Marak Kriminalisasi Guru, Bukti Lemahnya Perlindungan Negara - Tinta Media

Jumat, 15 November 2024

Marak Kriminalisasi Guru, Bukti Lemahnya Perlindungan Negara



Tinta Media - Dunia pendidikan sedang gempar setelah salah seorang wali murid yang melaporkan seorang guru honorer (Supriyani) ke polisi. Guru SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan tersebut dituduh melakukan penganiayaan terhadap anak didiknya. Namun, Supriyani membantah dengan alasan pada hari itu dia tidak sedang mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi dengan anak tersebut. 

Kejadian pelaporan orang tua murid terhadap guru tidaklah terjadi kali ini saja. Melansir dari viva.co.id (1/11/2024), setidaknya ada beberapa kasus kriminalisasi guru yang pernah terjadi di Indonesia. 

Pertama, pada tahun 2016, Samsudi, guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo, dilaporkan karena telah mencubit muridnya akibat tidak mengikuti salat berjamaah di sekolah. Efek dari cubitan tersebut, si murid mengalami memar. Itulah yang membuat orang tuanya tidak terima. Akibatnya, pengadilan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun karena Samsudi dinilai telah melanggar pasal 8 ayat 1 UU Perlindungan Anak. 

Kedua, pada Mei 2016, Nurmayani Salam, guru Biologi SMPN 1 Bantaeng, dilaporkan karena tindakan penganiayaan, yaitu cubitan yang mendarat ke tubuh anak didiknya. Kejadian tersebut berawal saat dua siswanya sedang bermain kejar-kejaran dan baku siram air bekas pel dan Nurmayani terkena siraman itu. Untuk menertibkannya, dua siswa dipanggil ke ruang BK dan dicubit.

Ketiga, pada tahun 2023, Zaharman, Guru SMAN 7 Rejang Lebong, harus bisa menerima dirinya buta pada mata sebelah kanan akibat diketapel orang tua murid karena tidak terima anaknya ditegur dan diberi hukuman setelah kepergok merokok di kantin sekolah.
 
Keempat, pada Februari 2024, Khusnul Khotimah, guru SD Plus Darul Ulum, Jombang, dilaporkan karena kelalaiannya mengawasi para siswa saat jam kosong sehingga ada salah satu murid yang terluka di bagian mata kanannya hingga menyebabkan pendarahan akibat dari lemparan kayu saat bermain dengan temannya di kelas. Posisi Khusnul sedang tidak di kelas sehingga hal tersebut dinilai sebagai sebuah kelalaian. 

Adapun yang menjerat Khusnul adalah Pasal 360 ayat 1 KUHP atau ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat ayat 1 ke 2 KUHP. 

Kelima, kisah Supriyani. Sebenarya, kasus ini sudah dilaporkan sejak April 2024, tetapi baru ada titik terang pada 16 Oktober 2024. 

Dengan maraknya tindakan buruk yang dialami para guru saat melakukan tugas keprofesiannya, maka Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi,  melalui akun Instagram PBPGRI pada 1 November 2024 mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru agar kasus ini tidak terulang kembali. 

UU tersebut tidak hanya melindungi guru, tetapi juga para siswa. Di dalam UU pun diusulkan agar tidak ada lagi kekerasan atau tindak aniaya terhadap guru sebagai tenaga pendidk dan murid sebagai peserta didik. 

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa dalam sistem hari ini, guru mengalami dilema dalam mendidik siswa. Pasalnya, beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terjadi karena ada UU Perlindungan Anak, sehingga guru rentan dikriminalisasi. 

Di sisi lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat, dan negara karena masing-masing memiliki persepsi terhadap pendidikan anak. Perbedaan persepsi ini disebabkan karena jenjang generasi, pengalaman dan cara pandang masing-masing berbeda. Akibatnya, muncul gesekan atau bahkan menjadi sumber ketegangan dan kesalahpahaman antara berbagai pihak, termasuk langkah guru dalam mendidik anak tersebut. 

Guru akhirnya ragu dalam menjalankan perannya, khususnya dalam menasihati siswa. Sikap tegas terhadap murid haruslah ada pada sistem didik seorang guru. Dengan sikap tegas tersebut terciptalah kedisiplinan murid. Jika itu tidak ada, maka tidak ada pula nilai-nilai etika atau moral antara guru dan murid. Akibatnya, guru sering disepelekan. 

Pola asuh yang diterapkan orang tua pun juga berpengaruh. Jika dalam keluarga terdapat kultur yang membela dan mempercayai semua yang dikatakan anak tanpa melakukan konfirmasi, maka peran guru pun akan hilang karena dianggap tidak sesuai dengan cara didik orang tua.

Dalam Islam, guru dimuliakan dan diberi perlakukan baik. Selain itu, negara juga menjamin guru dengan sistem penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanah dengan baik pula. Negara yang menggunakan sistem Islam akan memahamkan semua pihak tentang sistem pendidikan Islam. 

Pendidikan Islam memiliki tujuan jelas dan meniscayakan adanya sinergi semua pihak, sehingga menguatkan tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam. Kondisi ini menjadikan guru dapat optimal menjalankan perannya dengan tenang, karena akan terlindungi dalam mendidik siswanya. Ia juga akan mendapatkan kepercayaan dari orang tua murid bahwa gurulah yang akan mengantarkan anaknya menjadi generasi gemilang.
Wallahu a’alam.





Oleh: Dwi R Djohan
Sahabat Tinta Media 
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :