pergi! Ayah sudah dapat kabar dari bapak-bapak. Informasi ini sudah sampai di LBH Pelita Umat," jelasnya berusaha menenangkan kami.
LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pelita Umat ini merupakan salah satu lembaga hukum yang siap membantu jika ada aktivis Islam dikriminalisasi oleh rezim anti Islam.
"Jangan kalian pergi kalau tidak ada surat panggilan dari kepolisian! Kalau kalian pergi, sama dengan kalian menyerahkan diri. Seharusnya tadi ditanyakan kepada mereka, ada surat tugas atau tidak," kata suamiku memberikan penjelasan.
"Mereka tidak akan memiliki delik untuk memperkarakan hal ini, yakinlah!" ujar suamiku kembali.
Aku dan Ummu Ayyas masih menyimak penjelasan suamiku dengan sejuta perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kami pun sama sekali tidak terlintas untuk menanyakan surat tugas kepada pihak kepolisian yang datang tersebut.
Suasana rusun benar-benar heboh kala itu. Saat kejadian berlangsung, salah satu Syabab Hidayatullah bernama Aswin Solin, yang merupakan warga rusun, sekaligus pengurus musala, melintasi pos sekuriti, sempat curiga terhadap seseorang terkait kejadian ini. Namun dia tidak tergesa-gesa menyimpulkan.
Kecurigaan itu bukan tanpa dasar. Ketika dirinya pulang dari kampus, ia melihat ada sosok di pos sekuriti dengan senyum sinis. Hal tersebut kemudian diceritakan kepada suamiku selaku pengurus musala rusun. Orang yang tersenyum sinis itu adalah Ke (nama samaran). Entah siapa nama aslinya. Yang jelas warga rusun mengenal dia dengan nama anaknya. Maka Aswin yang melihat gelagat aneh Ke, berpikir bahwa kejadian tersebut ada hubungan dengan Ke
Sebelum kejadian itu, dia memang sudah beberapa kali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kegiatan pengajian.
Bahkan, dia tidak merasa canggung mendatangi orang-orang yang sedang mengikuti acara Majelis Taklim. Pria yang berambut ikal dan memakai kacamata itu mengatakan bahwa kegiatan pengajian itu mengganggu lingkungan, mengganggu ketenangan dan ketertiban.
Padahal dia juga bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Bukan dari pihak pengelola maupun perangkat RT maupun RW. Dia hanya tim sukses saat pemilihan RT di rusun. Mungkin karena itu dia seolah yang memiliki kendali atas kebijakan rusun.
Di samping itu, dia juga termasuk tim sukses salah satu parpol. Sehingga dia merasa keberadaan aktivis dakwah di rusun itu mengganggu ruang geraknya. Pernah juga beberapa anggota MT mendapatkan teguran dari pihak pengelola, bahwa tidak boleh lagi mengadakan acara pengajian. Sampai pihak pengelola membuat edaran resmi atas nama Pemko Batam.
Suatu ketika, saat membayar uang sewa rusun, Andi, selaku pihak pengelola rusun menceritakan dengan jujur bahwa adanya peraturan itu karena ada yang keberatan dengan kegiatan pengajian. Hal itu dia ceritakan ke aku karena kita kenal baik dan cukup akrab.
Beberapa hari kemudian, setelah agenda Formusda, di blok sebelah yaitu rusun blok B, ada kegiatan PHBI (Peringatan Hari Besar Islam). Kami juga turut hadir di sana. Sungguh mengejutkan. Pada saat acara sambutan dari pihak kepolisian, ternyata dia mengatakan bahwa kedatangannya ke rusun beberapa waktu lalu itu sebenarnya mereka sendiri tidak paham. Mau apa. Karena mereka mendapatkan laporan dari salah satu warga bahwa ada kegiatan yang meresahkan masyarakat.
"Hach, apa? Gila," teriakku dalam hati saat menyimak sambutan dari pihak kepolisian. Apa karena itu pula sehingga surat panggilan tidak pernah sampai ke tangan kami? Dengan kata lain, tidak pernah ada surat panggilan datang.
Aku dan beberapa temen yang hadir di situ diselimuti rasa kesal dan benci terhadap sosok yang namanya Ke tersebut. Sejak saat itu, aku selalu berdoa. "Ya Allah, hancurkan, luluhlantakkanlah, lumatlah sekali lumat siapa pun mereka yang membenci dan menghalangi dakwah ini, Wahai zat yang maha berkuasa atas segala sesuatu".
Hari berganti hari, kebencian dan tingkah Ke ini semakin menjadi. Sebenarnya di rusun sudah ada musala, namun dia membuat musala tandingan di blok B untuk menarik orang-orang di sekitarnya. Dia ketok dari pintu ke pintu, membuat propaganda untuk memusuhi orang-orang yang tergabung dalam barisan dakwah.
Dia juga melontarkan tuduhan kepada suamiku, ia mengatakan bahwa suamiku banyak menerima dana dari partai. Sayangnya tuduhan itu enggak digubris. Rasa kesal pun menyelimuti diri Ke. Akhirnya dia meminta ini dan itu, seperti kelengkapan dokumen resmi majelis taklim. Termasuk undangan yang disebarkan ke warga harus ada tandatangan RT dan RW.
Menyebalkan bukan? Kami sebagai warga mencoba mengikuti kemauannya. Termasuk mengurus surat izin resmi dari kemenag agar kami memiliki legalitas atas majelis taklim yang ada.
Namun, yang membuat heran. Dia tidak pernah berani menatap wajah kami. Baik aku maupun suamiku. Ketika tidak sengaja bertatap muka, dia langsung menunduk. Jika naik motor, langsung menutup dengan helm.
***
Ke, yang sedari awal bukanlah siapa-siapa, hanya merasa dianggap orang penting karena menjadi tim sukses saat pemilihan RT. Anehnya beberapa kebijakan rusun banyak disetir olehnya. Seolah-olah dialah yang menjadi RT. Hingga suatu ketika ada bantuan sosial dari pemerintah berupa sembako untuk warga rusun. Ada salah satu teman kami yang tinggal satu blok dengan Pak RT di blok A, sebut saja namanya Fajar.
"Sudah dapat kupon, Pak?" Tanya Pak RT kepada Fajar.
"Kupon apa ya Pak? Kami enggak tahu. Kami juga tidak pernah dapat," jawab Fajar dengan muka datar.
"Loh?" Muka Pak RT seketika berubah. Satu kata yang diucapkan tadi seolah menyimpan kecewa yang dalam.
Fajar ini adalah suaminya Endang, perempuan yang menjadi ibu susuan Haris (anakku yang keempat). Perempuan yang tutur katanya sangat lembut ini menceritakan kepadaku.
Beberapa hari kemudian beredar kabar di rusun bahwa Pak Z selaku ketua RT sempat adu mulut karena bansos tidak sesuai dengan data yang ada. Ternyata usut demi usut bansos itu hanya untuk gengnya Pak Ke saja.
_Becik ketitik olo ketoro_. Begitulah pepatah jawa. Orang yang baik, kebaikan itu akan kembali kepada diri pelakunya.
***
Beberapa bulan setelah kejadian bansos, warga heboh, uang fardhu kifayah blok A dan blok B hilang entah ke mana. Ke selaku pengurus berdalih sedemikian rupa, memutarbalikkan fakta. Namun warga akhirnya mulai menyadari bahwa kelakuannya tidak baik.
Sikap yang menyebalkan dari Ke ini, lambat laun disadari oleh warga. Karena merasa tidak nyaman lagi tinggal di rusun apalagi satu blok dengan Ke, mereka yang sudah memiliki pemahaman Islam akhirnya pindah dan tersebar di berbagai perumahan.
Bukan hanya warga rusun yang pindah. Pengelola rusun pun ikut keluar karena merasa tertekan. Ia bercerita ke sebagian warga yang aktif ikut Majelis Taklim bahwa merasa serba tidak enak. Kalau dia berbuat baik terhadap kami, merasa tidak enak dengan Ke dan gengnya. Kalau membela Ke, dia melihat dari kami tidak ada yang salah. Selalu menaati peraturan. Akhirnya dia memilih untuk resign dari amanahnya sebagai pengelola rusun.
***
2024.
Meskipun ada saja tantangan dalam dakwah, aku dan suami tidak berhenti untuk terus menyampaikan kebenaran Islam di tengah-tengah umat, termasuk di rusun. Karena sebagian besar anggota MT pindah dari rusun, sehingga MT yang terbentuk di rusun akhirnya bubar dengan sendirinya.
Jiwaku yang sudah terinternalisasi dengan pemikiran Islam, tidak bisa diam. Ketika MT masih berjalan, melalui wadah itu lah pemikiran Islam disampaikan. Namun, ketika tidak ada MT kegiatan dakwah menjadi vakum.
Akhirnya aku dan dua orang teman membentuk kajian Mutu (Mutiara Umat) mengkaji kitab adab Ta'limu Al Muta'alim dan Kitab Nafsiah sebagai upaya menyampaikan pemikiran Islam. Berawal dari tiga orang yang ikut. Lambat laun kajian semakin ramai. Anggotanya mencapai 30 orang. Bahkan beberapa sudah masuk kajian kitab atau sudah menjadi pelajar yang aku bina secara intensif sepekan sekali.
Dari salah satu pelajar yang aku bina ini bercerita saat momen mutabaah (curhatan masalah apa saja yang ditemui secara santai). Ternyata dahulu pernah tinggal di rusun blok B, satu blok dengan Ke. Benar-benar tidak menyangka. Dia termasuk salah satu korban penipuan yang dilakukan Ke.
Ke ini memang tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia hanya sebagai calo pengurusan dokumen seperti KTP, KK dan lainnya. Pelajarku yang bernama Dian ini menceritakan bahwa dia mengurus KTP lewat Ke, sampai setahun tidak kunjung selesai.
Ternyata, Dian bukan satu-satunya korban. Hanya satu dari sekian banyak korban. Warga yang merasa ditipu, jelas sangat marah dan sakit hati. Akhirnya mereka ramai-ramai mendatangi rumah Ke dan mengusirnya.
Mendengar kabar ini, aku pun langsung sujud syukur. Aku pun menceritakan kabar gembira ini kepada teman-teman yang dahulu pernah menjadi saksi kejahatan Ke. Mereka pun langsung mengucapkan hamdalah dengan senyum lebar. Doa-doa kami diijabah.
Orang yang membenci pengajian itu pun telah Allah SWT hinakan di dunia. Hingga tulisan ini dibuat, polisi juga tidak pernah lagi datang ke rusun. Surat panggilan yang katanya mau dibuat juga tidak pernah sampai di tangan kita. Alhamdulillahiladzi bini'matihi tatimmusshalihat.
SELESAI
Oleh: L. Nur Salamah, Sahabat Feature News