Tinta Media - Miris, kasus intoleransi di negara yang terkenal dengan beragam agama ini semakin banyak.
Tidak ada lagi ketentraman, rasa aman, dan damai. Banyak dari oknum pemeluk agama merasa fanatik dengan agamanya sendiri. Kurangnya pengetahuan tentang agama mengakibatkan kasus intoleransi tak dapat lagi dihindarkan.
Intoleran sendiri merupakan kata yang berlawanan dari toleransi yang berarti tidak saling menjaga dan berdamai dengan orang/agama lain. Namun sekarang, kerap kali orang-orang memaknai kata intoleransi sebagai sesuatu yang berlebihan. Dengan kata lain, itu sebenarnya tidak sesuai dikatakan sebagai intoleran.
Misalnya, ada orang muslim yang tidak turut mengucapkan selamat Natal di tanggal 25 Desember kepada umat Kristiani. Hal tersebut sudah dipandang oleh masyarakat sebagai intoleran karena dianggap tidak mau menerima keyakinan dari agama lain.
Lantas, apa sebenarnya makna yang benar dari kata intoleran itu sendiri? Bisakah kita memaknai intoleran dengan definisi yang masih global/umum, yaitu sikap orang yang tidak mau meyakini dan menerima kayakinan dari agama lain?
Berdasarkan berita yang dilansir dari Barometer.co.id (26/09/24), Pelaksana harian (Plh) Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh menilai bahwa penolakan pendirian sekolah Kristen oleh sekelompok masyarakat muslim di Parepare, Sulawesi Selatan telah menciderai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Meski telah menyetujui dan memberikan izin pembangunan Sekolah Kristen Gomaliel, pemerintah daerah Kota Parepare, Sulawesi Selatan, melalui DPRD Parepare justru merekomendasikan penghentian pembangunan sekolah tersebut setelah mendapat penolakan dari sekelompok demonstran. Hal ini karena sekolah tersebut didirikan di tengah masyarakat berpenduduk mayoritas muslim. (Bbc.com 13/10/2023)
Banyak dari masyarakat yang harus dipahamkan mengenai intoleransi supaya masalah-masalah berkepanjangan ini segera berakhir dan ditemukan jalan keluar. Akan tetapi, tidak cukup hanya sekadar dipahamkan saja, pemerintah (negara) juga harus turun tangan dalam menyikapi hal tersebut. Jangan malah bungkam, keterlaluan!
Seperti yang sudah diklaim oleh Siti Kholisoh mengenai sikap intoleran yang dimiliki kaum muslimin yang menolak pendirian pembangunan sekolah Kristen di Parepare, Sulawesi Selatan. Ia menganggap bahwa semua orang berhak mendirikan sekolah selagi sudah memenuhi syarat yang ditentukan. Ia juga memberi solusi kepada orang-orang agar tidak memiliki sikap intoleran. Salah satunya dengan memelihara sikap pluralitas atau paham pluralism (menganggap semua agama adalah sama dan benar).
Padahal, sebagai umat Islam, semestinya kita mengetahui bahwa ini adalah paham yang batil. Sudah jelas tertera dalam firman-Nya,
ان الدين عند الله الاسلام “
"Sesungguhnya agama yang di sisi Allah hanyalah Islam”.
Jika muslim memegang paham ini, maka ia tidak akan mencampuradukkan akidah-akidah (keyakinan-keyakinan) masing-masing agama yang ada.
Seharusnya kita menjadikan akidah sebagai prinsip, yakni sebagai sesuatu yang pasti, tak dapat goyah, dan tak dapat tergantikan oleh yang lain.
Masalah akidah bukan merupakan masalah furu’ (cabang) yang dapat berbeda-beda. Akidah yang kita yakini hanya ada satu dan itu bersifat pasti, tak boleh ada perbedaan di dalamnya.
Maka, solusi yang diberikan oleh Siti Kholisoh ini tak dapat diterima akal. Hal ini sangat berkebalikan dengan akidah umat Islam yang mengajarkan bahwa kita harus tetap mempertahankan prinsip dan jangan sampai goyah.
Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia memandang jika kita tak mau menerima keyakinan dari agama lain, maka kita termasuk intoleran. Seperti jika ada muslim yang tidak ikut merayakan natal, hari raya Nyepi, tahun baru Masehi, dan lain sebagainya.
Maka, perlu kita pahamkan sekali lagi bahwa itu semua sudah masuk ke ranah akidah (keyakinan) dari suatu agama. Sebagai umat Islam, kita dilarang turut campur. Hal ini karena mencampur perkara akidah antara suatu agama dengan agama lain adalah haram. Berarti, intoleran sendiri tidak dapat dimaknai seperti tadi.
Yang dapat dikatakan intoleran menurut mereka adalah seperti ada sekelompok muslim yang akan melakukan pengeboman teradap jema’ah Kristen yang sedang beribadah di Gereja. Ini jelas-jelas tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Dalam Islam, jika ada umat agama lain yang sedang beribadah, cukup membiarkan saja tanpa perlu mengganggunya. Islam selalu menuntun pemeluknya agar memiliki pemikiran-pemikiran sahih, serta tidak menyeleweng. Selain itu, Islam juga memberi makna-makna secara jelas dan tidak rancu sehingga dapat memuaskan akal dan dapat menentramkan jiwa.
Seperti yang terjadi pada masanya Rasul saw. Pada saat itu, daulah khilafah (sistem kepemerintahan dalam Islam) telah tegak. Namun, agama-agama pada masa itu selalu hidup berdampingan dan rukun. Tak ada yang namanya intoleran, tidak ada yang namanya permusuhan/saling membenci antara satu agama dengan agama lain.
Selain itu, pemimpin Islam juga telah dijadikan sebagai ra’in (pelindung) dan junnah (perisai) sehingga pemikiran-pemikiran Islam dapat melekat sekaligus dapat diimplementasikan di kehidupan sehari-hari.
Maka, umat perlu dipahamkan tentang urgensi untuk mendirikan daulah Islam ‘ala minhaji nubuwwah. Dengan adanya peran masyarakat dan daulah, maka dapat terwujud sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang dapat mewujudkan kerukunan. Tak hanya untuk umat yang beragama Islam saja, tapi juga untuk yang berbeda agama sekalipun. Wallaahu a’lam bi ash-shawwaab.
Oleh: Marsa Qolbina Nabiha
Sahabat Tinta Media