Beras Mahal, Petani Kian Terjungkal - Tinta Media

Kamis, 24 Oktober 2024

Beras Mahal, Petani Kian Terjungkal



Tinta Media - Perekonomian di Indonesia masih bergantung pada sektor pertaian. Indonesia juga memiliki sumber daya alam dan air yang melimpah, tanah yang subur, dan berada pada iklim tropis sehingga mendapatkan sinar matahari yang cukup dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Jadi, sudah sewajarnya jika Indonesia dikenal sebagai negara agraris. 

Sebagai negara agraris, harusnya ada banyak keuntungan bagi masyarakat. Hasil panen yang diperoleh harusnya bisa menjadi penopang perekonomian negara karena bisa mencukupi kebutuhan rakyat, sehingga tidak memerlukan impor dari negara lain. Bahkan, ini bisa menjadi sumber penghasilan negara apabila diekspor ke negara lain.

Namun mirisnya, ternyata semua itu jauh panggang dari api. Di negara yang subur,  kekayaan alam melimpah dan masih banyak sawah, tetapi harga beras mahal. Bahkan, Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan dengan harga beras di pasar global. Saat ini harga beras dalam negeri konsisten bercokol tertinggi di kawasan ASEAN (kompas.com 20/9/2024).

Mahalnya harga beras tidak lantas membuat kehidupan petani menjadi lebih baik. Justru, 
banyak petani yang berada di bawah garis kemiskinan karena mahalnya harga beras diikuti pula oleh mahalnya bahan kebutuhan pokok lain. 

Selain itu, biaya produksi pertanian pun semakin tinggi. Hal inilah yang membuat petani semakin susah. Bahkan, menurut hasil Survei Terpadu Pertanian 2021 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari USD1 sehari atau USD341 dalam kurun waktu satu tahun (Metrotv, 20/9/2024).

Penerapan sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalis telah menjadikan korporasi  sebagai  “penguasa” yang sesungguhnya dan hanya berorientasi pada keuntungan saja. Sehingga sektor pertanian pun tidak lepas dari cengkeraman oligarki dari hulu hingga ke hilir. Hal ini  sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani. Jadi tidak heran, walaupun harga beras mahal, kehidupan petani tidak semakin meningkat, malah kian terjungkal.

Seluruh faktor di atas sebenarnya merupakan kondisi klasik yang selama ini telah menjadi pemicu munculnya masalah dalam tata kelola beras. Sekalipun pemerintah telah menetapkan banyak kebijakan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, nyatanya kebijakan itu tidak solutif karena regulasi yang dilahirkan hanya berupa kebijakan teknis yang tidak berbasis kebutuhan rakyat yang sebenarnya. Lantas, apa yang menjadi akar masalah sebenarnya?

Ini semua terjadi karena penerapan sistem kapitalisme. Di sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang lebih berpihak kepada oligarki. Konsep untung-rugi yang diterapkan makin melemahkan petani dengan modal terbatas dan menguatkan kaum kapitalis atau pemilik modal dalam pertanian. Begitu pula dengan konsep pertanian modern seperti food estate yang sekarang ini dikembangkan. Ini pun merupakan wujud dari korporatisasi atau industrialisasi pertanian yang sudah pasti bukan berorientasi pada rakyat. 

Berbeda dengan sistem Islam, negara menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu basis pertahanan dan untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara akan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya sesuai dengan sistem ekonomi Islam. 

Khalifah, pemimpin dalam sistem Islam akan menetapkan kebijakan yang berbasis pada rakyat. Kebijakan dalam sektor pertanian di antaranya adalah

Pertama, negara akan mendorong peningkatan produktivitas lahan pertanian.

Kedua, negara menjamin pembangunan infrastruktur pertanian seperti pembuatan irigasi, saluran air, serta akses transportasi di wilayah produksi pertanian. 

Ketiga, negara mengolah lahan-lahan mati serta memberikan insentif pemodalan dan sistem bagi hasil kepada para petani.

Salah satu bukti bahwa sistem Islam sangat memperhatikan sektor pertanian adalah dengan dibangunnya kanal di Fustat Mesir oleh Amr bin Ash di bawah kepemimpinan Umar. Kanal ini selain dimanfaatkan untuk infrastruktur pertanian, juga dimanfaatkan untuk kepentingan jalur transportasi dari Mesir ke Hijaz. Itulah beberapa langkah kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah dalam daulah Islam. Semua kebijakan pastinya akan lebih berpihak pada rakyat, bukan pemilik modal. Sehingga, kesejahteraan petani semakin baik.




Oleh: Rini Rahayu 
(Sahabat Tinta Media)
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :