Bahaya Kawin Anak, bagi Siapa? - Tinta Media

Kamis, 10 Oktober 2024

Bahaya Kawin Anak, bagi Siapa?



Tinta Media - Gaung kebangkitan Islam (baca: New Caliphate) yang diprediksi oleh NIC (National Intellegence Council) membuat Barat terus siaga. Mereka massif membuat makar untuk menggempur Islam dan kaum muslimin, serang terus meski hanya sekadar menghambat beberapa tahun ke depan kebangkitannya. 

Poros kekuatan umat Islam ada pada pemikiran dan pemudanya. Oleh karena itu, Barat berupaya keras menghancurkan kualitas serta kuantitas pemuda. Pemuda dilemahkan pemikirannya dengan sekularisme dan menjadikan sekolah serta kampus hanya sebagai pabrik pencetak para buruh, bukan jajaran top leader.

Dalam rangka menghegemoni dunia, Barat merancang proyek global Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) pada tahun 2015 di Amerika Serikat. Agenda pembangunan global ini disepakati oleh 190 negara untuk dicapai pada tahun 2030. Luar biasanya, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki capaian target SDGs yang paling progresif di antara negara berpenghasilan menengah ke atas. (sdgs.bappenas.go.id, 7/3/2024)

Ada 17 tujuan yang hendak diraih SDGs. Nomor 5 adalah kesetaraan gender. Pernikahan anak masuk dalam kategori kekerasan hak asasi manusia, khususnya perempuan. Hal   ini karena pernikahan anak akan membatasi pendidikan, kesehatan, dan potensi pendapatan serta keamanan dari anak perempuan. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan karena banyak dampak buruk akibat pernikahan anak, seperti kerugian secara ekonomi hingga menurunnya kondisi kesehatan. (Otoo-Ooyortey and Pobi, 2003; World Vision, 2013)

Dalam perspektif kesehatan, pernikahan dini dianggap akan membahayakan diri anak karena masih dalam fase tumbuh kembang. Mereka tidak siap secara fisik maupun mental. Selain itu, anak-anak yang menikah di bawah usia 15 tahun akan sulit menamatkan pendidikan serta mengembangkan potensi. Karena ketidaksiapan ini, mereka lebih mudah terpapar segala jenis kekerasan, mengalami perceraian, risiko kematian saat melahirkan, atau melahirkan anak-anak yang kurang berkualitas. 

Adanya pernikahan anak di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kepercayaan (agama) dan tradisi karena pernikahan dilihat sebagai sarana untuk menghindarkan anak dari seks bebas (BKKBN, 2012). Sehingga, diperlukan komitmen dari pihak-pihak yang terlibat, seperti keluarga dan pemuka agama/kepercayaan, untuk mengakhiri pernikahan anak. 

UU Perkawinan tahun 1974 menyatakan bahwa laki-laki sudah legal untuk menikah di usia 19 tahun, dan perempuan di usia 16 tahun. Disinyalir, UU ini turut memengaruhi tingginya angka pernikahan anak. Untuk mengatasi hal ini, DPR menggodok dan mengesahkan UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa batas usia minimum anak perempuan untuk menikah sama dengan anak laki-laki, yaitu usia 19 tahun. 

Mengadopsi UU di atas, Kementerian Agama (Kemenag) Kota Semarang mengadakan Seminar Cegah Kawin Anak pada Kamis (19/9/2024). Ratusan pelajar madrasah dan sekolah dari MAN 1, MAN 2, dan sejumlah SMA di Semarang mengikuti seminar tersebut. Kemenag mengedukasi bahaya praktik perkawinan dini pada anak. Bahkan, duta remaja disiapkan sebagai influencer bagi teman-temannya, untuk mencegah kawin anak ini (kemenag.go.id, 19/9/2024). 

Bagaimana Islam Memandang?

Praktik kawin anak yang marak terjadi dianggap sebagai penghambat terwujudnya generasi berkualitas. Kawin anak juga dituding identik dengan putus sekolah, tingginya angka perceraian, penyebab kematian ibu dan bayi, terjadinya stunting, KDRT, dan segala hal yang dianggap negatif. Bahkan, pemerintah menganggap perlu mengangkat remaja sebagai agen untuk mencegah perkawinan anak. 

Tentu saja ini adalah kesimpulan yang serampangan dan membahayakan. Karena itu, dibutuhkan data yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, maka itu tetap menjadi tuduhan yang menyesatkan. Sungguh ironis, karena di sisi lain, remaja justru dihadapkan pada derasnya arus pornografi, pornoaksi, dan kebijakan yang pro-seks bebas. Miris dan memprihatinkan, menikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi. 

Seharusnya, pemerintah lebih fokus pada berbagai kebijakan yang dapat mencegah anak terjerumus pada pergaulan bebas, bukan malah menyibukkan diri mencegah perkawinan anak. Sejatinya, dalam pandangan syariat, mereka sudah tertaklif (terbebani) hukum. Kategori mereka bukan lagi sebagai anak-anak, sehingga di hadapan syara', perkawinan mereka sah. 

Pada hakikatnya, pencegahan perkawinan anak ini merupakan amanat SDGs yang menjadi program global Barat. Program ini harus diratifikasi dan diadopsi oleh negeri-negeri muslim. Tentu saja program tersebut berpijak pada paradigma Barat, yang sudah pasti bertentangan dengan syariat Islam. 

Adapun target yang hendak diraih, di antaranya adalah mengentaskan stunting dan mencegah pernikahan anak. Target ini dijadikan proyek nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah hendak menurunkan angka perkawinan anak dari 11,2 persen di tahun 2018 menjadi 8,74 persen di tahun 2024. Bahkan, pemerintah telah berhasil melampaui target RPJMN, angka perkawinan anak tahun 2023 turun hingga 6,92 persen (kemenpppa.go.id, 1/5/2024). 

Hal tersebut tentu berdampak pada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga muslim, bahkan berpotensi menghancurkan keluarga muslim. 

Sementara itu, Islam memiliki aturan sempurna dan rinci terkait dengan pernikahan. Negara Islam akan menerapkan hal-hal yang sesuai dengan syariat Allah. Naluri berkasih sayang dan melestarikan keturunan akan dipenuhi sesuai fitrah manusia dan tidak melanggar pengaturan Al Khalik. 

Dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah, berbagai hal yang menjadi problem hari ini yang muncul akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme dapat terselesaikan, termasuk terjaganya pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, pergaulan bebas dan segala dampaknya dapat dicegah. Rakyat akan hidup sejahtera karena sistem ekonomi Islam menjamin terwujudnya kesejahteraan. Sistem media pun akan semakin menguatkan kepribadian Islam. Wallahualam bissawab.




Oleh: Noviana Irawaty
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :