Tinta Media - Fenomena pertemuan tertutup yang melibatkan kepala desa (kades) di Jawa Tengah baru-baru ini menimbulkan beragam pertanyaan mengenai integritas dan transparansi dalam proses pemilihan. Pada malam 23 Oktober 2024, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) berkumpul di sebuah hotel bintang lima di Semarang, menjadikan acara ini sebagai sorotan publik. Ketika penggerebekan oleh Bawaslu terjadi, situasi ini menciptakan keprihatinan mendalam tentang bagaimana pemimpin lokal menjalankan tanggung jawab mereka.
Pertemuan yang berlangsung di Gumaya Tower Hotel ini mengumpulkan sekitar 90 kades dari berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk Pati, Rembang, Blora, dan banyak lagi. Mereka hadir dengan semangat berslogan “Satu Komando Bersama Sampai Akhir,” yang tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai agenda yang dibahas di balik pintu tertutup. Ketika Bawaslu Kota Semarang datang untuk melakukan pemantauan, para kades pun terpaksa membubarkan diri, menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan kegiatan ini.
Ketua Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, menegaskan bahwa pertemuan tersebut melanggar ketentuan yang ada dan memicu tindakan hukum. Dalam konteks hukum, Pasal 188 UU Pilkada menyatakan bahwa kades yang melanggar ketentuan bisa dikenakan sanksi yang serius, termasuk pidana penjara dan denda. Ini menunjukkan betapa pentingnya peraturan dalam menjaga keadilan dan integritas dalam pemilihan, terutama di tingkat desa (Tirto.id, 26/10/24).
Kejadian ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua, baik bagi para pemimpin desa maupun masyarakat luas. Apakah kita siap untuk menghadapi tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat? Atau kita akan terus membiarkan praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan berlangsung tanpa pengawasan yang memadai? Kemandirian dan integritas dalam kepemimpinan lokal harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kemajuan bagi masyarakat.
Mobilisasi yang dilakukan oleh kades untuk memenangkan salah satu kandidat pada gelaran pemilu memang bukan hal baru. Namun, praktik kotor semacam ini tak semestinya dianggap wajar, dan Bawaslu harus tegas mengusutnya. Bahkan, banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah. Berbagai cara dilakukan oleh para calon agar rakyat memilih mereka, mulai dari praktik suap yang terus terjadi setiap tahunnya hingga metode baru yang dijanjikan masuk surga, dan lain-lain.
Dan tentu saja, rakyat akan menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal, biaya yang digunakan oleh mereka berasal dari uang rakyat, sementara rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti perpecahan, konflik horizontal, dan tidak terwujudnya kesejahteraan. Sementara itu, mereka yang berkepentingan justru meraih keuntungan, terutama materi.
Berbeda dengan sistem pemilihan yang diterapkan dalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena Kepala Daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan cara penunjukan secara langsung oleh Khalifah, sesuai dengan kebutuhan Khalifah serta dengan kriteria yang bukan sekadar syarat administratif yang sulit dan aneh. Wali dan Amil akan dipilih berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengingat posisi mereka sebagai pembantu Khalifah yang akan membantu menyelesaikan permasalahan umat berdasarkan hukum Islam.
Maka agar penunjukan ini dilakukan secara tepat, khalifah akan memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Sehingga, selain menghemat anggaran negara, rakyat pun tetap mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.
Namun, penerapan sistem penunjukan ini tak akan dapat kita lakukan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebab, sistem ini tak akan sejalan dengan praktik yang tidak menghasilkan keuntungan bagi para oligarki. Maka, penerapan sistem Islam dalam pemilihan kepala daerah harus dibarengi dengan penerapan sistem Islam lainnya secara kaffah, yang akan menunjang perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.
Oleh: Devi Aryani, Aktivis Muslimah