Tinta Media - Belakangan ini sedang viral boneka Labubu yang banyak diserbu oleh Gen-Z secara menggebu-gebu, walaupun harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Boneka ini menjadi viral sejak idol K-Pop, Lisa Blackpink memamerkannya di akun media sosial miliknya. Sejak saat itulah, para Gen-Z tak mau ketinggalan untuk mendapatkan boneka Labubu agar menjadi bagian dari tren global yang telah dipopulerkan oleh sosok yang sangat diidolakan.
Terkait ”demam” Labubu yang menyerbu masyarakat, sosiolog Universitas Airlangga Nur Syamsiyah SSosio MSc mengatakan bahwa daya tarik produk populer sering kali terletak pada nilai eksklusivitas, keterbatasan produksi, dan keterkaitannya dengan budaya pop yang memiliki basis penggemar. Hal itu menciptakan persepsi bahwa memiliki Labubu berarti turut menjadi bagian dari tren global yang dipopulerkan sosok yang sangat diidolakan. (Jawa Pos, 13/10/2024)
Gen-Z dan FOMO
Inilah yang disebut dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) alias takut ketinggalan dari tren yang sedang populer. Sikap FOMO seperti ini mayoritas ada dalam diri para Gen-Z. Saat ini mereka memasuki usia remaja yang labil, mudah terbawa arus.
Apalagi sistem yang sedang diterapkan saat ini adalah kapitalisme-liberal yang memiliki asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sudah barang tentu, ini akan memunculkan gaya hidup negatif pada remaja, seperti hedonistik, materialistik, konsumeristik, gaul bebas, dan sebagainya.
Maka tak heran jika 'demam' Labubu dengan mudah menjangkiti kaum muda. Walaupun untuk mendapatkan sebuah benda kecil tersebut harus antre berdesakan serta merogoh kocek ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tetapi mereka rela melakukannya karena memang kesenangan dunia telah mendominasi hidup dan menjadikannya sebagai prioritas utama.
Pemuda adalah Agen Perubahan
Di balik sikapnya yang labil, remaja juga merupakan usia yang produktif. Potensi, semangat, dan energi mereka sedang berada dalam puncaknya. Kelebihan tersebut jika diarahkan dengan benar, akan menghasilkan produktivitas yang luar biasa pada diri remaja.
Slogan "Pemuda adalah agent of change (agen perubahan)" bukanlah sesuatu yang utopis. Ingatkah dulu Ir Soekarno pernah berkata, "Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuubah dunia!"
Kalimat tersebut muncul karena faktanya usia remaja memang se-produktif itu. Lihat saja Reformasi '98, siapa yang mencetuskan? Mahasiswa, pemuda!
Apalagi jika kita berkaca pada masa lalu. Muhammad Al-Fatih, pemuda saleh berusia 21 tahun yang menjadi pemimpin pasukan Islam yang berhasil menghancurkan dan menembus benteng Konstantinopel yang selama berabad-abad lamanya gagal ditaklukan. Namun, ia dan pasukannya mampu menaklukannya.
Sistem Sekuler Mengebiri Potensi Pemuda
Memang, 'pengebirian' potensi pemuda pasti akan terjadi dalam sistem berasaskan sekularisme. Potensi remaja yang luar biasa tersebut bisa terkerdilkan hanya dengan adanya sikap FOMO. Mengapa ini bisa terjadi? Karena sistem Islam tidak diterapkan dalam kehidupan, sehingga ajaran Islam tidak menyentuh kaum muda. Ini mengakibatkan kaum muda tidak mengetahui apa sebenarnya tujuan hidup mereka.
Namun, nampaknya penguasa kita saat ini enggan mengarahkan potensi pemuda untuk kemajuan bangsa. Penguasa malah membiarkan pemuda kita terjerumus pada lingkaran materialistik yang tak bertepi.
Di sisi lain, pemuda yang berprestasi selalu luput dari perhatian penguasa, apalagi pemuda yang berprestasi di bidang agama, seolah tak ada harganya. Namun, para pemuda gaul yang terbawa arus FOMO selalu saja menjadi topik yang asik untuk diperbincangkan. Penguasa pun diam seolah perbuatan tersebut dibenarkan. Miris!
Khilafah PR bagi Kaum Muslimin
Ketiadaan peran penguasa untuk melejitkan potensi Gen-Z sebagai agent of change menjadikan PR berat bagi kita sebagai kaum muslimin untuk memperjuangkan tegaknya sistem Islam (Khilafah Islamiyyah) yang menerapkan syari'at Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Dengan Khilafah, kehidupan menjadi berkah, dan para pemuda terselamatkan dari sekularisme-liberalisme yang menjerumuskannya dalam kefanaan dunia.
Khilafah, sebagaimana dulu pernah ditegakkan selama 13 abad lamanya, memiliki sistem terbaik untuk melejitkan potensi pemuda, mengarahkan hidupnya sesuai tujuan penciptaan, dan mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam. Potensi inilah yang dibutuhkan untuk memperkokoh peradaban gemilang, sebagaimana yang pernah dicapai para pemuda pada masa kekhilafahan, khususnya pada masa Khilafah Abbasiyah. Insyaallah akan kembali terwujud di masa kekhilafahan selanjutnya, insyaallah. Allaahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Annisa Amalia Farouq
(Aktivis Muslimah)