Tinta Media - Negara ini sedang mengalami kebocoran anggaran dikarenakan pengemplangan pajak. Kebocoran anggaran yang terkuak senilai Rp 300 Triliun. Kasus baru ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Negara ini. Beberapa waktu silam terjadinya kasus korupsi tata niaga di PT Timah Tbk (TINS) yang juga merugikan Negara dengan nilai Rp 271 Triliun. Bahkan Direktorat Jendral Pajak (DJP) dan Sri Mulyani Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mendalami laporan 300 pengusaha pengemplangan pajak di sektor sawit.
Pemerintahan dari presiden terpilih yaitu Prabowo Subianto berencana akan menambal kekurangan anggaran belanja negara pada 2025 dengan mengejar penerimaan negara yang bocor akibat pengemplang pajak. Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, yakni Dradjad Wibowo mengatakan, anggaran untuk belanja negara tahun depan ini akan membutuhkan sekitar Rp 3.900 triliun. Ynag mana artinya, terdapat kekurangan sekitar Rp 300 triliun dari alokasi belanja pada APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun. (Kompas, 9/10/2024).
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) turut membeberkan tentang potensi hilangnya penerimaan negara sebesar Rp 300 triliun di sektor kelapa sawit. Potensi akan hilangnya penerimaan negara itu sebelumnya diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sekaligus adik Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo.
Juru bicara dari Menko Marves, Jodi Mahardi menyebutkan bahwa data yang diungkapkan Hashim berasal dari audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dia mengatakan bahwa potensi penerimaan negara itu bisa didapatkan dari perbaikan tata kelola sektor kelapa sawit. (CNBCIndonesia, 10/10/2024).
Kebijakan pembayaran pajak yang Negara buat dari rakyat untuk rakyat nyatanya menyengsarakan rakyat dan mengistimewakan pengusaha. Pasalnya isu pengemplangan pajak terjadi pada segelintir pengusaha yang diberikan hak istimewa atas bebasnya tak membayar pajak. Negara mengistimewakan pengusaha dalam berbagai kebijakan seperti tax amnesty, insentif dan memalak pajak kepada rakyat sipil.
Dalam sistem kapitalisme saat ini sektor barang dan jasa akan dikenai beban pajak. Negara menjadikan pajak bagian dari kebijakan fiskal. Fakta dari anggaran belanja negara tahun 2025 membutuhkan dana yang lebih besar lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Maka sudah dipastikan pajak yang akan dibayar rakyat akan lebih besar lagi mengingat besarnya anggaran yang dibutuhkan negara.
Kebijakan tidak adil dan tidak manusiawi dengan langkah blunder yang tidak berperasaan semacam ini hanya ada di sistem yang saat ini diterapkan ditengah-tengah kita yaitu sistem kapitalisme. Di mana sumber pendapatan utama Negara ini adalah pajak. Di saat polemik ekonomi sedang kritis yang dialami rakyat justru Negara sedang mengejar kekurangan anggaran Negara melalui pajak.
Polemik semacam ini sangatlah membebani rakyat. Negara tidak berlaku tegas terhadap pengusaha pada soalan pajak dan berbanding terbalik ketika bersangkutan pajak dari rakyat. Inilah sistem ekonomi yang lemah itu, sungguh ironis sekali negara ini.
Sistem kapitalisme dalam urusan ekonominya sangatlah mempengaruhi para pemerintahan elite yang mengakibatkan tunduknya kepada para kapital (pemilik modal). Sampai-sampai dapat dikatakan bahwa para kapital-lah yang berkuasa di Negara ini.
Bahkan tercantum di dalam UU No.28 tahun 2007 pasal 4 ayat (1) bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terhutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa. Maka dari itu sudah sangat jelas kebijakan terkait pajak sangat mencekik rakyat dalam bentuk paksaan.
Penjabaran pajak yang dilaksanakan kapitalisme hanya terjadi di sistem yang lemah tak bertanggung jawab terhadap rakyat yang menderita. Sistem ini memiliki pandangan bahwa manusia berhak membuat peraturan (undang-undang) dan berhak pula mencabut kembali kekuasaan sekaligus mengganti termasuk mengubah undang-undang sesuai kehendak sang kepala negara.
Berbeda jika di dalam sistem Islam. Islam melarang adanya pajak. Maka pajak (dharibah) akan berlaku jika Baitul mal kosong dan dalam keadaan mendesak serta genting. Bahkan jika pajak diterapkan dalam sistem Islam sekalipun, maka hanya diterapkan pada yang mampu dalam artian sudah tercukupi seluruh ekonomi keluarganya.
Dikutip dari kitab Nizham Al-Islam pada bab sistem ekonomi pasal 148 dan pasal 149, anggaran belanja Negara memiliki pos-pos yang baku yang telah ditentukan hokum syara’. Rincian pos-pos anggaran dan nilainya untuk masing-masing bagian, serta bidang-bidang apa saja yang memperoleh anggaran, semua ditentukan oleh pendapat dan ijtihad Khalifah. Sumber tetap pemasukan Baitul Mal berupa fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz dan zakat.
Begitu jelas dalam kacamata Islam mengenai pemungutan pajak. Islam bukan hanya mengurusi polemik individu-individu saja, tetapi Islam Kaffah (menyeluruh) mengurusi urusan umat sampai bangun Negara dan menjauhkan rakyat dari kesengsaraan tanpa terikat pajak yang mencekik.
Wallahu'alam bishawwab.[]
Oleh: Dian Wiliyah Ningsih, Mahasiswi dan Aktivis Dakwah