Tinta Media - Aktivis Islam Alimudin Baharsyah menilai ada kesamaan ciri kebijakan antara rezim baru dan rezim lama yakni populis dan otoriter.
"Ada slogan rezim baru harapan baru. Tapi saya melihat Prabowo gibran sulit untuk diharapkan. Pasalnya kebijakan atau program yang diusung mereka, dugaan saya, gak jauh beda dengan jokowi. Punya ciri yang sama Populis dan otoriter," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (22/10/2024).
Misalnya, lanjutnya, kalau Jokowi punya program bagi-bagi bansos, Prabowo punya program makan siang gratis. Ini program menarik bagi kalangan bawah, tapi tidak menyelesaikan masalah. "Makanya saya pribadi tidak mau berharap pada rezim baru ini. Karena 99.99% pasti kecewa," ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa sepengetahuannya, tidak ada sejarahnya utang Indonesia berkurang. Yang ada, setiap rezim berganti utang pasti bertambah. "Penambahan utang Indonesia terbesar sepanjang sejarah Indonesia ada di zaman Jokowi. Hampir tembus 6.000 Triliun (CNBC, 14/8)," ungkapnya.
Ia menduga bahwa rezim baru ini akan terus menumpuk utang, bukan menyelesaikan utang. Apalagi kabinet merah putih gemuk sekali. Butuh biaya besar dan akan membebani keuangan negara. "Akhirnya rakyat juga yang bakal diperas untuk bayar pajak," tukasnya.
"Lagipula Prabowo-Gibran enggak punya cara untuk menambah pemasukan negara kecuali mengandalkan utang dan pajak. Jadi enggak mungkin utang bisa selesai," imbuhnya.
Ia melanjutkan bahwa persoalan lainnya, seperti IKN, kriminalisasi kepada aktivitas dan ulama, rasanya tidak akan selesai bahkan dugaan kuatnya akan makin meningkat. Begitupun dengan persoalan lainnya tidak akan selesai.
Ia mengatakan bahwa jika ingin negeri ini menjadi lebih baik ke depan dalam segala aspek, setidaknya ada dua hal yang harus dirubah. Yang pertama, ganti sistem pemerintahannya. Sistem demokrasi yang diterapkan sejak Republik ini berdiri telah gagal menjadikan Indonesia lebih baik. "Aturan dalam demokrasi dibuat berdasarkan suara mayoritas, sehingga aturan jelekpun tetap dipakai asal disepakati bersama," bebernya.
"Misalnya, penyerahan sumber daya alam ke asing, utang riba luar negeri, kebolehan menjual miras, maraknya praktek riba yang mencekik di tengah masyarakat, pajak yang ugal-ugalan, menerapkan hukum buatan Belanda dan mengabaikan hukum Islam, menggunakan sistem ekonomi kapitalis dan mengabaikam sistem ekonomi Islam, adalah sejumlah aturan rusak yang dilahirkan karena kesepakatan mayoritas," tambahnya.
Ia menyatakan bahwa seharusnya aturan dibuat berdasarkan halal dan haram. Apa yang dihalal dan dibolehkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala pasti terbaik bagi manusia. Sementara yang haram dan dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala pasti jelek dan merusak manusia. "Itulah sistem Islam atau sistem khilafah Islam," terangnya.
Menurutnya, sistem rusak demokrasi harus diganti dengan sistem khilafah. Sistem khilafah telah dipraktekkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan terbukti selama 1300 tahun mampu menyatukan dan memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada ratusan juta manusia dari berbagai agama, suku bahasa dan bangsa yang berbeda.
"Kedua, harus ganti Pemimpin. Pemimpin yang baik bukan hanya yang suka bagi-bagi bansos, suka blusukan, tapi pemimpin yang taat kepada kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan RasulNya, serta mau menjalankan kepemimpinanannya menggunakan sistem Islam," tegasnya.
"Dengan mengganti dua hal ini, ke depan Indonesia akan menjadi lebih baik dan ada dalam ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala," tandasnya.[] Ajira