Negara Pemalak Pajak Rakyat - Tinta Media

Minggu, 03 November 2024

Negara Pemalak Pajak Rakyat



Tinta Media - 'Orang bijak taat bayar pajak'. Itulah slogan yang selalu diserukan pemerintahan kepada masyarakat agar mau dan rajin membayar pajak. Luar biasa, penghasilan Indonesia paling besar berasal dari pajak. Jadi, wajar jika negeri ini menekankan kepada rakyatnya untuk selalu membayar pajak. Namun sayangnya, penekanan pembayaran pajak hanya ditujukan kepada rakyat kelas bawah, sedangkan kepada rakyat kelas atas apalagi pengusaha, negara cenderung bersikap lunak.

Hal ini terbukti dengan adanya potensi kehilangan penerimaan negara lebih dari 300 triliun akibat adanya pengemplangan pajak. Juru bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan investasi, Jodi Mahardi, menyebut dugaan hilangnya potensi penerimaan negara berasal dari audit badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP). Dalam audit tersebut, BPKP menemukan 4 sumber potensi penerimaan negara yang hilang di sektor kelapa sawit. 

Diduga, ada sekitar 300 perusahaan yang melakukan pengemplangan pajak, tidak hanya dalam sektor kelapa sawit. Kebocoran akibat pajak juga terjadi pada kasus-kasus hukum. Ada 10-15 perusahaan yang lari dan tidak membayar pajak. Itu semua dalam jumlah yang sangat besar. (CNBC Indonesia.com 12/10/2024).

Sungguh miris, negara kehilangan APBN dengan nominal sangat besar karena adanya pengemplangan pajak. Perusahaan secara diam-diam kabur dan enggan membayar pajak. 

Negara yang menyaksikan hal tersebut tidak menangggapi ataupun mengatasi secara tegas. Negara cenderung lembut dan bersikap lunak dalam hal ini. Tidak ada hukum tegas yang diberlakukan. Yang ada, negara malah memberikan berbagai keringanan dan keistimewaan. Tax holiday dan tax amnesty adalah salah satu buktinya. 

Pengampunan pajak berkali-kali dilakukan oleh negara. Sedangakan kepada rakyat, kebijakan yang diberlakukan berbanding terbalik, 180 derajat. Negara bersikap sangat tegas kepada rakyat. Bahkan, negara tidak segan-segan untuk mendakwa siapa pun yang tidak membayar pajak.

Rakyat di negara-negara kapitalisme terus dijejali dengan berbagai macam pajak yang wajib untuk dibayar. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan. Negara menyeragamkan pajak antara orang kaya dan orang miskin. 

Belum lagi PHP negara atas berbagai pembangunan yang dibutuhkan rakyat. Katanya, uang pajak yang dibayarkan akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum. Nyatanya, pembangunan yang dijanjikan oleh negara terus ditunda dan tidak ada kepastiaanya. Parahnya lagi, pajak yang sudah rakyat bayarkan dengan susah payah malah dikorupsi oleh tikus-tikus berdasi yang tidak tahu diri. Mereka dengan seenaknya memakan uang rakyat tanpa hak. 

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme menjadikan hukum negeri ini tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ketidakadilan dalam penerapan kebijakan pajak jelas-jelas menzalimi dan menyengsarakan rakyat. 

Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Sistem Islam terbukti dapat menyejahterakan rakyat selama bertahun-tahun lamanya. Islam memandang pajak sebagai salah satu peneriman APBN. Namun, karakteristiknya berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. 

Pajak didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin untuk menunaikan balanja pada kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos yang diwajibakan atas mereka ketika tidak ada harta di Baitul mal untuk memenuhi belanja tersebut. 

Karena itu, pajak dalam Islam merupakan sumber penerimaaan yang insidental. Artinya, pajak hanya akan dipungut ketika sumber-sumber penerimaaan negara tidak mencukupi untuk membiayai pembelanjaan. Selain itu, pajak hanya dipungut dalam kondisi khusus. 

Hal ini berbanding terbalik dengan pajak dalam sistem kapitalis yang bersifat permanen, bahkan menjadi sumber utama pengahsilan negara. 

Yang menjadi perbedaaan selanjutnya adalah objek pajak. Pajak dalam Islam hanya dipungut dari orang-orang muslim yang kaya. Artinya, tidak semua orang dibebani dengan pajak. Dengan demikian, orang kafir dan orang-orang miskin tidak dikenai kewajiban ini. Sebaliknya, dalam sistem kapitalisme, pajak diberlakukan kepada semua kalangan masyarakat, baik yang kaya maupun yang miskin. Pemerintah tidak akan pandang bulu, semuanya dikenai kewajiban yang sama.

Selain itu, pembangunan yang ada di dalam Islam adalah pembangunan yang pemanfaatannya ditujukan kepada rakyat secara keseluruhan. Pembiayaannya diambilkan dari pemasukan negara, bukan dari pajak. Pemasukan negara Islam bisa berasal dari zakat, kharaj, jizayah, hibah, dan pengelolaan SDA oleh negara. 

Pajak adalah pilihan terakhir ketika kas negara benar-benar habis dan tidak mencukupi untuk membiayai berbagai keperluaan yang mendesak. Pemungutan pajak dalam Islam hanya ditujukan untuk menutupi kekurangan baitul mal, buakn untuk meningkatkan penerimaan Baitul mal. Oleh karena itu, pemungutan pajak tidak boleh dilakukan secara zalim dan semena-mena. 

Alhasil, penerapan sistem kapitalisme yang bertentangan dengan sistem Islam merupakan sebuah kesalahan bahkan dosa. Sebab, sistem kapitalis dengan nyata telah membuat hidup masyarakat semakit melarat. 

Sistem kapitalisme adalah aturan zalim yang sepantasnya ditinggalkan. Kezaliman ini hanya bisa dihilangkan dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dan naungan khilafah. Oleh karena itu, mari kita sama-sama hilangkan kezaliman penguasa dengan penerapan islam secara kaffah. wallhu ‘alam.



Oleh: Hasna Syarofah
(Gen Z, Muslim Writer)


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :