Tinta Media - Sungguh perih hati ini melihat nasib muslim Rohingya. Di negara asalnya, mereka hendak dihabisi. Demi menyelamatkan nyawa, mereka pun naik kapal untuk mencari negara yang mau menerima. Dengan kondisi kapal yang penuh sesak karena kelebihan muatan, juga bekal yang hanya seadanya, mereka terapung-apung di tengah laut untuk mencari negara yang mau menerima.
United Nations High Commissioner for Refugess (UNHCR) mencatat sebanyak 152 migran Rohingya yang terdiri dari 20 anak-anak, 62 perempuan dan 70 laki-laki yang terdampar di perairan Desa Pantai Labu Pekan, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Mereka pun akhirnya bisa berlabuh di Deli Serdang selama 17 hari dari kamp pengungsian Bamladesh. Saat ini pun mereka ditempatkan sementara di aula kantor Camat Pantai Labu, Kamis (24/10/2024).
Sejatinya, permasalahan pengungsi Rohingya yang terjadi beberapa tahun silam hingga saat ini merupakan domain negara, bukan hanya karena permasalahan individu atau masyarakat. Bahkan, muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer maupun pemerintahan yang pro pada demokrasi.
Saat muslim Rohingya mengalami ancaman dan genosida di Myanmar, mereka lari ke Bangladesh. Namun, rezim Hasina mengabaikan mereka dan tempat pengungsian yang disediakan pun amat buruk dan tidak layak didiami. Semua ini karena nasionalisme telah membelenggu Bangladesh, sehingga muslim lain enggan menolong saudara muslim Rohingya secara layak.
Padahal, muslim Rohingya membutuhkan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, energi, pangan, dan lain sebagainya Bahkan, muslim Rohingya pun butuh kewarganegaraan.
Yang bisa mencukupi semua itu adalah negara. Namun, nasionalisme yang telah membelenggu di penjuru dunia menjadikan negara enggan untuk membantu.
Sejatinya, orang Rohingya adalah muslim. Jeritan permintaan tolong mereka wajib dijawab oleh muslim lain di mana pun berada dan merupakan kewajiban bagi seluruh muslim sedunia untuk menolong muslim Rohingya.
Mirisnya, dunia yang telah menyaksikan penderitaan muslim Rohingya justru hanya diam seribu bahasa, tak terkecuali pemimpin negeri-negeri muslim. Di negeri ini, kondisi muslim Rohingya tenggelam oleh pemberitaan Gaza dan hiruk-pikuk pemerintahan baru.
Penolakan yang terus terjadi kepada muslim Rohingya disebabkan oleh sekat nasionalisme sehingga menjadikan negeri-negeri muslim tidak mau menolong saudaranya sendiri.
Sejak institusi pemersatu kaum muslimin yaitu khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924, tidak ada lagi perisai/pelindung kaum muslimin di dunia. Sejak saat itu, melalui perjanjian Sykes Picot, para penjajah Barat terutama Inggris membagi wilayah khilafah Islam, menguasai dan mengaturnya dengan sistem aturan Barat kapitalisme demokrasi.
Penerapan sistem kapitalisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan justru membawa petaka bagi kehidupan umat Islam. Penjajahan fisik maupun nonfisik tak terhindarkan.
Negara-negara Barat mengusung HAM, terkhusus Amerika Serikat memosisikan diri sebagai polisi dunia. Namun, hukum-hukum internasional yang lahir dari sistem kapitalisme sama sekali tidak memberi harapan akan kebaikan umat Islam. Bahkan, meski sudah ada konvensi tentang penanganan pengungsi, persoalan pengungsi Rohingya tidak juga terselesaikan.
Padahal, dahulu saat kaum muslimin masih hidup di bawah naungan khilafah, tidak ada seorang muslim pun yang dibiarkan oleh khilafah terancam keselamatannya. Bahkan, khilafah siap mengerahkan pasukan jihad untuk melindungi satu jiwa warganya atau melindungi kehormatan seorang wanita.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan saudara muslim kita di Rohingya, hingga di negeri-negeri lainnya seperti Palestina, Suriah, Uighur, Lebanon, Kazakhstan, kecuali umat Islam memiliki institusi yang menyatukan dan memberikan perlindungan.
Rasulullah saw. bersabda:
“Sungguh imam (khilafah) adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya.” (HR Muslim)
Kembalinya negara Islam yakni khilafah akan menyatukan umat Islam di bawah penerapan aturan Islam kaffah. Pada saat itu, khalifah sebagai pemimpin umat Islam akan menjalankan perannya sebagai perisai. Khilafah akan membela dan melindungi hak-hak kaum muslimin Rohingya dan muslim lainnya yang tertindas. Khilafah pun akan memberikan sanksi tegas kepada rezim Myanmar yang sudah menganiaya kaum muslimin Rohingya
Islam memandang umat Islam adalah bersaudara dan bagaikan satu tubuh yang tidak terpisahkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.
“Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586, dan Ahmad IV/270).
Solusi hakiki bagi muslim Rohingya hanya ada pada khilafah. Khilafah akan mencukupi sandang, pangan, dan papan mereka, serta memberikan pekerjaan bagi para lelaki sehingga bisa menafkahi diri dan keluarganya. Negara juga akan menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga mereka hidup layak.
Saatnya membangun kesadaran umat bahwa Islam dan umatnya akan mulia dalam naungan khilafah. Penyadaran ini membutuhkan perjuangan dakwah yang mengikuti manhaj Rasulullah saw. Jika sebelum tegaknya negara Islam pertama di Madinah Rasulullah melakukan perjuangan dengan membentuk kelompok dakwah Islam ideologi, maka demikian pula hari ini. Umat Islam harus berjuang bersama kelompok dakwah Islam ideologis dengan kesabaran dan keteguhan, dengan aktivitas dakwah yang terus-menerus. Dakwah inilah yang akan membangun kesadaran bahwa umat Islam harus dipersatukan di bawah satu institusi yang mengemban ideologi Islam, yakni khilafah Islamiyah.
Sesungguhnya, tanpa khilafah, persatuan umat tidak akan terwujud. Umat pun terpecah belah, lemah, dan tak berdaya. Tanpa khilafah, penegakan syariah Islam tidak sempurna dan umat akan diurus dengan hukum-hukum yang bersumber dari hewan nafsu manusia yang menyebabkan berbagai penderitaan umat. Lebih dari itu, tanpa khilafah, dakwah Islam yang harus dilakukan negara ke seluruh penjuru dunia menjadi terhenti. Wallahualam bissawab.
Oleh: Hamsia
(Pegiat Literasi)