Polemik Sertifikasi Halal dalam Kapitalisme - Tinta Media

Kamis, 24 Oktober 2024

Polemik Sertifikasi Halal dalam Kapitalisme


Tinta Media - Baru baru ini ramai perbincangan di kalangan masyarakat terkait sebuah video yang menyebut bahwa produk yang diberi nama 'tuyul', 'tuak', 'beer', dan 'wine' memperoleh sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama.

Kendati demikian, BPJPH Kemenag juga menjelaskan bahwa sertifikasi halal tersebut diberikan bukan berkaitan dengan kehalalan produknya, melainkan penamaan produk. Ia juga mengimbau supaya masyarakat tidak perlu ragu terhadap jaminan kehalalan produk. BPJPH Kemenag juga menegaskan bahwa penamaan produk halal telah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 terkait persyaratan umum pangan halal. Begitu juga dengan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020. 

Aturan tersebut menyatakan bahwa pendaftaran sertifikasi halal tidak dapat diajukan pada produk dengan nama yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun kenyataannya, produk-produk tersebut masih bisa lulus sertifikasi halal. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait 'boleh dan tidaknya' penamaan produk saja, tidak berkenaan dengan aspek kehalalan zat yang sudah dipastikan kehalalannya.

Begitulah model sertifikasi halal hari ini dalam sistem kapitalisme.  Asalkan zatnya halal, maka nama produk tidak perlu dipersoalkan. Padahal, hal tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Sebab, perkaranya adalah halal haramnya suatu benda yang dalam Islam hal ini merupakan persoalan prinsip. 

Dalam sistem hari ini, para pelaku usaha berupaya mendapat sertifikat halal bukan lagi karena takut kepada Allah dengan menjual dagangan tidak halal, melainkan untuk menarik publik, terutama konsumen muslim supaya tidak ragu membeli dagangannya. Ini terlepas apakah produk tersebut halal 100% atau halal dan haram telah bercampur sedemikian rupa.

Sertifikasi halal pun saat ini menjadi ladang bisnis. Dalam sistem kapitalisme, segala hal serba dikomersilisasi. Pelayanan kepada masyarakat pun selalu mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut berkaitan erat dengan peran negara yang selalu hanya sebagai regulator atau fasilitator, apalagi sertifikasi halal ini berbatas waktu.

Sementara, di dalam Islam, negara mempunyai peran besar dalam mengurusi berbagai keperluan warganegaranya, terutama dalam hal menjaga akidah umat. Memberi jaminan kehalalan produk adalah sebuah hal yang fundamental karena berkaitan dengan kondisi manusia, baik di dunia juga di akhirat. Negara akan memberikan layanan tersebut dengan harga ringan, bahkan gratis, kemudian dilanjutkan dengan pengawasan secara berkala. Kalaupun ada syarat dan ketentuan yang berbayar, negara akan memberi kemudahan administrasi.

Dalam Islam,  produk yang beredar di pasaran sangat dijaga dan dijamin kehalalannya. Negara akan menugaskan Qodli Hisbah untuk senantiasa memeriksa dan memastikan tidak ada barang haram beredar, baik di pasar-pasar, di gudang pangan, pabrik, bahkan juga tempat pemotongan hewan.

Dengan ketelitian dan kerincian seperti ini, maka masyarakat dalam negara Islam tidak ragu dan merasa terjamin dalam mengonsumsi produk tanpa harus selalu mengecek label halal di setiap produk.

Selain itu, negara Islam juga akan memberikan edukasi kepada para pedagang dan setiap individu rakyat supaya sadar akan 'halal' dan mewujudkannya dalam kancah kehidupan dengan penuh kesadaran. Kesadaran tersebut didorong oleh keimanan.

Negara tidak akan membiarkan masyarakat memperoleh manfaat atau laba dari sesuatu yang tidak halal. Partisipasi masyarakat juga dibutuhkan untuk mengawasi halalnya berbagai macam produk yang beredar di tengah masyarakat. 

Untuk mempertegas aturan, negara akan memberikan sanksi kepada kalangan industri yang kedapatan memakai cara atau zat haram serta memproduksi barang haram. Negara juga memberikan sanksi kepada para pedagang yang masih memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslimin. Bagi kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram, mereka juga akan dikenai sanksi sesuai nas syariat.

Demikianlah gambaran kehidupan islami dari secuil penerapan hukum Islam. Bisa dibayangkan, bagaimana aman, sejahtera, dan tentramnya umat manusia ketika negara mengambil peran dan benar-benar mengayomi seluruh persoalan kehidupan. Maka, hari ini penting bagi kita untuk memahamkan umat sehingga kerinduan kita satu, yaitu hidup dalam naungan sistem Islam. Wallahu a'lam Bishawab.




Oleh: Nabilah Ummu Yazeed
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :