Tinta Media - Pada akhir masa jabatannya, pemerintah masih saja membuat aturan baru terkait jumlah menteri untuk periode berikutnya. Seharusnya pemerintahan Jokowi sudah memasuki lame duck period, yaitu masa ketika DPR dan pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan di sisa masa jabatan yang penggantinya sudah ada. Akan tetapi, DPR tetap saja mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 pada Kamis (19/9).
Setidaknya, terdapat enam poin penting dalam perubahan tersebut. Satu di antaranya mengenai jumlah kementerian yang kini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden. Jumlah kementerian akan bertambah menjadi 44 kementerian pada era kepemimpinan Prabowo.
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyatakan bahwa penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Jadi, ada semacam over coalition yang butuh diakomodasi sehingga satu-satunya pilihan adalah menambah jumlah kementerian (CNN Indonesia, 20-9-2024).
Jika kita amati, jumlah kementerian era Jokowi sebenarnya sudah cukup gemuk sehingga menjadikan kinerja kementerian tidak efektif, bahkan tumpang-tindih. Kabinet obesitas hanya akan membuka peluang korupsi dan tentu menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan balas jasa.
Selain itu, banyaknya kementerian jelas membutuhkan tambahan dana untuk menggaji para menteri. Risiko defisit APBN akan makin lebar dan utang makin bertambah. Lagi-lagi hal ini bisa menjadi alasan pemerintah menaikkan pajak. Belum lagi dengan makin banyak kementerian, makin besar pula peluang untuk korupsi karena masing-masing menteri dapat membuat kebijakan dan negosiasi untuk kepentingan masing-masing. Belum jelas keuntungan yang didapat oleh rakyat, justru rakyat sudah harus siap dengan dampak negatif dengan kebijakan ini.
Realitas ini menunjukkan kepada kita bahwa sistem kapitalisme menyebabkan lahirnya aturan-aturan yang menguntungkan pemilik modal. Pemilik modal yang memberikan modal untuk pemilu akan mendapatkan hasilnya setelah calon pemimpin dilantik. Bahkan, sebelum dilantik pun, mereka sudah mendapat keuntungan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada makan siang gratis. Wajar apabila peraturan yang ada akan mudah diubah sesuai kepentingan yang diinginkan. Misalnya, jumlah kursi menteri dirasa kurang untuk mengakomodasi semua yang berkoalisi, maka dibuat saja aturan yang dapat mengakomodasi semuanya, tanpa melihat apakah itu berdampak baik atau buruk untuk masyarakat. Meskipun slogan demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, kenyataannya tidak demikian.
Sementara itu, jika kita bandingkan dengan sistem kekhilafahan, kepemimpinan dalam khilafah akan terpusat (sentralistis) pada khalifah (kepala negara). Hal ini akan memperkecil celah korupsi. Khalifah diperbolehkan mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya. Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien dengan jobdesk dan tanggung jawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun selain kekuasaan (administrasi).
Standar aturan yang menjadi rujukan khalifah adalah hukum syara' sehingga khalifah tidak akan mudah mengubah aturan yang ada sesuai kepentingannya, apalagi bertentangan dengan syariat. Itulah perbedaan yang menonjol antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam (khilafah).
Oleh: Desi Kurniasih
(Aktivis Muslimah Sidoarjo)