Wakil Rakyat dan Aspirasi yang Tersumbat - Tinta Media

Selasa, 10 September 2024

Wakil Rakyat dan Aspirasi yang Tersumbat

Tinta Media - Gelombang unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil tolak revisi RUU Pilkada banyak menimbulkan korban, termasuk 11 jurnalis (Sindonews 27/8/24). Yang semua itu disinyalir akibat tindakan represif dari aparat.

Di Jawa Tengah Jumlah korban akibat kericuhan dalam aksi unjuk rasa mahasiswa di Gedung DPRD, sebanyak 26 mahasiswa mengalami luka-luka dan 18 orang di antaranya masuk rumah sakit. (Metro TV, 22/2024)

Bahkan salah satu mahasiswa Unibba, terancam kehilangan penglihatan di mata kirinya, diduga terkena lemparan batu dari arah aparat kepolisian saat kericuhan terjadi (Jawa Pos, 22/8)

Aspirasi yang tersumbat

Hampir di setiap unjuk rasa mahasiswa, diwarnai kericuhan dan kekerasan. Entah siapa yang memulai lebih dulu, harusnya menjadi sebuah pemikiran untuk segera berbenah di mana letak akar masalah.

Seperti yang diunggah CNN, (22/08), mahasiswa merobohkan  pagar pintu belakang DPR. Tindakan ini tentu tidak dibenarkan. Tapi juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bagaimana tidak, mereka ingin menemui wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasi tapi apa yang ditemui oleh para mahasiswa? Pagar betis, dan pintu kokoh gedung wakil rakyat yang tergembok. Bagaimana mungkin rakyat tidak boleh menemui wakil rakyat? Itulah yang menyebabkan para demonstran akhirnya melampiaskan kekesalannya pada benda-benda yang dianggap menghalanginya.

Mengapa wakil rakyat tidak mau menemui rakyat yang telah memilihnya? Tentu bukan masalah keamanan semata, toh ada aparat yang menjaga mereka. Ini lebih dikarenakan tidak sejalannya mereka dengan aspirasi rakyat.

Faktanya rakyat hanya memberikan cek kosong kepada mereka, wakil rakyatlah yang menulis dan mencorat-coret kertas itu sesuai dengan kepentingan dirinya dan golongannya. Jargon demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah isapan jempol belaka.

Ilusi demokrasi

Sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, katanya. Tetapi dalam praktiknya, benarkah kedaulatan di tangan rakyat? Mari kita lihat faktanya, justru rakyat hanya  menjadi pelengkap penderita. Dibius dengan janji-janji manis kampanye. Setelah jadi mereka ditinggalkan. Contoh konkret adalah UU Omnibus law, RKUHP, UU KPK, tetap lolos meskipun banyak menuai protes dari masyarakat. Anehnya rakyat masih selalu berharap pada demokrasi.

Betapa dahsyatnya mantra demokrasi, sehingga umat ini meskipun berkali-kali tertipu dan terperosok di lubang yang sama, masih saja percaya. Meskipun sudah nyata aspirasi mereka sering kali dikebiri. Betapa dahsyatnya mantra demokrasi, sehingga tipuan manisnya, membuat umat Islam tidak tahu jalan untuk kembali.

The real ruler

Siapa penguasa sesungguhnya dalam sistem demokrasi, rakyatkah? Bukan!. Penguasa sesungguhnya adalah para kapitalis, oligarki dan elite politik. Merekalah yang mengendalikan sumber-sumber ekonomi negara, sampai distribusinya. Mereka yang mengambil keputusan politik untuk kepentingan mereka. Rakyat hanya ditoleh ketika negara butuh dana sebagai sumber pemasukan negara melalui pajak dan berbagai pungutan yang terus melonjak. Sementara pemerintah hanya hadir sebagai regulator untuk melayani tuannya, para cukong kapitalis.

Kontrol masyarakat

Kontrol masyarakat merupakan salah satu pilar penegakan syariat Islam. Rakyat Daulah Islam, baik secara individu maupun berjamaah mempunyai tanggung jawab untuk melakukan kontrolling terhadap jalannya roda pemerintahan, agar tidak keluar dari koridor Islam. Karena seorang pemimpin di dalam Islam dibaiat oleh rakyat untuk menjalankan syariat Islam. Sehingga rakyat harus memastikan semua berjalan sesuai dengan Islam.

Islam juga memberikan kedudukan yang mulia bagi orang yang memberikan nasihat pada penguasa.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam riwayat yang lain dari Jabir r.a, Nabi SAW mengabarkan bahwa,

“Pemuka para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthtalib dan seorang lelaki yang menghadap kepada penguasa yang zalim, ia menyerunya (kepada yang ma’ruf) dan melarangnya (dari yang mungkar), lantas penguasa itu membunuhnya’.” (HR. Al-Hakim)

Keteladanan sahabat

Umar ketika dilantik jadi khalifah, ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”

“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku. Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”

Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang akan mengingatkanmu dengan pedang ini.”

Standar kebenaran

Suatu hari Khalifah Umar bin Khathab naik ke atas mimbar lalu berpidato di depan khalayak. "Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu.

Seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes,

 “Apakah kau tak pernah dengar Allah menurunkan ayat:

 ÙˆَآتَÙŠْتُÙ…ْ Ø¥ِØ­ْدَاهُÙ†َّ Ù‚ِÙ†ْØ·َارًا "...

kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)..." (QS an-Nisa': 20)

Protes tersebut disambut hangat oleh Khalifah Umar dengan berkata

"(Kali ini) perempuan benar, lelaki salah."

Lalu khalifah Umar tidak membatasi mahar suami kepada istrinya. Begitu mudahnya seorang pemimpin menerima kritikan dari rakyatnya. Tidak perlu ada demo yang berdarah-darah, bahkan hilangnya nyawa seseorang. Ini semua karena antara penguasa dengan rakyatnya punya standar kebenaran yang sama. Ketika seluruh persoalan dikembalikan kepada syariat Allah, baik seorang penguasa maupun rakyat jelata mereka akan 'legowo' alias rela menerima keputusan tersebut, baik dalam hal yang disukai maupun dibenci. Karena dilandasi oleh keimanan kepada Allah dan syariat-Nya.

Sumber malapetaka yang menimpa kaum muslimin saat ini, ketika mereka menggantikan hukum Allah dengan hukum buatan manusia. Di mana asas manfaat dan hawa nafsu yang dijadikan pijakan dalam membuat aturan. Bagaimana ada titik temu antara penguasa, wakil rakyat, dan rakyat itu sendiri, sedangkan masing-masing punya standar kepentingan dan kebenaran yang berbeda-beda dan sering kali bertabrakan.

Sudah semestinya umat Islam saat ini memiliki standar kebenaran yang sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. sehingga tidak lahir berbagai kebijakan zalim yang menindas rakyat. Wallahu a'lamu bishowab.

Oleh : Hanin Najaha, Sahabat Tinta Media 

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :