Tinta Media - Sebelum pergantian kepemimpinan, sudah menjadi kebiasaan untuk menyurvei kepuasan masyarakat terhadap kinerja pejabat. Bukan sekadar melihat seberapa besar dampak kebijakan negara terhadap kepentingan rakyat, tetapi terkait kesan apa yang ditinggalkan oleh pemangku kekuasaan selama periode jabatannya, apakah mendapatkan cap baik atau label buruk di mata masyarakat?
Namun, semua itu hanya berdasarkan data statistik tanpa mendeskripsikan realita di tengah rakyat. Benarkah angka survei kepuasan publik menunjukan realita kehidupan bangsa ataukah hanya angan yang tercipta dari imajinasi penguasa?
Kinerja Baik atau Pencitraan Baik?
Oligarki, sebuah kata yang sering digunakan dalam mengapresiasi kinerja penguasa saat ini. Kata yang bermakna dalam, tetapi terkesan biasa di pandangan warga negara. Mengapa demikian? Sebab, penguasa telah menormalisasi oligarki melalui berbagai media.
Sebut saja 'buzzer'. Sekelompok orang ini bertugas memuja-muja pejabat dalam semua tindakannya. Padahal, kebijakan yang dibuat melanggar aturan dan norma hukum. Salah satu contoh kebijakan tersebut, seperti pengesahan aturan 'omnibuslaw'.
Tidak hanya kebijakan, kehidupan pejabat juga dijunjung tinggi oleh para 'buzzer'. Gaya hidup yang 'membumi' tapi rasa selebriti, 'kerja, kerja, kerja' bagai kuda dengan menaikkan pajak, menjalankan bisnis tambang berkedok UMKM, hingga melestarikan budaya 'Asian Value' dalam kehidupan bernegara.
Alhasil, ketika sekelompok elit telah menduduki sebuah jabatan, maka publik harus memaklumi tindakan mereka, mulai dari memberikan fasilitas terbaik dalam hidup, mengutamakan urusan atau kepentingan pribadi mereka hingga membuat aturan sendiri demi melanggengkan kekuasaan.
Tidak heran, banyak warga negara yang menjadi pragmatis ketika hal tersebut terjadi. Pengaruh lebih buruknya adalah tidak sedikit yang ingin bergabung ke dalam golongan elit tersebut, baik melalui hubungan keluarga sampai kerja sama dalam pengelolaan suatu bisnis usaha.
Selain normalisasi yang masif di media massa, pengalihan isu menjadi hal yang umum dilakukan. 'Buzzer' yang bertugas tidak segan-segan membuat berita 'hoax' hingga berani memberikan somasi ke rakyat yang menyuarakan penderitaannya.
Pengalihan isu dapat memberikan dampak besar terhadap pecahnya konsentrasi rakyat dalam mengawasi kinerja penguasa. Kebijakan yang tidak sesuai hukum serta perilaku menyimpang para pejabat menjadi tertutup bahkan hilang seperti ditelan bumi. Akhirnya, ini meringankan kerja pejabat untuk menaikkan citra baiknya di mata publik.
Pelayanan Aparat Negara
Dalam aturan sistem demokrasi, segala cara yang dilakukan guna menaikkan citra baik di mata publik adalah hal yang sah. Tidak ada aturan hukum yang membatasi proses membangun citra seseorang pejabat selama tidak melanggar HAM dan merugikan orang lain. Itu pun masih dapat mengajukan banding di pengadilan tinggi. Jadi, para pejabat diberikan keleluasaan yang sangat besar di negeri ini, baik di hadapan hukum maupun masyarakat.
Berbeda dengan sistem Islam, yang menganut asas 'negara mengurus semua urusan rakyat'. Aparat negara adalah pelayan rakyat yang ditugaskan mengurus hajat hidup warga negara. Pengaturan dalam pelayanan kepada rakyat, antara lain:
Pertama, aturan dibuat sederhana sehingga memudahkan secara administrasi.
Kedua, cepat dalam pelayanan publik sehingga rakyat tidak perlu menunggu lama dalam menyelesaikan urusan.
Ketiga, aparat negara adalah orang yang ahli atau profesional yang memenuhi kualifikasi di bidangnya.
Ketiga asas ini, sangat jauh berbeda dengan aparat negara saat ini. Fenomena yang terjadi saat ini yaitu:
Pertama, pengaturan administrasi yang terlalu rumit hingga muncul istilah 'untuk apa dipermudah jika dapat dipersulit'.
Kedua, antrean yang tak kunjung berakhir dan lambat dalam penanganan persoalan publik, mulai dari pelayanan kesehatan, izin usaha, hingga pendaftaran pendidikan.
Selain itu, pengaduan kriminalitas di tengah masyarakat lambat ditanggapi. Infrastruktur banyak yang 'mangkrak' sehingga menambah daftar panjang kesulitan rakyat.
Ketiga, pemilihan aparat negara yang berbau KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), sampai muncul istilah ' orang dalam atau ordal' menjadi 'momok' bagi masyarakat.
Amanah
Amanah merupakan prinsip mendasar yang seharusnya dipegang teguh oleh para penguasa. Namun, nampaknya sikap ini selalu diabaikan oleh pemangku jabatan. Amanah adalah sikap tanggung jawab dalam menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Sikap amanah ini, mampu memberikan ketenangan kepada orang yang telah memberikan suatu kepercayaan. Jika amanah dijalankan dalam ranah kepemimpinan, maka seorang pemimpin diberikan kepercayaan untuk mengatur apa dan siapa saja yang dipimpin.
Dalam Islam, amanah dalam kepemimpinan memiliki pengertian yang luas dan mendalam. Sebab, amanah tidak hanya sekadar menjalankan suatu tugas menjaga atau mengatur suatu urusan rakyat, tetapi juga mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan selama mendapatkan kepercayaan tersebut. Tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyat, tetapi juga pada Sang Pencipta yang akan menanyakan amanah tersebut. Jika tidak menjalan amanah tersebut, maka akan ada balasan keburukan yang akan diterima oleh pemimpin tersebut.
Berbeda halnya dengan sistem demokrasi saat ini, pertanggungjawaban amanah seorang penguasa hanya sebatas moral. Jika masa jabatan telah selesai, maka selesai pula tugas dan tanggung jawabnya tanpa melihat kembali dampak buruk yang ditinggal.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah para pejabat berkoalisi dalam menutupi kerusakan yang telah terjadi. Hal ini terjadi berulang kali, tanpa ada perubahan yang berarti. Puaskah dengan kinerja penguasa saat ini? Masihkah berharap pada sistem demokrasi yang menciptakan kondisi saat ini ataukah beralih ke sistem Islam yang lebih mumpuni?
Oleh: Sarah
(Aktivis Muslimah)