Kontradiksi Data Kepuasan Publik: Menyoal Pencitraan di Tengah Problem Struktural - Tinta Media

Sabtu, 19 Oktober 2024

Kontradiksi Data Kepuasan Publik: Menyoal Pencitraan di Tengah Problem Struktural

Tinta Media - Menjelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, data terkait kepuasan publik menjadi salah satu isu yang kontroversial. Survei terbaru dari Indikator Politik Indonesia melaporkan bahwa 75 persen masyarakat merasa puas dengan kinerja pemerintah. (detik.com, 04-10-2024). Namun, di balik angka ini, timbul pertanyaan kritis: apakah hasil survei ini mencerminkan realitas di lapangan atau hanya sebatas upaya pencitraan yang menyamarkan problematika struktural yang ada?

Secara teoritis, eksposisi ini akan menganalisis kontradiksi antara hasil survei dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Pertama, peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bukti kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang nyata bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, memperlebar ketimpangan ekonomi dan mengabaikan kebutuhan pokok masyarakat.

Dari perspektif agama, khususnya Islam, negara memiliki tanggung jawab sebagai pengurus rakyat. Hal ini mencakup pengelolaan sumber daya secara adil dan transparan, serta pengambilan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan umum, bukan kepentingan segelintir elite. Dalam Islam, negara dituntut untuk memiliki aparatur yang profesional, amanah, dan beriman. Penerapan nilai-nilai ini hanya mungkin terjadi dalam sistem yang berlandaskan akidah Islam, yang memandang amanah sebagai tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah.

Terdapat hadis dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ketika ia meminta jabatan kepada Rasulullah SAW:

"Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang lemah dan jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya ia pada hari kiamat nanti menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban yang ada padanya." (HR. Muslim).

Hadis ini memberikan peringatan bahwa jabatan kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat dan akan menjadi sumber penyesalan kecuali bagi mereka yang mampu menunaikannya dengan penuh tanggung jawab, jujur, dan amanah. Salah satu prinsip utama yang ditekankan dalam Islam adalah kejujuran. Dalam sistem Islam, pemimpin dan aparat negara memiliki tanggung jawab moral yang sangat tinggi, karena mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi juga kepada Allah. Kesadaran akan pertanggungjawaban ini menjadikan mereka lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugas mereka. Mereka memahami bahwa setiap tindakan yang mereka ambil akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat.

Islam sangat menentang pencitraan atau manipulasi yang bertujuan untuk menutupi kelemahan atau memalsukan realitas. Pencitraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dianggap sebagai bentuk kebohongan, dan dalam Islam, kebohongan adalah dosa besar yang akan mendatangkan hukuman di dunia dan akhirat.

Lebih jauh lagi, Islam secara tegas menentang praktik pencitraan yang bertujuan menutupi kebenaran. Prinsip kejujuran dan transparansi menjadi fondasi dalam setiap tindakan dan kebijakan. Dalam konteks ini, upaya pencitraan yang dilakukan pemerintah bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, di mana kejujuran menjadi kunci utama dalam menjalankan amanah publik.

Sebagai solusi, diperlukan reformasi yang berbasis pada nilai-nilai agama, terutama Islam, yang mengedepankan tanggung jawab moral dan spiritual dalam menjalankan kekuasaan. Solusi yang ditawarkan berupa peralihan menuju sistem Islam bisa menjadi solusi konkret yang layak dipertimbangkan. Dalam sistem ini, keadilan sosial, transparansi, dan tanggung jawab moral menjadi pilar utama yang mendasari setiap kebijakan yang diambil, dengan tujuan utama menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali.

Dengan demikian, kontradiksi antara pencitraan dan realitas dapat diatasi, dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan secara adil dan merata. Hanya dengan pendekatan solutif dalam sistem Islam yang berlandaskan pada keadilan dan moralitas agama, negara dapat benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat dan bukan sebagai alat pencitraan bagi kepentingan politik semata.

Oleh: Novi Ummu Mafa, S.E., Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :