Tinta Media - Sebagaimana diketahui Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah organisasi dakwah politik yang berideologi Islam dengan tujuannya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Namun, pada tahun 2017, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut legalitasnya HTI berdasarkan tuduhan bahwa organisasi ini dianggap bertentangan dengan Pancasila dan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap keutuhan negara.
Tentunya, langkah yang diambil pemerintah tersebut dilatarbelakangi oleh isu kekalahan pasangan tertentu pada Pilkada DKI Jakarta yang beraroma agama. Hal inilah yang menimbulkan polemik, HTI menilai keputusan tersebut berdasarkan kepentingan para oligarki dan pihak tertentu yang merasa terusik atas kiprah dakwahnya yang kritis agar kaum muslim tidak memilih pemimpinnya yang nonmuslim.
HTI sendiri bukanlah partai politik pragmatis yang mengikuti kontestasi demokrasi, bahkan lebih dikenal sebagai organisasi dakwah pemikiran yang menentang ideologi sekuler, seperti kapitalisme dan sosialisme. Meskipun demikian, penentangan tersebut tidak ditempuh dengan jalan arogan dan kekerasan, tetapi melalui ide-ide Islam yang disampaikan dengan cara elegan, logis, dialogis, dan apa adanya mengajak umat untuk menerapkannya secara kaffah.
Dengan latar belakang seperti itu, ada baiknya bagi pemerintahan yang baru Prabowo-Gibran harusnya bisa melakukan recall atau peninjauan ulang atas keputusan pembubaran HTI. Dengan kata lain, mengembalikan legalitas HTI sebagai organisasi dakwah yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Apalagi sudah terbukti selama ini HTI begitu santun dan elegan dalam menyampaikan kritik terhadap penguasa.
Secara kronologis, HTI dibubarkan setelah pencabutan badan hukum perkumpulan (BHP) pada Mei 2017 oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Keputusan ini diambil tidak mengikuti prosedural hukum yang baku karena tanpa adanya surat peringatan dan evaluasi terhadap kegiatan HTI yang dinilai tidak sejalan dengan ideologi negara. Inilah yang menimbulkan tanda tanya besar adanya kepentingan politik pihak tertentu di balik keputusan yang terkesan buru-buru tersebut.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017, yang memungkinkan pembubaran organisasi kemasyarakatan tanpa proses pengadilan jika dianggap bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan adanya dasar Perppu ini, pemerintah akhirnya mencabut badan hukum HTI.
Setelah keputusan tersebut, HTI mencoba menggugat keputusan pemerintah melalui jalur hukum, tetapi upaya mereka di pengadilan tidak membuahkan hasil. Pada Juli 2019, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi HTI dan memperkuat keputusan pemerintah.
Fakta Dakwah HT1
Meskipun sudah dicabut legalitasnya, bukan berarti HTI melemah, bahkan semakin kuat dakwahnya dalam menyeru kepada kebenaran dan menolak kebatilan. Pasalnya, kewajiban dakwah adalah perintah Allah Swt. "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Ali ‘Imran: 104)
Oleh karena itu, ada beberapa alasan mengapa HTI perlu dikembalikan lagi status hukumnya sebagai gerakan dakwah dengan reputasi terbaik di negeri ini. Salah satu alasan yang mendukung adanya upaya untuk peninjauan ulang terhadap keputusan pembubaran HTI adalah fakta bahwa selama beroperasi, HTI melakukan dakwahnya secara damai, intelektual, dan tidak anarkis. Misalnya saja, HTI dikenal melakukan diskusi, seminar, dan kampanye dengan pendekatan pemikiran.
Dalam hal ini, HTI menyampaikan konsep-konsep keislaman berdasarkan dalil yang sahih, konsep Khilafah yang ditawarkan HTI sejatinya adalah ajaran Islam yang diakui para ulama tanpa ada perbedaan pendapat, pemikiran politik Islam yang menjadi bahan diskusi dilakukan HTI tanpa cara-cara kekerasan dan paksaan.
Selain itu, tidak ada riwayat kekerasan atau tindakan anarkis. Meskipun kerap menggelar aksi damai di jalanan dalam menanggapi isu-isu politik tertentu yang merugikan kepentingan umat Islam. HTI tidak tercatat pernah terlibat dalam kerusuhan atau bentrokan fisik dengan pihak lain. Aktivitas mereka berjalan secara tertib dan mereka selalu mengimbau anggotanya untuk menghindari tindakan yang dapat merusak keamanan.
Dalam aktivitas dakwahnya, HTI berupaya menanamkan pemahaman Islam yang menyeluruh kepada masyarakat tanpa adanya dorongan untuk melakukan tindakan radikal atau melakukan makar terhadap penguasa yang sah. HTI secara terbuka menolak segala bentuk kekerasan, terorisme, dan ekstremisme. HTI menilai bahwa yang terjadi sebenarnya adalah pemaksaan paham sekulerisme pada negeri-negeri kaum muslim oleh negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya.
Sekali pun aktivitas yang dilakukan oleh HTI bersifat politik, tetapi pemahaman politiknya bukanlah politik praktis-pragmatis. Politik yang dijalankan HTI adalah politik yang didefinisikan sebagai pengaturan kehidupan masyarakat secara umum dengan aturan syariat Islam.
Dakwah HTI di tengah masyarakat tidak lebih dari apa yang disebut sebagai perang pemikiran (shiraul fikr), yaitu melalukan diskusi secara terbuka tentang konsep kehidupan bermasyarakat yang ideal berdasarkan ketaatan kepada hukum-hukum Allah Swt. Sebabnya, perubahan yang diinginkan oleh HTI adalah perubahan pemikiran, bukan perubahan yang temporal, apalagi dipaksakan dengan senjata atau kekerasan.
Oleh karena itu, mengapa HTI perlu di recall karena keberadaannya menjadi penting untuk kemaslahatan negeri ini. Setidaknya ada beberapa alasan: Pertama, adanya jaminan hak berorganisasi dan kebebasan berekspresi.
Di negara yang konon menganut demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berorganisasi adalah hak asasi yang dilindungi konstitusi. Selama tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa HTI mengancam keamanan nasional atau menggunakan kekerasan, pembubaran organisasi ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak tersebut.
Kedua, revisi keputusan berdasarkan bukti empiris. Tidak ada bukti nyata bahwa HTI terlibat dalam kegiatan yang mengancam stabilitas negara atau keamanan masyarakat. Sebaliknya, data empiris menunjukkan bahwa HTI mengedepankan cara damai dan berdakwah tanpa kekerasan. Revisi keputusan berdasarkan bukti nyata akan menunjukkan komitmen pemerintah terhadap keadilan.
Ketiga, menghindari stigmatisasi terhadap gerakan dakwah. Pembubaran HTI tanpa bukti kekerasan dapat menciptakan preseden negatif bagi organisasi dakwah lainnya. Hal ini juga dapat menimbulkan stigmatisasi terhadap organisasi Islam yang bergerak dalam bidang dakwah. Dengan melakukan recall, pemerintah dapat menunjukkan bahwa mereka bersikap adil dan tidak gegabah dalam menilai organisasi dakwah.
Dan terakhir, keempat, adanya HTI recall akan membuka ruang dialog yang dinamis. Pemerintah dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk membuka ruang dialog dengan HTI dan organisasi lainnya yang memiliki pandangan politik berbeda. Melalui dialog, pemerintah dan organisasi Islam seperti HTI dapat saling memahami serta membangun kebijakan yang berlandaskan prinsip perdamaian dan penghormatan terhadap ideologi negara.
Pada akhirnya, cukuplah kiranya kita diingatkan dengan apa yang Allah Swt. sampaikan pada Surah Al-Ahqaf ayat 13, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah,' kemudian mereka tetap istikamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang konsisten berpegang teguh pada ajaran Allah, termasuk dalam dakwah, akan diberi ketenangan dan kebahagiaan oleh Allah. Istikamah dalam dakwah merupakan bukti dari komitmen seseorang kepada imannya.
Wallahu'alam bish shawwab.
Oleh: Maman El Hakiem
Sahabat Tinta Media