Tinta Media - "Libaration of mind before libaration of land." (Bebaskan dulu pemikiran sebelum bebaskan tanah Palestina)
Penggalan pesan dari Dr. Fattah Elawaisi ini cukup membuat otak mendidih.
Apakah maksudnya pemikiran kita sekarang sedang terbelenggu oleh penjara pemikiran? Se-urgent apa, kita harus membebaskan pemikiran?
Saat ini yang sedang berperang adalah tanah Palestina, mengapa yang jauh di sini disuruh membebaskan pemikiran? Apakah Sobat Smart juga memikirkan hal yang sama?
Selama 365 hari lebih Palestina digenosida, dirudal, dibombardir, sampai kehabisan kata untuk menggambarkan kebengisan dan biadapnya tentara Zionis.
Ironis bikin nangis, realitasnya sekuat tenaga untuk galang dana sampai boikot prodak pro Isrewel masih belum cukup untuk rapatkan barisan menghalau rudal, bahkan suara media menyoal genosida tanpa rasa iba makin surut, warna solidaritas kian pudar, seakan berdamai dengan penjajahan di atas dunia.
Wajar ketika seorang pakar Baitul Maqdis atau Palestina mengatakan tentang libaration of mind. Sejatinya, pemikiran kita, khususnya umat Islam terpecah belah. Memandang persoalan di Palestina saja menggunakan barometer berbeda-beda, mulai dari humanity sampai keimanan ataupun akidah.
Ketika pemahama sudah berbeda, sudah dipastikan banyak perbedaan dalam bereaksi, misalnya mencukupkan membantu dalam hal donasi, boikot, unjuk rasa, berdoa, bahkan kita hanya mampu mengecam.
Nyata di depan mata, rangkaian solusi sudah dikerjakan. Namun, terjadi lonjakan korban [MD] menjadi 42.227 syahid, 98.464 korban mengalami luka-luka. Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak. Ini bukan hanya data ataupun angka, tetapi nyawa manusia. (Hidayatullah.com, 14/10/24)
Aksi-aksi bela Palestina yang belum mampu membebaskan penderitaan bahkan penjajahan menunjukkan tidak menyatunya perasaan, pemikiran, dan perbuatan seluruh manusia, khususnya umat Islam.
Padahal, Rasulullah menggambarkan bahwa umat Islam itu satu tubuh, satu bagian. Tergambar jelas, ketika kulit tergores luka, bagian tubuh lain merespon sinyal sehingga merasakan sakitnya.
Sejatinya, ini bukti nyata pemikiran kita perlu dibebaskan, agar kita bisa memahami rangkaian panjang sejarah tanah suci Palestina, sehingga bisa memahami akar permasalahan yang terjadi.
Analogi sederhana, ketika kita tiba-tiba kedatangan orang asing yang mengaku bahwa rumah yang kita tinggali adalah rumah mereka, dengan dalil,
"Dulu nenek moyang ku tinggal di sini."
Kamudian, kita dipaksa keluar dari rumah yang susah payah dibangun orang tua dengan jerih payah mereka. Ketika kita tidak mau angkat kaki, maka kita akan dibantai. Bagaimana perasaan kita? Apa yang akan dilakukan oleh semua anggota keluarga maupun saudara? Asik menyaksikan atau ikut aksi melawan penjajah?
Dari ilustrasi sederhana tersebut, kita bisa mengetahui duduk perkaranya sehingga memiliki satu pemikiran, satu pemahaman, dan mengambil langkah yang tepat, tidak mudah termakan play victim dan berita hoax, seolah-olah pelaku menjadi korban, seperti yang terjadi hari ini,
"Palestina yang mulai duluan. Andai saja 7 Oktober 2023 Hamas tidak menembakkan rudal duluan, pasti sekarang aman nan nyaman."
Ada yang masih berpikir seperti itu? Semoga Sahabat Smart tidak, ya?
Harusnya seperti apa? Apakah ketika rumah kita diambil alih orang lain secara paksa, kemudian dengan senang hati kita membagi dua seperti solusi yang ditawarkan PBB kepada Palestina, yaitu two nation state?
Tentu hal yang paling rasional bin masuk akal adalah mengusir orang asing itu keluar dari rumah. Lawan dengan kekuatan apa pun yang kita punya. Para tetangga juga harus membuat formasi untuk mengusir dan para netizen bersatu padu dalam menjalankan julid fisabilillah, yaitu menyuarakan kebenaran. Ketika semua satu pemikiran dalam merespon setiap persoalan, maka akan diqhasilkan aksi yang nyata dan sama.
Kalau flash back ke sejarah, perang pemikiran ini dimulai dari rangkaian panjang perang Salib, tepatnya perang Salib ke tujuh. Saat itu, pasukan salib yang dipimpin Raja Louis IX mengalami kekalahan dari pasukan muslim dan malu yang luar biasa. Karena sudah kalah, Raja Louis juga ditawan oleh pasukan muslim. Padahal, pasukan salib berjumlah tiga puluh ribu pasukan, yang tidak sebanding dengan kaum muslimin yang di bawah sebelas ribu pasukan.
Musuh-musuh Islam akhirnya mengetahui alasan kaum muslimin selalu menang dalam perang, yaitu ketika di hati masih bersemi Islam. Artinya, jika pemikiran dan perasaan disatukan dengan akidah Islam, akan sangat sulit melemahkan dan merobohkan benteng pertahanan kaum muslimin.
Berangkat dari kekalahan pasukan Salib, mereka membuat strategi baru dengan menyebarkan narasi-narasi kebohongan, hadis-hadis palsu, agar melahirkan keraguan di hati umat Islam, atau yang dikenal dengan "War Mind/Perang Pemikiran/Gazwul Fikhri".
Selaras dengan hadis Rasulullah yang sangat relate menggambarkan keadaan umat hari ini,
"Nanti umatku di akhir zaman jumlahnya akan sangat banyak, tetapi ibarat buih dalam lautan, karena terjangkit virus al-wahn."
Maksud dari al-wahn adalah cinta dunia dan matifobia. Sangat masuk akal ketika di hati manusia tidak di install dengan Islam secara kaffah atau keseluruhan, pasti akan sangat rapuh dan mudah terjangkit al-wahn. Diperparah dengan era digital native, pemikiran-pemikiran menyesatkan terlihat benar, hanya karena standar kebenaran ada pada suara mayoritas.
Kondisi tersebut juga ditopang dengan setiap individu yang disibukkan dengan persoalan masing-masing dan jauh dari agama. Ketika agama tidak dijadikan rujukan dalam seluruh perbuatan dan tingkah laku, sudah bisa dipastikan akan menjadikan akal seseorang mudah menginstal pemikiran-pemikiran sesuai keinginan saja. Alhasil, kita jadi lupa dengan pembantaian di tanah Palestina.
Seharusnya, kita bisa fokus pada akar persoalan, yaitu melaksanakan misi awal, pembebasan pemikiran agar konsisten dan disiplin dalam belajar untuk menyuarakan sejarah Palestina.
Agar terlepas dari belenggu war mind, mari kita unistal pemikiran-pemikiran menyesatkan! Pastikan upgrade pemikiran Islam yang standarnya jelas dari Sang Pencipta!
Relate dengan Firman Allah, "... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu ...."
Jadi, jangan ragu untuk terus bersatu padu dalam barisan pembebas Palestina. Ambil langkah, tentukan peran! Jangan sampai Palestina merdeka, sedangkan kamu hanya sebagai penonton! Ingat, segala sesuatu yang kita kerjakan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pencipta. Jangan sampai saudara seiman kita menderita, dijajah, sementara kita hanya mengecam sambil menyaksikan pembantaian. Nauzubillah!
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.,
Penulis Ideologis, Sahabat Tinta Media