Harga Beras Naik, Petani Tak Kunjung Sejahtera - Tinta Media

Senin, 14 Oktober 2024

Harga Beras Naik, Petani Tak Kunjung Sejahtera

Tinta Media - Harga beras kembali meroket naik. Masyarakat selalu saja harus merogoh kocek lebih dalam untuk memenuhi kebutuhan hidup bahkan untuk membeli beras sebagai makanan pokok. Terungkap menurut Bank Dunia, harga beras di Indonesia tertinggi diantara negara-negara ASEAN yang lain dan lebih mahal 20% dari harga beras di pasar global (mentrotvnews, 20/9/2024)

Harga beras yang tinggi ini semakin menyulitkan masyarakat untuk bisa membeli pangan bergizi lainnya seperti daging, ikan, telur, sayuran dan buah-buahan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bank Dunia, hanya 31% penduduk Indonesia yang bisa membeli makanan sehat bergizi (kompas.com, 20/9/2024). Maka bagaimana mungkin mewujudkan visi Indonesia emas jika untuk sekedar memenuhi gizi agar tumbuh kembang optimal saja masyarakat tidak mampu?

Disisi lain walaupun harga beras naik, kesejahteraan petani tidak linier naik sebagaimana melonjaknya harga beras. Berdasarkan survei pertanian terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari 1 dollar AS atau 15.199 Rupiah per hari sementara per tahunnya hanya 5,2 juta saja (kompas.com, 20/9/2024). Bahkan pendapatan petani tanaman pangan lebih rendah dibandingkan petani tanaman perkebunan dan hortikultura.

Penyebab Tingginya Harga Beras

Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Rahmi Widiriani menuturkan bahwa biaya produksi menjadi penyebab mahalnya harga beras. Biaya produksi di sini meliputi biaya pupuk, benih, biaya herbisida, biaya pekerja dan biaya penyusutan alat.

Faktor yang mengakibatkan tingginya biaya produksi pertanian di Indonesia diungkapkan oleh Kepala Peneliti Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Amant, ia mengatakan hal itu disebabkn keterbatasan lahan, serta keterbatasan benih berkualitas dan keterbatasan akses pupuk (antaranews, 17/2/2022). Menurutnya rata-rata petani di Indonesia hanya menguasai lahan sebesar 0,6 hektare sehingga menyebabkan biaya produksi yang tinggi dan tidak efisien jika dibandingkan dengan menggarap lahan pertanian dalam skala yang lebih besar. Hal ini senada dengan hasil sensus pertanian 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 62,05% petani Indonesia merupakan petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha. Selain itu keterbatasan akses petani Indonesia pada benih berkualitas dan pupuk juga menjadi salah satu penyebabnya. Pupuk subsidi tidak dapat memenuhi kebutuhan petani, sementara harga pupuk nonsubsidi sangat mahal dibanding pupuk bersubsidi.

Dari fakta di atas dapat dikatakan bahwa dari sektor hulu hingga sektor hilir pertanian dikuasai oleh segelintir orang yakni para kapitalis serta tuan-tuan tanah. Sedangkan petani yang memiliki kemampuan bertani malah tidak mempunyai lahan, dan kebanyakan menjadi buruh tani bukan mengelola lahan sendiri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan menteri agraria dan tata ruang yang menyebutkan rasio gini ketimpangan penguasaan lahan dan kepemilikan tanah di Indonesia sebesar 0,58 artinya ada 1% orang yang mengusai 58% ruang dan lahan agraria di Indonesia (theconversation.com, 20/12/2023).

Begitu juga dengan pupuk yang harganya mahal dikuasai oleh korporasi bukan negara. Sebut saja PT. Pupuk Indonesia (PERSERO) yang merupakan produsen pupuk terbesar di Asia, saham pemerintah RI hanya sebesar 4,97% sedangkan 90% nya milik perusahaan (pi.pangan.com). Hal yang sama juga terjadi pada peralatan pertanian

lainnya.

Sementara belum lama ini pemerintah sedang melakukan pembatasan impor beras, yang mengakibatkan harga beras melonjak tajam. Menurut data kementerian pertanian, luas sawah di Indonesia terus menurun, hingga 2019 hanya mencapai 7,4 juta Ha saja.

Tentu saja ini mempengaruhi produktivitas tanaman pangan, yang berefek kepada mahalnya harga beras. Belum lagi permainan ritel-ritel bisnis beras atau mafia beras yang dengan mudahnya memainkan harga. Walaupun harga gabah naik, praktik tengkulak di lapangan yang membeli gabah petani dengan harga rendah, dan petani tak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan nantinya gabah yang telah berubah menjadi beras

ini akan dijual dengan harga tinggi. Selain sektor hulu, sektor hilir pertanian yakni pengelolaan gabah hingga menjadi beras pun tidak dikuasai petani. Wajar tiap harga

beras naik, petani hanya bisa gigit jari.

Impor beras pun tampaknya masih menjadi opsi bagi pemerintah dalam mengatasi masalah pangan di Indonesia. Bahkan yang membuat akhirnya petani beralih menanam tanaman lain bukan padi, karena masifnya impor beras beberapa tahun terakhir yang berbarengan dengan panen raya.

Penguasaan sektor pertanian dari hulu hingga hilir oleh swasta yakni para pemilik modal, serta kebijakan impor yang diambil pemerintah mencerminkan bahwa pemerintah menganut tata kelola negara ala kapitalisme. Sistem kapitalisme meniadakan peran negara sebagai ra’in atau pengurus bagi rakyatnya. Negara hanya sebagai regulator yang memberikan karpet merah kepada siapa pun bahkan asing untuk menguasai sumber daya alam dan industri strategis di dalam negeri. Maka tidak heran jika petani dibiarkan bertahan dan berupaya sendiri bahkan subsidi pupuk tidak semua petani bisa mendapatkannya.

Solusi Islam

Berbeda dengan Kapitalisme, Islam memandang beras sebagai komoditas penting yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Oleh karena itu negara akan hadir sebagai ra’in yang bertanggung jawab penuh atas sektor pertanian hulu hingga hilir. Negara tidak akan berlepas tangan dan memilih solusi praktis impor tanpa berpikir dan berupaya strategis dan efektif mengupayakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan menjaga kesejahteraan petani.

Di sektor hulu, negara Islam akan memberikan bantuan pertanian kepada petani. Bantuan tersebut dapat berupa lahan untuk ekstensifikasi, pupuk, benih, pestisida, alat pertanian, dll.. Sedangkan di sektor hilir, Negara Islam akan menjamin dan menjaga kelancaran distribusi. Pelaku penimbunan akan diberi sanksi yang tegas dan menjerakan. Tidak akan ada mafia pangan dalam negara Islam, pelaku dan aparat yang terlibat akan dihukum dengan adil.

Oleh: Annisa, SST., M.Eng., Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :