Tinta Media - Beredar surat dari Kemenag (Kementrian Agama) yang ditebuskan kepada Kominfo (Kementrian Komunikasi dan Informatika). Tertuang pesan dari Kemenag, berhubung tanggal 5 September 2024 akan diadakan Misa akbar oleh Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno (GBK), berlangsung dari jam 17.00 - 19.00 WIB. Harapan dari Kemenang melalui sepucuk surat resmi itu, adanya relasi semua pihak termasuk pihak penyiaran stasiun televisi, ketika memasuki waktu sholat magrib, selama Misa berlangsung, adzan diganti pemberitahuan waktu sholat dengan running text. (Detiknews, 04/09/24)
Sekilas terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah. Mengedepankan nilai solidaritas dan toleransi. Ketika Misa berlangsung, tidak ada gangguan berupa iklan atau adzan saat disiarkan secara live streaming. Entah maindset penulis yang keliru, atau memang ada misi besar dibalik kedatangan Paus Fransiskus?
Setidaknya ada dua point penting yang harus dipahami menyoal kedatangan Paus ke negeri ini.
Pertama, agenda Paus Fransiskus di Indonesia sebelum Misa berlangsung di GBK, mengadakan pertemuan lintas agama di masjid Istiqlal, dihadiri banyak tokoh dari berbagai macam agama dan banyak simbolik toleransi, Bhineka Tunggal Ika, serta kemajemukan negeri ini, seperti dituangkan dengan mengunjungi terowongan silaturahmi, hingga Paus Fransiskus dijadikan rujukan dalam pembahasan realitas dunia saat ini.
Melihat reaksi para pengemuka agama Islam, dengan ikut berpartisipasi, terlibat, bahkan antusias mengikuti agenda lintas agama, justru menimbulkan culture shock minoritas Muslim. Kenapa? Sekilas seakan baik-baik saja, namun terjadi toleransi yang kebablasan. Misalnya dengan case lain, seorang Muslim mengenakan celana cingkrang dan cadar diframing negatif, diklaim intoleren dan radikal.
Contoh case terkini, adanya larangan untuk mengenakan jilbab terhadap dokter, dengan dalih proses perekruitmen. Kemudian, dr. Diani Kartini, SpB Subsp. Onk (K) mengundurkan diri karena merasa didiskriminasi. Sejatinya mereka hanya mengerjakan bagian dari sunnah Rasulullah, ajaran Islam, atau apa yang mereka yakini sesuai syariat Islam.
Namun, melihat atensi seluruh elemen termasuk kaum Muslim, ketika menyambut Paus Fransisko, berebut berjabat tangan, seakan sosok role model terbaik sepanjang masa, sampai menangis-nangis sangking harunya, semua seakan terbius, bahwasanya dalam waktu bersamaan, terjadi diskriminasi terhadap agama Islam, karena terjadi kesenjangan respon yang abnormal. Ketika ada sosok ingin taat kepada agamanya diklaim intoleransi, bertolak belakang dengan statement Paus Fransiskus di tahun 2023 menyoal membolehkan pemberkatan pasangan sesama jenis dipandang toleransi.
Kedua, mengembalikan esensi adzan ke makna syar'i. Azan merupakan pengingat untuk kaum muslimin bahwasanya sudah memasuki waktu ibadah sholat. Taukah kalian? Ketika Bilal Bin Rabah ditunjuk menjadi Hakim Agung, selepas Rasulullah wafat, Bilal memilih bersembunyi, karena Bilal terngiang perkataan Rasulullah, "bahwasanya aku mendengar suara sendal Bilal Bin Robah di surga," berlandasan sabda Rasulullah, Bilal memilih menjaga suara adzannya ketimbang jabatan lainnya, artinya adzan itu bukan sekedar lantunan merdu pengingat sholat.
Dalam lafadz adzan terdapat pengakuan bahwasanya Allah Maha Besar, aku menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, aku menyaksikan rasulullah Muhammad merupakan utusan Allah, marilah melaksanakan sholat, marilah menuju kejayaan, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan selain Allah. Artinya dalam adzan terkandung nilai-nilai aqidah kaum Muslimin ataupun idroksilabillah.
Kemudian, bagaimana Bilal menggambarkan seseorang bukan dari performance yang nampak dengan analogi vibes positif, sepatu Qarun menghantarkan pada neraka sedangkan sendal jepit Bilal terdengar di surga. Inilah sosok figur sesungguhnya menyoal toleransi dan keberagaman. Islam tidak pernah memandang kelas, jabatan, ras, suku, bahkan tidak memaksakan kepercayaan dan keyakinan setiap individu untuk menghamba.
Islam mengajarkan sebaik-baiknya toleransi, digambarkan dalam TQS. al-Maidah ayat 3, telah Aku sempurnakan agamamu untuk mu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi mu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.
Sehingga, paradigma bahwasanya semua agama itu sama, Tuhan itu sama yang beda hanya caranya, atau toleransi beragama dalam konteks kemajemukan era zaman now merupakan makna rancu multitafsir. Analoginya dibalik, ketika seluruh agama sama, seharusnya umat beragama selain Islam mau dengan terbuka dan senang hati untuk memeluk Islam, ataupun sebaliknya. Namun realitasnya kan tidak seperti itu. Artinya antara argumen dan realitas dilapangan tidak make sanse.
Bebenah dari sekarang, jangan sampai ajaran Islam porak-poranda disetting sesuai pesanan serta cenderung mengikuti pesanan. Mulai dari mana? Tiada cara lain selain belajar, dan temukan jawaban kenapa Tuhan itu Allah? Kenapa beragama Islam? Kalo kebenaran sejarah kegemilangan Islam itu nyata, dimana berjaya selama 1300 tahun menguasai 2/3 benua, lantas kenapa sekarang seakan Islam tidak relevan dengan zaman?
Dari sejarah kita akan belajar menentukan masa depan, sebelum menentukan masa depan mu seperti apa, kenali terlebih dulu Sang Pencipta. Karena berangkat dari pemahaman yang benar akan melahirkan perbuatan yang benar. Pemikiran dan perbuatan yang benar seperti apa? Tentu barometer kebenaran ada pada pembuat alam semesta, manusia, dan kehidupan.
Relate dengan perkataan Dr. Abdul Fattah El-Awaisi, "Libaration Of Mind, Before Libaration Of Land," bebaskan dulu pemikiran mu agar tidak terbelunggu, dangkal, berpikir mundur, dan terbelakang. Jadi, untuk memutus rantai Islam agama mayoritas namun serasa minoritas karena dikriminasi dengan dalih intoleransi, adalah dengan mempelajari Islam itu sendiri.
Wallahu'alam Bisowab.
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., Penulis Ideologis, Kontributor Tinta Media