Tinta Media - Agustus lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan untuk menargetkan penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun. Batas yang melebihi Rp 2000 triliun ini pertama kali terjadi dalam sejarah. Selain itu, Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pun diperkirakan akan mengalami kenaikan dalam RAPBN yang masing-masing menjadi Rp 945,1 triliun dan Rp 1.209,3 triliun. Jika hal ini tercapai maka pemerintah akan memiliki keleluasaan dalam menjalankan berbagai programnya di tahun depan (CNBCIndonesia.com, 16 Agustus 2024).
Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemnkeu) mencatat posisi utang pemerintahan kembali mengalami kenaikan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun (Kontan.co.id, 18 Agustus 2024). Target pencapaian pajak yang sekan-akan merupakan suatu keharusan untuk mencapai kemajuan dan seolah-olah ini adalah “prestasi”. Padahal kita ketahui ini pada akhirnya akan menjadi beban ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Pencapaian target ini mengharuskan pemerintah melirik apa yang dapat dijadikan “sasaran” pungutan pajak. Salah satunya mulai tahun depan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri tanpa kontraktor bakal dinaikkan dari 2,2 persen menjadi 2,4 persen sesuai yang diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (CNBCIndonesia.com, 16 Agustus 2024).
Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyampaikan bahwa pajak 2.4% bagi masyarakat yang membangun rumah sendiri atau KMS bukanlah pajak baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Hal ini diterapkan dengan dalih menciptakan keadilan. Mengapa demikian? Ia menyampaikan hal ini dikarenakan membangun rumah dengan kontraktor terhitung PPN sehingga membangun rumah sendiri pada level pengeluaran yang sama semestinya juga diperlakukan sama. Namun, pajak ini tidak berlaku bagi semua jenis pembangunan. Melainkan ada syarat dan ketentuan. Yang akan dikenakan pajak adalah masyarakat menengah ke atas (detikproperti.com, 18 September 2024).
Sistem Ekonomi Kapitalis
Paradigma pembiayaan pembangunan yang diterapkan dalam sistem kapitalis-sekuler adalah dari pajak dan utang yang pada akhirnya membebani rakyat. Pajak merupakan sumber dana terbesar bagi berjalannya pembangunan. Sasaran utama pajak adalah rakyat yang pasti akan semakin memberatkan. Salah satunya adalah pajak PPN dalam hal membangun rumah. Dengan kondisi mendapatkan pekerjaan sulit dan banyaknya PHK dimana-mana membuat rakyat tidak memungkinkan untuk membangun rumah yang memadai. Sementara bagi rakyat yang memiliki kemampuan untuk membangun rumah yang memadai tersebut malah dikenai pajak yang makin tinggi. Dari sini terlihat jelas tidak ada upaya negara untuk meringankan beban rakyat apalagi dalam hal memberikan tempat huni (rumah) yang memadai dan layak untuk rakyatnya.
Fakta menunjukkan bahwa negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan/perumahan bagi rakyatnya. Penetapan pajak ini sesuatu keniscayaan dalam sistem kapitalis-sekuler yang saat ini diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Mengapa demikian? Pajak merupakan pilar berdirinya sistem ekonomi kapitalis. Tanpa pajak tidak akan ada pembangunan.
Sistem Ekonomi Islam
Sistem Islam yang sempurna dan paripurna yang berasal dari sang Khaliq telah menetapkan bagaimana sistem ekonomi dalam tuntunan syariat Islam. Dalam sistem ekonomi Islam akan diterapkan kebijakan yang berdasarkan politik ekonomi Islam, adanya jaminan dalam pemenuhan kebutuhan primer (pokok) bagi seluruh rakyat baik muslim maupun non-muslim serta baik miskin maupun kaya selama memiliki kewarganegaraan Daulah Khilafah Islamiyah. Hal ini sangat berbeda dengan dalil yang disampaikan oleh di atas bahwa pengenaan pajak rumah untuk mencapai “keadilan”. Dalam sistem ekonomi Islam negara yang merupakan pengurus rakyat bukan hanya berperan sebagai regulator akan memastikan seluruh rakyat terpenuhi akan kebutuhan primernya (makan, sandang maupun papan) dan tidak terbatas hanya pada rakyat miskin. Penjaminan ini dilakukan negara melalui diberikannya kemudahan dalam mengakses pekerjaan serta adanya hukum-hukum tentang tanah yang telah diatur oleh syariat secara rinci.
Sumber penerimaan negara dalam sistem Islam banyak sekali. Sumber penerimaan negara yang tetap akan ada walaupun tidak ada kebutuhan apa-apa yang merupakan hak kaum muslim dan masuk dalam Baitul Maal yakni: 1. Fai’ ; 2.Jizyah; 3. Kharaj; 4. ‘Usyur; 5. Harta milik umum yang dilindungi negara; 6. Harta haram pejabat dan pegawai negara; 7. Khumus Rikaz dan tambang; 8. Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; 9. Harta orang murtad.
Pada saat kondisi Baitul Maal ini kosong dan tidak mencukupi untuk membiayai besaran belanja maka dalam kondisi seperti ini khalifah (kepala negara) akan mengambil beberapa kebijakan yang sesuai dengan hukum syara’. Salah satunya dengan memungut pajak. Namun, pajak ini tidak dipungut dari seluruh kaum muslim. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu yang memiliki kelebihan setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf) sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Sehingga pajak bukanlah pemasukan utama dalam sistem Ekonomi Islam. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang akan menyejahterakan hidup kita yakni Sistem Islam yang diterapkan secara sempurna dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah.
Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media