Output Pendidikan Rendah, Buah Sekularisme - Tinta Media

Kamis, 17 Oktober 2024

Output Pendidikan Rendah, Buah Sekularisme

Tinta Media - Pekan ini, sosial media Tiktok dan X ramai membahas permohonan untuk menteri pendidikan yang akan datang, agar lebih baik dalam mengatasi pendidikan. Ramainya para konten kreator membahas permasalahan ini, karena salah satu video sosial eksperimen beredar mendapati beberapa pelajar yang berisikan seputar ilmu pengetahuan umum tidak mampu dijawab. Beberapa pertanyaan adalah kepanjangan dari MPR ( Majelis Permusyawaratan Rakyat). Mereka juga tidak bisa menjawab ibu kota dari provinsi Jawa Timur, bahkan mereka juga tidak mengetahui Jakarta berada di provinsi mana. (www.kompas.com, 10/10/24 )

Permasalahan pendidikan hari ini sebenarnya bukan hanya pada lemahnya ilmu pengetahuan umum saja. Beberapa bulan ke belakang, beredarnya sebuah video yang menayangkan puluhan siswa SMP di Jawa Barat masih belum bisa membaca. Terlepas dari berbagai faktor tersebut, rendahnya pengetahuan umum pelajar dan juga kemampuan pelajar dalam hal yang mendasar perlu menjadi bahan refleksi diri bahwa ada yang perlu di benahi dan di cek kembali dalam sistem pendidikan, seperti kurikulum.

Inilah hasil dari merebaknya pemikiran sekuler di masyarakat yang bahkan masuk dalam ranah pendidikan. Kurikulum mendekatkan siswa kepada kebebasan, terfokus kepada hal menyenangkan, sehingga mengesampingkan hal penting dan urgen untuk dipertahankan. Inilah yang diinginkan kapitalisme, manusia menjadikan kesenangan menjadi tujuan kehidupannya, sehingga yang terfokus dalam dirinya adalah kebahagiaan jasmani dan kesenangan dunia.

Sejatinya sekularisme adalah pemikiran yang bebas. Bebas bukan berarti melepaskan diri dari pada belenggu penjajahan atau belum merdeka. Bebas di sini adalah membebaskan diri dari pada ikatan dengan agama. Agama dianggap menjadi hal yang mengikat kebebasan manusia, sehingga orang yang berpikiran sekuler akan cenderung menjadi bebas yaitu memisahkan agama dari kehidupannya.

            Ditambah para guru disibukkan dengan administrasi yang tak kunjung usai, hingga akhirnya waktu tatap muka terhadap murid banyak yang tak terpenuhi. Belum  lagi pergerakan para guru juga dibatasi dengan  undang–undang HAM sehingga para murid semakin semena-mena terhadap guru. Guru tak lagi bisa memberikan hukuman atau arahan guna untuk mengubah pola perilaku para murid. Begitu pun nilai, dengan adanya ambang batas nilai terendah ini menjadikan guru banyak yang menaikkan nilai muridnya. Padahal murid tersebut belum layak untuk mendapatkan nilai itu. Namun, dikarenakan tuntutan dari yang berwenang maka mau tak mau, seorang guru harus mampu menaikkan nilai para muridnya. Maka tak heran guru kini kehilangan marwahnya, maka hal yang wajar jika ilmu tak sampai kepada muridnya.

            Bukan hanya itu saja, sistem kapitalisme yang bersarang di dalam pemerintahan pusat juga menjadi salah satu penyebab rendahnya output pendidikan Indonesia. Tidak sejalannya antara tujuan pendidikan dengan aktualisasi pembelajaran menjadi salah satu penyebab rusaknya output pendidikan. Tujuan Pendidikan nasional dalam UU 20 2013 pasal 3 “Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Namun pada faktanya, Moderasi Beragama yang berisikan jalan tengah terhadap agama terus digaungkan di ranah pendidikan. Jika ditinjau maka akan menghasilkan generasi yang kebingungan terhadap agamanya. Jelas hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan. Begitupun halnya dengan pembentukan watak karakter tidak bisa hanya dibangun dalam wilayah sekolah saja. Namun juga diperlukan tanggungjawab dari orang tua untuk membangun karakter dalam diri para murid.

Inilah buah dari pemikiran sekuler yang menjangkiti masyarakat, ketidaksinkronan antara pendidikan dengan target negara yang akhirnya menjadikan tujuan pendidikan hanya menjadi formalitas yang tertera dalam lampiran undang–undang.

Sangat berbeda dengan sistem Islam, dalam Islam pendidikan bukan hanya tentang berbagi ilmu antara guru dengan murid saja. Tetpi ada yang dibangun yaitu hablum minallah, habblum binafsih dan juga habblum minannas. Bagaimana seorang guru akan menjadi suri tauladan dari muridnya. Ketundukan seorang guru kepada Allah, akan menjadikannya memiliki wibawa yang murni yang dengan lisannya mampu menginspirasi para muridnya sebagaimana Imam Nawawi seorang murid dari Imam Syafi’i.

Guru juga bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan umum, namun hal yang paling awal dibangun adalah ketauhidan kepada Allah swt. Hakikat bahwa kita hidup adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka untuk beribadah kepada Allah membutuhkan ilmu sebagai jalan ibadah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan. Hal ini hanya akan tercermin jika tujuan pendidikan sejalan dengan tujuan dari sebuah Negara yaitu Khilafah. Negara yang menerapkan Islam dalam seluruh lapisan kehidupannya. Dalam sistem Khilafah pendidikan akan dimulai dengan pemantapan terhadap akidah dan tauhid, lalu kemudian fiqih dan selanjutnya ilmu tentang pengetahuan umum. Maka hakikat kehidupan akan terlebih dahulu diajarkan,  tentang Allah dan Rasul-Nya sehingga tujuan kehidupan manusia menjadi jelas yaitu untuk mengharapkan ridho Allah. Wallahua'lam.

Oleh : Zayyin Afifah, A.Md, S.AK., Pengajar dan Aktivis Dakwah

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :