Tinta Media - Keadaaan hari ini semakin tidak baik-baik saja. Setiap hari kita disuguhi beragam informasi yang tidak mengenakkan. Salah satunya, hal yang jelas-jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, justru dilegalkan, seperti miras atau minuman keras. Beragam nama minuman keras kini muncul lagi di permukaan.
Nama-nama minuman keras dalam video yang beredar belakangan ini seperti tuyul, tuak, “wine”, dan “beer” mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementrian Agama (Kemenag). Padahal, aturan yang ada menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak boleh mendaftarkan sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam. Akan tetapi, kenyataannya justru masih ada produk yang menggunakan nama-nama yang bertentangan dengan syariat dan mendapatkan sertifikasi halal. (Kumparannews.com, 03/10/2024).
Hal ini ternyata ditemukan juga oleh pihak investigasi bidang fatwa MUI. Mereka merasa kecolongan mengapa BPJPH mengeluarkan label halal pada produk-produk minuman keras tersebut. Disebutkan bahwa BPJPH melakukan proses sertifikasi tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dari bidang fatwa MUI. (wartabanjar.com 01/10/2024).
Jebolnya sistem urutan pemeriksaan produk-produk yang beredar di masyarakat ini membuktikan bahwa pengawasan dari pihak instansi terkait tidak ketat. Hal ini dipicu oleh kepentingan sebagian oknum yang ingin usahanya lancar dan mendapatkan keuntungan lebih dari hasil usahanya. Mereka tidak mempertimbangkan kerugian yang bisa berdampak luas di tengah-tengah masayarakat umumnya dan penikmat, terutama generasi muda khususnya.
Gaduhnya masalah ini sangat berkaitan erat dengan sistem kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme sudah sangat mengakar sekarang dan penguasa sangat berperan di dalamnya. Mereka sengaja mengadu domba umat.
Umat dibuat bingung dengan langkah penguasa ini, sedangkan penguasa hanya mementingkan pendapatan yang gampang diraih daripada efek negatif yang akan timbul.
Labelisasi halal di sistem kapitalisme ini tidak menyertakan persyaratan penamaan produk, tetapi hanya dilihat bahan atau zat yang terkandung di dalamnya, apakah memenuhi bahan-bahan yang halal atau tidak. Hal ini justru memicu kerancuan yang membahayakan bagi masyarakat. Apalagi, karena kapitalisasi, labelisasi halal bisa saja diperjualbelikan.
Lain halnya jika aturan Islam diterapkan. Islam datang membawa aturan yang super lengkap. Walaupun sekadar penamaan produk, Islam juga mengaturnya. Ini karena penamaan sesuatu adalah hal yang baik.
Sesuatu yang baik akan menghasilkan hal yang baik pula. Bahan-bahan yang ada di dalam suatu produk pun juga diatur dalam Islam. Jadi, produk menjadi halalan thayyiban. Umat tidak bingung dan rancu dalam pemilihan produk. Islam jelas mengatur mana yang haram dan mana yang halal.
Mengenai sertifikasi kehalalan sebuah produk, ini merupakan kewajiban dari sebuah institusi negara. Negara melakukan tugasnya melalu lembaga yang berwenang atau qadli yang ditunjuk untuk mengawasi peredaran produk-produk di pasar atau pusat perbelanjaan.
Bahkan, qadli juga melakukan pengawasan sampai ke tempat produksi, yaitu ke pabrik pembuatannya untuk melakukan pengecekan sampai ke bahan-bahan pembuatnya. Qadli juga mengawasi distribusi produk agar sampai ke umat atau masyarakat luas tanpa adanya kecurangan dan penipuan.
Itulah peran sebuah negara. Negara menjadikan aturan Islam sebagai landasan dalam mengatur rakyat. Sudah pasti umat akan tenteram, aman, dan tidak was-was dengan produk-produk yang akan dikonsumsi karena sudah pasti halal dan thayib. Wallahua’lam.
Oleh: Endang Marviani
(Aktivis Muslimah)