Tinta Media - Berharap judi online (judol) dapat diberantas hingga tuntas dalam sistem kapitalis hanyalah sebuah mimpi yang semakin mustahil menjadi kenyataan. Bagaimana tidak? Aparat negara yang bertugas menjadi eksekutor dalam pemberantasan judol justru menjadi pelindung bagi pelaku judol itu sendiri dengan imbalan pundi-pundi rupiah. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya penerapan hukum dalam sistem kapitalisme.
Sebagaimana dilansir dari Viva.co.id, (01/11/24) bahwasanya Polda Metro Jaya telah menangkap 11 orang terkait judol yang melibatkan beberapa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan bahwa dari 11 orang tersangka, ada beberapa staf ahli di Kemkomdigi yang ikut menjadi tersangka.
Peristiwa tersebut jelas mencoreng wajah hukum di negeri ini. Masyarakat pasti kecewa dan menjadi apatis terhadap penerapan hukum di negaranya sendiri. Aparatur negara yang seharusnya memberantas, justru memanfaatkan wewenangnya demi memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya. Lalu, kepada siapa lagi rakyat akan menggantungkan asa akan pemberantasan judol jika aparatnya saja telah menjadi tersangka?
Beginilah gambaran kehidupan kapitalisme sekuler. Dalam sistem kufur tersebut, keuntungan materi menjadi prioritas. Tak heran, berbagai cara pun dilakukan demi keuntungan pribadi maupun kelompok tanpa peduli halal haram. Sebab, sekularisme memang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga aturan dibuat oleh manusia, bukan dari Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Sang Pengatur (Al-Mudabbir).
Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam yang menjadi pedoman dalam seluruh bidang kehidupan. Dalam hal judi, Islam dengan tegas mengharamkannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."
(QS. Al-Ma'idah 5: ayat 90)
Islam mempunyai mekanisme dalam menutup berbagai celah agar tidak terjadi perjudian, yakni dengan menegakkan tiga pilar:
Pertama, membentuk ketakwaan individu.
Islam memiliki sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang mampu mencetak generasi berkepribadian Islam dan menguasai ilmu pengetahuan maupun teknologi. Kepribadian Islam akan menjadikan generasi menjadi pribadi-pribadi yang amanah, bertanggung jawab dan taat terhadap syariat Islam.
Kedua, mewujudkan kontrol masyarakat. Setelah ketakwaan individu terwujud, maka masyarakat akan memahami kewajiban amar makruf nahi mungkar. Masyarakat tidak akan membiarkan perjudian terjadi di tengah-tengah mereka.
Ketiga, peran negara optimal sebagai pelaksana hukum syara' (syariat).
Ketika ketakwaan individu dan kontrol masyarakat telah terwujud, maka para aparatur negara adalah orang-orang yang amanah dan taat syariat. Mereka akan melaksanakan hukum sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sistem sanksi dalam Islam bersifat tegas dan menjerakan, sehingga akan menjadi pelajaran bagi yang lain untuk tidak melakukan kesalahan serupa.
Begitulah paradigma kehidupan Islam yang mampu mewujudkan suasana keimanan di tengah masyarakat. Setiap individu memahami bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Orientasi kehidupan Islam adalah mendapatkan rida Allah, sehingga ukuran perbuatan dalam masyarakat adalah halal haram.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kehidupan Islam yang pernah diterapkan selama sekitar 14 abad lalu segera kembali dilanjutkan agar syariat Islam dapat ditegakkan seluruhnya. Wallahu a'lam!
Oleh: Wida Nusaibah
Pemerhati Masalah Sosial