Tinta Media - Hj. Renie Rahayu Fauzi, SH., legislator dari PKB dikukuhkan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bandung periode 2024-2029. Sebagai ungkapan terima kasih, ia berjanji memberikan bukti kerja nyata, pengabdian, dan memfasilitasi masyarakat Kabupaten Bandung sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin DPRD Kabupaten Bandung.
Sebagai ketua DPRD, Renie mengajak semua anggota dewan untuk meningkatkan komunikasi dengan masyarakat, serta menjaga keharmonisan dengan eksekutif dan yudikatif, sehingga bisa membawa kemajuan Kabupaten Bandung dalam berbagai aspek.
Perempuan di zaman sekarang cenderung ingin merobohkan asumsi mayoritas masyarakat tentang peran perempuan sebagai suporter laki-laki dari belakang saja. Perempuan dianggap tidak mempunyai peluang besar untuk ikut berperan seperti halnya laki-laki.
Sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah menyebabkan buruknya kondisi perempuan. Ada anggapan bahwa semua itu terjadi akibat belum terwujudnya kesetaraan gender. Solusinya adalah perempuan harus setara dengan laki-laki, termasuk dalam bidang politik.
Maka, kita perlu membuktikan kebenaran dari fakta tersebut. Faktanya, pergantian orang di kursi kekuasaan sudah berkali-kali terjadi, bahkan perempuan pernah menduduki posisi tertinggi sebagai penentu kebijakan maupun di legislatif. Akan tetapi, hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.
Keadaan justru tidak kunjung berubah, bahkan makin parah. Perempuan justru dijadikan sebagai tulang punggung, bahkan alat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia. Semua itu dilegalkan atas nama kesetaraan gender. Alhasil, alih-alih membawa kesejahteraan bagi perempuan, kesetaraan gender justru menyengsarakan perempuan itu sendiri dan menghancurkan keluarga serta generasi.
Tidak jarang, akibat ditariknya perempuan dari ranah domestik ke ranah publik dengan dalih kesetaraan gender, muncul komunikasi yang terhambat bagi perempuan kepada suaminya, juga masalah pengasuhan terhadap anak-anak.
Perempuan memang berperan dalam menyelamatkan masyarakat dari kehancuran dan keterpurukan. Namun, apakah benar anggapan bahwa banyaknya kebijakan yang tidak pro-rakyat seperti sekarang ini semata-mata disebabkan karena perempuan tidak disertakan dalam pengambilan keputusan?
Jika dicermati lebih jauh, permasalahan yang sebenarnya bukan terletak pada siapa penentu kebijakan, apakah dia laki-laki atau perempuan, tetapi lebih kepada sistem yang sedang diterapkan.
Saat ini, sistem dalam kehidupan kita adalah sekuler kapitalisme yang melahirkan sistem pemerintahan demokrasi. Konsekuensinya adalah terjadinya pemisahan antara agama dari kehidupan. Demokrasi meniscayakan adanya kedaulatan di tangan rakyat. Rakyatlah yang berdaulat untuk membuat undang-undang hasil musyawarah dari para anggota dewan.
Kalau hanya dilihat dari sisi kemampuan dan kapabilitas laki-laki maupun perempuan, tentu keduanya punya potensi yang sama. Maka, mereka sepakat bahwa 30% kursi perempuan harus memenuhi kuota anggota DPR/DPRD. Ini selaras dengan perjuangan kesetaraan gender yang diaruskan sang penguasa adidaya.
Beginilah jika hidup dalam sistem kapitalisme. Rasa bangga, merasa berprestasi diukur dengan standar yang bertentangan dengan syari'at Islam.
Jangankan menjadi ketua DPRD, menjadi anggotanya pun sudah tidak benar, karena DPRD seperti halnya DPR, DPD, MPR berbeda dengan Majelis Umat dalam Islam. DPR ini memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi pengawasan, fungsi legislasi (menyusun dan membahas undang-undang), dan fungsi anggaran.
Berbeda dengan Majelis Umat dalam Islam. Majelis umat adalah orang-orang yang mewakili kaum muslimin dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi Khalifah. Bahkan, orang-orang nonmuslim pun diperbolehkan menjadi anggota Majelis Umat untuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam. Jadi, baik laki-laki ataupun perempuan, haram hukumnya berada di DPR/DPRD, karena ada fungsi legislasi. Fungsi ini sesungguhnya milik Allah Swt.
Jadi, jelas perempuan dilarang menduduki kursi kebijakan apalagi sebagai pemimpin dan membuat undang-undang. Akan tetapi, perempuan diberi peluang untuk beraktivitas politik di ranah publik. Perempuan diwajibkan juga melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana laki-laki. Perempuan diperbolehkan menjadi anggota majelis syuro yang berfungsi sebagai lembaga musyawarah dan muhasabah kepada penguasa.
Sudah saatnya kita bergerak membangunkan umat dari keterlenaan. Ini tidak akan pernah terwujud selama umat Islam mencampakkan aturan Allah, dan juga berhukum berdasarkan akal dan hawa nafsunya. Sebaliknya, umat akan mulia dan meraih kemenangan jika menerapkan Islam secara kaffah. Wallahua'alam bishshawab.
Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media